Monday, June 18, 2012

RIDHA ILAHI



[oleh KH. Jalaluddin Rakhmat]
Sep 13, '08 11:24 PM
for everyone
Pada suatu hari, Nabi Musa as bermaksud menemui Tuhan di Bukit Sinai. Mengetahui maksud Musa, seorang yang sangat saleh mendatanginya, “Wahai Kalimullah, selama hidup saya telah berusaha untuk menjadi orang baik. Saya melakukan salat, puasa, haji, dan kewajiban agama lainnya. Untuk itu, saya banyak sekali menderita. Tetapi tidak apa, saya hanya ingin tahu apa yang Tuhan persiapkan bagiku nanti. Tolong tanyakan kepada-Nya!”
   
“Baik,” kata Musa seraya melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan seorang pemabuk di pinggir jalan. “Mau ke mana? Tolong tanyakan pada Tuhan nasibku. Aku peminum, pendosa. Aku tidak pernah salat, puasa, atau amal saleh lainnya. Tanyakan kepada Tuhan apa yang dipersiapkan-Nya untukku.” Musa menyanggupi untuk menyampaikan pesan dia kepada Tuhan.
Ketika kembali dari Sinai, ia menyampai-kan jawaban Tuhan kepada orang saleh, “Bagimu pahala besar, yang indah-indah.” Orang saleh itu berkata, “Saya memang sudah menduganya.” Kepada si pemabuk, Musa berkata, “Tuhan telah mempersiapkan bagimu tempat yang paling buruk.” Mendengar itu, si pemabuk bangkit, dengan riang menari-nari. Musa heran mengapa ia bergembira dijanjikan tempat yang paling jelek.
   
“Alhamdulillah. Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku. Aku pendosa yang hina-dina. Aku dikenal Tuhan! Aku kira tidak seorang pun yang mengenalku,” ucap pemabuk itu dengan kebahagiaan yang tulus. Akhirnya, nasib keduanya di Lauh Mahfuzh berubah. Mereka bertukar tempat. Orang saleh di neraka dan orang durhaka di surga.
   
Musa takjub. Ia bertanya kepada Tuhan. Jawaban Tuhan begini: “Orang yang pertama, dengan segala amal salehnya, tidak layak memperoleh anugerah-Ku, karena anugerah-Ku tidak dapat dibeli dengan amal saleh. Orang yang kedua membuat Aku senang, karena ia senang pada apa pun yang Aku berikan kepadanya. Kesenangannya kepada pemberian-Ku menye-babkan aku senang kepadanya.”
   
Sandungan pertama dalam perjalanan menuju kesucian adalah ridha dengan diri sendiri. Kita merasa sudah banyak beramal, dan karena itu berhak untuk memperoleh segala anugerah Tuhan. Ketika kita mengalami kesulitan, kita berusaha keras untuk menguasainya —lahir dan batin, lalu kita mohon pertolongan Allah. Dengan segala usaha itu, kita merasa berhak untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Tuhan berke-wajiban untuk melayani kita. Ketika yang kita tunggu tidak juga datang, kita marah kepada-Nya, sambil berargumentasi, “Apalagi yang harus aku lakukan? Apa tidak cukup semua pengorbanan yang telah kuberikan?”
   
“Janganlah kamu memberi dan meng-anggap pemberianmu sudah banyak,” firman Tuhan (QS. Al-Mudatsir: 6). Janganlah kamu berkata sudah semua kamu kerjakan. Setiap kali kamu bertanya seperti itu, ingatlah, belum banyak yang kamu kerjakan. Secara lahiriah, merasa telah banyak berbuat membuat orang putus asa. Karena putus asa, ia tidak mau berbuat lagi. Seluruh geraknya terhenti. Secara batiniah, merasa telah berbuat banyak menjatuhkan tirai gelap yang menutup karunia Tuhan. Ia mengandalkan amalnya dan meremehkan pemberian Tuhan. Pada hakikatnya, ia masih berkutat dengan dirinya. Ia tidak berjalan menuju Tuhan. Ia berputar-putar di sekitar egonya. Ia tidak mencari ridha Tuhan. Ia mengejar ridha dirinya.
   
Kepuasan akan diri telah banyak membinasakan para salik sepanjang sejarah. Hal yang sama telah melemahkan semangat para pejuang kebenaran. Mereka merasa telah berkorban habis-habisan, tetapi hasilnya tidak ada. Anda dapat menemukan perasaan ini pada orang-orang saleh di sudut mesjid dan juga pada para demonstran reformis di simpang jalan. Yang pertama menghapuskan ibadatnya, yang kedua menyia-nyiakan pengorbanan kawan-kawannya.
   
