16 09 2010
Beberapa
hari yang lalu saya membuka arsip sebuah milis tempat saya berdiskusi. Hal ini
bermula karena pekan lalu sebelum Idul Fitri, email saya tiadk bisa dibuka,
bahkan ada yang memakainya tanpa saya ketahui. Jadi, tiga hari kemarin saya
bikin beberapa email baru. Kemudian pada Rabu kemarin, dicoba lagi dan
dimasukkan beberapa kali paswordnya, alhamdulillah terbuka lagi.
Nah,
pada arsip milis itu saya mencari komentar tanggapan pada postingan saya yang
lama. Ternyata, pada postingan studi kritis sirah nabawiyah, banyak muncul
tanggapan. Ustadz Jalaluddin Rakhmat pun memberikan komentar atas beberapa
komentar postingan yang dalam tulisan itu saya menyebut-menybut beliau.
Kemudian ditanggapi oleh mereka yang kurang suka pada pendapat Ustadz
Jalaluddin Rakhmat, khususnya tentang metode studi kritis untuk sejarah Nabi
Muhammad saw.
Pada postingan
itu, saya sedikit meresensi studi kritis versi Jalaluddin Rakhmat yang tertuang
dalam buku “Al-Mushthafa” yang diterbitkan oleh salah satu penerbit di Bandung.
Dala buku tersebut, Ustadz Jalal—penggilan saya untuk Prof. Dr.Jalaluddin
Rakhmat—secara khusus menulis kritik terhadap hadits-hadits yang dijadikan
bahan penulisan Sirah Nabawiyah dan hal-hal yang berkaitan dengan sosok
Muhammad dan nubuwwah Rasulullah saw.
Menurut
Ustadz Jalal, sejarah Nabi Muhammad saw yang sampai kepada umat Islam sekarang
sudah tidak shahih karena ditulis sesuai dengan kepentingan penguasa. Setelah
Rasulullah saw wafat dan sejak berkuasanya Dinasti Umayyah, banyak hadits yang
dibuat-buat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk memuliakan dan
mengagungkan penguasa serta mengunggulkan mazhabnya. Karena itu, untuk
memperoleh sejarah Nabi saw yang benar (shahih) harus memisahkan fakta dari
fiksi dan memilah kebenaran dari berbagai dusta yang dinisbatkan kepada
Muhammad saw.
Metode
Studi Kritis
Dalam
upaya menguji kebenaran sejarah Nabi Muhammad saw, Ustadz Jalal menggunakan
tiga tahap (yang saya sebut metode studi kritis versi Jalaluddin Rakhmat).
Pertama, mengujinya dengan doktrin al-Quran bahwa Muhammad saw
adalah teladan yang baik dan berakhlak mulia. Karena itu, Ustadz Jalal menolak
hadits atau fakta sejarah yang menggambarkan Nabi Muhammad saw pernah keliru
dan tidak mengetahui bahwa dirinya seorang Nabi.
Begitu
pun tentang peristiwa mendapatkan wahyu yang sampai membuat Muhammad saw
ketakutan dan lari kemudian berlindung kepada istrinya (Khadijah) atau
bertelanjang dada, bermesraan di depan umum, hendak bunuh diri dan lainnya,
oleh Ustadz Jalal ditolak kebenarannya karena telah merendahkan derajat Nabi
Muhammad saw. Sangat tidak mungkin manusia yang disebut berakhlak al-quran
melakuk perilaku tidak terpuji dan seperti orang bodoh.
Kedua, mempertemukan riwayat Nabi Muhammad saw dengan pesan Allah
dalam al-Quran. Jika hadits atau sunah itu sesuai dengan al-Quran maka bisa
diterima. Apabila tidak, wajib ditolak.
Ketiga, mengujinya dengan kritik sanad (orang yang mengabarkan)
dan matan hadits
(isi/materi) dengan tambahan analisa aliran politik dari periwayat hadits.
(isi/materi) dengan tambahan analisa aliran politik dari periwayat hadits.
Tahapan
studi kritis yang dikemukakan Ustadz Jalal dalam buku “Al-Mushthafa” yang
dipraktikan juga dalam buku tersebut untuk menganalisa beberapa hadits, saya
sebut metode kritik sejarah versi Jalaluddin Rakhmat, khususnya untuk kajian
Sirah Nabawiyah.
Kemudian
muncul beberapa tanggapan, termasuk Ustadz Jalal yang menanggapi komentar atas
postingan saya. Memang ada yang menolak metode tersebut. Alasannya: bukan soal
ilmiah tidaknya, tetapi lebih melihat mazhab yang melekat pada sosok Ustadz
Jalal.
Saya
sendiri pada waktu munculnya tanggapan dari mereka tidak mengetahui karena
email saya tidak bisa dibuka. Baru tahu ketika email tersebut bisa diaktifkan
lagi dan sudah tidak panas lagi.
