Tuesday, July 19, 2011

KEBENARAN YANG HILANG BAB VII

BAB VII

Tiga Kelompok Penyeleweng Kebenaran

Pertama:

PARA SEJARAHWAN

Peranan Sejarah Di Dalam Membangkitkan Umat
Sesungguhnya umat yang maju adalah umat yang mengambil pelajaran dari sejarah, dan menghadirkan pengalaman-pengalaman sejarah di hadapannya, setelah sebelumnya menyadari hukum-hukum sejarah yang akan menuntun umat menuju peradaban. Di samping juga mengetahui sebab-sebab kehancuran dan kemunduran umat-umat terdahulu. Allah SWT tidak mengkhususkan satu hukum untuk sebuah kaum dan tidak bagi kaum yang lain, melainkan Allah menjadikannya sebagai satu sunah yang tidak berubah. Allah SWT berfirman, "Maka sekali-kali kamu tidakakan mendapatpenggantian bagi sunah Allah, dan sekali-kali tidak pula akan menemui penyimpangan bagi sunah Allah itu.

Kehidupan berdiri di atas satu hakikat, yaitu pertarungan yang terus-menerus di antara yang hak dengan yang batil. Seluruh peristiwa yang terjadi di dalam sejarah manusia tidak keluar dari konteks pertarungan ini. Dengan hati nurani kita dapat menyelami sejarah dan menjadikannya hidup serta berinteraksi dengan kehidupan kita sekarang. Kita dapat menyelami lebih dalam tentang terjadinya berbagai perpecahan mazhab di dalam sejarah umat Islam. Untuk mengkaji ini mau tidak mau kita harus mengesampingkan berbagai emosi dan kecenderungan pribadi, dan mendasarkan diri kepada kaidah-kaidah Al-Qur'an. Sehingga kita mampu melakukan analisa yang objektif, dan mampu melihat berbagai peristiwa bukan hanya sebatas permukaannya saja melainkan sampai ke substansinya. Dengan begitu kita akan bisa sampai kepada penglihatan yang jelas dan objektif, dan bukan penglihatan yang salah dan rancu.

Untuk itu, marilah kita mulai sebagaimana seolah-olah Al-Qur’an al-Karim baru diturunkan kepada kita. Kita membaca di dalam Al-Qur'an, "Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri." (QS. ar-Rum: 9)

Sebaliknya, umat yang beku tidak mampu memahami sejarah beserta hukum-hukum dan pengalaman-pengalamannya. Oleh karena itu, mereka kehilangan kemampuan penglihatan yang menjadikan mereka mampu menguasai peristiwa-peristiwa sekarang dan berjalan menyongsong masa depan.

Kekuasaan Dan Penyelewengan Sejarah
Jika demikian, maka setiap penolakan untuk melakukan pengkajian sejarah, dengan alasan akan membangkitkan fitnah-fitnah yang telah lalu, atau alasan-alasan lainnya, tidaklah pada tempatnya. Penolakan itu tidak lain hanya menunjukkan kebodohan orang yang ber-sangkutan. Pada hakikatnya, seandainya pun di sana terdapat fitnah, maka fitnah itu disebabkan pemalsuan dan penyelewengan yang dilakukan terhadap sejarah. Karena sejarah sebagai sebuah sejarah, dia tidak lebih hanya merupakan sebuah cermin yang memantulkan peristiwa-peristiwa yang telah lalu bagi orang-orang yang sekarang, dengan tanpa adanya rekayasa dan pemalsuan. Namun, manakala sejarah jatuh ke tangan para politikus kotor maka dia akan berubah bentuknya dan akan rusak wajahnya. Dari sinilah kemudian timbulnya berbagai pandangan dan mazhab. Karena, jika sejarah lurus-lurus saja dan tidak ada rekayasa maka tentu akan tersingkap kepalsuan berbagai mazahab yang ada dan akan diketahui kebatilannya.

Apa yang diderita oleh kaum Muslimin sekarang, berupa terkotak-kotaknya mereka ke dalam beberapa mazhab dan kelompok, itu tidak lain merupakan buah dari berbagai penyelewengan yang terjadi di dalam sejarah Islam, yaitu berupa pemalsuan dan penyembunyian kebenaran yang dilakukan oleh para sejarahwan. Mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari para perencana yang hendak mendiskredirkan mazhab Ahlul Bait untuk kepentingan politik. Para perencana ini telah bermain di semua tingkatan, untuk membentuk arus lain yang mempunyai tampilan Islam, sebagai lawan dari Islam yang sesungguhnya. Oleh karena sejarah menceritakan seluruh apa yang dilihatnya, maka para perencana ini mau tidak mau harus membungkam dan membutakannya, sehingga tidak dapat menyingkap tipu daya yang dilakukannya. Oleh karena itu, mereka menempatkan sejarah di dalam gengaman tangan penguasa, supaya sejarah itu ber-gerak ke arah mana saja penguasa bergerak.

Maka para sejarahwan pun berada di bawah ancaman dan bujukan para penguasa. Bulu-bulu tangan mereka bergetar karena harus memalsukan kebenaran. Kebijakan politik yang diikuti para penguasa Bani Umayyah, dan kemudian dilanjutkan oleh para penguasa Bani Abbas, sejak awal adalah bertujuan untuk mencemarkan wajah Ahlul Bait as. Semata-mata menyatakan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Baitnya, cukup menjadi alasan seseorang untuk dihancurkan rumahnya dan diputus bagiannnya dari baitul mal. Bahkan Mu'awiyah senantiasa mengintai Syi'ah Ali dengan mengatakan, "Bunuh mereka, meski mereka hanya baru disangka syi'ahnya Ali." Sehingga menyebutkan keutaman-keutamaan m Ahlul Bait as merupakan sebuah kejahatan yang tidak dapat diampuni. Untuk mengetahui tragedi-tragedi yang menimpa para Imam Ahlul Bait dan para syi'ah mereka, silahkan Anda merujuk kepada kitab Magatil ath-Thalibiyin, karya Abul Faraj al-Isfahani.

Apalagi dengan para sejarahwan. Tidak mudah bagi mereka pada kondisi yang keras ini menuliskan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait dan menyebutkan sejarah kehidupan mereka yang cemerlang.

Demikianlah, generasi demi generasi mewariskan kebenaran yang telah diselewengkan. Bahkan, keadaan berkembang lebih jauh dari itu manakala para ulama terkemudian (muta'akhkhir) membenarkan para pendahulunya, dan menukil segala sesuatu dari mereka dengan tanpa melakukan pengkajian dan perenungan. Maka rasa permusuhan kepada Ahlul Bait dan Syi'ah mereka pun menjadi berakar, dan demikian juga kebodohan terhadap pihak lain. Tidaklah aneh mana-kala Ibnu Katsir menceritakan Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq as di dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun seratus empat puluh delapan Hijrah, dia tidak lebih hanya mengatakan, "Pada tahun itu Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq wafat." Dia hanya menyebutkan tahun wafatnya, namun tidak sedikit pun menyebutkan sesuatu dari kehidupannya. Banyak sekali bukti-bukti penyeleweangan yang dilakukan oleh para sejarahwan. Kita cukupkan dengan hanya menyebut beberapa contoh darinya.


Bagaimana Para Sejarahwan Mencatat Sejarah Syi'ah?
Thabari —sejarahwan pertama di dalam Islam— dan para sejarahwan terkemudian yang menukil darinya mengatakan bahwa pendiri Syi'ah ialah seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba, yang berasal dari kota Shan'a. Saya ingat, orang yang pertama saya dengar menyebut nama ini adalah salah seorang saudara saya yang berfaham Wahabi. Dia mengatakan, Syi'ah itu Yahudi. Syi'ah berasal dari Abdullah bin Saba, seorang Yahudi. Setelah saya kaji masalah ini, saya temukan dia menukil dari Ihsan Ilahi Zahir. Saya menulis perkataan ini dalam keadaan tangan saya memegang buku Ihsan Ilahi Zahir, asy-Syi'ah wa as-Sunnah. Ihsan Ilahi Zahir menukil cerita-cerita dusta ini dari Thabari dan sejarahwan-sejarahwan lainnya. Di sini, saya akan menukilkan apa yang telah dinukil oleh Ihsan Ilahi Zahir dari Thabari,


"Sejarahwan paling terdahulu, Thabari menyebutkan, 'Abdullah bin Saba adalah seorang Yahudi yang berasal dari Shan'a. Ibunya bernama Sauda, dan dia masuk Islam pada zaman Usman. Kemudian dia berpindah-pindah dari satu negeri kaum Muslimin ke negeri kaum Muslimin lainnya, di dalam rangka usaha menyesatkan mereka. Pertama-tama dia pergi ke Hijaz, kemudian ke Basrah, Ke Kufah dan ke Syam, namun dia tidak mampu melaksanakan apa yang diinginkannya terhadap satu orang penduduk Syam pun. Kemudian orang-orang mengusirnya dari Syam, hingga akhirnya dia datang ke Mesir. Dia mengunjungi mereka dan berkata, 'Sungguh mengherankan orang yang meyakini bahwa Isa akan kembali namun mendustakan bahwa Muhammad akan kembali. Padahal Allah SWT telah berfirman, 'Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.' Oleh karena itu, Muhammad lebih berhak kembali dibandingkan Isa.' Thabari melanjutkan perkataannya, 'Maka diterimalah yang demikian itu darinya, dan ditetapkanlah keyakinan raj'ah bagi mereka, dan mereka pun membicarakan tentangnya. Kemudian Abdullah bin Saba berkata kepada mereka, 'Sesungguhnya terdapat seribu nabi, dan tiap-tiap nabi mempunyai seorang washi, dan Ali adalah washinya Muhammad.' Lalu Abdullah bin Saba mengatakan bahwa Muhammad adalah penutup para nabi dan Ali penutup para washi. Selanjutnya Abdullah bin Saba mengatakan bahwa sezalim-zalimnya manusia adalah orang yang tidak memenuhi wasiat Rasulullah saw, menyerang washi Rasulullah, dan menguasai urusan umat. Kemudian Abdullah bin Saba berkata kepada mereka, 'Sesungguhnya Usman telah merebut urusan ini dengan tanpa kebenaran, padahal ini adalah washinya Rasulullah saw, maka oleh karena itu bangkitlah kamu di dalam urus-an ini, dan mulailah dengan mencaci-maki para pemimpin kamu, serta tampakkanlah amar ma'ruf dan nahi munkar supaya kamu dapat menarik simpati orang, dan serulah mereka kepada urasan ini.'"
Dengan cerita ini, mereka menisbahkan keyakinan-keyakinan Syi'ah dan sejarah mereka kepada Abdullah bin Saba, dan meletakan penghalang psikologis di antara para pengkaji dan kebenaran. Sehingga mereka berjalan berdasarkan model yang telah diletakan oleh para sejarahwan, yaitu dengan tanpa melakukan pengkajian dan penelitian. Sebagai contoh, kita mendapati penulis Ahmad Amin di dalam bukunya Fajr al-Islam, setelah dia menukil kisah Abdullah bin Saba dan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang tidak diragukan lagi, dia menemukan di hadapannya jalan yang terbuka untuk melontarkan berbagai tuduhan dan kebohongan atas Syi'ah. Dia mengatakan pada halaman 269 dari bukunya, "Keekstriman Syi'ah mengenai Ali tidak hanya cukup sampai sebatas ini. Mereka tidak merasa cukup dengan mengatakan Ali sebagai seutama-utamanya makhluk sepeninggal nabi, dan bahwa dia maksum, melainkan mereka juga menuhankannya. Sebagian dari mereka ada yang mengatakan, 'Telah merasuk satu bagian ketuhanan pada diri Ali, dan telah bersatu dengan jasadnya, sehingga oleh karena itu dia mengetahui yang ghaib.'" Kemudian, Ahmad Amin menukil khurafat tentang Ibnu Saba dan memberikan komentar tentangnya. Selanjutnya, dia mengambil kesimpulan sebagai berikut, "Yang benar ialah bahwa Syi'ah merapakan tempat berlindung setiap orang yang hendak menghancurkan Islam, dikarenakan permusuhan atau kedengkian mereka terhadap Islam, dan juga merupakan tempat berlindung bagi orang yang hendak memasukkan ajaran-ajaran bapaknya, yang berasal dari ajaran-ajaran Yahudi, Kristen, Zaroster dan Hindu..." Dia mengatakan semua ini secara spontan, dengan tanpa melakukan pengkajian dan penelitian. Bahkan, dia tidak ubahnya seperti orang yang mengigau yang tidak mengetahui apa yang dikatakannya. Namun, kecaman tidak patut ditujukan kepadanya, karena yang dia kemukakan tidak lain merupakan hasil penyelewengan sejarah yang dilakukan oleh para sejarahwan.

Begitulah sejarah. Kisah sabaiyyah (Abdullah bin Saba) telah menjadi faktor penting di dalam pemalsuan kebenaran dan penyesatan umat. Para ulama Syi'ah telah menentang pemikiran sabaiyyah, dan telah melakukan pengkajian mengenainya secara mendalam, dan mereka menemukan kenyataan bahwa kisah Abdullah bin Saba adalah kisah fiktif. Allamah Murtadha al-Askari, secara khusus telah membahas masalah ini di dalam kitab tersendiri yang terdiri dari dua jilid, yang diberinya judul Abdullah bin Saba wa Asathir Ukhra. Di dalam kitab ini dia meneliti riwayat tentang Ibnu Saba dari seluruh kitab-kitab referensi sejarah. Pada kesempatan ini saya tidak bisa mengemukakan semua dalil yang mendukung fakta ini, namun saya hanya mencukupkan dengan mengemukakan beberapa petunjuk berikut:

Cerita bohong ini kembali kepada seorang perawi yang bernama Saif bin Umar. Dia penulis kitab al-Futuh al-Kabirah wa ar-Raddah dan kitab al-Jamal wa Masirah Aisyah wa Ali. Thabari menukil cerita bohong ini di dalam kitab tarikhnya dari kedua kitab tersebut, dan demikian juga Ibnu Asakir serta adz-Dzahabi di dalam kitab tarikhnya al-Kabir.


Pendapat Para Ulama Tentang Saif Bin Umar
1. Yahya bin Mu'in (wafat tahun 233 Hijrah) berkata, "Lemah hadisnya, dan tidak ada kebaikan darinya."
2. Abu Dawud (wafat tahun 275 Hijrah) berkata, "Dia bukan apa-apa. Dia pendusta."
3. Nasa'i (wafat tahun 303 Hijrah) berkata, "Dia orang yang lemah, ditinggalkan hadisnya, dan tidak dipercaya."
4. Ibnu Hatim (wafat tahun 327 Hijrah) berkata, "Ditinggalkan hadisnya."
5. Ibnu 'Uday (wafat tahun 365 Hijrah) berkata, "Suka meriwayatkan hadis-hadis mawdhu', dan dituduh zindiq." Ibnu 'Uday berkata, "Orang-orang mengatakan dia suka membuat hadis palsu."
6. Al-Hakim (wafat tahun 405 Hijrah) berkata, "Ditinggalkan hadisnya, dan dia dituduh zindiq."
7. Khatib al-Bagdadi (wafat tahun 406 Hijrah) melemahkannya.
8. Ibnu Abdul Barr (wafat tahun 463 Hijrah) menukil dari Ibnu Hibban yang berkata tentang Saif bin Umar, "Saif ditinggalkan hadisnya. Kita menyebutkan hadisnya hanya sekedar untuk mengetahui." Ibnu Abdul Barr tidak memberikan komentar apa pun terhadap hadisnya.
9. Fairuz Abadi, penulis berbagai kitab, menyebutkannya bersama yang lainnya, "Mereka itu orang-orang yang dha'if (lemah)."
10. Ibnu Hajar (wafat tahun 852 Hijrah) berkata, setelah mengkritik sebuah hadis yang di dalam sanadnya terdapat nama Saif bin Umar, "Di dalam sanadnya terdapat orang-orang yang dhaif, dan terdha’if di antara mereka adalah Saif bin Umar."
11. Shafiyyuddin (wafat tahun 923 Hijrah) berkata, "Mereka mendha’ifkannya.
Inilah pandangan para ulama selama berabad-abad tentang Saif bin Umar.

Bagaimana bisa para sejarahwan berbicara secara panjang lebar tentang riwayatnya?! Bagaimana bisa para peneliti membangun pandangan-pandangan mereka berdasarkan riwayat ini. Di samping perbedaan yang masih diperselisihkan tentang namanya. Apakah namanya Ibnu Sauda, atau Abdullah bin Saba?! Demikian juga perbe-daan tentang kemunculannya. Apakah dia muncul pada masa Usman, sebagaimana yang dikatakan oleh Thabari, atau sebagaimana yang dikatakan oleh Sa'ad bin Abdullah al-Asy'ari di dalam kitabnya al-Maqalat wa al-Firaq, "Dia muncul pada masa Ali atau sesudah kematiannya."

Dan kenapa Usman bersikap diam terhadapnya, padahal dia tidak bersikap diam sekali pun kepada sahabat-sahabat besar, seperti Abu Dzar, 'Ammar dan Ibnu Mas'ud?

Bahkan, sesungguhnya dia merupakan sebuah rangkaian kebohongan yang diciptakan atas Syi'ah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Thaha Husain, "Ibnu Saba adalah seorang tokoh yang diciptakan oleh para musuh Syi'ah untuk menghantam Syi'ah, yang sebenarnya tidak ada wujudnya di luar." Rekayasa ini diciptakan dengan tujuan untuk mencemarkan keyakinan-keyakinan Syi'ah yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunah. Seperti keyakinan tentang wasiat dan 'ishmah. Musuh-musuh mereka tidak menemukan jalan selain dengan jalan menghubung-hubungkan keyakinan-keyakinan ini dengan ajaran Yahudi, yang tokohnya adalah seorang tokoh fiktif yang bernama Abdullah bin Saba. Sehingga dengan begitu kecaman ditujukan kepada tokoh ini dan kepada orang yang mengambil ajaran darinya. Di samping di sisi lain mereka menampilkan kelurusan wajah para sahabat dan membersihkan mereka dari berbagai kecaman dan celaan, dikarenakan berbagai perpecahan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, sehingga berakhir dengan terbunuhnya Usman, dan begitu juga peristiwa perang Jamal yang memakan ribuan korban dari kalangan para sahabat. Kisah fiktif tentang Abdullah bin Saba ini tidak lain merupakan upaya untuk menutupi lembaran sejarah yang hitam ini, untuk kemudian melemparkan tanggung jawab atas peristiwa-peristiwa yang terjadi kepada tokoh fiktif ini, padahal para sahabat sendiri bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa yang terjadi. Yaitu terpecah belahnya umat kepada berbagai mazhab dan keyakinan.


