Thursday, June 16, 2011

PEMBAHASAN MAKNA KATA 'MAWLA' DALAM HADIS GHADIR

 “Allah tidak meninggalkan sedikit pun argumen (hujjah) dan bantahan bagi siapa pun setelah peristiwa Ghadir Khum.” (Sayyidah Fathimah AS, Dala’il al-Imamah, hlm. 38. Lihat juga, al-Khisal, Jil. 1, hlm. 173; Bihar al-Anwar, Jil. 30, hlm. 124.)

Sepanjang khotbah Rasulullah Saw di Ghadir Khum, beliau menekankan bahwa khotbahnya itu telah melengkapi hujjah (argumen) Allah atas seluruh manusia sampai Hari Kiamat. Itulah sebabnya Putri Tercinta Rasul, Sayyidah Fathimah As juga menekankan hal yang sama seperti yang saya kutip di atas.

Dengan cara yang sama, Imam Ali As mengingatkan kaum Muhajirin dan kaum Anshar di Masjid Nabawi (setelah mereka berbaiat kepada Abu Bakar), akan hak eksklusif kepemimpinannya atas umat dan perjanjian mereka kepada Rasulullah Saw di Ghadir Khum. Beberapa orang Anshar berdalih kepada Imam Ali, “Wahai Abul Hasan! Andai saja kami, kaum Anshar, mendengar hujjah-hujjah Anda sebelum kami berbaiat kepada Abu Bakar, pastilah tak seorang pun dari kami yang tidak menyetujui perintah Anda.”

Dengan tegas Imam Ali As menjawab, “Apakah kalian menginginkan saya meninggalkan jasad suci Rasulullah yang sudah dikafani dibiarkan tidak dikuburkan, kemudian saya mendatangi kalian untuk berselisih demi kekuasaan? Demi Allah! Saya tak dapat memercayai siapa pun yang mendambakan kekuasaaan lalu menyelisihi kami, Ahlul Bait, lalu membuat alasan untuk membenarkan apa yang telah mereka lakukan. Saya tidak melihat Rasulullah Saw meninggalkan sedikit pun ruang untuk pembicaraan kontroversial, atau satu bantahan pun untuk khotbah beliau di Ghadir Khum.” 1

Sayangnya, masih banyak orang yang meragukan keotentikan riwayat-riwayat Hadits Ghadir Khum, namun keraguan yang tidak disertai penelitian hanya akan menjadi penyakit hati. Saya pikir, terlalu banyak bukti2 otentik tentang keberadaan dan otentisitas hadits-hadits Ghadir Khum. 2
 
Sebagian orang lainnya menerima dengan lapang dada keberadaan dan keotentikan hadits-hadits tersebut, namun tetap berkilah bahwa makna kata mawla di sana hanya bermakna sahabat. Argumen ini pun sangat lemah. Biasanya, jika satu kata mempunyai banyak makna, cara yang paling baik untuk memastikan konotasi yang benar adalah dengan melihat hubungan (qarinah) dan konteksnya.
Ada 6 poin dari beberapa “hubungan” dalam hadits ini yang secara jelas menunjukkan bahwa makna yang paling sesuai dengan peristiwa di Ghadir Khum adalah makna : pemimpin. 

Pertama : Satu pertanyaan yang dilontarkan Rasulullah Saw sebelum beliau membuat pernyataan, “Apakah aku lebih berwenang (awla) atas diri kalian ketimbang diri kalian sendiri?” Semua sahabat yang hadir serentak menjawab, “Betul kami bersaksi bahwa engkau lebih berwenang (awla) atas kami ketimbang diri kami sendiri” Lalu Nabi melanjutkan kata-katanya sambil mengangkat lengan Ali, “Siapa yang menjadikanku mawla, maka Ali adalah mawla-nya” Tidak diragukan lagi, kata mawla (yang memiliki wewenang) di dalam pernyataan Rasulullah ini sama dengan makna awla pada kalimat Nabi sebelumnya.

