Wednesday, August 3, 2011

TAAT KEPADA ULIL AMRI




Surat An Nisa': 59
 
Ulil amri adalah para Imam dari Ahlul bait (as)
يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا الرَّسولَ وَ أُولى الأَمْرِ مِنكمْ

Yang dimaksud “Ulil-amri” dalam ayat ini adalah Ali bin Abi Thalib (as) dan Ahlul bait Nabi saw.

Dalam Tafsir Al-Burhan tentang ayat ini disebutkan suatu riwayat yang bersumber dari Jabir Al-Anshari (ra), ia berkata: Ketika Allah menurunkan ayat ini aku bertanya: Ya Rasulallah, kami telah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, tetapi siapakah yang dimaksud dengan Ulil-amri yang ketaatannya kepada mereka Allah kaitkan dengan ketaatan kepada-Nya dan Rasul-Nya? Rasulullah saw menjawab:

Wahai Jabir, mereka itu adalah para penggantiku: Pertama, Ali bin Abi Thalib, kemudian Al-Hasan, kemudian Al-Husein, kemudian Ali bin Al-Husein, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Muhammad bin Ali yang dalam Taurat gelarnya masyhur Al-Baqir. Wahai Jabir, kamu akan menjumpai dia, sampaikan salamku kepadanya. Kemudian Ash-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Al-Hasan bin Muhammad, kemudian dua nama Muhammad dan yang punya dua gelar Hujjatullah di bumi-Nya dan Baqiyatullah bagi hamba-hamba-Nya yaitu Ibnul Hasan, dialah yang Allah perkenalkan sebutan namanya di seluruh belahan bumi bagian barat dan timur, dialah yang ghaib dari para pengikutnya dan kekasihnya, yang keghaibannya menggoyahkan keimamahannya kecuali bagi orang-orang yang Allah kokohkan keimanan dalam hatinya.”

Ringkasan Kritik Allamah Thabathaba’i terhadap Fakhrur Razi

Fakhrur Razi mengatakan: Pembatasan kata Ulil-amri dengan kata minkum menunjukkan salah seorang dari mereka yakni manusia biasa seperti kita, yaitu orang yang beriman yang tidak mempunyai keistimewaan Ishmah Ilahiyah (jaminan kesucian dari Allah). Yang perlu diragukan adalah pendapat yang mengatakan: Mereka (Ulil-amri) adalah satu kesatuan pemimpin, yang ketaatan kepada masing-masing mereka hukumnya wajib.

Ar-Razi lupa bahwa makna ini sudah masyhur digunakan dalam bahasa Al-Qur’an, misalnya: “janganlah kamu mentaati orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah)” (Al-Qalam: 8), “Janganlah kamu mentaati orang-orang kafir.” (Al-Furqan: 52), dan ayat-ayat yang lain dalam bentuknya yang bermacam-macam: kalimat positif, kalimat negatif, kalimat berita, kalimat perintah dan larangan.

Ringkasan Kritik Allamah Thabathaba’i terhadap Tafsir Al-Manar

Syeikh Rasyid Ridha mengatakan: Ulil-amri adalah Ahlul hilli wal-Aqdi yaitu orang-orang yang mendapat kepercayaan ummat. Mereka itu bisa terdiri dari ulama, panglima perang, dan para pemimpin kemaslatan umum seperti pemimpin perdagangan, perindustrian, pertanian. Termasuk juga para pemimpin buruh, partai, para pemimpin redaksi surat kabar yang Islami dan para pelopor kemerdekaan.