Contoh Lain
Terdapat penghapusan besar-besaran secara sengaja akan keutamaan-keutamaan Ali dan Ahlul Baitnya dari kitab-kitab sejarah. Ini Ibnu Hisyam yang menukil Sirah Ibnu Ishak berkata di dalam mukaddimah kitabnya, "Di dalam kitab ini ditinggalkan sebagian yang disebutkan oleh Ibnu Ishak... dan begitu juga hal-hal yang buruk untuk dikatakan, dan beberapa hal yang tidak baik orang menyebutkannya... "

Dia mengatakan kata-kata ini sebagai pengantar untuk menyembunyikan kebenaran. Di antara hal-hal yang tidak baik orang menyebutkannya adalah ajakan Rasulullah saw kepada Abu Thalib manakala Allah SWT memerintahkannya, "Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat. " Thabari telah menyebutkannya beserta sanadnya. Dia mengatakan Rasulullah saw telah bersabda, "Wahai putra-putra Abdul Muththalib! Demi Allah tidak ada seorang pun pemuda bangsa Arab yang telah membawa untuk kaumnya sesuatu yang lebih berharga dan lebih utama dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Dan Allah telah memerintahkan aku untuk menyeru kalian agar menerimanya. Maka siapakah di antara kalian yang bersedia memberikan dukungan bagiku dalam urusan ini; dan sebagai imbalannya, ia akan menjadi saudaraku, washiku, serta menjadi khalifah (pengganti)ku di antara kalian?"

Semua yang hadir diam seribu bahasa, kecuali Ali yang termuda di antara mereka; ia berdiri dan berkata dengan lantangnya, "Aku – wahai Nabi Allah – yang akan menjadi pembantumu!" Kemudian Rasulullah saw berkata, "Inilah saudaraku, washiku dan khalifahku di antara kalian! Dengar kata-katanya, dan taatlah kepadanya!" Maka bangkitlah mereka sambil tertawa dan berkata kepada Abu Thalib, "Lihatlah betapa dia telah memerintahkan Anda agar mendengarkan kata-kata anak Anda dan taat kepadanya."[107]

Apakah riwayat ini termasuk sesuatu yang buruk untuk dikatakan?!

Jangan membuat Anda heran Thabari menyebutkan kisah ini, karena dengan segera dia mencabut kembali perkataannya itu. Dia meriwayatkan kisah ini di dalam kitab tafsirnya dengan disertai penyimpangan. Dia mengatakan, "Rasulullah saw bersabda, 'Maka siapakah di antara kalian yang bersedia memberikan dukungan bagiku; dan sebagai imbalannya, ia akan menjadi saudaraku... dan seterusnya dan seterusnya.'" Kemudian Thabari melanjutkan, "Kemudian Rasulullah saw berkata, 'Sesungguhnya inilah saudaraku... dan seterusnya dan seterusnya, maka dengarkan kata-katanya, dan taatlah kepadanya.'[108]

Apa yang dimaksud dengan kata-kata "dan seterusnya dan seterusnya" yang dikatakan oleh Thabari?!

Adapun Ibnu Katsir, manakala menyebutkan kisah ini di dalam kitab tarikhnya, merasa kagum dengan apa yang telah dilakukan oleh Thabari di dalam kitab tafsirnya, maka dengan tanpa rasa malu dan dengan tanpa berpegang kepada kejujuran intelektual dia pun mengikuti langkah yang telah dilakukan oleh Thabari. Dia ikut mengatakan, "dan seterusnya dan seterusnya."[109]

Perhatikanlah peristiwa ini, yang berbicara tentang salah satu keutamaan Amirul Mukminin dan lebih berhaknya dia atas kekhalifahan; dan juga perhatikanlah apa yang telah dilakukan oleh para sejarahwan terhadap peristiwa ini. Ibnu Hisyam tidak bisa menggunakan siasat terhadapnya, dia menghapuskannya sama sekali. Adapun Thabari, dan kemudian diikuti oleh Ibnu Katsir, mereka berdua menyelewengkan dan mengaburkan maknanya. Maka perhatikanlah! 

Berikut ini kami ketengahkan contoh lain dari penyelewengan yang dilakukan oleh para sejarahwan terhadap kebenaran. Mereka tidak hanya menyembunyikan keutamaan-keutmaan Ali dan Ahlul Baitnya, melainkan sebagai lawannya mereka juga menyembunyikan segala sesuatu yang mencemarkan nama sahabat, terlebih lagi para khalifah. Berikut ini sebuah kisah yang merupakan gabungan di antara dua sisi, yaitu sisi menyembunyikan keutamaan-keutamaan Ali dan sisi menyembunyikan keburukan-keburukan para khalifah.

Para sejarahwan, terutama Thabari menyembunyikan surat menyurat yang terjadi di antara Muhammad bin Abu Bakar —salah seorang pengikut Ali— dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Karena di dalam surat-surat tersebut terdapat pembuktian akan kedudukan Imam Ali sebagai washi Rasulullah saw, dan sekaligus menyingkap keadaan para khalifah yang sebenarnya. Setelah menyebutkan sanad kedua surat tersebut Thabari memberikan alasan bahwa di dalam kedua surat tersebut terdapat sesuatu yang masyarakat umum tidak tahan untuk mendengarnya. Kemudian setelah itu datang Ibnu Atsir, dan dia pun melakukan sebagaiman yang telah dilakukan oleh Thabari. Selanjut-nya, Ibnu Katsir mengikuti jalan yang telah mereka tempuh. Dia hanya memberi isyarat kepada surat Muhammad bin Abu Bakar, namun sama sekali membuang surat tersebut dari penulisan. Ibnu Katsir mengatakan, "Di dalamnya terdapat kata-kata kasar." Apa yang telah dilakukan oleh para sejarahwan yang tiga itu adalah seburuk-buruknya bentuk penyembunyian kebenaran. Ini semua membuktikan dengan amat jelas akan ketidak-objektifan mereka.

Apa yang mereka maksud dengan perkataan "masyarakat umum tidak tahan untuk mendengarkan isi keduanya"?
Apakah karena masyarakat umum tidak akan meyakini para khalifah lagi setelah mendengar isi kedua surat tersebut?

Berikut ini surat Muhammad bin Abu Bakar yang ditujukan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, sebagaimana yang dinukil di dalam kitab Muruj adz-Dzahab, karya al-Mas'udi:
Dari Muhammad bin Abu Bakar kepada si tersesat Muawiyah bin Shakhr.

Salam kepada penyerah diri dan yang taat kepada Allah!

Amma ba'du, sesungguhnya Allah SWT, dengan keagungan dan kekuasaan-Nya, menciptakan makhluk-Nya tanpa main-main. Tiada celah kelemahan dalam kekuasaan-Nya. Tiada berhajat Dia terhadap hamba-Nya. ia menciptakan mereka untuk mengabdi kepada-Nya.

Dia menjadikan orang yang tersesat atau orang yang lurus, orang yang malang dan orang yang beruntung.

Kemudian, dari antara mereka, Dia Yang Mahatahu memilih dan mengkhususkan Muhammad saw dengan pengetahuan-Nya. Dia jugalah yang memilih Muhammad saw berdasarkan ilmu-Nya sendiri untuk menyampaikan risalah-Nya dan mengemban wahyu-Nya. Dia mengutusnya sebagai rasul dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.
Dan orang pertama yang menjawab dan mewakilinya, mentaatinya, mengimaninya, membenarkannya, menyerahkan diri kepada Allah dan menerima Islam sebagai agamanya —adalah saudaranya dan misannya Ali bin Abi Thalib— yang membenarkan yang ghaib. Ali mengutamakannya dari semua kesayangannya, menjaganya pada setiap ketakutan, membantunya dengan dirinya sendiri pada saat-saat mengerikan, memerangi perangnya, berdamai demi perdamaiannya, melindungi Rasulullah dengan jiwa raganya siang maupun malam, menemaninya pada saat-saat yang menggetarkan, kelaparan serta dihinakan. Jelas tiada yang setara dengannya dalam berjihad, tiada yang dapat menandinginya di antara para pengikut dan tiada yang mendekatinya dalam amal perbuatannya.

Dan saya heran melihat engkau hendak menandinginya! Engkau adalah engkau! Sejak awal Ali unggul dalam setiap kebajikan, paling tulus dalam niat, keturunannya paling bagus, istrinya adalah wanita utama, dan pamannya (Ja'far) syahid di perang Mu'tah. Dan seorang pamannya lagi (Hamzah) adalah penghulu para syuhada perang Uhud, ayahnya adalah penyokong Rasulullah saw dan istrinya
Dan engkau adalah orang yang terlaknat, anak orang terkutuk. Tiada hentinya engkau dan ayahmu menghalangi jalan Rasulullah saw. Kamu berdua berjihad untuk memadamkan nur Ilahi, dan kamu berdua melakukannya dengan menghasud dan menghimpun manusia, menggunakan kekayaan, dan mempertengkarkan berbagai suku. Dalam keadaan demikian ayahmu mati. Dan engkau melanjutkan perbuatannya seperti itu pula.

Dan saksi-saksi perbuatan engkau adalah orang-orang yang meminta-minta perlindungan engkau, yaitu dari kelompok musuh Rasulullah yang memberontak, kelompok pemimpin-pemimpin yang munafik dan pemecah belah dalam melawan Rasulullah saw.

Sebaliknya sebagai saksi bagi Ali dengan keutamaannya yang terang dan keterdahuluannya (dalam Islam) adalah penolong-penolongnya yang keutamaan mereka telah disebutkan di dalam Al-Qur'an, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar. Dan mereka itu merupakan pasukan yang berada di sekitarnya dengan pedang-pedang mereka dan siap menumpahkan darah mereka untuknya. Mereka melihat keutamaan pada dirinya yang patut ditaati, dan malapetaka bila mengingkarinya.

Maka mengapa, hai ahli neraka, engkau menyamakan dirimu dengan Ali, sedang dia adalah pewaris dan pelaksana wasiat Rasulullah saw, ayah anak-anak Rasulullah saw, pengikut pertama, dan yang terakhir menyaksikan Rasulullah saw, teman berbincang, penyimpan rahasia dan serikat Rasulullah saw dalam urusannya. Rasulullah saw memberitahukan pekerjaan beliau kepadanya, sedang engkau adalah musuh dan anak dari musuh beliau.

Tiada peduli keuntungan apa pun yang engkau peroleh dari kefasikanmu di dunia ini dan bahkan Ibnu al-'Ash menghanyutkan engkau dalam kesesatanmu, akan tampak bahwa waktumu berakhir sudah dan kelicikanmu tidak akan ampuh lagi. Maka akan menjadi jelas bagimu siapa yang akan memiliki masa depan yang mulia. Engkau tidak mempunyai harapan akan pertolongan Allah, yang tidak engkau pikirkan.

Kepada-Nya engkau berbuat licik. Allah menunggu untuk menghadangmu, tetapi kesombonganmu membuat engkau jauh dari Dia.
Salam bagi orang yang mengikuti petunjuk.[110]


Jawaban Surat Muawiyah Kepada Muhammad bin Abu Bakar


Dari Muawiyah bin Abu Sufyan.

Kepada pencerca ayahnya sendiri, Muhammad bin Abu Bakar.

Salam kepada yang taat kepada Allah.

Telah sampai kepadaku suratmu, yang menyebut Allah Yang Mahakuasa dan Nabi pilihan-Nya, dengan kata-kata yang engkau rangkaiakan. Pandanganmu lemah. Engkau mencerca ayahmu. Engkau menyebut hak Ibnu Abi Thalib dan keterdahuluan serta kekerabatannya dengan Nabi Allah saw, dan bantuan serta pertolongannya kepada Nabi pada setiap keadaan genting.

Engkau juga berhujjah dengan keutamaan orang lain dan bukan dengan keutamaanmu. Aneh, engkau malah mengalihkan keutamaanmu kepada orang lain.

Di zaman Nabi saw, kami dan ayahmu telah melihat dan tidak memungkiri hak Ibnu Abi Thalib. Keutamaannya jauh di atas kami.

Dan Allah SWT memilih dan mengutamakan Nabi sesuai janji-Nya. Dan melalui Nabi Dia menampakkan dakwah-Nya dan men-jelaskan hujjah-Nya. Kemudian Allah mengambil Nabi saw ke sisi-Nya.

Ayahmu dan Faruq-nya (Umar) adalah orang-orang pertama yang merampas haknya. Hal ini diketahui umum.

Kemudian mereka mengajak Ali membaiat Abu Bakar, tetapi Ali menunda dan memperlambatnya. Mereka marah sekali dan bertindak kasar. Hasrat mereka bertambah besar. Akhirnya Ali membaiat Abu Bakar dan berdamai dengan mereka berdua.

Mereka berdua tidak mengajak Ali dalam pemerintahan mereka. Tidak juga mereka menyampaikan kepadanya rahasia mereka, sampai mereka berdua meninggal dan berakhirlah kekuasaan mereka.

Kemudian bangkitlah orang ketiga, yaitu Usman yang menuruti tuntunan mereka. Engkau dan temanmu berbicara tentang kerusakan-kerusakan yang dilakukan Usman agar orang-orang yang berdosa di propinsi-propinsi mengembangkan maksud-maksud buruk terhadap-nya dan engkau bangkit melawannya. Engkau menunjukkan permu-suhanmu kepadanya untuk mencapai keinginan-keinginamu sendiri.
Hai putra Abu Bakar, berhati-hatilah atas apa yang engkau lakukan. Jangan engkau menempatkan dirimu melebihi apa yang dapat engkau urusi. Engkau tidak akan dapat menemukan seseorang yang mempunyai kesabaran yang lebih besar dari gunung, yang tidak pernah menyerah kepada suatu peristiwa. Tak ada yang dapat menyamainya.
Ayahmu bekerja sama dengan dia dan mengukuhkan kekuasaannya. Bila kaum katakkan bahwa tindakanmu benar, (maka ketahuilah) ayahmulah yang mengambil alih kekuasaan ini, dan kami menjadi sekutunya. Apabila ayahmu tidak melakukan hal ini, maka kami tidak akan sampai menentang anak Abu Thalib dan kami akan sudah menyerah kepadanya.
Tetapi kami melihat bahwa ayahmu memperlakukan dia seperti ini dihadapan kami, dan kami pun mengikutinya; maka cacat apa pun yang akan kamu dapatkan, maka arahkanlah itu kepada ayahmu sendiri, atau berhentilah dari turut campur.

Salam bagi orang yang kembali.[111]

Anda dapat mengetahui rahasia kenapa Thabari, Ibnu Atsir dan Ibnu Katsir tidak bersedia menukil surat-surat di atas. Karena surat-surat tersebut menyingkap perselisihan yang terjadi dikalangan kaum Muslimin dalam urusan kekhalifahan, yang merupakan hak Ali. Muawiyah mengakui ini, namun dia beralasan bahwa kekhalifahannya hanyalah kepanjangan kekhalifahan Abu Bakar. Kemudian Muawiyah mengecam anak Abu Bakar (yaitu Muhammad bin Abu Bakar) dengan hal ini, sehingga menjadikannya terdiam tidak dapat bicara dalam urusan ini.

Celaka engkau, hai Muawiyah, meskipun Muhammad bin Abu Bakar tidak berdiam diri dan tidak menutupi urusan Anda, namun Thabari, Ibnu Atsir dan Ibnu Katsir bersikap diam terhadap urusan Anda.

Banyak sekali bukti-bukti yang menunjukkan pemalsuan dan penyelewengan yang dilakukan oleh para sejarahwan terhadap kebenaran. Kita tidak mungkin menyebutkannya satu persatu dalam kesempatan ini. Seseorang yang meneliti sejarah akn mendapati hal ini dengan jelas. Namun yang mengherankan, para sejarahwan tidak menutupi berbagai penyelewengan yang telah mereka lakukan. Anda dapat menemukan isyarat-isyarat yang jelas akan apa yang telah mereka lakukan. Sebagai contoh, berkenaan dengan peristiwa peng-hinaan yang dilakukan oleh Usman bin Affan terhadap Abu Dzar, Thabari berkata, "Telah disebutkan banyak hal yang menjadi sebab pemulangan Abu Dzar dari Syam, namun saya enggan menyebutkan kebanyakannya.
Dengan demikian kita dapat menyingkap dengan jelas penyimpangan yang dilakukan oleh Thabari terhadap kebenaran.


Kedua:
KELOMPOK MUHADDIS
Ketika Anda melihat berbagai persekongkolan yang telah dilakukan terhadap hadis, dan penggantian hakikat-hakikatnya, niscaya Anda akan merasa pentingnya pandangan Syi'ah. Yaitu pandangan yang mengatakan, mau tidak mau harus ada seorang pemimpin yang maksum yang menjaga syariat Allah dan mengokohkan pilar-pilarnya. Jika dia tidak maksum dan tidak terbebas dari dosa maka dia akan memanfaatkan agama untuk melayani tujuan dan kepentingan-kepentingan politiknya, dan memutar-balikan hadis untuk kepentingannya. Ini pun jika penulisan dan penyebaran hadis tidak dilarang dan diperangi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh ketiga orang khalifah —yaitu Abu Bakar, Umar dan Usman— yang mana mereka telah melarang periwayatan hadis, dan bahkan membakar hadis-hadis yang dimiliki kaum Muslimin, serta menahan para sahabat untuk tetap berada di kota Madinah, sehingga mereka tidak menyebarkan hadis di tempat lain. Imam Ali berkata tentang hal itu, "Para penguasa sebelumku telah melakukan perbuatan yang menentang Rasulullah saw. Mereka secara sengaja menentangnya, melanggar janjinya dan merubah sunahnya."

Saya tidak akan membahas periode ini di dalam pasal ini. Saya akan mencukupkan dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan sebelumnya. Melainkan di sini saya akan membahas masa pembukuan hadis yang di kalangan Ahlus Sunnah dianggap sebagai masa keemasan hadis, dengan disertai isyarat-isyarat yang menunjukkan apa yang telah dilakukan oleh Muawiyah di dalam membuat hadis-hadis palsu dan menyembunyikan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait.