16 09 2010
Memurnikan
Ajaran Islam
Dari
berbagai komentar, yang menarik adalah yang disampaikan oleh Oman Abdurahman.
Kang Oman menulis:
“Untuk
sejarah Sirah Nabawiyyah saya setuju dengan metode Kang Jalal yang ternyata
cukup ampuh. Banyak pertanyaan sekitar muatan hadist yang saya rasakan
mengganggu dapat terpecahkan dengan solusi hasil dari metode tersebut.
“Selain
dari itu, metode tersebut membuat kita lebih kritis dan mengantarkan pada
temuan-temuan yang terkadang mencengangkan, di samping juga lebih memurnikan
ajaran Islam dari takhayul, mitos, dan rekaan-rekaan.
“Asumsi
bahwa Nabi Muhammad saw sebagai uswatun hasanah sangat ampuh dalam menjawab
keraguan-raguan terhadap muatan beberapa hadist yang dikenal selama ini.
Sebagai contoh, hadist tentang cara menanam kurma yang mashur sebagai asal-usul
atau asbabun nujul hadist yang terkenal “Antum ‘alamu bi umuri dunyaukum” yang
membawa konsekuensi pemisahan antara urusan dunia dengan urusan akhirat, dengan
metode studi kritis atas hadist (Sirah Nabawiyah) patut dipertanyakan kembali.
Masa Rasulullah saw yang mulia yang dalam kehidupan sehari-harinya aktif dalam
urusan sosial dan urusan hidup sehari-hari (berdagang, ikut berperang sejak
kecil mempertahankan kabilah) tidak mengenal cara menama kurma? Akan sangat
mengurangi kemuliaannya apabila seorang Rasul penutup para utusan Allah tidak
sadar akan ucapannya yang sangat besar implikasinya itu.
“Demikian
pula hadist tentang asababun nuzul turunnya surah Al Falaq dan An Naas yang
bertentangan dengan tingkat kesadaran spiritual Nabi saw (sehingga tidak
mungkin seorang Nabi saw terkena sihir. Bila hendak menjadikan surah tersebut
untuk mencegah sihir dan sejenisnya, Alloh tidak perlu merendahkan derajat Nabi
saw – sampai harus terkena sihir segala macam- sebagai asbabun nuzulnya).
Banyak lagi peristiwa yang diberitakan sejumlah hadist yang patut kita kritisi.
Semua itu tidak bermakna kita harus menjadi atau mendapat label sebagai ‘inkar
sunnah’.
Komentar
Kang Oman tersebut mengingatkan saya pada sesepuh Jawa Barat Tjetje Hidayat
Padmadinata dalam acara diskusi buku “Api Sejarah” di Redaksi Pikiran Rakyat
Bandung. Tjetje Hidayat Padmadinata menerangkan, sekarang ini era reformasi
sehingga setiap orang bebas untuk berpendapat dan menyampaikan pemikirannya
asal berdasarkan dalil yang jelas. Mungkin dalam hal ini didasarkan pada kajian
ilmiah yang kebenarannya menjadi standar dunia. Karena itu, label “inkar
sunnah” bagi yang mengkritisi sunnah Nabi atau sirah nabawiyah tidak perlu
dihiraukan.
Saya
kira munculnya label “inkar sunnah” lahir dari mereka yang tidak mampu untuk
“bertarung” secara ilmiah dalam membuktikan kebenarannya.
Abdul
Karim Souroush
Saya
juga jadi teringat pada Abdul Karim Souroush bahwa pemahaman agama oleh
sebagian umat Islam telah dijadikan sakral dan yang sakral berupa “nash-nash”
malah ditinggalkan. Dari hal inilah tampaknya kita perlu membedakan antara
agama sebagai kebenaran dan agama sebagai identitas yang lahir dari berbagai
tafsir atau pemahaman dari “nash” agama.
Saya
kira Kang Oman lebih tahu tentang sejarah munculnya aliran yang disebut inkar
sunnah di Indonesia kemudian merebak di Malaysia. Pada kajian kali ini, aliran
tersebut, saya yakin tidak akan disematkan oleh jamaah yang cerdas dan
tercerahkan pada mereka yang bersikap kritis dan hendak ‘membersihkan’ berbagai
kotoran yang menodai sosok Baginda Al-Mushthafa Nabi Muhammad saw.
18 03 2011
Oleh AHMAD SAHIDIN
Studi
kritis historis
Dalam
tanya jawab, ada penanya yang cukup menggelitik yang bertanya tentang
pengertian sahabat yang sebenarnya dan alat uji untuk membuktikan kebenaran
hadis juga sirah nabawiyyah.