Inikah maksud dari Ulil-amri? Pendapat ini dan yang punya pandangan seperti ini telah menutupi makna Al-Qur’an yang sempurna dengan makna yang tidak jelas. Ayat ini mengandung makna yang jelas yaitu Ismah Ilahiyah (jaminan kesucian dari Allah) bagi Ulil-amri. Karena ketaatan kepada Ulil-amri bersifat mutlak, dikaitkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Apakah yang mempunyai sifat kesucian (‘ishmah) adalah para pemimpin lembaga-lembaga itu sehingga mereka dikatagorikan sebagai orang-orang yang ma’shum? Yang jelas tidak pernah terjadi para Ahlul hilli wal-‘Iqdi yang mengatur urusan ummat, mereka semuanya ma’shum. Mustahil Allah swt memerintahkan sesuatu yang penting tanpa mishdaq (ekstensi) yang jelas. Dan mustahil sifat ‘ishmah dimiliki oleh lembaga yang orang-orangnya tidak ma’shum, bahkan yang sangat memungkinkan mereka berbuat kezaliman dan kemaksiatan. Pendapat mereka ini jelas salah dan mengajak pada kesesatan dan kemaksiatan. Mungkinkah Allah mewajibkan kita taat kepada orang-orang seperti mereka?


Pendapat Ahlul Bait (as)
Ulil-amri adalah Ali bin Abi Thalib dan para Imam suci (as).
Dalam Tafsir Al-‘Ayyasyi tetang ayat ini menyebutkan bahwa:
Imam Muhammad Al-Baqir (as) berkata tentang ayat ini: “Mereka itu adalah para washi Nabi saw.”

Tentang ayat ini Imam Ja’far Ash-Shadiq (as) berkata: “Mereka adalah para Imam dari Ahlul bait Rasulullah saw.”

Tentang ayat ini Imam Muhammad Al-Baqir (as) berkata: “Mereka adalah para Imam dari keturunan Ali dan Fatimah hingga hari kiamat.”

Dalam kitab Yanabi’ul Mawaddah disebutkan suatu riwayat dari Salim bin Qais Al-Hilali, ia berkata bahwa Imam Ali bin Abi Thalib (as) berkata: “Yang paling dekat bagi seorang hamba terhadap kesesatan adalah ia yang tidak mengenal Hujjatullah Tabaraka wa Ta’ala. Karena Allah telah menjadikannya sebagai hujjah bagi hamba-hamba-Nya, dia adalah orang yang kepadanya Allah perintahkan hamba-hamba-Nya untuk mentaatinya dan mewajibkan untuk berwilayah kepadanya.

Salim berkata: Wahai Amirul mukmin, jelaskan kepadaku tentang mereka (Ulil-amri) itu.

Amirul mukminin (as) berkata: “Mereka adalah orang-orang yang ketaataannya kepada mereka Allah kaitkan pada diri-Nya dan Nabi-Nya.” Kemudian ia berkata: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, Rasul-Nya, dan kepada Ulil-amri kalian.”

Salim bin Qais berkata: Wahai Amirul mukminin, jadikan aku tebusanmu, jelaskan lagi kepadaku tentang mereka itu.
Amirul mukminin (as) berkata: “Mereka adalah orang-orang yang oleh Rasulullah saw disampaikan di berbagai tempat dalam sabda dan khutbahnya, Rasulullah saw bersabda: ‘Sungguh aku tinggalkan pada kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak akan tersesat sesudahku: Kitab Allah dan ‘itrahku, Ahlul baitku’.”

Riwayat hadis ini dan yang semakna dengan hadis tersebut terdapat dalam:

1. Tafsir Ad-Durrul Mantsur tentang ayat ini.
2. Tafsir Ath-Thabari tentang ayat ini.
3. Tafsir Fakhrur Razi, jilid 3 halaman 357, tentang ayat ini.
4. Yanabi’ul Mawaddah, oleh Syaikh Sulaiman Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 134, cet. Al-Haidariyah; halaman 114 dan 117, cet. Islambul.
5. Syawahidut Tanzil, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi, jilid 1, halaman 148, hadis ke 202, 203 dan 204.
6. Ihqaqul Haqq, oleh At-Tustari, jilid 3, halaman 424, cet. pertama, Teheran.
7. Faraid As-Samthin, jilid 1, halaman 314, hadis ke 250.
Dipetik dari blog Syamsuri Rifai

No comments:

Post a Comment