Hadis Pada Masa Muawiyah
Kita dapat menelusuri periode Muawiyah seperti yang telah dinukil oleh al-Mada'ini di dalam kitab al-Ahdats. Al-Mada'ini berkata, "Muawiyah menulis satu naskah dan mengirimkannya kepada para gubernurnya sesudah "Tahun Jamaah"[112], untuk memakzulkan siapa saja yang meriwayatkan sesuatu tentang keutamaan Abu Turab —yaitu imam Ali as— dan Ahlul Baitnya. Maka berdirilah para khatib diseluruh pelosok desa dan diseluruh mimbar melaknat Ali dan memakzulkannya, serta mencaci maki dia dan keluarganya. Masyarakat yang paling keras tertimpa bencana pada saat itu adalah para penduduk kota Kufah, disebabkan banyaknya Syi'ah Ali di kota tersebut. Muawiyah menempatkan Ziyad bin Sumayyah atas mereka, dan juga menyerahkan kota Basrah kepadanya. Ziyad mencari dan menangkapi orang-orang Syi'ah, karena dia mengenal mereka, disebabkan dia pernah menjadi bagian dari mereka pada masa Imam Ali. Ziyad membunuhi mereka di mana saja ditemukan. Dia memotong tangan dan kaki mereka, dan mencungkil mata mereka serta menyalib mereka di batang-batang pohon kurma. Dia mengusir mereka dari bumi Irak, sehingga tidak tersisa yang dikenal dari mereka.
Muawiyah menulis surat kepada para gubernurnya di seluruh negeri, supaya mereka tidak memperkenankan kesaksian seorang pun dari pengikut Ali dan Ahlul Baitnya. Serta Muawiyah menulis kepada mereka supaya memperhatikan para pengikut dan pecinta Usman, dan orang-orang yang meriwayatkan keutamaan-keutamaannya. Muawiyah memerintahkan kepada para anteknya untuk mendatangi majlis-majlisnya dan memuliakan mereka. Muawiyah berkata kepada antek-anteknya, ‘Tulislah segala sesuatu yang diriwayatkan oleh salah seorang dari mereka, dan juga tulislah nama orang tersebut beserta nama ayahnya dan nama keluarganya.' Maka orang-orang pun berlomba-lomba menulis dan memperbanyak keutamaan-keutamaan Usman, disebabkan berbagai hadiah yang diberikan Muawiyah kepada mereka."
Al-Mada'ini melanjutkan, "Kemudian Muawiyah menulis surat kepada para gubernurnya, 'Sesungguhnya hadis tentang Usman telah begitu banyak dan telah begitu tersebar di seluruh pelosok negeri. Oleh karena itu, manakala suratku ini sampai kepadamu maka serulah manusia untuk meriwayatkan keutamaan-keutamaan para sahabat dan keutamaan-keutamaan dua khalifah yang pertama. Dan jangan biarkan ada seorang pun dari kaum Muslimin yang meriwayatkan keutamaan Abu Turab, karena yang demikian itu berarti menentang sahabat. Dan lumpuhkan hujjah dan argumentasi Abu Turab serta Syi'ahnya, dan kuatkan pujian-pujian akan keutamaan Usman."
Al-Mada'ini melanjutkan, "Kemudian Muawiyah menulis sepucuk surat kepada para gubernurnya di seluruh pelosok negeri, "Perhatikanlah, siapa saja yang terbukti mencintai Ali dan Ahlul Baitnya, maka hapuslah dia dari diwan, dan putuslah rezeki dan pemberian untuknya.' Muawiyah menambahkan, 'Siapa saja yang kamu duga mengikuti mereka maka timpakanlah bencana kepadanya, dan han-curkanlah rumahnya.'"[113]


Tampak jelas bagi Anda begitu kerasnya persekongkolan yang dilakukan untuk menyelewengkan dan memalsukan kebenaran, hingga sampai tarap mereka menghalalkan berbohong atas nama Rasulullah saw. Semua ini disebabkan rasa pemusuhan yang begitu besar yang dimiliki Muawayiyah terhadap Ali dan para Syi'ahnya. Oleh karena itu, Muawiyah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghadapi Ali dan Syi'ahnya. Adapun langkah pertama yang dilakukan oleh Muawiyah ialah dengan melucuti Imam Ali as dari segala keutamaan, dan tidak hanya cukup sampai di situ, melainkan dia juga melaknatnya di atas mimbar selama delapan tahun. Adapun langkah yang kedua ialah dengan membangun pagar yang indah yang mengelilingi sekelompok sahabat, sehingga mereka menjadi simbol dan panutan, sebagai ganti dari Imam Ali as. Berbagai ancaman dan bujukan Muawiyah telah menjadikan sekelompok orang munafik berkhidmat kepadanya dengan cara membuat hadis-hadis palsu, dengan menyebut diri mereka sebagai sahabat Rasulullah saw.
Abu Ja'far al-Iskafi berkata, "Muawiyah memerintahkan sekelompok orang dari para sahabat dan tabi'in untuk membuat riwayat-riwayat yang menjelekkan dan memakzulkan Ali. Muawiyah mengiming-imingi mereka dengan hadiah dan pemberian yang mereka sukai. Maka mereka pun melakukan apa yang diinginkannya. Di antara para sahabat yang demikian ialah Abu Hurairah, 'Amr bin 'Ash, Mughirah bin Syu'bah, sementara di antara para tabi'in ialah 'Urwah bin Zubar..."[114]
Demikianlah, mereka telah menjual akhirat mereka dengan dunia Muawiyah. Inilah Abu Hurairah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-A'masy, "Ketika Abu Hurairah datang ke Irak bersama Muawiyah pada "Tahun Jamaah", dia datang ke mesjid Kufah. Tatkala dia melihat banyaknya manusia yang menyambut kedatangannya, dia berlutut di atas kedua lututnya sambil memukul bagian botak kepalanya berkali-kali sambil berkata, 'Wahai penduduk Irak, apakah kamu mengira saya berdusta atas Rasulullah saw, dan membakar diri saya dengan api neraka? Demi Allah, saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sesungguhnya tiap-tiap nabi mempunyai haram (tempat yang disucikan), dan sesungguhnya haram-ku ialah di antara 'Air dan Tsawr.[115] Barangsiapa yang ber-hadats di dalamnya, maka Allah, para malaikat dan seluruh manusia akan melaknatnya.' Dan aku bersaksi kepada Allah bahwa sesungguhnya Ali telah ber-hadats di dalamnya.' Ketika ucapan Abu Hurairah itu terdengar oleh Muawiyah, maka Muawiyah pun memberinya hadiah, menghormatinya dan mengangkatnya sebagai penguasa Madinah.[116]

Berikut ini adalah Samurah bin Jundub, contoh lain dari antek Muawiyah di dalam membuat hadis palsu. Di dalam kitab Syarh Nahj al-Balaghah Ibnu Abil Hadid disebutkan bahwa Muawiyah memberikan seratus ribu dirham kepada Samurah bin Jundub supaya dia mau meriwayatkan bahwa ayat ini turun pada Ali, "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehdiupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, pada-hal ia adalah penentang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan" (QS. al-Baqarah: 204), dan ayat yang kedua turun pada Ibnu Muljam —pembunuh Ali bin Abi Thalib, "Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya." (QS. al-Baqarah: 207)
Samurah bin Jundub tidak mau menerima. Muawiyah menambah pemberiannya menjadi dua ratus ribu dirham, namun Samurah bin Jundub tetap tidak mau menerima. Tetapi, tatkala Muawiyah menambahnya lagi menjadi empat ratus ribu dirham, Samurah bin Jundub menerimanya.[117]
Thabari meriwayatkan, "Ibnu Sirin ditanya, 'Apakah pernah Samurah membunuh seseorang?' Ibnu Sirin menjawab, 'Tidak terhitung orang yang telah dibunuh oleh Samurah bin Jundub. Dia mengganti Ziyad di Basrah, dan kemudian Kufah, dia telah membunuh delapan ribu orang.'" Juga diriwayatkan bahwa Samurah bin Jundub pernah membunuh sebanyak empat puluh tujuh orang hanya dalam satu pagi, yang kesemuanya adalah orang yang telah mengumpulkan Al-Qur'an.[118]

Thabari berkata, "Ziyad meninggal dunia sementara Samurah sedang memegang kendali atas Basrah. Muawiyah memperdayakannya selama berbulan-bulan, dan kemudian menurunkannya. Samurah berkata, 'Semoga Allah melaknat Muawiyah. Demi Allah, seandainya aku taat kepada Allah sebagaimana aku taat kepada Muawiyah, niscaya Dia tidak akan mengazabku selama-lamanya."'[119]
Adapun Mughirah bin Syu'bah, dia terang-terangan mengakui berbagai tekanan yang diberikan oleh Muawiyah kepada dirinya. Thabari meriwayatkan tentang Mughirah bin Syu'bah, "Mughirah berkata kepada Sha'sha'ah bin Shuhan al-'Abdi —ketika itu Mughirah tengah menjadi penguasa Kufah yang diangkat oleh Muawiyah— 'Jangan sampai engkau mencela Usman di hadapan siapa pun; dan begitu juga jangan sampai engkau menyebut sebuah keutamaan Ali secara terang-terangan, karena tidak ada satu pun keutamaan Ali yang engkau sebutkan yang tidak aku ketahui. Bahkan aku lebih tahu dari kamu tentang itu, namun sultan ini —yang dia maksud adalah Muawiyah— telah memerintahkan kepada kami untuk menampakkan kekurangan-kekurangannya —yaitu Ali— ke hadapan manusia. Kami banyak meninggalkan apa yang telah diperintahkan kepada kami, namun kami terpaksa menyebutkan sesuatu yang kami tidak menemukan jalan untuk lepas darinya, untuk membela diri kami dari mereka. Jika engkau ingin jika menyebutkan keutamaannya (Ali) maka sebutkanlah di tengah-tengah sahabatmu, dan di dalam rumah-mu secara rahasia. Adapun menyebutkannya secara terang-terangan di mesjid adalah sesuatu yang tidak bisa diterima dan dimaafkan oleh khalifah...’"[120]


Begitulah sekelompok para sahabat dan tabi'in memenuhi permintaan Muawiyah. Barangsiapa yang menolak maka dia dibunuh. Seperti Syahid Hujur bin 'Adi, Maitsam at-Tammar dan yang lainnya.
Oleh karena itu, pada periode tersebut muncul beribu-ribu hadis palsu yang merangkai keutamaan-keutamaan dan kepahlawanan para sahabat, terutama para khalifah yang tiga, yaitu Abu Bakar, Umar dan Usman. Kemudian hadis-hadis palsu tersebut dinukil generasi demi generasi, hingga kemudian dibukukan di dalam kitab-kitab referensi yang dijadikan pegangan.


Berikut ini beberapa contoh dari hadis palsu, dan barangsiapa yang hendak mengetahui lebih luas, maka silahkan dia merujuk kepada ensiklopedia al-Ghadir, karya Allamah al-Amini, jilid 7, 8 dan 9:


1. Matahari Bertawassul Kepada Abu Bakar
Rasulullah saw bersabda, "Ditampakkan kepadaku segala sesuatu pada malam mi’raj, bahkan hingga matahari. Aku mengucapkan salam kepadanya, dan menanyakan tentang sebab kenapa terjadi gerhana atasnya. Allah SWT menjadikannya bisa berbicara, lalu dia berkata, 'Allah SWT menjadikan aku berada di atas roda yang bergerak ke mana dia suka. Kemudian aku melihat kepada diriku dengan perasaan bangga, maka roda itu pun menurunkan aku sehingga aku jatuh ke laut. Lalu aku melihat ada dua orang, di mana yang satu mengatakan, 'Esa, esa', sedangkan yang satunya lagi mengatakan, 'Benar, benar'. Kemudian aku pun bertawassul kepada keduanya, maka Allah SWT membebaskan aku dari gerhana. Lalu aku bertanya, 'Wahai Tuhanku, siapakah mereka berdua?' Allah SWT menjawab, 'Yang mengatakan 'esa, esa' adalah kekasihku Muhammad saw, sedangkan yang mengatakan 'benar, benar' adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra."[121]

2.  Abu Bakar Berada Di Qaba Qawsain
Telah sampai riwayat kepada kita bahwa tatkala Rasulullah saw berada pada jarak dua ujung busur anak panah atau lebih dekat, rasa takut menyerang dirinya, lalu dia mendengar suara Abu Bakar ra di hadirat Allah SWT, maka hati Rasulullah saw pun menjadi tenang dengan mendengar suara sahabatnya.[122]

3. Abu Bakar, Dan Alif Al-Qur'an
Ayat Al-Qur'an yang turun pada Abu Bakar banyak sekali. Cukup bagi kita cukup alif Al-Qur'an, yaitu "alif lam mim, dzalikal kitabu". Alif adalah Abu Bakar, Lam adalah Allah, dan Mim adalah Muhammad.[123]

Mereka tidak membiarkan satu pun keutamaan yang dimiliki Rasulullah saw kecuali mereka juga menjadikan Abu Bakar sama-sama memilikinya.

Adapun berkenaan dengan keutamaan-keutamaan Umar maka tidak diragukan. Kita sebutkan salah satunya yang mengatakan Umar mempunyai kekuasaan takwini. Ar-Razi telah berkata di dalam kitab tafsirnya, "Terjadi gempa bumi di kota Madinah. Lalu Umar memukulkan mutiara ke bumi sambil berkata, 'Diamlah, dengan izin Allah.' Maka bumi pun diam, dan sejak itu tidak pernah terjadi lagi gempa di kota Madinah."

Juga disebutkan, telah terjadi kebakaran di sebagian pinggiran kota Madinah, maka Umar menulis di atas sehelai kain, 'Wahai api, diamlah, dengan izin Allah', lalu dia melemparkannya ke dalam api, maka seketika itu pun api menjadi padam.


Para Perawi Hadis Dan Pemalsuan Kebenaran
Terdapat banyak cara yang dilakukan oleh para penulis hadis untuk memalsukan dan menyelewengkan kebenaran. Keta'assuban tampak jelas terlihat di dalam kitab-kitab mereka. Tatkala terlihat oleh mereka hadis-hadis yang berbicara tentang keutamaan Ali, atau menyingkap kekurangan para khalifah dan sahabat, dengan segera tangan mereka merubah hakikatnya. Berikut ini beberapa contoh dari cara-cara tersebut, hingga peranan yang amat berbahaya yang dilakukan oleh para muhaddis di dalam memalsukan kebenaran.

1. Contoh Pertama:
Manakala Muawiyah hendak mengambil baiat untuk anaknya Yazid, Abdurrahman bin Abu Bakar termasuk salah seorang yang paling keras menentang pembaiatan Yazid. Marwan berpidato di mesjid Rasulullah saw, yang ketika itu dia berkedudukan sebagai gubernur Hijaz yang diangkat oleh Muawiyah. Marwan berkata, "Amirul Mukminin menginginkan keutamaan Anda semua. Dia telah menunjuk anaknya Yazid untuk menjadi khalifah sepeninggalnya." Mendengar itu Abdurrahman bin Abu Bakar berdiri dan berkata, "Demi Allah, engkau telah berdusta, ya Marwan. Dan juga engkau telah berdusta, ya Muawiyah. Keutamaan apa yang engkau inginkan bagi umat Muhammad. Engkau tidak lain ingin menjadikannya menjadi kerajaan, di mana setiap seorang raja mati maka diganti dengan raja yang lain." Marwan berkata, "Inilah orang yang Allah SWT telah turunkan padanya, dan orang yang telah berkata kepada kedua orang tuanya, 'Cis, bagi kamu keduanya.'" Aisyah mendengar perkataan Marwan dari balik tabir. Dia berdiri dari balik tabir dan kemudian berkata, "Hai Marwan, hai Marwan." Maka orang-orang pun diam, dan Marwan menghadapkan wajahnya. Lalu Aisyah berkata, "Engkau katakan kepada Abdurrahman bahwa ayat Al-Qur'an ini turun kepadanya. Engkau dusta. Demi Allah, ayat ini bukan turun padanya, melainkan pada Fulan bin Fulan, namun dia adalah kelompok orang yang dilaknat oleh Allah SWT." Pada riawayat lain disebutkan bahwa Aisyah berkata, "Demi Allah, bukan dia yang dimaksud dalam ayat ini. Akan tetapi Rasulullah saw telah melaknat Bapak Marwan pada saat Marwan masih berada di dalam tulang sulbinya. Maka dengan begitu Marwan termasuk kelompok orang yang dilaknat oleh Allah Azza Wajalla."[124]


Sekarang, coba lihat, bagaimana Bukhari menyelewengkan sesuatu yang memburukkan Muawiyah dan Marwan:

"Marwan berkuasa atas Hijaz. Muawiayah menggunakanya. Marwan berpidato, dan menyebut Yazid bin Muawiyah supaya orang-orang berbaiat kepadanya sepeninggal ayahnya. Kemudian Abdurrahman bin Abu Bakar mengatakan sesuatu, lalu Marwan berkata, 'Tangkap dia', maka Abdurrahman bin Abu Bakar masuk ke rumah Aisyah, sehingga mereka tidak mampu menangkapnya. Marwan ber-kata, 'Orang inilah yang Allah telah turunkan padanya ayat, 'Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya, 'Cis, bagi kamu berdua.' Apakah Anda menerima alasan saya?!' Kemudian Aisyah berkata dari balik tabir, 'Allah tidak menurunkan sesuatu dari Al-Qur'an padanya, kecuali Allah menurunkan alasan saya.'"[125]

Bukhari membuang perkataan Abdurrahman dan menggantinya dengan mengatakan "Abdurrahman mengatakan sesuatu", sebagaimana juga dia mengganti perkataan Aisyah. Semua ini dilakukan Bukhari untuk menjaga nama baik Muawiyah dan Marwan. Ibnu Hajar telah menceritakan peristiwa ini secara panjang lebar di dalam kitabnya Fath al-Bari. Perhatikanlah, sampai sejauh mana kelurusan Bukhari di dalam menukil kenyataan.


2. ContohKedua.
Bukhari membuang fatwa Umar tentang tidak salat. Muslim meriwayatkan dari Syu'bah yang berkata, "Al-Hakam berkata kepada saya, dari Sa'id bin Abdurrahman, dari ayahnya yang berkata, "Seorang laki-laki mendatangi Umar dan berkata, 'Saya berjunub, namun saya tidak menemukan air.' Umar menjawab, 'Jangan kamu salat.'
Lalu Ammar berkata, 'Apakah kamu ingat, wahai Amirul Mukminin, tatkala kamu dan saya berada di dalam pasukan. Pada saat itu kita berjunub, dan kita tidak menemukan air. Kamu pada saat itu tidak mengerjakan salat, sedangkan saya berguling-guling di atas tanah dan kemudian salat. Kemudian Rasulullah saw berkata, 'Cukup kamu memukulkan kedua telapak tanganmu ke atas tanah, kemudian meniup keduanya, dan lalu mengusapkannya ke wajahmu dan kedua punggung tanganmu.'

