by pengagum
SAYA sudah lama tidak bertemu dengan Kang Jalal–sapaan akrab KH. Jalaluddin Rakhmat. Mungkin sudah sekitar empat-lima tahun tidak bertatap muka. Hanya beberapa kali bicara lewat telepon atau berkirim pesan lewat SMS. Ketika saya menghadapi sebuah masalah berat beberapa waktu lalu, Kang Jalal memberi nasihat pendek: “Selamat. Kepada manusia setiap saat ditawarkan dua hal: hati dan perut. Penyembah Allah memilih hati, penyembah setan memilih perut”.
Saya sebetulnya malu dengan nasihat tersebut. Meskipun saya berusaha keras untuk tidak menjadi penyembah setan, tetapi saya bukanlah penyembah Allah yang baik.
Saya hanya seorang awam yang ibadahnya masih saja bersandar pada perhitungan surga dan neraka. Juga sangat ekonomis: berdoa sesedikit mungkin, berharap dikabulkan sebanyak-banyaknya. Bahkan saya bertanya berulangkali, mana sebenaranya yang selama ini menjadi prioritas dalam hidup saya: ajakan perut atau bisikan hati?
Di mata Kang Jalal mungkin saya bukan apa-apa, bukan murid yang baik dan cerdas dalam majelisnya. Saya hanya seorang mahasiswanya di Fikom Unpad. Itu juga hanya
beberapa kali pertemuan saja dalam mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi.
Meski demikian, saya tetap merasa banyak berhutang budi kepadanya terutama dalam hal pembentukan sikap keberagamaan.
Pada tahun 1985, tidak lama setelah pulang dari studinya di Amerika Serikat, Kang Jalal melakukan kegiatan ceramah dari masjid ke masjid, forum-forum kajian mahasiswa, dan di mesjid belakang rumahnya di Jln. Kampus kawasan Kiaracondong Bandung setiap Ahad pagi. Dalam kesempatan-kesempatan seperti itulah, saya mendapatkan banyak pelajaran baru dalam beragama.
Ceramah “rekayasa sosial”nya yang dilakukan secara berpindah-pindah tempat, mengingatkan kita pada pola ceramah yang dilakukan cendekiawan Iran, Ali Syari’ati. Tidak mengherankan memang, karena tokoh yang kemudian syahid karena berondongan peluru agen rahasia SAVAK Iran itu, merupakan salah satu figur yang dikagumi Kang Jalal. Sebagian orang menyebut Kang Jalal sebagai Ali Syari’ati-nya Indonesia.
Tetapi kata kunci Iran, telah menempatkan Kang Jalal pada posisi tertentu yang dianggap mayoritas kaum muslimin, sebagai melawan arus. Kecintaannya kepada Ahlul Bait Nabi –antara lain Muhammad SAW, Imam Ali, Fatimah Az-Zahra, Imam Hasan dan Imam Husein- telah memperkuat tuduhan orang bahwa Kang Jalal adalah “agen Syi’ah”. Saat itu memang banyak orang alergi dengan Syi’ah (Ja’fari).
Nama tersebut merupakan salah satu mazhab dalam Islam selain mazhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Keempatnya disebut sebagai mazhab Suni.
Saya dan kawan-kawan pernah menghadiri sebuah acara “pengadilan” Kang Jalal di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar. Pada kesempatan itu Kang Jalal berdialog dengan para tokoh agama yang ada di Kota Bandung. Namun dialog tidak berjalan seperti yang diharapkan, karena memang dari sisi tempat dan pembicara yang hadir tidak mendukung terbangunnya sebuah dialog yang ilmiah.
Bagi saya, yang menarik darinya bukanlah persoalan Syi’ah atau Suni. Namun Kang Jalal telah mengajarkan tentang kesiapan untuk menerima perbedaan dengan orang
yang berlainan pandangan atau mazhab. Inilah yang kemudian sering disebutnya sebagai mazhab ukhuwah (persaudaraan).
“Syi’ah dan Suni lebih banyak persamaan ketimbang perbedaannya. Mari kita bangun ukhuwah dengan persamaan-persamaan itu. Saat ini tidak relevan lagi dikotomi
Suni-Syi’ah,” ujarnya suatu ketika. Pada berbagai kesempatan dia sering mengatakan, “Marilah kita bersepakat dalam hal yang qath’i (pasti, mutlak) dan saling menghargai dalam persoalan yang zhanni (relatif, khilafiyah).”
Saya pikir itulah sikap yang harus dikembangkan kaum Muslimin: menghargai perbedaan. Dengan demikian, sesama Muslim akan menjadi saudara yang saling merangkul, bukan saling memukul. Saya lihat di Masjid Al-Munawarah di belakang rumahnya, para jamaah berinteraksi dalam semangat saling menghargai seperti itu.
Kang Jalal memang mengagumi sejumlah ulama Iran. Termasuk di dalamnya Imam Khomeini dan Murtadha Muthahari. Karena kecintaannya terhadap Muthahari, Kang
Jalal mendirikan Yayasan Muthahari yang membawahi SMP Plus dan SMA Plus Muthahari. Tapi dia dengan tegas membantah jika yayasan itu didirikan untuk “mensyi’ahkan” Indonesia.
Fachry Ali dan Bachtiar Effendy dalam Merambah Jalan Baru Islam menyebut adanya empat corak pemikiran keislaman yang sedang dikembangkan para intelektual Muslim di Indonesia. Salah satunya adalah “universalisme”, yakni gerakan pemikiran Islam yang memandang Islam sebagai ajaran universal. Para pendukung aliran ini adalah Amien Rais, Jalaluddin Rakhmat dan AM Saefuddin. ***
http://entons.multiply.com/journal/item/20
No comments:
Post a Comment