Ustadz
Jalal menjawab bahwa ada tiga penjelasan tentang mana yang termasuk sahabat
nabi dan bukan sahabat.
Pertama,
lihat al-quran yang membagi dua sahabat, termasuk ciri-cirinya: ashabul jannah
wa ashabunnar. Kedua, nanti di akhirat. Dalam riwayat disebutkan bahwa nanti
Rasulullah saw menantikan kedatangan para sahabatnya di telaga alkautsar dan
akan terpisahkan antara sahabat yang benar-benar setia dan mengikuti ajaran
Rasulullah dengan sahabat yang menyalahi sunnah Nabi atau mereka yang mengubah-ubah
ajaran Islam setelah wafat Nabi Muhammad saw. Ketiga—yang ini mungkin termasuk
promosi—buka buku The Road to Muhammad (diterbitkan Mizan).
“Dalam
buku saya ini, Anda akan mengetahui siapa saja sahabat yang termasuk lulusan
madrasah Rasulullah saw. Juga akan mengetahui kualitas dan ciri dari para
sahabat Nabi yang sebenarnya,” jawab Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait
Indonesia.
Adapun
mengenai alat uji kesahihan hadis dan sirah nabawiyyah, Ustadz Jalal
menyarankan untuk membaca bukunya yang berjudul Al-Mushthafa: Manusia
Pilihan yang Disucikan (diterbitkan Simbiosa) yang di dalamnya membahas
kajian kritis terhadap hadis dan riwayat yang berkaitan dengan Nabi Muhammad
saw, termasuk metodologi studi kritis historis.
“Kalau
Anda tak mau susah-susah meneliti seperti Pak Fuad, cukup melihat al-quran dan
gunakan akal sehat. Apabila Anda menemukan hadis yang walaupun diriwayatkan
Bukhari atau Muslim, bertentangan dengan al-quran, tolaklah. Begitu juga jika
terdapat hadis yang tidak dapat diterima akal, yang merendahkan derajat dan
kemuliaan Nabi maka wajib ditolak,” pesan Ustadz Jalal yang diakhiri dengan
menyebutkan contoh riwayat Bukhari .
Dikisahkan
Nabi mendatangi rumah istri seorang sahabat tanpa ada sahabat tersebut.
Kemudian kepala Nabi bersandar pada pangkuan istri yang bukan muhrim tersebut
dan diseliksik—mencari kutu—selanjutnya terbangun dengan wajah ceria.
Ustadz
Jalal menjelaskan bahwa hadis tersebut harus ditolak karena telah menunjukkan
perbuatan Nabi yang tidak mengetahui aturan-aturan Islam dalam bertamu.
“Mendatangi
perempuan yang bukan istrinya dan tidur dipangkuan istri orang, bukan termasuk
akhlak Nabi. Begitu pun kepala Nabi berkutu, menunjukkan Nabi tidak menjaga
kebersihan. Al-Quran menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw berakhlak mulia,
terpuji, bersih, dan suci. Jelas hadis tersebut bertentangan dengan informasi
al-quran. Karena itu, jika menemukan hadis-hadis atau berita sejarah Nabi yang
merendahkan kemuliaan Rasulullah saw perlu dikaji secara kritis, atau langsung
tolak,” ungkap Ustadz Jalal mengakhiri pembicaraannya.
Ngaler
ngidul…
Setelah
mengikuti Diskusi Buku SAHABAT NABI karya Fuad Jabali, saya tidak langsung
kembali ke tempat beraktivitas. Saya bersama kawan lama yang kini menjadi dosen
berbincang agak lama tentang perkembangan kajian keislaman dan kesejarahan di
jurusan tempat dahulu saya menimba ilmu.
Setelah
berpamitan pulang, masih dalam kawasan kampus, saya bertemu kawan yang pernah
sama-sama aktif dalam organisasi internal kampus. Ia mengajak saya ke
pascasarjana untuk mengikuti kuliah cultural studies yang disampaikan Bambang
Q. Anees. Mungkin karena lama tak bertemu, saya mengiyakannya. Mendengar kuliah
cultural studies mengingatkan saya kembali pada masa-masa kuliah yang kalau tak
ada kuliah, seharian baca buku-buku budaya dan sejarah di perpustakaan UIN
Bandung yang kini raib dan rata untuk dibangun gedung baru.
Sambil
menunggu hujan reda… saya dan kawan, mulai ngaler ngidul. Ngomongin dari soal
agama, diskusi buku Sahabat Nabi, sampai urusan keluarga. Hujan sedikit reda…
telepon genggam saya berdering.
“Assalamu’alaikum….
Bah, geura uih jemput Ambu,” kata istri yang menandakan saatnya berpisah dengan
kawan dan kampus.
cag ah….
wassalam
No comments:
Post a Comment