Umar berkata, 'Bertakwalah kepada Allah, wahai Ammar.' Ammar berkata, 'Jika kamu tidak ingin, saya tidak akan ceritakan."'[126]

Padahal hadis ini dengan jelas menunjukkan kebodohan Umar akan hukum agama yang paling sederhana dan penting, yang diketahui oleh seluruh kaum Muslimin (yaitu hukum tayammum), dan yang dengan jelas dikatakan oleh Al-Qur'an dan diajarkan oleh Rasulullah saw kepada mereka tentang tata caranya. Namun demikian, Umar memberikan fatwa untuk tidak salat. Yang pertama, ini tidak lain merupakan salah satu indikasi kebodohan Umar, dan menunjukkan bahwa Umar tidak begitu menaruh perhatian kepada salat, dan bahkan me-nunjukkan bahwa Umar tidak mengerjakan salat pada saat dia junub, sebagaimana yang dijelaskan oleh riwayat.

Saya ingat, salah seorang teman saya pernah berdiskusi dengan saya tentang ilmunya Umar. Dia berkata kepada saya, "Sesungguhnya Umar sejalan dengan Al-Qur'an sebelum Al-Qur'an turun."

Saya katakan kepadanya, "Ini hanya cerita yang tidak ada hubungannya dengan kenyataan. Karena bagaimana mungkin Umar sejalan dengan Al-Qur'an sebelum Al-Qur'an diturunkan, padahal dia tidak sejalan dengan Al-Qur'an setelah Al-Qur'an turun tentang masalah tayammum dan penentuan mahar wanita. Hadis ini merupakan guncangan yang paling keras yang saya alami selama saya mengkaji tentang pribadi Umar. Karena hadis ini menyingkap secara sempurna sampai sejauh mana tingkat keilmuan dan keberagamaan Umar. Yang lebih mengherankan saya ialah sikap Umar yang tetap bersikeras dengan kebodohannya setelah diberitahukan oleh Ammar tentang hukum agama mengenai masalah itu.
Kemudian, lihatlah bagaimana Bukhari tidak sampai hati meriwayatkan fatwa Umar ini, yang tidak mungkin ada seorang pun yang memfatwakannya meski orang pasar sekali pun. Bukhari mengeluarkan di dalam kitab sahihnya dengan sanad dan redaksi yang sama, namun dengan membuang fatwanya,

"Seorang laki-laki datang kepada Umar bin Khattab dan berkata, 'Saya berjunub namun saya tidak menemukan air.' Lalu Ammar bin Yasir berkata kepada Umar bin Khattab, 'Apakah kamu ingat, wahai Amirul Mukminin, tatkala kamu dan saya ..."[127]

3. Contoh Ketiga:
Ibnu Hajar mengeluarkan di dalam kitabnya Fath al-Barifi Syarh Shahih al-Bukhari, jilid 17, halaman 31, hadis yang berbunyi, "Seorang laki-laki bertanya kepada Umar tentang firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan buah-buahan serta rumput-rumputan', apakah rumput-rumputan itu?'

Umar menjawab, 'Kita dilarang untuk mendalami dan memberatkan diri.'"

Ibnu Hajar berkata, "Di dalam riwayat lain yang berasal dari Tsabit, dari Anas yang berkata bahwa Umar membaca, 'Dan buah-buahan serta abb (sejenis rerumputan).' Lalu orang bertanya, 'Apa abb itu?' Umar menjawab, 'Kita tidak diperintahkan untuk memberatkan diri', atau 'Kita tidak diperintahkan dengan yang demikian ini.'"

Kemudian, perhatikanlah bagaimana Bukhari mengerahkan segenap usahanya untuk membersihkan Umar dari segala sesuatu yang menempel padanya. Kenapa dia tidak meriwayatkan hadis yang membuktikan kebodohan Umar akan Al-Qur'an ini. Karena masalah yang ditanyakan adalah masalah yang sangat sederhana bagi orang yang mengenal Al-Qur'an dan gaya bahasanya. Argumentasi Umar tentang tidak adanya perintah memberatkan diri bukanlah pada tempatnya, karena masalah ini bukan merupakan sebuah tindakan pemberatan diri. Dan membuat-buat alasan dalam urusan ini adalah lebih buruk dari dosa. Ketika Imam Ali as ditanya dengan pertanyaan yang sama, Imam Ali as menjawab berkenaan dengan ayat yang sama, 'Dan buah-buahan serta abb (sejenis rerumputan), untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu', 'Buah-buahan adalah kesenangan untuk kita sedangkan abb adalah kesenangan untuk binatang-binatang ternak. Abb adalah sejenis rerumputan.'"

Bukhari berkata di dalam kitab sahihnya, dari Tsabit, dari Anas yang mengatakan, "Kami berada di samping Umar, lalu dia berkata, 'Kita dilarang untuk memberatkan diri.'"[128]

Hadis ini dan hadis-hadis lainnya termasuk ke dalam kelompok hadis yang tidak sejalan dengan keyakinan Bukhari. Oleh karena itu, dengan sengaja dia pun menghilangkan sebagian, mengganti atau membuang hadis secara keseluruhan. Persis, sebagaimana yang telah dilakukannya terhadap hadis tsaqalain, "Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku ...", yang mana Muslim dan al-Hakim telah mengeluarkannya sesuai dengan syarat Bukhari. Demikian juga dengan hadis-hadis sahih lainnya yang Bukhari tidak mampu menjelaskan dan menyimpangkannya, maka dia pun tidak memasukkannya ke dalam kitab sahihnya. Inilah yang menjadi sebab dasar kenapa kitab Sahih Bukhari dijadikan sebagai kitab yang paling sahih setelah Kitab Allah oleh para penguasa. Saya tidak tahu ada sebab lain selain sebab ini yang dijadikan dasar pertimbangan ini.


4. Contoh Keempat:
Berikut ini saya ketengahkan kepada Anda suatu peristiwa yang darinya Anda dapat mengetahui dengan jelas sampai sejauh mana Bukhari secara sengaja menyelewengkan fakta dan kebenaran. Para ulama Ahlus Sunnah beserta para huffazhnya, seperti Turmudzi di dalam Sahihnya, al-Hakim di dalam Mustadraknya, Ahmad bin Hanbal di dalam Mustadraknya, Nasa'i di dalam Khasha'ishnya, Thabari di dalam Tafsirnya, Jalaluddin as-Suyuthi di dalam tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, Muttaqi al-Hindi di dalam kitabnya Kanz al-'Ummal, Ibnu Atsk di dalam kitab Tarikhnya, dan banyak lagi yang lainnya, mereka meriwayatkan,
"Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Abu Bakar dan memerintahkannya untuk menyeru dengan kalimat ini, yaitu pengingkaran dari Allah dan Rasul-Nya. Kemudian Rasulullah saw memerintahkan Ali untuk menyusul Abu Bakar dan memerintahkannya untuk menyeru dengan kalimat yang sama. Maka Ali as berdiri pada hari-hari tasyrig dan berseru, 'Sesungguhnya Allah SWT dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Maka berjalanlah selama empat bulan di muka bumi. Dan setelah tahun ini tidak boleh ada orang Musyrik yang berhaji, dan tidak boleh ada orang yang bertawaf dalam keadaan telanjang.' Abu Bakar ra kembali dan berkata, 'Apakah ada ayat yang turun berkenaan denganku?' Rasulullah saw menjawab, 'Tidak. Jibril telah datang kepadaku dan berkata, 'Tidak boleh ada yang menunaikan tugas ini selain kamu atau seorang laki-laki dari kamu.'"
Di sini, Bukhari menghadapi dilema. Riwayat ini bertentangan sama sekali dengan mazhab dan keyakinannya. Riwayat ini menetapkan keutamaan Ali as, dan itu pun keutamaan yang sangat besar, sementara pada saat yang sama riwayat ini merendahkan Abu Bakar, atau setidaknya tidak menetapkan sesuatu apa pun bagi Abu Bakar. Bagaimana caranya dia bisa menyelewengkan riwayat ini bagi kepen-tingan keyakinannya, sehingga dengan begitu dia bisa menetapkan keutamaan bagi Abu Bakar dan tidak sesuatu pun bagi Ali.

Marilah Anda perhatikan, bagaimana dengan kelihaiannya Bukhari dapat keluar dari keadaan yang sulit ini.

Bukhari mengeluarkan di dalam Sahihnya, kitab tafsir al-Qur’an, bab firman Allah SWT "Maka berjalanlah selama empat bulan di muka bumi",

Bukhari berkata, "Humaid bin Abdurrahman telah memberitahukan saya bahwa Abu Hurairah ra telah berkata, 'Abu Bakar mengutus saya pada ibadah haji itu ke dalam kelompok orang yang diutus olehnya pada harian menyembelih kurban di Mina untuk mengumumkan bahwa setelah tahun ini tidak boleh ada orang musyrik yang berhaji, dan tidak boleh ada orang yang bertawaf dalam keadaan telanjang.' Humaid bin Abdurrahman menambahkan 'Kemudian Rasulullah saw mengikutkan Ali bin Abi Thalib as dan memerintahkannya untuk mengumumkan bara'ah (pengingkaran terhadap orang musyrik). Lalu Abu Hurairah berkata, 'Maka Ali bin Abi Thalib pun bersama-sama kami mengumumkan bara 'ah kepada orang-orang yang sedang ada di Mina pada harian menyembelih kurban, dan bahwa setelah tahun ini tidak boleh ada orang musyrik yang berhaji serta tidak boleh ada orang yang bertawaf dalam keadaan telanjang."'[129]
Saya berikan kesempatan kepada Anda, wahai para pembaca, untuk berkomentar, supaya Anda dapat melihat sendiri kepada penyimpangan dan pemutar-balikkan ini. Bagaimana Bukhari melenyapkan keutamaan yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib as, dan sebagai gantinya dia menetapkan keutamaan bagi Abu Bakar, padahal Allah SWT telah memakzulkannya dengan wahyu yang diturunkan olehNya. Jibril Berkata kepada Rasulullah saw, "Tidak boleh ada yang menunaikan tugas ini kecuali kamu atau seorang laki-laki dari kamu." Kemudian, coba lihat, bagaimana Bukhari menjadikan urusan ini berada di tangan Abu Bakar, sehingga dengan begitu Abu Bakar menjadi orang yang memerintah dan menetapkan urusan dengan kehadiran Rasulullah saw!
Masya Allah, bagaimana dia merubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain.
5. Contoh Kelima:
Muslim berserikat di dalam sahihnya dengan Ibnu Hisyam dan Thabari di dalam membuang bagian dari hadis yang mendiskreditkan kedudukan Abu Bakar dan Umar. Setelah Ibnu Hisyam menukil berita tentang peperangan Badar dan informasi yang sampai kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya tentang kafilah dagang Quraisy, Ibnu Hisyam menyebutkan Rasulullah saw mengajak para sahabatnya untuk bermusyawarah. Ibnu Hisyam berkata, "Rasulullah saw mendapat berita tentang perjalanan kafilah dagang Quraisy, dan beliau bermaksud mencegat kafilah dagang tersebut. Maka Rasulullah saw mengajak orang-orang untuk bermusyawarah dan memberitahukan mereka tentang kafilah dagang Quraisy. Maka berdirilah Abu Bakar ash-Shiddiq mengatakan sesuatu, lalu Rasulullah saw berkata, 'Bagus!' Lalu berdiri Umar dan mengatakan sesuatu, kemudian Rasulullah saw berkata, 'Bagus!' Selanjutnya Miqdad bin 'Amr berdiri dan berkata, 'Ya Rasulullah, berjalanlah sesuai dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepada Anda, niscaya kami bersama Anda. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan kepada Anda sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa manakala mereka mengatakan, 'Pergilah kamu berdua denganmu Tuhanmu dan berperanglah, adapun kami biar duduk di sini saja menunggu; melainkan kami mengatakan, 'Pergilah kamu berdua dengan Tuhanmu dan berperanglah, dan kami pun ikut berperang bersama Anda berdua.' Demi Zat yang mengutus Anda dengan kebenaran, meski pun Anda membawa kami ke dalam lautan, kami akan tetap berperang bersama Anda sehingga Anda sampai kepadanya.' Maka Rasulullah saw berkata kepadanya, 'Bagus!', dan beliau berdoa untuknya."

Yang menjadi pertanyaan kita ialah, apa yang dikatakan oleh Abu Bakar dan Umar kepada Rasulullah saw.

Jika memang bagus, lalu kenapa Bukhari tidak menyebutkannya. Kenapa Bukhari menyebutkan apa yang dikatakan oleh Miqdad namun tidak menyebutkan apa yang dikatakan oleh keduanya?!

Selanjutnya, marilah kita kembali kepada Muslim, untuk melihat apakah dia juga melakukan hal yang sama sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibnu Hisyam dan Thabari. Muslim meriwayatkan, "Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabatnya manakala sampai berita kepadanya tentang kedatangan (kafilah) Abu Sufyan.." Muslim berkata, "Maka Abu Bakar berkata, namun Rasulullah saw berpaling darinya. Kemudian berkata Umar, namun Rasulullah saw berpaling darinya... kemudian Muslim menyebutkan kelanjutan hadis."[130]
Muslim juga tidak menyebutkan apa yang telah dikatakan oleh Abu Bakaar dan Umar, namun dia lebih jujur dari Ibnu Hisyam dan Thabari. Karena Muslim mengatakan , "Rasulullah saw berpaling darinya", dan tidak mengatakan, "Bagus!" Meski pun apa yang telah dilakukannya tetap merupakan kejahatan terhadap hadis. Karena dia harus menyebutkan perkataan keduanya. Dan keputusannya untuk tidak menyebutkan perkataan keduanya, menunjukkan adanya kedengkian di dalam perkara ini. Kenapa Rasulullah saw berpaling dari perkataan keduanya, jika perkataan keduanya bagus?!
Dari kedua hadis di atas —setelah terbukti secara jelas pemalsuan yang telah mereka lakukan— menjadi jelas bagi kita bahwa di sana terdapat sesuatu yang tidak layak bagi kedua Syeikh (Abu Bakar dan Umar —penerj.) yang tidak mereka sebutkan. Namun, Allah SWT tetap menampakkan cahaya-Nya meski pun orang-orang kafir tidak suka. Kitab al-Maghazi, karya al-Waqidi, dan kitab Imta' al-Asma, karya Muqrizi, menceritakan kisah ini. Setelah kedua kitab ini menyebutkan khabar di atas, kedua kitab ini menyebutkan, "Maka Umar berkata, 'Ya Rasulullah, Demi Allah, sesungguhnya mereka itu bangsa Quraisy. Demi Allah, kemuliaan mereka belum melemah sejak mereka mulia. Demi Allah, mereka belum beriman sejak mereka kafir. Dan demi Allah, selamanya mereka tidak akan menyerahkan kemuliaannya. Mereka pasti akan memerangi Anda, maka oleh karena itu bersiap sedialah dengan perlengkapan untuk itu."
Dari sini kita dapat mengetahui kenapa Rasulullah saw berpaling dari perkataan Umar. Karena perkataan yang dikatakan oleh Umar ini tidak pantas dikatakan oleh seorang sahabat Rasulullah saw. Bagaimana bisa Umar menyatakan orang musyrikin Quraisy mempunyai kemuliaan?

Apakah Rasulullah saw bermaksud hendak menghinakan mereka?

Sungguh amat disayangkan. Namun, inilah tingkat pengetahuan Umar terhadap Islam, dan begitu juga tingkat peradabannya.

Demikianlah, Bukhari dan Muslim senantiasa mencampurkan kebenaran dengan kebatilan, dan mengganti hadis-hadis yang mereka rasakan menjelekkan Abu Bakar dan Umar.


Ketiga:
PENULIS, DAN PERANAN MEREKA DI DALAM MENYELEWENGKAN KEBENARAN
Peranan para muhaddis dan sejarahwan mengukuhkan orang-orang yang datang sesudah mereka, yaitu para penulis. Mereka mengerahkan segenap usaha mereka untuk memalsukan kebenaran dan menjelek-jelekkan mazhab Ahlul Bait, dengan menggunakan berbagai macam propaganda dan penyebaran berita dusta. Mereka para penulis telah memperoleh keberhasilan besar di dalam memperdalam kebodohan pada diri anggota mazhab mereka, dan memperlebar jurang di antara mereka dengan pengenalan kepada kebenaran. Mereka telah menggambarkan Syi'ah dalam rupa yang paling buruk. Ini semua disebabkan berbagai khurafat dan sangkaan yang mereka rangkai. Saya tidak mengatakan ini hanya sekedar berupa asumsi, melainkan saya sendiri pernah mengalami kebodohan ini untuk beberapa waktu. Dan saya dapat merasakan lebih besar lagi kebodohan saya tersebut manakala hati saya telah terbuka dan diterangi oleh Allah SWT dengan cahaya Ahlul Bait. Saya menemukan masyarakat saya tenggelam di dalam timbunan kebodohan dan berbagai kebohongan atas Syi'ah. Setiap kali saya bertanya tentang Syi'ah, baik yang ditanya itu seorang ulama atau seorang yang terpelajar, mereka menjawab saya dengan serangkaian kebohongan atas Syi'ah. Misalnya, mereka menjawab bahwa Syi'ah itu mengatakan Ali adalah Rasul Allah yang sebenarnya, namun Jibril melakukan kesalahan dan menurunkan risalah kepada Muhammad. Atau, mereka mengatakan bahwa orang-orang Syi'ah menyembah Ali, atau kebohongan-kebohongan lainnya yang sama sekali bertentangan dengan kenyataan. Dan, cobaan yang paling berat dari semua itu ialah manakala kepada Anda dilontarkan pertanyaan yang mengherankan,
Apakah orang-orang Syi'ah itu Muslim?

Apa perbedaan antara Syi'ah dengan syuyu'iyyah (komunis)?
Kebodohan akan Syi'ah ini, yang dialami oleh sebagian besar dari umat Islam, adalah merupakan hasil logis dari segenap usaha dan kerja keras para penulis, sebagai akibat dari kebodohan yang diterapkan atas generasi-generasi umat ini, supaya mereka menolak dan tidak mengakui mazhab Syi'ah. Ini merupakan kelanjutan dari rencana yang telah dimulai sejak dahulu, dan diteruskan hingga hari ini. Oleh karena itu, Anda dapat menemukan beratus-ratus buku beracun yang menghujat Syi'ah, yang mereka sebarkan ke tengah-tengah masyarakat, dan biasanya dibagi-bagikan secara gratis oleh pihak Wahabi. Alangkah baiknya, jika sekiranya di tengah-tengah atmosfir yang dipenuhi dengan sikap penentangan terhadap Syi'ah, dibolehkan juga buku-buku Syi'ah beredar di tengah-tengah masyarakat, sehingga dengan begitu akan tercipta keseimbangan. Namun, ini tidak terjadi. Cobalah tengok perpustakaan-perpustakaan Islam dari kalangan Ahlus-Sunnah, mereka jarang sekali dan bahkan dapat dikatakan tidak sama sekali memuat buku-buku Syi'ah. Sebaliknya perpustakaan-perpustakaan Syi'ah, baik itu yang untuk dijual maupun yang terdapat di lembaga-lembaga ilmiah, mereka tidak kosong dari kitab-kitab dan referensi-referensi rujukan Ahlus-Sunnah, dengan berbagai macam garis dan pandangannya.
Dan yang lebih parah dari semua itu, jika seandainya Anda memberikan sebuah buku Syi'ah kepada salah seorang dari mereka, mereka tidak akan membacanya, bahkan mungkin akan membakarnya, dengan alasan bahwa dia tidak boleh membaca buku-buku sesat.