Kepada siapa saja di antara Anda yang taat beribadat, bacalah doa ini setelah salat Anda: “Tuhanku, ampunan-Mu lebih diharapkan dari amalku. Kasih-Mu lebih luas dari dosaku. Jika dosaku besar di sisi-Mu, ampunan-Mu lebih besar dari dosa-dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasih-Mu, kasih-Mu pantas untuk mencapaiku dan meliputiku, karena kasih sayang-Mu meliputi segala sesuatu. Dengan rahmat-Mu, wahai Yang Paling Pengasih dari segala Yang Mengasihi.”
   
Kepada siapa saja di antara Anda yang sedang berjuang menegakkan kebenaran, tetapi Anda sudah letih dan merasa tidak berdaya, bacalah doa Nabi Muhammad saw ketika ia berlindung di kebun Utbah dengan kaki berlumuran darah, “Ya Allah, kepada-Mu aku adukan kelemahan diriku, ketidak-berdayaanku, dan kehinaanku di mata manusia. Wahai yang Mahakasih dan Mahasayang, wahai Tuhan orang-orang yang tertindas. Kepada tangan siapa akan Kau serahkan daku? Kepada orang jauh yang memperlakukanku dengan buruk? Atau kepada musuh yang Kau berikan kepadanya kekuasaan untuk melawanku? Semuanya aku tidak peduli, asalkan Engkau tidak murka kepadaku. Anugerah-Mu bagiku lebih agung dan lebih luas. aku berlindung pada cahaya ridha-Mu, yang menyinari kegelapan. Janganlah murka-Mu turun kepadaku. Janganlah marah-Mu menimpaku. Kecamlah daku sampai Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan, kecuali melalui-Mu.” []

Dalam kedamaian hati, lelaki bertubuh tegap itu sejenak terdiam. Ia sudah hampir sampai di dekat Ka’bah. Ia pandang dari kejauhan para penziarah Ka’bah datang dengan senyum kebahagiaan; kebahagiaan hendak berjumpa dengan rumah Tuhan. Ia menatap lempang bangunan Ka’bah dengan kerinduan yang tulus. Sering ia berkunjung ke Ka’bah, tetapi kunjungannya hari itu terasa lain bagi dirinya. Ia merasakan kehadirannya saat itu begitu sangat membahagiakannya. Wajahnya tengadah ke langit; mulutnya bergetar menahan haru karena rasa syukur dapat berjumpa dengan bulan yang sangat dicintai Allah, yaitu bulan haji.

Kini, ia telah tiba di tempat miqat, matanya terpaku memandang hening. Bulir air mata jatuh di pipinya karena  menahan rasa haru; rasa bahagia menjadi tamu Allah.  Inilah ziarah yang selalu dinantikannya, ziarah dengan bekal menggapai keridhaan-Nya. Ia rebahkan dirinya untuk bersujud; sujud syukur seorang hamba. Pada hatinya yang lembut, ia tetapkan niat untuk menanggalkan pakaian takabur, riya’, nifak, syubhat, dan segala bentuk kehinaan di sisi Allah dengan baju taat berbalut keikhlasan. Ketetapan niatnya untuk membersihkan diri dengan cahaya taubat yang tulus kepada-Nya mengiringi lubuk hatinya; saat ia memulai mandi dan berihram untuk melaksanakan pekerjaan pertama pada hajinya. Ia pun tak lupa saat niat berihram untuk meneguhkan dirinya dengan membebaskan dalam benaknya segala yang diharamkan oleh Kekasihnya.

Dalam udara yang panas dan terik matahari yang menyapu bumi, sosok tubuh yang tegap itu gelisah dan cemas. Baru saja ia hendak melantunkan kalimat talbiyah, bibirnya yang kering tampak bergetar, lidahnya terbata kelu, dan wajahnya pucat pasi. Hampir saja ia jatuh pingsan karena tak sanggup mengucapkan; Labbaik Allâhumma Labbaik. Yang teringat dalam pikirannya adalah bagaimana nasibnya jika Kekasihnya itu menyongsong seruannya dengan jawaban Lâ labbaik. Ia cemaskan dirinya, jika Tuhan menolak kehadirannya karena ia masih saja belum memurnikan jiwanya untuk menghadap kepada Sang Pemilik Rumah Allah.