Sedikitnya, 64 perawi hadits meriwayatkan hadits ini, yang antara lain : Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah, an-Nasa’i dan at-Tirmidhi.
Kedua: Doa lainnya yang Rasulullah Saw ucapkan setelah pernyataan beliau ini adalah : “Ya Allah! Cintailah orang yang mencintai Ali, dan musuhilah orang yang memusuhi Ali, tolonglah orang yang menolong Ali, dan tinggalkanlah (abaikanlah) orang yang meninggalkan (mengabaikan) Ali”

Doa ini menunjukkan bahwa Ali, pada hari itu, dipercayakan dengan suatu tanggung jawab, yang secara alami, akan membuat beberapa orang menjadi musuhnya, dan untuk menyelesaikan tanggung jawab ini Imam Ali membutuhkan penolong dan pendukung. Apakah penolong dibutuhkan untuk sebuah persahabatan?

Ketiga: Pernyataan Rasulullah Saw yang menyatakan bahwa : “Tampaknya aku akan segera dipanggil dan aku akan memenuhi (panggilan itu)” ini dengan jelas menunjukkan bahwa beliau sedang membuat persiapan untuk menetapkan suatu kepemimpinan sepeninggalnya.

Keempat : Di dalam salah satu riwayat 3, Umar bin Khaththab mengucapkan selamat setelah diangkatnya Imam Ali As sebagai mawla seluruh kaum mukmin. Dan seandainya kata ‘mawla’ bermakna ‘sahabat’, maka kalimat ucapan selamat Umar bin Khaththab tersebut menjadi janggal : “Alangkah bahagianya Anda wahai Ali bin Abu Thalib, Anda telah menjadi sahabat setiap mukmin laki-laki maupun mukmin perempuan”. Lalu apakah sebelum peristiwa Ghadir Khum ini, Imam Ali menjadi musuh seluruh kaum Mukmin? 4

Kelima : Menurut ayat (QS 5 : 67) : “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” yang diwahyukan sebelum pengumuman kepemimpinan (wilayah) Imam Ali as, Allah Swt telah memerintahkan sesuatu yang teramat penting dan berhubungan dengan Rasulullah Saw, yang jika tidak disampaikan akan membahayakan keseluruhan misi Islam. Persoalan ini sedemikian signifikan bahwa Rasulullah merasa takut akan adanya gangguan penentangan, pengingkaran, dan perlawanan sehingga beliau tengah menanti momen yang tepat (aman) untuk menyampaikan amanah dari Allah Swt ini, sampai pada akhirnya tiba satu perintah Allah yang mendesak dan penting untuk melaksanakannya tanpa penundaan dan tanpa perlu rasa takut kepada siapa pun.

Keenam: Ayat ke 3 dari Surah Al-Maidah : “Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS 5 :3), yang diwahyukan segera setelah pengangkatan Imam Ali ini, menunjukkan bahwa sebelumnya orang-orang kafir masih punya harapan bahwa suatu waktu Islam akan lenyap. Akan tetapi melalui aktualisasi peristiwa khusus ini (al-Ghadir), Allah membuat orang-orang kafir kehilangan harapan selama-lamanya untuk menghancurkan Islam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa peristiwa ini (al-Ghadir) merupakan peristiwa penyempurnaan Islam dan Allah melengkapi Rahmat-Nya atas manusia dengan peristiwa ini.
Karena sedemikian pentingnya, tentulah Ghadir Khum bukan sebuah peristiwa kecil atau kesempatan yang tak begitu penting seperti sebuah pengumuman dari perintah agama yang sederhana, atau suatu pengumuman bahwa Ali hanyalah seorang “kawan” atau “sahabat” Nabi Muhammad Saw.