Saya masih ingat bagaimana imam mesjid di desa kami dengan lantang menyatakan kekufuran dan kesesatan saya, dan melarang semua orang untuk duduk bersama saya atau membaca buku-buku tulisan saya. Logika macam apakah ini, yang memberangus manusia dari kebebasannya berpikir. Namun, memang beginilah siasat kebodohan dan pembodohan yang mereka tempuh.



Beberapa Kitab Yang Ditulis Untuk Menentang Syi'ah:
1. Muhadharat fi Tarikh al-Umam al-Islamiyyah (Ceramah-Ceramah Tentang Sejarah Umat Islam), karya al-Khudhari.
2. As-Sunnah wa asy-Syi'ah (Sunnah dan Syi'ah), karya Muhammad Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar.
3. Ash-Shira' Baina al-Watsaniyyah wa al-Islam (Pertarungan Antara Paganisme Dengan Islam), karya al-Qashimi.
4. Fajr al-Islam wa Dhuha al-Islam (Fajar Islam), karya Ahmad Amin.
5. Al-Wasyi'ah fi Naqd asy-Syi'ah (Kumpulan Kritikan Terhadap Syi'ah), karya Musa Jarullah.
6. Al-Khuthuth al-'Aridhah (Jaringan yang luas), karya Muhibuddin Khathab.
7. Asy-Syi'ah wa as-Sunnah, asy-Syi'ah wa al-Qur'an, asy-Syi'ah wa Ahlul Bait, dan asy-Syi'ah wa at-Tasyayyu'', karya Ihsan Ilahi Zhahir.
8. Minhaj as-Sunnah, Ibnu Taimiyyah.
9. Ibthal al-Bathil, Fadhl bin Ruzbahan.
10. Ushul Madzhab asy-Syi'ah, Nashir al-Ghifari.
11. Wa Ja'a Dawr al-Majus, Abdullah Muhammad al-Gharib.
12. At-Tuhfah al-Itsna 'Asyariyyah, ad-Dahlawi.
13. Jawlahfi Rubu'asy-Syarq al-Adna, Muhaddis Tsabit alMishri.

Dan kitab-kitab lainnya yang tendensius. Para ulama Syi'ah telah menjawab kitab-kitab ini dan kitab-kitab yang semisalnya dengan jawaban rinci dan cukup.

Anda dapat saksikan adanya perbedaan metode pembahasan di antara kedua jenis kitab di atas. Anda mendapati kitab-kitab Syi'ah bertujuan untuk membuktikan dan mengokohkan kebenaran mazhabnya dengan dalil-dalil yang kuat dan argumentasi-argumentasi yang cemerlang, yang bersandar kepada kitab-kitab referensi Ahlus Sunnah, dengan tanpa menyerang mazhab lain. Adapun kitab-kitab yang berusaha menolak Syi'ah, sejak awal mereka bertujuan untuk menyerang mazhab Syi'ah dengan berbagai cara, meskipun dengan cara menuduh dan menciptakan kebohongan-kebohongan.

Banyak sekali bukti-bukti yang mendukung ucapan kami. Insya Allah, kami akan kemukakan beberapa contoh darinya dalam pembahasan ini.


Kitab-Kitab Syi'ah Yang Menjawab Dan Mengokohkan Kebenaran Mazhabnya

1. Asy-Syafi fi al-Imamah.
Kitab ini terdiri dari empat jilid. Di dalam kitab ini, penulisnya Syarif al-Murtadha membuktikan keimamaham sebagai dasar agama, sosial dan politik. Dia juga membuktikan dengan dalil naql dan akal yang lurus bahwa keimamahan merupakan keharusan agama dan sosial, bahwasannya Ali as adalah khalifah sepeninggal Rasulullah saw yang telah ditetapkan dengan nas, dan barangsiapa yang menentangnya maka berati dia telah menentang kebenaran. Di dalam kitabnya ini juga Syarif al-Murtadha menjawab seluruh kecurigaan maupun kesamaran yang dikatakan atau yang mungkin akan dikatakan di seputar masalah keimamahan, dan kemudian dia menggugurkannya dengan logika akal dan hujjah yang cemerlang.[131]

2. Nahj al-Haq wa Kasyf ash-Shidq, karya Allamah al-Hilli.
Kitab ini membahas sekumpulan masalah berikut ini,
a. Pemahaman (al-Idrak).
b. Pandangan (an-Nazhar).
c.  Sifat-sifat Allah.
d. Kenabian.
e. Keimamahan.
f.  Ma’ad (hari kiamat).
g. Ushul Fikih.
h. Masalah-masalah yang berkaitan dengan fikih.
Tampak sekali bagi para pembaca kitab ini bahwa penulisnya adalah seorang pengkaji yang objektif, yang tidak ta'assub terhadap pandangannya, dan tidak mendukung salah satu keyakinan pada permulaannya. Dia tidak membahas dan mencari dalil untuk medukung keyakinannya, melainkan dia menempatkan pendapat dan keyakinannya mengikuti Al-Qur'an, serta pendapat dan keyakinannya tunduk kepada dalil.

Fadhl bin Ruzbahan al-Asy'ari telah menulis sebuah kitab untuk mengkritik kitab ini, dan memberinya judul Ibthal al-Bathil wa Ihmal Kasyf al-'Athil. Namun dia tidak menggunakan metode sebagaimana yang digunakan oleh Allamah al-Hilli. Dia justru banyak menyerang dan mengecam. Namun, secara relatif kitab ini dapat dikatagorikan sebagai kitab yang dapat dipegang hujjahnya dan berisi diskusi ilmiah.

3. Ihqaq al-Haq, karya Sayyid Nurullah al-Husaini al-Tusturi.
Sebuah kitab yang besar, yang ditulis oleh penulisnya untuk menjawab kitab Ibthal al-Bathil yang ditulis oleh Fadhl bin Ruzbahan. Kitab lhqaq al-Haq ini telah diberi catatan oleh Ayatullah Syihabuddin al-Mar'asyi an-Najafi, sehingga tebalnya mencapai dua puluh lima jilid ukuran besar. Penulis kitab ini telah melakukan usaha yang besar dan tidak kenal lelah di dalam meneliti dan mengeluarkan hadis-hadis dan riwayat-riwayat dari kitab-kitab Ahlus Sunnah. Sungguh, alangkah bagusnya jika kitab ini ditempatkan di tempat-tempat penyimpanan barang berharga, karena dapat dikatakan sebagai sebuah karya besar, yang mungkin sebuah tim khusus pun tidak dapat menghasilkannya.

4. Jawaban terhadap Fadhl bin Ruzbahan juga diberikan oleh Allamah al-Mudzaffar, di dalam tiga jilid kitab yang berjudul Dala'il ash-Shidq. Kitab ini juga merupakan jawaban terhadap kitab Minhaj as-Sunnah, karya Ibnu Taimiyyah, yang ditulis untuk menjawab Allamah al-Hilli di dalam kitabnya yang berjudul Minhaj al-Karamah. Namun, Allamah al-Mudzaffar tidak membahas secara panjang lebar di dalam menjawab Ibnu Taimiyyah. Dia memberikan isyarat di dalam mukaddimahnya, "Apabila tidak ada kerendahan pada point-point pembahasannya, kekotoran lidah pada penanya, bertele-telenya ungkapannya, serta permusuhannya terhadap diri Nabi al-Amin dan anak-anaknya yang suci, maka tentu layak melakukan pembahasan dengannya."[132]

5. Ensiklopedia al-Ghadir, terdiri dari 11 jilid, karya Allamah Abdul Husain al-Amini.

Ini merupakan karya besar yang dipersembahkan oleh penulisnya. Kitab ini membuktikan kebenaran mazhab Ahlul Bait melalui segenap jalan dan argumentasi. Yang lebih mengagumkan ialah, bahwa penulisnya telah menghimpun kurang lebih sembilan puluh empat ribu kitab rujukan Ahlus Sunnah di dalamnya.

Kitab al-Ghadir ini ditujukan untuk menjawab beberapa kitab Ahlus Sunnah yang ditulis untuk menentang Syi'ah, seperti kitab:
a. al-'Iqd al-Farid.
b. al-Farq Baina al-Firaq.
c.  al-Milal wa an-Nihal.
d. al-Bidayah wa an-Nihayah.
e. al-Mahshar.
f.  as-Sunnahwaasy-Syi'ah.
h. ash-Shira''.
i.   Fajr al-Islam.
j.   Zhuhr al-Islam.
k. Dhuha al-Islam.
l.   'Agidah asy-Syi'ah.
m. al-Wasyi'ah.
n. Minhaj as-Sunnah.
Allamah al-Amini telah menjawab mereka dengan baik, dengan menggunakan dalil-dalil yang terang dan argumentasi-argumentasi yang cemerlang.
Dia memiliki kelebihan dari sisi kajian yang objektif, yang tidak cenderung kepada sikap ta'assub.


6. Juga termasuk salah satu ensiklopedia besar yang membuktikan kebenaran mazhab Syi'ah, yang menjawab serangan musuh-musuhnya ialah kitab 'Abagat al-Anwar fi Imamah al-Aimmah al-Athhar, karya Sayyid Hamid Husain Ibnu Sayyid Muhammad Qili al-Hindi, namun saya belum mendapatkan naskah aslinya. Saya baru mendapat kitab ringkasannya yang berjudul Khulashah 'Abagat al-Anwar, karya Ali Husain al-Milani. Kitab ini terdiri dari 10 jilid. Kitab ini merupakan jawaban atas kitab at-Tuhfah al-Itsna 'Asyariyyah, karya Abdul Aziz ad-Dahlawi, yang mengkritik keyakinan-keyakinan Syi'ah. Sekumpulan para ulama Syi'ah telah menjawab kitab at-Tuhfah ini dengan beberapa kitab, yang di antaranya adalah kitab as-Saif al-Maslul 'ala Mukhrib Din ar-Rasul, karya Abu Ahmad bin Abdun Nabi an-Naisaburi, kitab yang terdiri dari empat jilid, yang masing-masing jilidnya dengan nama Sayyid Deldor Ali Taqi; kitab an-Nazhah al-ltsna 'Asyariyyah, karya Muhammad Qili, yang terdiri dari sekumpulan beberapa jilid kitab besar; berikutnya kitab al-Wajiz fi al-Ushul, karya Syeikh Subhan Ali Khan al-Hindi; dan kitab al-Imamah, karya Sayyid Muhammad bin Sayyid. Sayyid Muhammad bin Sayyid juga mempunyai kitab jawaban terhadap kitab at-Tuhfah dalam bahasa Persia, yang berjudul al-Bawariq al-Ilahiyyah.
Dan kitab-kitab lainnya yang merupakan jawaban terhadap ad-Dahlwi, yang disebutkan oleh penulis kitab adz-Dzari'ah dan kitab A'yan asy-Syi'ah. Dari kitab-kitab jawaban ini yang terbesar adalah kitab al- 'Abagat. Tampak dengan jelas, dari isi kitab ini, kebesaran penulis, ketajaman pandangannya, keluasan ilmunya, ketelitiannya terhadap berbagai perkataan, dan keamanahannya di penukilan ilmiah terhadap berbagai pembahasan, dan di dalam metodologinya di dalam menjawab berbagai kritikan dan sanggahan terhadap argumentasi-argumentasi yang diajukan. Dia telah memutus seluruh jalan dan alasan dengan sekuat-kuatnya hujjah dan sekokoh-kokohnya argumentasi, dan telah menolak berbagai keraguan, sehingga tidak tersisa lagi celah bagi musuh untuk menikam mazhab Syi'ah, mencela dalil dan melemahkan hadis. Dia telah menangkis semuanya dengan cara yang paling baik, dan telah menjawabnya dengan jawaban yang indah, disertai dengan penelitian yang anggun, penyelidikan yang cekatan, argumentasi yang kokoh, istidlal Alawi dan kebangkitan Ridhawi, dengan bersandar seluruhnya kepada kitab-kitab Ahlus Sunnah, dan berargumentasi dengan perkataan pilar-pilar ulama mereka, di dalam berbagai macam disiplin ilmu."[133]
Untuk melakukan itu dia telah dibantu oleh perpustakaan keluarganya yang terkenal yang terdiri lebih dari 30 ribu kitab, baik yang berupa kitab cetakan maupun kitab yang masih berupa transkrif, dari berbagai mazhab dan golongan. Hingga saat sekarang ini kita belum menemukan adanya kitab jawaban terhadap kitab al-'Abaqat, padahal kitab at-Tuhfah telah banyak mendapat jawaban. Adapun yang pertama menjawab kitab at-Tuhfah adalah Sayyid Deldor Ali di dalam kitabnya yang berjudul ash-Shawarim alllahiyyah dan kitab Sharim al-hlam. Lantas kedua kitab Sayyid Deldor itu dijawab oleh Rasyi-duddin ad-Dahlawi, murid penulis kitab at-Tuhfah, dengan kitabnya yang berjudul asy-Syawkah al'Umariyyah. Selanjutnya kitab asy-Syawkah al-'Umariyyah itu dijawab oleh Baqir Ali dengan kitabnya al-Hamlah al-Haidariyyah. Demikian juga kitab at-Tuhfah dijawab oleh al-Mirza di dalam kitabnya an-Nazhah al-Itsna 'Asyariyyah. Lalu salah seorang Ahlus Sunnah menjawab kitab an-Nazhah al-Itsna 'Asyariyyah dengan kitab Rujum asy-Syayathin. Selanjutnya kitab ar-Rujum asy-Syayathin dijawab oleh Sayyid Ja'far al-Musawi dengan kitabnya Mu'in ash-Shadiqin fl Radd Rujum asy-Syayathin.

Begitu juga kitab at-Tuhfah dijawab oleh Sayyid Muhammad Qili, ayah penulis kitab al- 'Abagat dengan kitabnya yang berjudul al-Ajnad al-Itsna 'Asyariiyah al-Muhammadiyyah. Selanjutnya kitab tersebut dijawab oleh Muhammad Rasyid ad-Dahlawi. Lalu Sayyid Muhammad Qili kembali menjawabnya dengan kitab al-Ajwibah al-Fakhirahfi ar-Radd 'ala al-Asya'irah, hingga akhrinya polemik ini disudahi oleh penulis kitab al'Abaqat, dan hingga sekarang belum ada yang menjawabnya. Ini cukup untuk membuktikan kelemahan dari pihak Ahlus Sunnah.

7. Ma'alim al-Madrasatain, karya Murtadha al-'Askari.
Kitab ini merupakan kitab perbandingan di antara madrasah Ahlul Bait dengan madrasah para khulafa. Penulis kitab ini bersandar kepada sikap objektif dan kajian ilmiah yang teliti. Kitab ini terdiri dari tiga juz.

8. Kitab al-Muraja'at (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Dialog Sunnah Syi'ah" —penerj.), karya Abdul Husain Syarafuddin.

Kitab ini merupakan hasil dialog di antara penulisnya dengan Syeikh al-Azhar, Salim al-Bisyri. Kitab ini terhitung sebagai dialog yang langka, di mana di dalamnya kedua orang yang berdialog menggunakan metode yang tenang dan percakapan yang santun. Abdul Husain juga mempunyai banyak kitab lain di dalam masalah ini, di antaranya adalah kitab an-Nash wa al-ljtihad, kitab al-Fushul al-Muhimmah fi Ta'lif al-Ummah, kitab al-Kalimah al-Gharra' fi Tafdhil az-Zahra, dan kitab Abu Hurairah.

Juga terdapat berbagai jawaban dari kalangan ulama Syi'ah terhadap kitab-kitab Ahlus Sunnah, seperti:
1. Ajwibah Masa'il Jarullah, oleh Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi.
2. Ma 'a al-Khathibfi Khuthuth al- 'Aridhah, karya Luthfullah ash-Shafi.
3. Syubhat Hawla asy-Syi'ah.
4. Kadzib 'ala asy-Syi'ah.


Para Ulama Ahlus Sunnah Dan Kalangan Terpelajar Mereka Yang Masuk Syi'ah
Sekelompok dari kalangan para tokoh Ahlus Sunnah dan para ulama mereka, telah mampu memutus belenggu dan melampaui hadangan propaganda, sehingga terbuka bagi mereka berbagai ilmu dan pengetahuan yang lain. Dan, sebagian dari mereka telah berpindah ke mazhab Syi'ah.
Juga turut bergabung ke dalam iring-iringan ini beribu-ribu orang yang memiliki pemikiran dan pena yang bebas, baik dahulu maupun sekarang. Kita tidak mungkin dapat menyebutkan nama mereka satu persatu, namun kita cukup menyebutkan beberapa orang dari mereka sebagai contoh:

1. Muhaddis Jalil Abu Nafar Muhammad bin Mas'ud bin 'Ayasy, yang dikenal dengan panggilan al-'Ayasyi. Dia termasuk salah seorang ulama besar Ahlus Sunnah sebelum menjadi Syi'ah. Dia juga terhitung sebagai ulama besar Syi'ah Imamiyyah. Dia mempunyai kitab tafsir al-ma'tsur, yaitu kitab tafsir al- 'Ayasyi.

2. Syeikh Muhammad Mar'i al-Amin al-Anthaqi. Dia keluar dari al-Azhar dan menyandang kedudukan hakim agung di Halab. Dia mempunyai kedudukan di dalam lingkungan keilmuan dan sosial. Allah SWT telah memberinya petunjuk untuk berpegang kepada ajaran Ahlul Bait. Dia mempunyai sebuah kitab yang telah dicetak dan diterbitkan, dengan judul Limadza Ikhtartu Madzhab asy-Syi'ah (Kenapa Saya memilih Mazhab Syi'ah). Beribu-ribu penduduk kota Halab pun telah ikut menjadi Syi'ah bersamanya.