Salat ihram yang ia kerjakan adalah awal yang berat yang dihadapinya pada pekerjaan hajinya. Seperti dalam salat-salatnya yang lain, kepucatan dan kegelisahan jiwanya ketika salat selalu menyertai dan hampir membuatnya kaku dan pingsan. Rasa takut dan cemas datang juga ketika ia hendak memulai salat sunat ihramnya. Pertemuannya dengan Tuhan menghempaskan dia pada pengakuan betapa rindunya ia pada kedekatan Tuhannya. Usai shalat tiada henti-hentinya ia bermunajat dan menangis. Berulang kali ia berdoa memastikan kecintaan dan tujuan hidupnya hanya untuk Allah semata. Perlahan ia beranjak dari sujudnya untuk mulai berangkat menuju Ka’bah.

Ka’bah berada tidak jauh dari hadapan-nya. Ia pandang keagungan rumah Tuhan dengan ketakjuban yang dalam. Ia diam terpaku. Pikiran-nya menerawang ke masa silam.Ia teringat pada datuknya, Muhammad saw. Tetes air mata tak henti-hentinya jatuh dari kelopak matanya yang sayu. Bibirnya terbata-bata mengatakan, “Duhai kakekku, betapa beratnya perjuanganmu untuk merebut dan membangun kembali rumah Tuhan ini. Deritamu adalah deritaku, lelahmu adalah lelahku. Salam bagimu, duhai kekasih Allah.”

Dalam putaran thawafnya, ia pastikan dalam hatinya bahwa ia sedang berjalan dan berlari menuju keridhaan Tuhannya yang Mahatahu dan Mahagaib. Hatinya yang bersih menyaksikan bahwa di atas langit Tuhan sana ada sekumpulan malaikat ikut serta berthawaf dengannya sambil melantunkan talbiyah mengelilingi Baitul Ma’mur.

Saat bergerak mendekati Hajar Aswad, kecemasan hatinya makin memuncak. Ia merasakan tangannya berat untuk menyentuh batu hitam itu. Aliran darah dalam tangannya mengalir deras menegangkan telapak tangannya yang putih; tangannya seakan-akan berjabatan langsung dengan tangan Tuhan.

Lalu, ia berhenti dan berdiri di dekat makam Nabi Ibrahim, terbayang olehnya perjuangan Ibrahim dalam menjalankan pesan Tuhan yang penuh dengan derita; dari terpisahnya dengan ibu-bapaknya sampai harus dibakar hidup oleh musuhnya. Ibrahim tetap sabar dan berpegang pada tali Tuhannya. Sejenak ia ucapkan salam pada Ibrahim dan segera ia mengerjakan salat dua rakaat. Kekokohannya berdiri di makam Ibrahim, ia tetapkan sebagai pengukuhan niat taatnya kepada Allah dan pelepasannya dari pakaian kemaksiatan. Salatnya adalah pancaran hati yang  tunduk patuh mengikuti jejak Nabi Ibrahim dan pengakuan penentangannya kepada segala bisikan setan.

Perjalanan hajinya terhenti ketika ia melihat dari ujung Masjid Al-Haram para jamaah merapat menuju sumur Zam-zam; sumur cermin-an derita Ismail yang menantikan perjuangan ayah ibunya dalam mencari air untuk mengusap dahaganya. Sumur sejuk pancaran kasih sayang Tuhan kepada kekasihnya. Bayangan ini meng-antarkan Imam Ali Zainal Abidin pada keterpu-kauan akan kasih sayang Allah yang luas. Ketika ia mendekati tempat itu, ia tunjukkan pada dirinya pandangan mata yang teduh pada sumur Zam-zam; pandangan yang menggambarkan bentuk kepatuhannya kepada Allah dan pembebasan matanya pada segala tatapan maksiat.

Kini, Sa’i mengantarkan pada ingatannya sebagai bentuk pengorbanan dan kecintaan Ibarahim dan Hajar kepada anaknya serta kekhawatiran akan tidak tercapai maksud mereka.  Karena itulah sambil berlari-lari kecil, ia lakukan Sa’i dengan tiada henti-hentinya berdoa mengharapkan rahmat Allah dan pengakuan takut akan azab Allah.

Perjalanan haji berikutnya mengantarkan ia pada suatu tempat yang disebut Mina. Di kota itu ia teguhkan hatinya untuk menjaga dengan sungguh-sungguh hati dan tangannya agar tetap membuat orang lain merasa aman dari segala perbuatannya.