Sebuah Pendekatan Rasional:
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat serasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan, dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih, lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min” [Al-Quran Surah al-Taubah [9] ayat 128]

Dengan gamblang, Allah Swt menyatakan bahwa Rasulullah Saw memiliki rasa cinta dan kasih sayang yang sedemikian dalam kepada umat manusia. Beliau senantiasa berusaha memastikan kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan para pengikutnya, dan tak pernah memiliki keinginan untuk memaksakan kehendak-kehendak pribadinya, juga tak pernah membebani seseorang di luar kemampuannya. Bahkan beliau sangat dikenal beberapa kali memendekkan shalatnya segera setelah mendengar suara tangisan bayi.

Adalah mustahil menyimpulkan bahwa Nabi mulia yang diutus “sebagai Rahmat atas semesta alam ini” telah memerintahkan kepada para pengikut, sahabat-sahabatnya untuk duduk di atas gurun pasir yang panas tanpa ada tempat berlindung dari sengatan terik matahari, berjam-jam lamanya, hanya untuk mengatakan bahwa ‘Ali ibn Abi Talib adalah “sahabat”-nya.”

Seperti klaim yang lebih absurd dari ini adalah bahwa peristiwa Ghadir ini semata-mata ingin meninggikan kedudukkan Ali yang lebih utama dari sahabat-sahabat Nabi lainnya.5 Memang tak bisa dipungkiri lagi bahwa Peristiwa Ghadir Khum merupakan hujjah yang tak lagi dapat dibantah, seperti yang telah diutarakan oleh sebaik-baik wanita sepanjang zaman, Fathimah al-Shiddiqah As di atas. Semoga Allah Swt memberikan syafa’at-Nya kepada kita melalui beliau. Amin ya Ilahi…

Laa hawla wa laa quwwata illa billah


1Catatan Akhir
  1. 1 Vahid Majd, The Sermon of Prophet Muhammad PBUH & HF at Ghadir Khum hlm. 17-18,
  2. al- Ihtijaj, Jil. 1, hlm. 74; Bihar al-Anwar, Jil. 28, hlm. 185.
  3. 2 Jika Anda masih meragukan otentisitas atau tingkat mutawatir hadits-hadits al-Ghadir, saya
  4. anjurkan Anda membuka situs ini: http://www.al-islam.org/ghadir/. Sebuah Situs khusus yang
  5. memuat data yang teramat lengkap tentang semua hal yang berkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum.
  6. 3 Peristiwa ini diriwayatkan oleh al-Daruquthni yang tercantum dalam kitab Sawaiq al-Muhriqah
  7. hal.26, dan Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad-nya 2:325
  8. 4 Al-Mujtaba Islamic Articles, Ghadeer Khumm and Orientalists.
  9. 5Thaqalayn Muslim Association, What Happen at Ghadeer Khumm at Glance.

Makna kata Mawla: kekasih, penolong, pelindung, dan pemimpin.
Hadis Al-Ghadir disampaikan oleh Rasulullah saw di depan kurang-lebih 150.000 sahabat, sesudah haji wada’, dalam situasi yang sangat penting. Tentu missi ini bukan missi yang sederhana, tetapi missi yang paling besar, paling menentukan masa depan Risalah Nabi saw, dan nasib kaum muslimin dan mukminin pasca Rasulullah saw. Di sini jelas, tidak mungkin kata Mawla bermakna kekasih, penolong dan pelindung, tapi jelas bermakna pemimpin. Karena kepemimpinan adalah puncak segala persoalan dalam Islam. Gagalnya kepemimpinan adalah kegagalan segala aspek kehidupan.

Dengan demikian jelaslah bahwa kata Mawla dalam hadis Al-Ghadir bermakna pemimpin, bukan kekasih, penolong atau pelindung. Kondisi kaum muslimin dewasa ini menunjukkan adanya kegagalan kepemimpinan Islam pasca Rasulullah saw. Kegagalan kepemimpinan Islam akan berdampak pada segala aspek kehidupan: Idiologi, politik, sosial, ekonomi, pendidikan; penyimpangan makna ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw, perselisihan, permusuhan, kezaliman, kesengsaraan kaum muslimin.