3. Syeikh Salim Bisyri. Dia termasuk ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dia telah memangku jabatan Syeikh al-Azhar sebanyak dua kali dalam hidupnya. Telah terjadi berbagai dialog antara dia dengan Abdul Husain Syarafuddin, seorang ulama Syi'ah. Kemudian hasil-hasil dialog tersebut dikumpulkan di dalam sebuah kitab yang diberi judul al-Muraja'at (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dialog Sunah Syi'ah —penerj.) Dialog yang tenang dan santun ini telah menjadikan Syeikh Salim Bishri menjadi Syi'ah. Pada permulaan dialog, Syeikh Salim Bishri telah menyatakan bahwa dirinya tidak ta'assub, dan ini diungkapkan dalam kata-katanya,

"Sesungguhnya saya hanyalah seorang penyelidik yang rindu akan kebenaran. Jika kebenaran tampak jelas, maka sesungguhnya kebenaran adalah sesuatu yang paling berhak untuk diikuti; dan jika tidak, maka sesungguhnya saya akan mengatakan sebagaimana yang dikatakan orang,
'Kami rida dengan apa yang ada pada kami
dan kamu pun rida dengan apa yang ada pada kamu,
karena pendapat kita berbeda."[134]
Setelah dilakukan berbagai dialog yang mengungkapkan keilmuan, kebesaran kedudukan, akhlak dan kesetiaan kedua belah pihak kepada kebenaran, pada akhir dialog Syeikh Salim Bishri menyatakan, "Sehingga telah berlalu kesamaran, dan telah jelas kebenaran dari campurannya, serta telah tampak waktu subuh bagi orang yang mempunyai dua mata. Segala puji bagi Allah atas petunjuk-Nya kepada agama-Nya, dan atas taufik seruan-Nya kepada-Nya melalui jalan-Nya. Serta salawat dan salam semoga Allah limpahkan kepadanya dan kepada keluarganya."[135]

4. Syeikh Muhammad Abu Rayah. Seorang ulama dan penulis Mesir. Dia mempunyai banyak kitab dan karya, di antaranya ialah, kitab Adhwa' 'ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah dan kitab Abu Hurairah Syeikh al-Mudhirah.

5. Pengacara Ahmad Husain Ya'qub. Dia seorang penulis Yordania yang menjadi Syi'ah. Dia mempunyai kitab yang berjudul Nazhariyyah 'Adalah ash-Shahabah dan kitab al-Khuthath as-Siyasiyyah li Tawhid al-Ummah al-hlamiyyah.
6. Doktor at-Tijani as-Samawi. Dia seorang Tunisia yang menjadi Syi'ah. Dia mempunyai sekumpulan kitab, yang di antaranya ialah, kitab Tsumma Ihtadaitu (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Akhirnya Kutemukan Kebenaran" penerj.), kitab Li akuna Ma'a ash-Shadiqin (juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Bersama Orang-Orang Yang Benar" —penerj.), kitab Fas'alu Ahla adz-Dzikr dan kitab asy-Syi 'ah Hum Ahlus Sunnah.

7. Seorang penulis dan sekaligus redaktur, Sayyid Idris al-Husaini, yang berasal dari Maroko. Dia mempunyai kitab yang masih berupa transkrif yang berjudul Laqad Tasyayya'ani al-Husain, kitab al-Khilafah al-Mughtashabah dan kitab Hakadza 'Araftu asy-Syi'ah.
8. Sha'ib Abdul Hamid. Dia mempunyai kitab yang berjudul Manhaj fi al-Intima' al-Madzhabi.

9. Sa'id Ayub. Dia mempunyai kitab yang berjudul 'Agidah al-Masih ad-Dajjal. Di dalam permulaan kitabnya dia mengatakan, "Di dalam pembahasan niscaya Anda mendapati saya berusaha melenyapkan berbagai timbunan yang menutupi kebenaran, sehingga kebenaran menjadi jelas di hadapan mata dan akal. Yaitu berbagai timbunan yang telah diletakkan oleh guru-guru kegelapan selama sepanjang sejarah manusia. Ketika saya memegang cangkul untuk menghilangkan berbagai rintangan yang menyesatkan, saya mempunyai sarana yang cukup untuk melaksanakan pekerjaan ini."[136] Dia mempunyai juga kitab Ma'alim al-Fitan, yang terdiri dari dua juz.

10. Seorang penulis Mesir yang bernama Shalih al-Wardani. Dia mempunyai kitab yang berjudul al-Khuda'ah (Rekayasa), Rihlati Min as-Sunnah Ila asy-Syi'ah (Perjalananku dari Ahlus Sunnah ke Syi'ah), Harakah Ahlul Bait as, asy-Syi'ahfi Mishr (Syi'ah di Mesir), dan 'Aga'id as-Sunnah wa 'Aqa'id asy-Syi'ah (Akidah Syi'ah dan Ahlus Sunnah).

11. Seorang penulis Mesir yang bernama Muhammad Abdul Hafidz. Dia mempunyai kitab yang berjudul Limadza Ana Ja'fari (Kenapa Saya bermazhab Ja'fari).

12. Seorang penulis Sudan, yaitu Doktor Sayyid Abdul Mun'im Muhammad al-Hasan. Dia mempunyai kitab yang berjudul Bi Nur Fathimah Ihtadaitu (Dengan Cahaya Fatimah Saya Mendapat Petunjuk).

13. Syeikh Abdullah Nashir dari Kenya. Dia menjadi Syi'ah setelah sebelumnya menjadi salah seorang Syeikh Wahabi. Dia mempunyai berbagai kitab di dalam masalah ini, di antaranya ialah, asy-Syi'ah wa al-Qur'an, asy-Syi'ah wa al-Hadits, asy-Syi'ah wa ash-Shahabah, asy-Syi'ah wa at-Taqiyyah dan asy-Syi'ah wa al-Imamah.

14. Yang mulia al-'Alim al-Khathib al-Munadzir Sayyid Ali al-Badri. Dia mempunyai jasa yang besar di dalam menyebarkan mazhab Ahlul Bait as setelah menjadi Syi'ah. Dia berkeliling dunia melakukan berbagai dialog. Lalu hasil-hasil dialognya itu dia bukukan ke dalam kitab besar, yang sedang dalam proses pencetakan, dengan judul Ahsan al-Mawahib fi Haqa'iq al-Madzahib.

15. Seorang penulis dari Syiria yang bernama Sayyid Yasin al-Ma'yuf al-Badrani. Dia mempunyai sebuah kitab dengan judul Ya Laita Qawmi Ya'lamun.


Contoh-Contoh Dari Penyelewengan Yang Dilakukan Para Penulis
Seluruh kitab yang memberi jawaban terhadap Syi'ah tidak dimaksudkan kecuali untuk menyerang, mencemarkan, memalsukan dan menyebarkan tuduhan dan kebohongan. Di samping di dalam men-jawab keyakinan-keyakinan Syi'ah mereka bersandar kepada kitab-kitab Ahlus Sunnah. Yang demikian ini bukanlah sesuatu yang objektif di dalam berdialog dan berargumentasi.

Syeikh al-Mudzaffar berkata mengenai hal ini, "Ketahuilah, sesungguhnya tidak dibenarkan berargumentasi terhadap lawan kecuali dengan menggunakan argumentasi yang menjadi hujjah atasnya. Oleh karena itu, Anda dapat melihat penulis —Allamah al-Hilli— dan yang lainnya manakala mereka menulis argumentasi atas Ahlus Sunnah mereka selalu menyebut hadis-hadis mereka, bukan hadis-hadis kita. Sementara mereka (Ahlus Sunnah) tidak berpegang kepada kaidah pembahasan dan tidak meniti jalan dialog sebagaimana yang semestinya."[137]
Mereka juga hanya memberi jawaban terhadap gambaran umum tentang keyakinan Syi'ah, dengan tanpa menjawab secara logis setiap bagian dari bagian-bagian mazhab Syi'ah. Sikap yang demikian ini tidaklah adil di dalam bab keamanahan ilmiah. Oleh karena itu, Anda mendapati Doktor Bashir al-Ghifari berkata di dalam mukaddimah bukunya yang berjudul Ushul Madzhab Syi'ah, halaman 15, ".. Karena sebagian keyakinan ada yang cukup untuk mengetahuinya hanya dengan semata-mata mengemukakannya. Oleh karena itu, Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa penggambaran mazhab yang batil telah cukup untuk menerangkan kebatilan mazhab tersebut, dan tidak diperlukan dalil yang lain yang mengiringi penggambaran tersebut."
Jika apa yang dikatakannya itu benar, maka mau tidak mau seseorang yang menggambarkan suatu akidah harus mengimani dan mempercayai akidah tersebut, sehingga dia mempunyai kebebasan yang cukup di dalam menjelaskan keyakinan-keyakinannya. Sungguh merupakan sebuah kezaliman manakala suatu pihak masuk untuk menggambarkan keyakinan-keyakinan pihak lain dengan gambaran yang paling buruk. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah adalah merupakan suatu bentuk pembodohan terhadap pengikut-pengikutnya, manakala mereka menggambarkan mazhab-mazhab yang bertentangan dengan mereka dengan gambaran sebagai mana yang mereka kehendaki. Jika ini cukup untuk menjadi hujjah, maka tentu seorang kafir yang hidup di Eropa yang mempunyai pandangan yang buruk tentang Islam, sebagai akibat dari gambaran yang diberikan oleh kalangan orientalis dan para musuh agama, tentu mereka termaafkan. Sungguh, ucapannya ini lemah, dan metodeloginya salah, sehingga tidak dapat digunakan untuk berargumentasi. Namun sayangnya memang inilah watak dan kebiasaan mereka. Berikut ini kami ketengahkan beberapa contoh penyimpangan dan penyelewengan:

1. Kitab Ushul Madzhab 'ala asy-Syi'ah. Karya Dr. Nashir Abdullah al-Ghifari, yang merupakan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor, dari Universitas Muhammad bin Su'ud al-Islamiyah, dan dia memperoleh peringkat Summa Cumlaude. Kebohongan-Kebohongannya Atas Syi'ah:
a. Dia mengatakan, "Jadi, Syi'ah memerangi Sunah. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah dinamakan dengan nama ini disebabkan mereka mengikuti sunah al-Musthafa saw."[138] Kemudian, setelah itu dia berusaha mengeluarkan riwayat-riwayat Syi'ah yang mewajibkan untuk mengikuti sunah. Dia berkata, "Hanya saja seseorang yang mempelajari nas-nas Syi'ah dan riwayat-riwayatnya, terkadang dia sampai kepada kesimpulan bahwa Syi'ah secara zahir mengakui sunah namun secara batin mengingkarinya. Karena sebagian besar dari riwayat-riwayat dan perkataan-perkataan mereka mengarah menjauhi sunah sebagaimana yang dikenal oleh kaum Muslimin, baik dari segi pemahaman, penerapan, sanad dan matan."[139]
Adapun perkataannya yang mengatakan bahwa Syi'ah memerangi sunah, tidaklah pada tempatnya. Karena kitab-kitab hadis yang ada pada Syi'ah berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah. Bahkan, riwayat-riwayat yang ada di dalam kitab al-Kafi saja melebihi riwayat-riwayat yang terdapat di dalam kitab sahih yang enam (ash-Shihah as-Sittah). Apalagi bila ditambah dengan beberapa ensiklopedia hadis seperti Bihar al-Anwar yang mencapai 110 jilid.

Jika Syi'ah memerangi sunah, lantas untuk apa semua ensiklopedia hadis ini?

Atau, apa yang dimaksud dengan sunah olehnya?

Apakah yang dimaksud adalah riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh Ahlus Sunnah di dalam kitab-kitab sahih mereka?

Jika benar, maka ini merupakan hujjah bagi mereka namun tidak bagi Syi'ah.

Adapun perkataannya yang mengatakan, "Sesungguhnya sebagian besar riwayat-riwayat dan perkataan-perkataan mereka mengarah menjauhi sunah sebagaimana yang dikenal oleh kaum Muslimin..." adalah perkataan yang aneh. Karena, jika mereka sejak awal sepakat dengan Ahlus Sunriah di dalam hadis-hadis, baik dari segi sanad, matan, penerapan dan pemahaman, maka tentu tidak ada alasan untuk berbeda dan berselisih. Syi'ah mengimani sunah Rasulullah saw dan berpegang teguh kepadanya. Pemonopolian Ahlus Sunnah terhadap sunah Rasulullah saw adalah sesuatu yang tidak adil.

Kemudian yang kedua, apakah Anda dan kaum Anda merupakan sumbu agama, sehingga Anda berhak mengukur segala sesuatu dengan diri Anda?! Keadilan manakah yang mengiyakan perkataan yang seperti ini.

b. Penyelewengannya terhadap kebenaran, dengan cara menukil nas-nas yang dipotong, sehingga merubah arti. Pada akhir mukaddimahnya dia mengatakan, "Saya bertekad untuk menukil huruf demi huruf, dengan tujuan untuk menjaga objektifitas dan pentingnya ketelitian di dalam penukilan. Ini merupakan keharusan metodelogi ilmiah di dalam menukil perkataan pihak lawan."
Apakah tuan Doktor berpegang teguh kepada apa yang dikatakannya?

▪ Di dalam halaman 252, juz 2, di dalam perkataannya tentang "melihat Allah" dia menyebutkan sebuah hadis dari Ibnu Babawaih al-Qummi, dari Abi Bashir, dari Abi Abdillah as. Abi Bashir berkata, "Saya berkata kepadanya, 'Beritahukan aku tentang Allah Azza Wajalla, apakah orang-orang Mukmin akan melihat-Nya pada hari kiamat?'
Abi Abdillah as menjawab, 'Ya.'"
Dia menukil riwayat ini dari kitab at-Tawhid, halaman 117, namun dia tidak menyebutkan riwayat secara sempurna, sehingga merubah arti sama sekali. Berikut ini kami ketengahkan riwayat tersebut secara sempurna, dan silahkan Anda sendiri menilai.

Abi Bashir berkata, "Saya berkata kepadanya, 'Beritahukan aku tentang Allah Azza Wajalla, apakah orang-orang Mukmin akan melihat-Nya pada hari kiamat?'

Abi Abdillah as menjawab, 'Ya. Bahkan mereka telah melihatNya sebelum hari kiamat.'
Saya bertanya, 'Kapan?'

Abi Abdillah as menjawab, 'Ketika Allah SWT berkata kepada mereka, 'Bukankah Aku ini Tuhanmu.' Lalu mereka menjawab, 'Benar, Kamu adalah Tuhan kami.'

Kemudian Imam as diam beberapa saat, lalu melanjutkan perkataannya, 'Sesungguhnya orang-orang Mukmin pasti melihat Allah di dunia, sebelum hari kiamat. Bukankah kamu sedang melihat-Nya pada waktu sekarang?'
Abi Bashir berkata, 'Saya menjadi tebusan Anda, apakah boleh saya ceritakan tentang hal ini dari Anda.'

Abi Abdillah as menjawab, 'Tidak. Karena jika kamu menceritakannya, maka pengingkar yang bodoh akan mengingkari makna yang kamu katakan, dan akan menganggapnya bahwa itu tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya). Padahal, penglihatan dengan hati bukanlah sebagaimana penglihatan dengan mata. Mahasuci Allah dari apa-apa yang disifatkan oleh orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan oleh orang-orang yang mengingkariNya."'

Anda dapat melihat betapa perbedaan di antara arti yang pertama dengan arti yang kedua. Bahkan, arti yang pertama, berdasarkan teks riwayat, seluruhnya berasal dari ucapan para musyabbihin dan mulhidin.

Kenapa dia tidak menukil perkataan Imam Muhammad al-Baqir as tatkala dia ditanya oleh seorang Khawarij. Orang khawarij berkata, "Wahai Abu Ja'far, apa yang kamu sembah?"

Imam Muhammad al-Baqir as menjawab, "Allah."
Orang khawarij itu bertanya lagi, "Apakah kamu telah melihat-Nya?"

Imam Muhammad al-Baqir as menjawab, "Tentu, akan tetapi bukan dengan penglihatan mata, melainkan dengan hakikat iman. Dia tidak dikenal melalui "qiyas, dan tidak dipahami melalui indera. Dia digambarkan melalui ayat-ayat, dan dikenal melalui dalil-dalil. Tidak ada penyimpangan di dalam hukum-Nya. Dia itulah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia."[140]

▪ Salah satu bukti lain dari pemotongan riwayat yang dia lakukan ialah perkataannya tentang kaifiyyah (keadaan) Allah. Dia menukil sebuah riwayat dari kitab Bihar al-Anwar, yaitu riwayat dari Abi Abdillah Ja'far ash-Shadiq yang mengatakan bahwa Imam Ja'far ash-Shadiq as ditanya tentang Allah SWT, "Apakah Allah dapat dilihat pada hari kiamat?"

Imam Ja'far ash-Shadiq as menjawab, "Mahasuci Allah dari yang demikian itu. Dia Mahatinggi dan Mahabesar. Sesungguhnya penglihatan tidak dapat menggapai sesuatu kecuali yang mempunyai warna dan kaifiyyah, sedangkan Allah SWT adalah pencipta warna dan kaifiyyah."[141]
Nashir Abdullah al-Ghifari memberikan komentar mengenai hal ini, "Tampak sekali bahwa hujjah yang digunakan oleh mereka, yang meletakkan riwayat ini atas Ja'far, mengandung penafian wujud al-Hak. Karena sesuatu yang secara mutlak tidak memiliki kaifiyyah tidak ada wujudnya."[142] Pertama-tama, kita akan memberikan komentar atas kaidah yang dia katakan, dan kemudian baru kita menyebutkan bukti pemotongan di dalam hadis.

Dia mengatakan, "Sesuatu yang secara mutlak tidak memiliki kaifiyyah tidak ada wujudnya".

Dia menyebutkan kaidah ini —yang merupakan sebuah kaidah yang aneh— sebagai lawan dari hadis Imam Ja'far ash-Shadiq as di atas. Sungguh, akal yang tidak yang diterangi dengan riwayat Ahlul Bait, dan malah terdidik dengan riwayat-riwayat Ka'ab al-Ahbar dan Wahab bin Manbah, tidak dapat memahami hadis-hadis Ahlul Bait.
Apa yang dimaksud dengan kata-kata "secara mutlak" olehnya. Apakah artinya sesuatu yang tidak memiliki kaifiyyah dari seluruh magulat al-kaif (kategori keadaan)?

Jika yang dia maksud adalah ini, maka benar bahwa Allah SWT keluar dari maqulat al-kaif. Dia tidak diliputi oleh pertanyaan di mana, arah mana atau tempat apa. Barangsiapa yang mengatakan Allah SWT berbentuk dengan salah satu kategori keadaan atau bentuk sebagaimana yang dikenal, maka dia telah kafir, dan telah mensifati Allah dengan sifat-sifat materi. Karena kaifiyyah (bentuk) adalah termasuk keharusan jisim dan keterbatasan, sedangkan Allah SWT tidak terbatas dan bukan materi. Inilah kesalahan saudara penulis. Tatkala dia membayangkan Allah SWT dengan bercorak dengan satu keadaan, maka ini kembali kepada pemahamannya yang bersifat inderawi. Dia tidak mampu memahami sesuatu kecuali dalam batas-batas inderawi, oleh karena itu dia mengingkari wujud setiap maujud yang keluar dari kerangka kaif.