Ketika wukuf di Arafah, ia benamkan dirinya dalam makrifat kepada Allah dengan untaian doa dan permohonan ampunan kepada Kekasihnya. Di tempat ini pun ia tak henti-hentinya menangis; mengakui dosa pada Kekasihnya. Bayangan terberatnya adalah akankah rasa panas di Arafah ini,  ia alami kelak di Padang Mahsyar pada hadapan Tuhannya karena kehinaan ruhaninya. Persaksian rasa malu akan cinta kasih Tuhan pada dirinya menyeretkan dia pada sujud yang panjang di tanah putih itu.  

Jabal Rahmah yang tinggi dan terjal, ia daki dengan ketulusan dan sabar. Pada ujung pendakiannya, tiada henti ia mengungkapkan dambaan akan rahmat Allah dan bimbingan-Nya bagi kaum muslim. Baginya tempat mulia itu adalah tempat yang menjadi saksi atas segala bentuk kepatuhan hamba kepada Tuhannya.

Di Wadi Namira, ketetapan hatinya mengatakan bahwa ia tidak akan memerintahkan berbuat baik dan mencegah kejelekan kepada orang lain, sebelum dirinya mampu berbuat baik dan mencegah diri dari kemungkaran.

Usai melewati ‘Alamain, hati dan seluruh tubuhnya pun bersaksi dan sekaligus meneguhkan diri tidak akan bergeser selain dari agama Islam.

Ketika menuju Muzdalifah dan memungut batu di sana, ia masih saja menggoreskan dalam hatinya perasaan membuang jauh segala bentuk maksiat dan kejahilan terhadap Allah serta diiringi penegasan hati untuk mengejar ilmu dan amal yang diridhai oleh-Nya.

Dan ketika melewati Mas’arul Haram, ia isyaratkan dalam hatinya agar dirinya bersyi’ar seperti orang-orang yang penuh dengan ketakwaan dan ketakutan pada Allah.

Pengakuan yang tulus akan kasih sayang Allah yang telah memenuhi hajat dan memudah-kan perjalanannya, ia lantunkan ketika menuju Mina untuk melempar Jumrah.

Pada lemparan Jumrahnya, dengan perasaan yakin, ia lempar Iblis dan berusaha sekuat tenaga untuk memusuhi iblis dalam seluruh hidupnya.

Usai mencukur rambut, ia lanjutkan perjalanan menuju Masjid Khaif. Tidak henti-hentinya ia mencemaskan dirinya karena takut akan dosa dan ketakutannya hanya kepada Allah semata.

Saat memotong hewan kurban, ia sandarkan niat untuk memotong urat ketamakan dan memegang sikap wara’ yang sesungguhnya pada dirinya. Ia pun teringat pada Ismail yang dengan tulus menjalankan perintah Tuhan, dan kesabaran Ibrahim dalam mengemban titah Tuhan sebagai peristiwa yang harus diteladani. Air matanya mengalir deras membayangkan peristiwa suci itu semua.

Pada saat di Mekah, ketika Haji Ifadah, ia tetapkan niat berifadah dari pusat rahmat Allah serta senantiasa kembali kepada kepatuhan, kecintaan, dan mendekati diri kepada-Nya. Di akhir hajinya, ia lanjutkan perjalanan suci itu menuju Madinah. Ketika merapat mendekati kota Madinah, Ia pandang bangunan kota Madinah dengan  ingatan bahwa di sinilah kota tempat kakeknya tinggal. Di sinilah tempat tepian hijrah Muhammad  dalam menyebarkan titah kekasih-Nya. Di sinilah pula tempat rebahnya jasad suci yang damai terbaring panjang di pelukan cinta Tuhan.

Ia bergumam: Ya Allah,inilah tempat suci tempat kediaman Rasul-Mu.Maka jadikanlah ia bagiku sebagai penangkal dari api neraka serta penyelamat dari azab dan hisab yang buruk.

Dalam perjalanannya menuju Masjid Nabawi, ia saksikan bahwa inilah jalan tempat datuknya melangkah dan di sinilah kekhusyuan cinta hamba mengumandang di malam-malamnya; di sinilah keringat lelah jatuh menebar harum menyejukkan bumi Madinah.

Sebentar lagi ia hampir tiba di pusara kakeknya, Muhammad saw. Kerinduan memuncak dalam dadanya. Matanya berkaca-kaca karena ia akan berjumpa dengan pusara kekasih Tuhan.

