Sunday, June 17, 2012

Kang Jalal tentang Perda Syari’ah


Selasa, 23 November 2010

Dialog dengan kang Jalal, oleh: Addaraquthny At-Tamany
Dialog dengan Kang Jalaluddin Rahmat
Di Masjid Takhobbar (Telkom Ketintang – Surabaya Selatan) ba’da sholat Jumat pada 5 Oktober 2007

Pewawancara: Bagaimana menurut Anda tentang penerapan Syariat Islam di Indonesia? Apakah yang seharusnya diterapkan, syariat Islam atau syariat Islami?

Kang Jalal: Saya diundang oleh Walikotamadya Bandung. Beliau ingin menjadikan Bandung sebagai kota bersyariat Islam. Beliau mengundang saya untuk meminta pendapat saya. Saya menyambut baik adanya Perda Syariat Islam. Akan tetapi dengan catatan, agar menerapkan syariat Islam sebagai rahmat seluruh alam. Kalau aturan syariat Islam yang dimaksud adalah wanita harus mengenakan jilbab, atau pegawai negeri wajib sholat jamaah dan bisa membaca al-Quran, saya tidak setuju. Saya lebih mengusulkan syariat Islam seperti: menyantuni fakir miskin, meningkatkan upah minimum kota/regional, memberi pekerjaan bagi yang belum mendapat pekerjaan.

Kalau ayat tentang kewajiban mengenakan jilbab, saya bisa tunjukkan satu dua ayat. Tapi jika Anda ingin ayat tentang perintah menyantuni fakir miskin, maka saya dapat memberikan ratusan ayat pada Anda.

Dengan syariat Islam menurut pengertian yang kedua inilah, bukan hanya saya saja yang mendukung, saya yakin pemeluk agama lain pun juga akan menudukung. Perda-perda syariat Islam tidak sekaligus jadi. Maka seharusnya penerapan syariat Islam harus bersifat rahmat lil alamin karena akan membawa kedamaian bagi agama-agama lain. Begitu banyak ayat-ayat yang menyuruh kita menyantuni fakir miskin daripada sekedar mengenakan jilbab.

Kalau syariat Islam menurut pengertian yang pertama, sepertinya kita bukan benar-benar menegakkan syariat Islam, tapi hanya ingin tampil beda saja dari agama lain. Coba bayangkan kalau daerah mayoritas Kristen menuntut penegakan syariat Kristen. Atau daerah mayoritas Hindu ingin menegakkan syariat Hindu. Maka dari itu, jangan memperlakukan orang lain semena-mena hanya karena kita ingin tampil beda.

Akhir-akhir ini kita sering mengalami masalah dengan peribadatan haji. Tiap tahun banyak yang ingin pergi haji tapi terbatas kuota. Padahal agama kita mengajarkan agar jika kita mampu, kita wajib melaksanakan haji. Bagaimana menanggapi hal ini? Bagaimana kalau kita perpanjang saja waktu ibadah haji itu sehingga banyak orang berkesempatan melaksanakan ibadah haji.

Allah swt berfirman: يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر (Allah menghendaki kemudahan dan Dia tidak menghendaki kesukaran).

Agama intinya adalah memberi kemudahan. Akan tetapi dalam agama ada unsur yang qath’iyyat yakni yang tidak boleh diganti-ganti termasuk di dalamnya rakaat sholat. Kalau kita pikir-pikir, seharusnya sholat shubuh itu 10 roka’at supaya orang-orang tidak kantuk. Dan seharusnya sholat dhuhur itu cuma satu roka’at karena waktu itu manusia sibuk sekali bekerja. Akan tetapi, agama telah menetapkan dan ini sudah pasti dan tidak bisa diubah-ubah. Memang, dalam agama ada juga peraturan-peraturan yang dinamis. Dan peraturan yang semacam inilah yang dapat diubah-ubah sesuai perkembangan zaman.

Kalau tentang ibadah haji, sebenarnya tidak ada persoalan dalam menyangkut manasik haji. Yang perlu dipikirkan adalah, manajemen ibadah hajinya. Sebab sampai saat ini pelaksanaan ibadah haji sepenuhnya diatur oleh Pelayan Dua Tanah Suci (khodimul haramain). Di Barat sudah ada teori queueing theory (teori mengantri) yakni perhitungan yang dibuat untuk mengatur mengantri. Perhitungan yang rumit ini seharusnya bisa dipakai dalam masalah ibadah haji.

Pewawancara: Anda membagi orang muslim menjadi dua: ahlu adh-dhawahir dan ahlu al-bawathin. Apa maksud keduanya ini?

Kang Jalal: Ada bagian-bagian dari ilmu ajaran Islam yang hanya berhubungan dengan hal-hal lahiriah saja seperti bagaimana cara kita berwudlu, sholat, dll. Ini dikenal dengan istilah fiqh. Orang-orang yang menekuni hal-hal yang lahiriah inilah yang disebut ahli dhawahir. Sedangkan ada juga dalam ajaran agama ini yang bersifat bathiniah. Orang-orang yang menekuni hal-hal yang bersifat bathiniyah inilah yang disebut bawathin. Orang-orang dhahiriyah berpegang teguh pada teks-teks. Misalnya, dalam hal memanjangkan jenggot. Orang-orang dhawahir menilai memelihara jenggot sebagai hal yang sunnah karena rasulullah saw juga memanjangkan jenggot. Mereka tidak melihat aspek memelihara keindahan. Demikian pula dalam kasus bersiwak. Mereka memandang aspek bersiwak sebagai aspek yang disunnahkan, bukan menggosok giginya. Jadi, menurut kalangan dawahir, yang sunnah bukan menggosok gigi melainkan menggunakan siwak. Dan masih banyak lagi contohnya.

Sementara ahli bawathin meninjau aspek bathiniyahnya misalnya dalam kasus-kasus di atas. Orang-orang bawathin memandang aspek menjaga keindahan tubuh dalam hadits tentang rasulullah memanjangkan jenggotnya. Mereka juga memandang kesunnahan menggosok gigi dalam hadits tentang rasulullah yang selalu menggunakan siwak saat menggosok gigi. Akan tetapi kita tidak bisa secara langsung menghakimi seseorang apakah ia termasuk ahli dhawahir atau bawathin. Sebenarnya permasalahannya demikian rumit. Saya (Kang Jalal) sendiri mengakui saya termasuk kalangan ahli dhawahir karena saya setuju dengan penerapan syariat Islam.

Tentang Zakat

Dikelola bagaimanapun, zakat tidak akan mengeluarkan manusia dari kemiskinan. Kemiskinan adalah dikarenakan kekeliruan kebijakan ekonomi. Mereka orang-orang miskin adalah korban dari sistem kapitalis yang memenangkan orang-orang yang bermodal besar. Sementara para pemodal dengkul atau tidak punya modal sama sekali menjadi tersisihkan. Maka satu-satunya cara mengentaskan kemiskinan adalah dengan membuat kebijakan ekonomi yang memihak kepada rakyat.

Kang Jalal berkata, “Saya ingin menghakimi dunia dengan al-Quran al-Karim”

No comments:

Post a Comment