Atau, mungkin yang dimaksud olehnya adalah kaif yang keluar dari maqulat al-kaif (kategori keadaan) yang sudah dikenal, maka ini tidak dinamakan kaif, sehingga dengan begitu perkataannya tidak mengena.
Kemudian dia menyebutkan sebagian riwayat, untuk menguatkan perkataannya dan sekaligus untuk membuktikan pertentangan yang terjadi di dalam riwayat-riwayat Syi'ah. Dia berkata, "Sebagaimana hadis ini bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh penulis al-Kafi, dari Abi Abdillah as yang berkata, '... namun mau tidak mau kita harus membuktikan bahwa Dia mempunyai kaifiyyah yang tidak layak atasnya selain dari-Nya, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya, tidak ada sesuatu selain Dia yang meliputinya, dan tidak ada yang mengetahuinya selain Dia.'"[143]

Berikut ini kami nukilkan riwayat tersebut secara keseluruhan, supaya terbukti bagi Anda sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dia katakan, Seorang penanya berkata, "Anda telah membatasi-Nya jika Anda menetapkan wujud-Nya." Abu Abdillah as berkata, "Aku tidak membatasi-Nya melainkan aku menetapkan-Nya. Karena tidak ada kedudukan di antara penafian dan penetapan." Penanya bertanya lagi, "Apakah Dia mempunyai esensi?" Abu Abdillah as menjawab, "Ya, karena tidak tertetapkan sesuatu kecuali dengan esensi. Mau tidak mau kita harus keluar dari penghentian (ta'thil) dan penyerupaan (tasybih). Karena barang siapa yang menafikan-Nya maka berarti dia telah mengingkari-Nya dan meniadakan ke-rububiyyahan-Nya. Dan barang siapa yang menyerupakan-Nya dengan sesuatu selain-Nya maka berarti dia telah menetapkan-Nya dengan sifat-sifat makhluk yang tidak layak menyandang sifat ketuhanan. Namun, mau tidak mau harus ditetapkan bahwa Dia mempunyai kaifiyyah yang tidak layak atasnya selain dari-Nya, yang tidak ada yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya, yang tidak ada sesuatu selain-Nya yang meliputinya dan tidak ada yang mengetahuinya selain-Nya."[144]

Baca dan renungilah makna yang dapat diambil dari riwayat ini. Sungguh dia berbeda sama sekali dengan apa yang dikatakan oleh Nashir Abdullah al-Ghifari yang mengatakan, "Sesuatu yang secara mutlak tidak mempunyai kaifiyyah, berarti tidak ada wujudnya." Perkataan Imam kepada penanya yang menanyakan "Apakah Dia mem-punyai kaifiyyati', dan Imam menjawab, "Tidak", adalah merupakan jawaban atas kaidah yang dilandasi dengan hadis yang dipotong. Kaifiyyah yang dimaksud dan diyakini oleh penulis adalah kaifiyyah yang termasuk ke dalam sifat-sifat maudhu'. Imam as telah mensucikan Allah dari sifat-sifat yang demikian dengan jawaban yang di-berikannya kepada penanya, "Karena kaifiyyah adalah sisi sifat dan keterliputan." Yang demikian ini tidak berlaku atas Allah SWT. Sedangkan kaifiyyah yang dikatakan oleh Imam as pada akhir hadis, "kaifiyyah yang tidak ada yang berhak atasnya selain dari-Nya, yang tidak ada sesuatu yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya..." adalah kaifiyyah yang kalau pun dinamakan dengan nama kaifiyyah, itu adalah hanya semata-mata kiasan, disebabkan kekurangan kata-kata bahasa. Dan dia tidak dinamakan dengan sebutan kaifiyyah kecuali semata-mata termasuk ke dalam bab persekutuan kata (al-isytirak al-lafdzi), sehingga dia sama dari sisi kata namun berbeda dari sisi arti.

Riwayat ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Babawaih al-Qummi dengan sanad dan matan yang sama, "... namun mau tidak mau harus ditetapkan bahwa Dia adalah Zat yang tidak ber-kaifiyyah, yang tidak layak atasnya selain dari-Nya, yang tidak ada yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya, yang tidak ada sesuatu selain Dia yang meliputinya, dan yang tidak ada yang mengetahuinya selain Dia."[145]

Riwayat ini menghilangkan kesamaran dan menjelaskan seluruh yang dimaksud. Yaitu menafikkan seluruh kaifiyyah. Karena menetapkan kaifiyyah untuk Allah SWT adalah perbuatan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Adapun yang dimaksud darinya ialah menetapkan seluruh sifat-sifat kesempurnaan-Nya, dan itu adalah Zat-Nya itu sendiri.

2. Ihsan Ilahi Zahir.
Dia termasuk salah seorang penulis yang amat memusuhi Syi'ah. Dia mempunyai sejumlah buku jawaban atas Syi'ah, dan saya mempunyai empat buku darinya:
- Asy-Syi'ah wa as-Sunnah.
- Asy-Syi'ah wa Ahlul Bait.
- Asy-Syi'ah wa al-Qur'an.
- Asy-Syi'ah wa at-Tasyayyu'.
Dia telah menggunakan seluruh kemampuannya untuk menjawab dan menyerang pemikiran-pemikiran Syi'ah. Alangkah indahnya jika sekiranya dia bersikap bersih, jujur dan santun. Dia telah membuat kebohongan-kebohongan atas Syi'ah sedemikian rupa sehingga menjadikan anak-anak menjadi beruban dan orang-orang dewasa menjadi tua renta. Saya mengajak seluruh orang yang berakal lurus untuk membaca buku-bukunya, lalu silahkan menilai metode yang digunakannya, kemudian melihat kebohongan-kebohongannya, dan berikutnya menyaksikan pemalsuannya, setelah sebelumnya terlebih dahulu merujuk kepada buku-buku Syi'ah yang berbicara tentang topik pembahasan yang sama.

Di sini saya cukup kan dengan menyebutkan beberapa bukti. Karena tidak diperlukan jawaban dan pembahasan secara rinci. Sebelum saya menjeleskan berbagai pemalsuan yang dilakukannya terhadap ke-benaran, terlebih dahulu saya akan memberikan dua catatan singkat tentang cara penjelasan dan metode penyampaian pikiran yang dilakukannya:
a. Catatan Pertama: Di dalam menjelaskan dan mengemukakan keyakinan-keyakinan Syi'ah dia bertumpu kepada cara-cara yang tidak layak dan dengan menggunakan judul-judul yang menjijikkan, sehingga dengan begitu dia menciptakan tabir pemisah di antara pembaca dengan keyakinan-keyakinan Syi'ah. Seharusnya dia mengikuti cara-cara yang sehat di dalam menjawab, yaitu dengan pertama-tama menyebutkan keyakinan-keyakinan Syi'ah, lalu menyebutkan dalil-dalil mereka serta menjawab dalil-dalil yang mereka kemukakan, dan berikutnya kemudian berargumentasi atas keyakinan yang dimilikinya.

Sebagai contoh, dia mengatakan di dalam bukunya asy-Syi 'ah wa as-Sunnah, halaman 53, di bawah judul "Masalah al-Bada", "Salah satu dari pemikiran yang disebarkan oleh orang-orang Yahudi dan Abdullah bin Saba ialah berlakunya al-bada, yaitu lupa dan kebodohan pada Allah SWT. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka katakan."

Kemudian, Dia menyebutkan riwayat-riwayat dari kitab-kitab Syi'ah mengenai seputar al-bada, dengan tanpa menyebutkan dalil-dalil yang dikemukakan Syi'ah tentang al-bada, baik yang berasal dari Al-Qur'an, riwayat-riwayat Bukhari dan Muslim, perkataan-perkataan para ulama Ahlus Sunnah dan akal; dan dengan tanpa menjelaskan bagaimana pemahaman Syi'ah tentang al-bada, melainkan dia justru mendefenisikannya sendiri dengan menyebutnya sebagai "bodoh dan lupa". Lalu, dengan berpijak kepada defenisi yang salah ini, dia mulai memberikan penafsiran kepada riwayat-riwayat Syi'ah yang berbicara tentang al-bada. Hal yang sama pun dia lakukan terhadap masalah tagiyyah. Dia menyebutkannya di dalam halaman 127, di bawah judul "Syi'ah dan Kebohongan". Dia memulai perkataannya, "Syi'ah dan kebohongan tidak ubahnya seperti dua kata yang searti (sinonim), yang tidak ada perbedaan sedikit pun di antara keduanya. Keduanya saling bertalian sejak hari pertama didirikannya mazhab ini. Tidaklah permulaan mazhab ini melainkan dimulai dari kebohongan dan dengan kebohongan..."



Kemudian dia berdalih, "Oleh karena Syi'ah merupakan produk kebohongan, maka mereka pun memberi warna pensucian dan pengagungan terhadap kebohongan, dan menamakannya bukan dengan namanya, melainkan dengan menggunakan kata "taqiyyah" untuk menyebutnya.."

Demi Allah, saya bertanya kepada Anda, hai Ihsan Ilahi Zahir, cara apakah ini yang Anda gunakan di dalam pembahasan ilmiah ini. Ini tidak lain semata-mata hanya penyerangan dan pengolok-olokkan. Bagaimana bisa dia menafsirkan tagiyyah dengan kebohongan? Padahal Al-Qur'an sendiri telah menggunakan kata ini. Allah SWT berfirman,

"Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah, kecuali karena siasat memelihara diri (taqiyyah) dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. " (QS. Ali Imran: 28)

Sementara pada ayat yang lain Al-Qur'an al-Karim menyebutnya secara makna,

"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman." (QS. an-Nahl: 106)
Tagiyyah, ialah berarti menyembunyikan keimanan dan menampakkan kebalikannya, manakala seseorang mengkhawatirkan atas dirinya, hartanya dan kehormatannya. Dan ini merupakan sesuatu yang tidak dipermasalahkan oleh seorang Muslim pun. Karena orang yang dipaksa tidak dihisab atas sesuatu yang dipaksakan atasnya. Bahkan terkadang seseorang wajib melakukan taqiyyah manakala jika dia tidak melakukan taqiyyah hal itu akan membahayakan orang lain atau membahayakan kepentingan agama. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang Mukmin keluarga Fir'aun. Karena, pada keadaan terpaksa hukum tidak berlaku atas maudhu' (objek hukum).

Allah SWT berfirman, "Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang." (QS. al-Baqarah: 173)

Apa yang disampaikan oleh Ihsan Ilahi Zahir dalam masalah ini tidak lain hanyalah merupakan rekayasa dan tipu muslihat yang licik. Dia menjelaskan tagiyyah dengan kebohongan, dan kemudian menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang tidak diragukan. Ketika pengertian yang disampaikannya ini tertanam di dalam benak pembaca, dengan segera dia membanjiri para pembaca dengan riwayat-riwayat Syi'ah yang berbicara tentang taqiyyah.

Sehingga dengan demikian, pembaca meletakkan kata "bohong" pada tempat kata "taqiyyah". Sehingga dengan begitu pembaca akan keluar dengan makna-makna yang menjadikannya benci dari segala sesuatu yang dikatakan Syi'ah.

Saya tidak sedang menolak atau membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh Syi'ah, karena dia —Ihsa Ilahi Zahir— bukan-lah seorang ahli diskusi dan argumentasi. Dia tidak menyebutkan satu pun argumentasi yang menentang, sehingga perlu untuk dijawab. Yang menjadi fokus perhatian kita ialah hanya metode penyampaiannya saja.
b. Catatan Kedua: Tidaklah logis jika sekiranya Anda memperolok-olok dan menghakimi keyakinan orang, hanya karena semata-mata keyakinannya itu bertentangan dengan keyakinan-keyakinan Anda. Namun sungguh amat disayangkan, itulah metode dia dan metode penulis-penulis lainnya. Mereka mengatakan, segala sesuatu yang berbeda dengan kita adalah salah. Salat mereka tidak sama dengan salat kita, puasa mereka berbeda dengan salat kita, dan zakat mereka tidak sama dengan zakat kita.
Seolah-olah mereka adalah sumbu agama dan para pemimpin kaum Muslimin, yang mau tidak mau segala sesuatu harus berputar di sekelilingnya. Mereka melanggar kaidah yang mengatakan, "Kita senantiasa bersama dalil, kami condong ke mana pun dalil condong."

Ini bertentangan dengan metode yang digunakan oleh Al-Qur'an di dalam melakukan pembahasan dan dialog ilmiah, yang mengakui kedua belah pihak. Allah SWT dan Rasul-Nya tahu bagaimana berbicara kepada orang-orang kafir dan orang-orang musyrik.

Allah SWT berfirman, "Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. " (QS. Saba: 25)

Perhatikanlah perlakuan santun yang indah ini. Al-Qur'an tidak mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya kami berada dalam kebenaran sedangkan kamu berada dalam kesesatan. Melainkan Al-Qur'an mengatakan, apakah kami atau kamu berada dalam kebenaran atau kebatilan. Inilah metode al-Qur'an tatkala menawarkan kebebasan berdialog kepada semua, "Katakanlah, 'Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.'" (QS. al-Baqarah: 111)

Rasulullah saw mendengarkan argumentasi-argumentasi mereka dan menjawabnya dengan cara yang paling bagus. Al-Qur'an al-Karim telah merekam contoh yang banyak, baik yang bersama Rasulullah saw maupun yang bersama para Nabi sebelumnya. Di dalam kisah Ibrahim dan Namrud, serta Musa dan Fir'aun terdapat sebaik-baiknya pelajaran. Allah SWT merekam hujjah dan argu-mentasi orang-orang di dalam Al-Qur'an-Nya, dan Dia tetap mem-berikan kesucian kepada ayat-ayat yang merekamnya sebagaimana kepada ayat-ayat lainnya. Seorang Muslim tidak boleh menyentuhnya dengan tanpa wudu, berdasarkan fiqih Syi'ah.


Kemana Ihsan Ilahi Zahir dan orang-orang yang sepertinya dari menggunakan metode Al-Qur'an yang indah ini. Dia bangga dengan dirinya dan kelompoknya sambil mengatakan, "Kamilah para pembaca Al-Qur'an yang membacanya sepanjang malam dan siang."[146]


Apa faedah orang yang membaca Al-Qur'an namun tidak mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengambil pelajaran yang dapat membukakan jalan baginya di dalam kehidupan, serta bertanya kepadanya bagaimana memperlakukan orang lain yang menentang dirinya di dalam masalah akidah dan mazhab. Sungguh benar Imam Ali tatkala mengatakan, "Betapa banyak orang yang membaca Al-Qur'an namun Al-Qur'an melaknatnya.
Contoh-Contoh Dari Pemalsuan Ihsan Ilahi Zahir
▪ Dia menukil di dalam kitabnya asy-Syi'ah wa Ahlul Bait, halaman 40, sebuah teks dari Imam Ali as di dalam kitab Nahjul Balaghah, untuk membuktikan bahwa Imam Ali as mengakui syura dan tidak mengakui nas, dan bahwa syura orang-orang Muhajir dan orang-orang Anshar adalah diridai oleh Allah, serta kepemimpinan tidak dapat terlaksana dengan tanpa mereka. Ini merupakan kesimpulan yang dia ambil dari teks Imam Ali as, dan sebagaimana yang Anda ketahui ini jelas-jelas bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Syi'ah. Berikut ini teks yang menjadi tempat dia mengambil kesimpulan di atas,
"Adapun hak musyawarah hanyalah bagi kelompok Muhajirin dan Anshar. Bila mereka telah sepakat memilih seseorang dan menamakannya sebagai Imam, maka yang demikian itulah yang diridai Allah SWT. Dan bila setelah itu ada orang yang keluar dari kesepakatan dengan tidak mengakuinya lalu menimbulkan kekacauan, maka mereka itu akan memaksanya agar kembali. Dan bila dia menolak, mereka pun akan memeranginya atas dasar penyimpangan dari jalan kaum Mukmin, sementara Allah akan memusuhi selama dia berpaling."

Setelah saya merujuk kepada sumber rujukan, tampak jelas bahwa laki-laki ini tidak jujur di dalam penukilannya. Dia hanya mengambil bagian tengah perkataan yang diinginkannya dan meninggalkan bagian awal dan akhirnya, sehingga dengan begitu dia memalsukan dan menyelewengkan kebenaran dan fakta.
Berikut ini teks yang berubah pemahamannya secara keseluruhan. Apa yang dikatakan oleh Imam Ali as ini adalah termasuk bab memaksa lawan dengan apa yang telah mereka paksakan untuk diri beliau. Ini merupakan kutipan surat Imam Ali as yang ditujukan kepada Muawiyah,
"Sesungguhnya aku telah dibaiat oleh orang-orang yang sebelumnya telah membaiat Abu Bakar, Umar dan Usman atas dasar yang sama seperti rnereka itu. Maka tiada lagi pilihan lain bagi yang hadir, dan tiada lagi hak menolak bagi yang tidak hadir. Adapun hak musyawarah hanyalah bagi kelompok Muhajirin dan Anshar. Bila mereka telah sepakat memilih seseorang dan menamakannya Imam, maka yang demikian itulah yang diridai Allah SWT. Dan bila setelah itu ada orang yang keluar dari kesepakatan dengan tidak mengakuinya lalu menimbulkan kekacauan, maka mereka itu akan memaksanya agar kembali. Dan bila dia menolak, mereka pun akan memeranginya atas dasar penyimpangannya dari jalan kaum Mukmin, sementara Allah akan memusuhinya selama dia berpaling.