Begitu ia sampai di depan pusara Muhammad saw, air mata jatuh membasahi janggutnya. Ia tatap pusara datuknya sambil tak henti-hentinya bershalawat kepadanya. Dalam keguncangan hati, terbayang dalam pikirannya bahwa sudah begitu jauh dirinya meninggalkan sunnah datuknya. Rasa malu mengoyak hatinya. Harapannya adalah akankah Rasul Allah menjenguk dan menyapa dia di hadapan Tuhan nanti, ataukah ia berpaling dan menjauhi dirinya tanpa sapa dan salam. Celakalah sudah dirinya. Dalam kesedihan dan kerinduannya yang panjang, ia berucap:

“Salam bagimu, duhai kekasih Allah. Salam bagimu, duhai nabi Allah. Salam bagimu duhai pilihan Allah.. Salam untukmu, wahai yang paling utama di antara makhluk Allah.. Salam untukmu, wahai kecintaan Allah. Salam bagimu, wahai penghulu para utusan Allah. Salam untukmu, wahai utusan Tuhan semesta alam. Salam bagimu, duhai pemimpin para pembela kebenaran. Salam untukmu dan anggota keluargamu yang Allah telah menghapus dosa mereka dan menyucikan mereka sesuci-sucinya. Salam untukmu dan untuk para sahabatmu yang baik-baik, serta istri-istrimu wanita-wanita suci dan ibu-ibu bagi kaum mukmin.

“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa engkau adalah hamba serta utusan-Nya; dan orang kepercayaan-Nya dan pilihan-Nya di antara makhluk-Nya. Dan aku bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah,dan senantiasa tulus ikhlas kepada ummah. Dan bahwa engkau telah berjihad di jalan Allah, dengan sebaik-baik jihad.

“Maka atas semuanya itu, semoga Allah bershalawat dan melimpahkan rahmat, kedamaian, kemuliaan, serta keagungan atas dirimu dan seluruh anggota keluargamu yang baik, untuk selama-lamanya....”
(Sumber: Percakapan Imam Ali Zainal Abidin as dengan Al-Syibli dalam Kitab Al-Hajj: Ibâdah wa Tarbiyah.) []

Banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka telah tertipu oleh sangkaan sendiri. Betapa sering kita menyangka bahwa kita adalah orang yang terbaik di antara kawan-kawan kita atau di antara lingkungan keluarga kita dalam hal amal ibadah atau dalam hal lainnya. Padahal sangkaan kita itu sering menipu dan menjatuhkan kita ke derajat yang terendah. Al-Quran meng-gambarkan sangkaan ini seperti orang yang melihat fatamorgana di tengah padang pasir. Kita melihat fatamorgana yang kita sangka sebuah oase. Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat  sebaik-baiknya. (QS. Al-Kahfi: 103-104)

Orang Yang Menyangka Dirinya Alim
Salah satu dari mereka yang tertipu oleh sangkaan sendiri adalah orang yang menyangka atau merasa dirinya alim (pandai), padahal sesungguhnya dia adalah orang yang paling bodoh dan jahil. Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa yang berkata: Aku ini alim, maka sebenarnya dia itu bodoh.” (Bihârul Anwâr 2: 110)

Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi Musa as pernah diperintahkan Allah swt untuk belajar kepada Nabi Khidir as. Suatu saat, Musa as pernah berpidato di hadapan Bani Israil. Seseorang bertanya kepada beliau, ”Ayyun nâsi a’lamu? Siapakah orang yang paling pandai? Musa menjawab, ”Ana a’lamu. Akulah yang paling pandai.” Karena jawabannya itu, Allah swt menegur Nabi Musa as, ”Ada seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang lebih berilmu daripadamu. Sekarang dia berada di antara pertemuan dua laut.” Lalu terjadilah kisah Nabi Musa berguru kepada Khidir seperti yang diabadikan dalam Al-Quran. (Shahîh Muslim: Kisah Beberapa Rasul)

Seorang sufi besar dari Mesir, Ibnu ‘Athaillah, mengatakan dalam kitabnya Al-Hikam, ”Seorang mukmin jika dipuji, maka ia malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yang tidak ada pada dirinya.” (Al-Hikam, hikmah ke-143/154).

Sangkaan-sangkaan yang baik tentang diri kita seringkali menipu dan menjerumuskan kita kepada kecongkakkan yang tiada kita sadari. Betapa seringnya kita menyangka bahwa kita telah banyak bersedekah, salat tahajud, atau kita menyangka bahwa kita telah tawadhu atau termasuk orang-orang yang rendah hati. Banyak lagi sangkaan-sangkaan baik menipu diri kita sendiri, padahal tanpa kita sadari kita sudah menjadi orang yang tercela. Na’udzubillâh.

