Tuesday, October 11, 2011

Studi Kritis Sirah Nabawiyah versi Jalaluddin Rakhmat (2)


16 09 2010
Memurnikan Ajaran Islam
Dari berbagai komentar, yang menarik adalah yang disampaikan oleh Oman Abdurahman. Kang Oman menulis:
“Untuk sejarah Sirah Nabawiyyah saya setuju dengan metode Kang Jalal yang ternyata cukup ampuh. Banyak pertanyaan sekitar muatan hadist yang saya rasakan mengganggu dapat terpecahkan dengan solusi hasil dari metode tersebut. 

“Selain dari itu, metode tersebut membuat kita lebih kritis dan mengantarkan pada temuan-temuan yang terkadang mencengangkan, di samping juga lebih memurnikan ajaran Islam dari takhayul, mitos, dan rekaan-rekaan.

“Asumsi bahwa Nabi Muhammad saw sebagai uswatun hasanah sangat ampuh dalam menjawab keraguan-raguan terhadap muatan beberapa hadist yang dikenal selama ini. Sebagai contoh, hadist tentang cara menanam kurma yang mashur sebagai asal-usul atau asbabun nujul hadist yang terkenal “Antum ‘alamu bi umuri dunyaukum” yang membawa konsekuensi pemisahan antara urusan dunia dengan urusan akhirat, dengan metode studi kritis atas hadist (Sirah Nabawiyah) patut dipertanyakan kembali. Masa Rasulullah saw yang mulia yang dalam kehidupan sehari-harinya aktif dalam urusan sosial dan urusan hidup sehari-hari (berdagang, ikut berperang sejak kecil mempertahankan kabilah) tidak mengenal cara menama kurma? Akan sangat mengurangi kemuliaannya apabila seorang Rasul penutup para utusan Allah tidak sadar akan ucapannya yang sangat besar implikasinya itu.

“Demikian pula hadist tentang asababun nuzul turunnya surah Al Falaq dan An Naas yang bertentangan dengan tingkat kesadaran spiritual Nabi saw (sehingga tidak mungkin seorang Nabi saw terkena sihir. Bila hendak menjadikan surah tersebut untuk mencegah sihir dan sejenisnya, Alloh tidak perlu merendahkan derajat Nabi saw – sampai harus terkena sihir segala macam- sebagai asbabun nuzulnya). Banyak lagi peristiwa yang diberitakan sejumlah hadist yang patut kita kritisi. Semua itu tidak bermakna kita harus menjadi atau mendapat label sebagai ‘inkar sunnah’.

Komentar Kang Oman tersebut mengingatkan saya pada sesepuh Jawa Barat Tjetje Hidayat Padmadinata dalam acara diskusi buku “Api Sejarah” di Redaksi Pikiran Rakyat Bandung. Tjetje Hidayat Padmadinata menerangkan, sekarang ini era reformasi sehingga setiap orang bebas untuk berpendapat dan menyampaikan pemikirannya asal berdasarkan dalil yang jelas. Mungkin dalam hal ini didasarkan pada kajian ilmiah yang kebenarannya menjadi standar dunia. Karena itu, label “inkar sunnah” bagi yang mengkritisi sunnah Nabi atau sirah nabawiyah tidak perlu dihiraukan. 

Saya kira munculnya label “inkar sunnah” lahir dari mereka yang tidak mampu untuk “bertarung” secara ilmiah dalam membuktikan kebenarannya.


Abdul Karim Souroush
Saya juga jadi teringat pada Abdul Karim Souroush bahwa pemahaman agama oleh sebagian umat Islam telah dijadikan sakral dan yang sakral berupa “nash-nash” malah ditinggalkan. Dari hal inilah tampaknya kita perlu membedakan antara agama sebagai kebenaran dan agama sebagai identitas yang lahir dari berbagai tafsir atau pemahaman dari “nash” agama.

Saya kira Kang Oman lebih tahu tentang sejarah munculnya aliran yang disebut inkar sunnah di Indonesia kemudian merebak di Malaysia. Pada kajian kali ini, aliran tersebut, saya yakin tidak akan disematkan oleh jamaah yang cerdas dan tercerahkan pada mereka yang bersikap kritis dan hendak ‘membersihkan’ berbagai kotoran yang menodai sosok Baginda Al-Mushthafa Nabi Muhammad saw.

No comments:

Post a Comment