Hadis Ghadir Khum yang menunjukkan kepemimpinan Imam Ali adalah salah satu hadis shahih yang sering dijadikan hujjah oleh kaum Syiah dan ditolak oleh kaum Sunni. Kebanyakan mereka yang mengingkari hadis ini membuat takwilan-takwilan agar bisa disesuaikan dengan keyakinan mahzabnya. Padahal Imam Ali sendiri mengakui kalau hadis ini adalah hujjah bagi kepemimpinan Beliau. Hal ini terbukti dalam riwayat-riwayat yang shahih dimana Imam Ali ketika menjadi khalifah mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berbicara meminta kesaksian soal hadis Ghadir Khum.

Dari Sa’id bin Wahb dan Zaid bin Yutsai’ keduanya berkata “Ali pernah meminta kesaksian orang-orang di tanah lapang “Siapa yang telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada hari Ghadir Khum maka berdirilah?. Enam orang dari arah Sa’id pun berdiri dan enam orang lainnya dari arah Za’id juga berdiri. Mereka bersaksi bahwa sesungguhnya mereka pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Ali di Ghadir Khum “Bukankah Allah lebih berhak terhadap kaum mukminin”. Mereka menjawab “benar”. Beliau bersabda “Ya Allah barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”. [Musnad Ahmad 1/118 no 950 dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir]


Sebagian orang membuat takwilan batil bahwa kata mawla dalam hadis Ghadir Khum bukan menunjukkan kepemimpinan tetapi menunjukkan persahabatan atau yang dicintai, takwilan ini hanyalah dibuat-buat. Jika memang menunjukkan persahabatan atau yang dicintai maka mengapa ada sahabat Nabi yang merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika mendengar kata-kata Imam Ali di atas. Adanya keraguan di hati seorang sahabat Nabi menyiratkan bahwa Imam Ali mengakui hadis ini sebagai hujjah kepemimpinan. Maka dari itu sahabat tersebut merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya karena hujjah hadis tersebut memberatkan kepemimpinan ketiga khalifah sebelumnya. Sungguh tidak mungkin ada keraguan di hati sahabat Nabi kalau hadis tersebut menunjukkan persahabatan atau yang dicintai.

Dari Abu Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Abu Thufail berkata “ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya “sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata “Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti itu tentangnya”.[Musnad Ahmad 4/370 no 19321 dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 88 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini]


Kata mawla dalam hadis ini sama halnya dengan kata waliy yang berarti pemimpin, kata waly biasa dipakai oleh sahabat untuk menunjukkan kepemimpinan seperti yang dikatakan Abu Bakar dalam khutbahnya. Inilah salah satu hadis Ghadir Khum dengan lafaz Waly.

Dari Sa’id bin Wahb yang berkata “Ali berkata di tanah lapang aku meminta dengan nama Allah siapa yang mendengar Rasulullah SAW pada hari Ghadir Khum berkata “Allah dan RasulNya adalah pemimpin bagi kaum mukminin dan siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka ini (Ali) menjadi pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya dan jayakanlah orang yang menjayakannya. [Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 93 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].

Dan perhatikan khutbah Abu Bakar ketika ia selesai dibaiat, ia menggunakan kata Waly untuk menunjukkan kepemimpinannya. Inilah khutbah Abu Bakar

Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian maka jika berbuat kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku, kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah diantara kalian ia kuanggap kuat hingga aku mengembalikan haknya kepadanya jika Allah menghendaki. Sebaliknya yang kuat diantara kalian aku anggap lemah hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya jika Allah mengehendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah timpakan kehinaan dan tidaklah kekejian tersebar di suatu kaum kecuali adzab Allah ditimpakan kepada kaum tersebut. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan RasulNya maka tiada kewajiban untuk taat kepadaku. Sekarang berdirilah untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian. [Sirah Ibnu Hisyam 4/413-414 tahqiq Hammam Sa’id dan Muhammad Abu Suailik, dinukil Ibnu Katsir dalam Al Bidayah 5/269 dan 6/333 dimana beliau menshahihkannya].

No comments:

Post a Comment