Hal ini semua disebabkan kita tidak mengembalikan segala kebaikan yang kita peroleh itu kepada Sang Pemberi karunia; yaitu Allah swt.

Al-Quran berkisah tentang Qarun, seorang hartawan yang sukses pada masa Nabi Musa as. Qarun berkata, ”Sesungguhnya aku hanya diberi harta karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78). Tidak lama setelah itu sangkaan dan kesombongan Qarun menyebab-kan dia terbenam dan terhimpit bumi selama-lamanya. Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. (QS. Al-Qashash: 81)

Sebaliknya Al-Quran juga menceritakan Nabi Sulaiman as, yang tak ada seorang pun yang bisa menyamai kekayaannya. Al-Quran menyebutkan: Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana (Ratu Bilqis) itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, “Hâdza min fadhli rabbi. Ini termasuk karunia Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkarinya “ (QS. Al-Naml: 40)

Orang Yang Menyangka Dirinya Tawadhu
Orang seringkali tertipu dengan amal-amal ibadahnya sendiri; karena sangkaannya sendiri. Seperti orang yang menyangka (baca: merasa) dirinya sudah bersikap tawadhu kepada manusia lainnya. Padahal perasaan dan sangka-annya itu telah berubah menjadi ‘ujub yang sangat samar. Dalam hal ini pun Ibnu ‘Athaillah berkata, ”Barangsiapa yang merasa rendah hati (tawadhu), berarti ia benar-benar sombong. Sebab tidak mungkin seseorang itu merasa tawadhu kecuali ia merasa besar atau tinggi. Karena itu jika kalian menetapkan bahwa dirimu itu benar, maka kalian benar-benar sombong. Apabila kalian menetapkan diri bertawadhu padahal dirimu seorang besar dan tinggi, maka itu berarti dirimu benar-benar telah menjadi orang yang mutakabbir. Orang yang tawadhu bukanlah orang yang ketika bertawadhu merasa bahwa dirinya telah merendahkan diri. Tetapi seorang yang tawadhu adalah orang yang bila berbuat sesuatu merasa dirinya belum layak mendapatkan kedudukan itu.” (Al-Hikam, hikmah 238-239)

Dikisahkan dalam kitab Durud-i-Qasimi, Imam Ali kw menerima seorang berandal yang telah bertaubat untuk menjadi muridnya. Belum lama murid itu belajar, Imam Ali berkata kepada murid-muridnya yang lain, ”Orang ini akan menjadi manusia suci sesudah ia meninggalkan tempat ini, dan kekuatannya tidak akan ada yang menandingi.” Imam Ali lalu meletakkan tangan kanannya di atas kepala murid barunya itu. Murid-murid yang lain saling bertanya di antara mereka sendiri; mengapa mereka tidak mendapat restu seperti murid baru itu sehingga dalam sesaat mereka juga dapat memperoleh barakah dari sang Imam.

Imam Ali mengetahui kegelisahan murid-muridnya. Beliau berkata, ”Orang ini memiliki kerendahan hati dan karenanya aku dapat mengalirkan barakah ke dalam dirinya. Kegagalan kalian untuk berendah hati telah mempersulit kalian untuk menerima barakah, karena kalian menutup diri kalian. Jika kalian menghendaki bukti akan keangkuhan kalian, dengarkanlah apa yang akan kusampaikan ini: Orang yang rendah hati ini menganggap dirinya tidak dapat belajar tanpa jerih payah yang berat dan waktu yang lama. Akibatnya ia dapat dengan mudah dan cepat belajar. Orang yang angkuh menganggap dirinya sudah layak menerima barakah, padahal dirinya mungkin belum pantas untuk menerimanya. Memang menyedihkan menjadi manusia yang belum layak menerima barakah. Namun yang lebih menyedihkan lagi adalah manusia yang merasa bahwa ia adalah manusia yang rendah hati dan tulus, padahal kenyataannya tidak demikian. Tetapi yang paling menyedihkan dari semua itu adalah manusia yang tidak memikirkan sesuatu hal pun sampai-sampai apabila ia melihat orang lain, ia merasa dirinya jauh lebih unggul sehingga perbuatannya tidak terkendalikan lagi.” (Idries Shah, The Thinkers of The East).

No comments:

Post a Comment