Demi Allah, wahai Muawiyah, sekiranya Anda melihat dengan mata hati, bukannya dengan hawa nafsu, niscaya akan Anda sadari bahwa aku adalah yang paling tidak berdosa dalam soal pembunuhan terhadap Usman. Dan Anda pasti akan merasa yakin bahwasannya aku berada jauh dari itu. Kecuali Anda memang sengaja ingin melekatkan kejahatan pada seseorang yang tidak melakukannya. Maka perbuatlah apa saja yang Anda ingin perbuat. Wassalam."[147]
Amirul Mukminin as berhujjah atas Muawiyah dengan hujjah yang sama yang diajukan oleh Muawiyah dan para pengikutnya pada saat berhujjah mengenai keabsahan kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Imam Ali as memaksa Muawiyah dengan hujjah yang sama sebagaimana yang pernah diajukan oleh Muawiyah. Imam Ali as berkata, Jika baiat para khalifah sebelumku itu sah, maka demikian pula bait kepadaku. Manusia telah membaitku, dan tidak ada jalan bagi seseorang untuk mengingkarinya setelah itu. Seseorang yang menyaksikan baiat tiada lagi mempunyai hak untuk memilih, sebagaimana yang telah terjadi di dalam pembaiatan Umar, setelah Abu Bakar menentukannya. Mereka tidak mempunyai hak memilih setelah Abu Bakar menentukannya. Serta orang yang tidak hadir tidak bisa menolak, sebagaimana Imam as tidak bisa menolak pembaiatan Abu Bakar di Saqifah. Karena pembaiatan itu dilakukan secara tersembunyi. Inilah musyawarah sebagaimana yang Anda dengung-dengungkan. Baik itu pada kepemimpinan Abu Bakar, Umar maupun Usman. Itulah keridaan Allah sebagaimana yang Anda katakan. Maka tidak boleh seseorang keluar dari kesepakatan itu, karena jika tidak maka mereka akan memaksanya untuk kembali, sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap orang-orang yang menahan zakat manakala mereka tidak mau membayarkan zakat kepada Abu Bakar, karena dia bukan merupakan khalifah yang sah dalam pandangan mereka. Kamu tidak mempunyai jalan untuk lari, wahai Muawiyah, karena orang-orang telah sepakat membaiatku. Kecuali jika Anda memang sengaja ingin melekatkan kejahatan kepada orang yang tidak melakukannya. Maka perbuat lah apa saja yang Anda ingin perbuat.

Inilah arti yang dapat disimpulkan dari serangkaian kalimat di atas, namun ini tidak sejalan dengan hawa nafsu Ihsan Ilahi Zahir.
▪ Dia menyebutkan di dalam bukunya sebuah hadis yang dinisbahkan kepada Imam Hasan al-Askari yang berkata, "Sesungguhnya seseorang yang membenci keluarga Muhammad, dan para sahabatnya yang baik-baik, atau salah seorang dari mereka, niscaya Allah SWT akan mengazabnya dengan sebuah azab, yang kalau sekiranya azab itu dibagi-bagi sebanyak bilangan makhluk Allah, maka akan membi-nasakan seluruh mereka."[148]

Kemudian Ihsan Ilahi Zahir melanjutkan, "Oleh karena itu, datuk besarnya, Ali bin Musa, yang dijuluki dengan sebutan arRidha -Imam yang kedelapan di kalangan Syi'ah— manakala ditanya tentang sabda Rasulullah saw yang berbunyi, "Sahabat-sahabatku laksana bintang gemintang, maka siapa saja dari mereka yang kamu ikuti pasti kamu mendapat petunjuk", dan juga tentang sabdanya yang berbunyi, "Seru para sahabatku untukku", dia menjawab, "Ini benar."[149]

Dia ingin berargumentasi dengan hadis ini bahwa pandangan Ahlul Bait terhadap sahabat adalah pandangan yang mengakui keadilan para sahabat seluruhnya, sehingga dengan demikian Syi'ah tidak berhak mencela atau mengkritik seorang pun dari mereka, karena yang demikian itu berarti bertentangan dengan para Imam mereka.

Renungkanlah kebohongan yang jelas ini manakala saya nukilkan kepada Anda seluruh teks hadis di atas,

"Perawi berkata, 'Ayahku berkata kepadaku, 'Seseorang telah berkata, 'lmam Ali ar-Ridha telah ditanya tentang sabda Nabi saw yang berbunyi, 'Sahabat-sahabatku laksana bintang gemintang, maka siapa saja dari mereka yang kamu ikuti pasti kamu mendapat petunjuk", dan juga sabdanya saw yang berbunyi, 'Serulah para sahabatku untukku'. Imam ar-Ridha as menjawab, 'Hadis ini benar. Yang Rasulullah saw maksudkan adalah mereka yang tidak berubah sepeninggalnya.' Kemudian Imam ar-Ridha as ditanya lagi, 'Bagaimana Rasulullah saw tahu bahwa mereka akan berubah?' Imam ar-Ridha as menjawab, 'Berdasarkan apa yang telah mereka riwayatkan bahwa Nabi saw telah bersabda, 'Sekelompok orang dari sahabatku akan diusir dari telagaku pada hari kiamat, sebagaimana diusirnya sekelompok unta dari sumber air. Maka aku berkata, 'Ya Rabb, sahabatku, sahabatku.' Lalu aku dijawab, 'Engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu.' Maka mereka pun digiring ke arah utara. Lalu aku mengatakan, 'Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah setelah ketiadaanku.'"[150]
Lihatlah pengkhianatan yang dia lakukan di dalam penukilan hadis, bagaimana dia mengubah pengertiannya secara keseluruhan.
Bukankah saya telah katakan kepada Anda bahwa dia (Ihsan Ilahi Zahir —penerj.) itu seorang pendusta?!


Perkataan Imam ar-Ridha as yang berbunyi "Berdasarkan apa yang telah mereka riwayatkan", yang dimaksud olehnya adalah apa yang diriwayatkan oleh para muhaddis dan para huffadz dari kalangan Ahlus Sunnah. Untuk membuktikan kebenaran perkataan Imam ar-Ridha as saya nukilkan bagi Anda beberapa riwayat yang terdapat di dalam Bukhari dan Muslim.

Bukhari meriwayatkan di dalam tafsir surat al-Maidah, bab "Wahai Rasul, Sampaikan Apa Yang Telah Diturunkan Kepadamu", dan di dalam tafsir surat al-Anbiya; sebagaimana juga diriwayatkan oleh Turmudzi di dalam bab sifat-sifat kiamat, bab "apa yang terjadi ber-kenaan dengan kebangkitan, dan juga tafsir surat Thaha, bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Didatangkan sekelompok orang dari umatku, lalu mereka digiring ke arah utara, maka aku berkata, 'Tuhanku, sahabatku, sahabatku', lalu dijawab, 'Engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu.' Maka aku berkata sebagaimana yang dikatakan oleh seorang hamba yang saleh, 'Saya menjadi saksi atas mereka selama saya berada di tengah-tengah mereka, dan tatkala Engkau wafatkan aku, maka Engkaulah pengawas atas mereka.' Kemudian dijawab, 'Sesungguhnya mereka berbalik ke belakang (murtad) sejak engkau berpisah dari mereka."'

Bukhari meriwayatkan di dalam kitab "ad-Da'wat", bab Haudh; serta Ibnu Majah di dalam kitab "al-Manasik", bab "Khutbah Pada Hari Menyembelih Kurban", hadis nomer 5830; sebagaimana juga Ahmad meriwayatkan di dalam musnadnya melalui berbagai jalan,

"Serombongan sahabatku mendatangiku di telaga. Hingga ketika aku mengenali mereka, mereka dihilangkan dariku, maka aku pun berkata, 'Sahabatku'. Lalu dijawab, 'Kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.'"

Di dalam Sahih Muslim, kitab al-Fadha'il, bab "Pembuktian Telaga Nabi Kita", hadis 40, disebutkan, "Sekelompok orang yang telah bersahabat denganku datang menemuiku di telaga. Hingga tatkala aku melihat mereka, mereka pun dipisahkan dariku, lalu aku berseru, 'Ya Tuhan, sahabatku.' Kemudian aku dijawab, 'Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.'"

Bukhari juga meriwayatkan, "Aku akan mendahului kalian di telaga haudh. Siapa yang berlalu dariku dia akan minum dan siapa yang telah minum tidak akan dahaga untuk selama-lamanya. Kelak ada sekelompok orang yang aku kenal dan mereka juga mengenalku datang kepadaku; kemudian mereka dipisahkan dariku. Aku akan berkata, 'Sahabatku, sahabatku.' Lalu dijawab, 'Kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.' Dan aku pun berkata, 'Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah setelah ketiadaanku.'"

Jika tidak khawatir akan keluar dari topik pembahasan, niscaya saya akan berbicara secara panjang lebar tentang masalah ini.

Ya Ihsan Ilahi Zahir, jika Anda sanggup menjulurkan tangan Anda untuk menyelewengkan apa-apa yang terdapat di dalam hadis-hadis Syi'ah, namun Anda tidak akan bisa menyelewengkan apa-apa yang terdapat di dalam kitab-kitab sahihmu.

▪ Pada halaman 66, dari buku yang sama, Ihsan Ilahi Zahir menukil sebuah perkataan Imam Ali as dari kitab Nahjul Balaghah. Berikut ini apa yang dikutipnya,

"Tinggalkanlah aku, dan pergilah kepada orang lain selainku. Aku seperti salah seorang dari kamu. Mungkin aku akan mendengar dan mentaati kepada orang yang kamu serahkan urusanmu kepadanya. Aku menjadi pembantu (wazir) kamu, itu lebih baik bagimu dibandingkan aku menjadi pemimpinmu."

Ketika saya merujuk kepada sumber nas yang disebutkan, saya menemukan rekayasa dan tipu daya yang dilakukannya. Karena dia hanya mengambil permulaan dan akhir nas, dan membuang pertengahannya, sehingga dengan begitu maknanya menjadi berubah. Berikut ini saya nukilkan bagi Anda bunyi nas secara lengkap,

Imam Ali as berkata tatkala orang-orang hendak membaiatnya, setelah terjadi peristiwa pembunuhan Usman,

"Tinggalkanlah aku, dan pergilah kepda orang lain selainku. Kita sedang menghadapi suatu hal yang mempunyai (beberapa) wajah dan warna, yang tidak ditanggung oleh hati dan tidak dapat diterima oleh akal. Awan sedang menggelantung di langit dan wajah-wajah tidak dapat dibedakan. Kamu seharusnya tahu bahwa apabila aku menyambutmu, aku akan memimpinmu sebagaimana yang aku ketahui, dan tidak akan memusingkan apa pun yang mungkin dikatakan dan dicercakan orang. Apabila kamu meninggalkan aku, maka aku akan menjadi seperti salah seorang dari kalian. Mungkin aku akan mendengar dan mentaati kepada orang yang kamu serahkan urusanmu kepadanya. Akan akan menjadi pembantu (wazir) kamu, itu lebih baik bagimu dibandikan aku menjadi pemimpinmu."[151]

Lihatlah nas yang telah dibuangnya. Betapa maknanya menjadi berubah sama sekali dengan tanpa mencantumkannya. Perbuatan yang demikian ini, disebut apa, wahai Ihsan?! Siapa yang telah berdusta atas Ahlul Bait?!

Yang termasuk kebohongan bukan hanya Anda mengatakan sesuatu lalu Anda menisbahkannya kepada orang yang tidak mengatakannya, melainkan juga termasuk kebohongan manakala Anda menyelewengkan maksud perkata seseorang lalu Anda menisbahkannya kepada orang itu.

Subhanallah, Amirul Mukminin as telah tahu bahwa mereka tidak teguh di dalam baiatnya, dan kelak mereka akan berbalik darinya dan memeranginya pada perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, serta akan berhujjah kepadanya dengan beribu-ribu macam pembenaran dan alasan. Oleh karena itu, Amirul Mukminin as mendirikan hujjah atas mereka, dan memberitahukan kepada mereka tentang jalan yang akan ditempuhnya di dalam masalah hukum. Yaitu jalan kebenaran. Dan kebenaran itu pahit dan sulit, "Dan kebanyakan dari mereka tidak menyukai kebenaran."

Telah terbukti apa yang telah dikatakannya, namun saya tidak mengharapkan tindakan pembelotan dan pembenaran ini terus ber-langsung hingga sekarang, di mana mereka menyelewengkan ucapan-ucapannya.
Saya akhiri dengan (menyebutkan) pemalsuan dan penyelewengan ini. Saya persilahkan kepada pembaca untuk memberikan komentar. Saya cukupkan sampai di sini, karena jika saya terus menyebutkan contoh-contoh pemalsuan dan penyelewengan yang dia lakukan, niscaya akan banyak memakan waktu. Secara singkat dapat saya katakan bahwa orang ini tidaklah jujur, bahkan kepada dirinya sendiri. Perbuatannya ini didorong oleh rasa permusuhannya yang sangat kepada Ahlul Bait dan para pengikutnya. Karena jika tidak, maka untuk apa semua kesewenang-wenangan yang mencolok ini? Apakah dia ingin membuktikan kebenaran yang dihilangkan, kepada manusia? Sementara dia mengikuti kebatilan dan pemalsuan sebagai alat dan tujuan?!
Di dalam bukunya yang berjudul asy-Syi'ah wa Ahlul Bait, halaman 67, Ihsan Ilahi Zahir berkata, "Ath Thabrasi juga menukil dari Imam Muhammad a-Baqir yang menegaskan bahwa Ali membenarkan kekhilafahannya (Abu Bakar), mengakui kepemimpinannya (Abu Bakar), dan berbait kepada pemerintahannya (Abu Bakar." Sebagaimana juga dia menyebutkan bahwa tatkala Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah saw, hendak keluar meninggalkan Madinah, Rasulullah saw meninggal dunia. Ketika surat sampai kepada Usamah, maka Usamah pun bergerak bersama pasukan yang menyertainya masuk ke kota Madinah. Ketika dia melihat orang-orang sepakat terhadap kekhilafahan Abu Bakar, dia pun pergi ke Ali bin Abi Thalib dan berkata, 'Apa ini?' Ali menjawab, 'lni adalah sebagaimana yang kamu lihat' Usamah bertanya, 'Apakah kamu telah berbaiat kepadanya?' Ali menjawab, 'Sudah.'"

Dia telah menukil peristiwa ini dari kitab al-Ihtijaj, karya ath-Thabrasi. Berikut ini saya ketengahkan kepada Anda bunyi teks secara lengkap dari sumber di atas,

"Diriwayatkan dari al-Baqir as, bahwa Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar, 'Tulis kepada Usamah supaya dia datang menghadapmu. Karena dengan kedatangannya itu akan terputuslah keburukan dari kita. Maka Abu Bakar pun menulis surat kepadanya,

'Dari Abu Bakar, khalifah Rasulullah saw, kepada Usamah bin Zaid. Amma ba'du,

Perhatikanlah, jika sudah sampai suratku kepadamu, maka datanglah kepadaku beserta pasukan yang bersamamu. Karena sesungguhnya kaum Muslimin telah sepakat atasku dan telah menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepadaku. Jangan kamu tidak datang, karena itu berarti kamu membangkang, dan akan menimpa kepadamu sesuatu yang tidak kamu sukai. Wassalam.'

Perawi melanjutkan riwayatnya, 'Maka Usamah pun menulis surat jawaban kepada Abu Bakar sebagai berikut,

'Dari Usamah bin Zaid, petugas Rasulullah saw pada peperangan Syam. Amma ba'du,

Telah sampai kepadaku surat darimu, yang mana bagian awalnya bertentangan dengan bagian akhirnya. Pada bagian awal engkau mengatakan bahwa engkau adalah khalifah Rasulullah, sedangkan pada bagian akhirnya engkau mengatakan bahwa kaum Muslimin telah sepakat atas engkau dan mereka telah menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepadamu, serta telah meridaimu. Ketahuilah, sesungguhnya aku dan orang-orang yang bersamaku dari jamaah kaum Muslimin dan Anshar, demi Allah, tidak meridaimu dan tidak menyerahkan urusan kepemimpinan kami kepadamu. Ingatlah, engkau harus mengembalikan hak kepada pemiliknya dan harus melepaskannya kepada mereka. Karena sesungguhnya mereka jauh lebih berhak atas urusan ini dibandingkan engkau. Engkau telah mengetahui apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah saw tentang Ali pada hari al-Ghadir. Belum terlalu lama waktu berlalu namun engkau telah melupakannya. Lihatlah kedudukanmu, dan janganlah kamu menentang, karena yang demikian itu berarti kamu telah membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya, dan membangkang orang yang telah diangkat oleh Rasulullah saw sebagai khalifah atasmu dan atas sahabatmu. Aku belum diturunkan dari jabatanku hingga Rasulullah saw meninggal dunia, sementara kamu dan sahabatmu —Umar— pulang dan membangkang, serta tinggal di Madinah dengan tanpa ijin.'"

Abu Bakar bermaksud melepaskan kekhilafahan dari pundaknya. Perawi berkata, "Maka Umar berkata kepadanya, 'Jangan kamu lakukan, karena sesungguhnya pakaian ini adalah pakaian yang Allah kenakan kepadamu. Jangan engkau melepasnya, nanti kamu akan menyesal.'" Umar mendesaknya untuk menulis banyak surat kepada Usamah, dan mendatangi si fulan si fulan supaya mereka menulis surat kepada Usamah, agar tidak memecah belah jamaah kaum Muslimin, dan supaya Usamah masuk bersama mereka kepada apa yang telah mereka perbuat.

Perawi berkata, "Maka Abu Bakar menulis surat kepadanya dan begitu juga sekelompok orang dari orang-orang munafik, 'Hendaknya kamu rida dengan apa yang telah kami bersepakat atasnya, dan janganlah kamu meliputi kaum Muslimin dengan fitnah yang berasal darimu."' Perawi menuturkan lebih lanjut, "Ketika surat-surat datang kepada Usamah, maka Usamah bergerak memasuki kota Madinah dengan pasukan yang menyertainya. Ketika dia melihat manusia bersepakat atas Abu Bakar, maka dia pun bertolak kepada Ali bin Abi Thalib as dan bertanya kepadanya, 'Apa ini?' Ali menjawab, 'lni adalah sebagaimana yang kamu lihat.' Usamah bertanya lagi kepada Ali, 'Apakah kamu telah berbaiat kepadanya?' Ali menjawab, 'Ya, wahai Usamah.' Usamah bertanya lagi, 'Karena taat atau karena terpaksa?' Ali menjawab, 'Karena terpaksa.'"

Perawi melanjutkan, "Maka Usamah pun berangkat dan datang menemui Abu Bakar seraya berkata kepadanya, 'Salam atasmu, wahai khalifah kaum Muslimin.' Dengan serta merta Abu Bakar menjawab kepadanya, 'Salam atasmu, wahai komandan.'"[152]

Kita tidak akan mengatakan lebih banyak kepadanya dari apa yang telah dikatakan oleh Allah SWT di dalam Kitab-Nya yang mulia,

"Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata bagi mereka." (QS. al-Baqarah: 50)
"Tetapi karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, dan mereka sengaja melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-Maidah: 13)

3. Kitab Tabdid azh-Zhalam wa Tanbih an-Niyam ila Khathar at-Tasyayyu' 'ala al-Muslimin wa al-Islam, Karya Ibnu Jabhan.

Saya belum melihat sebuah kitab yang lebih besar permusuhannya kepada Ahlul Bait dan para syi'ahnya dibandingkan kitab ini. Dia telah membulatkan tekadnya untuk mencaci maki mereka dan membuat kebohongan-kebohongan atas mereka, dengan tanpa adanya objektifitas di dalam diskusi dan dialog. Seluruh yang berasal darinya adalah tidak lain berisi pengkafiran, pengfasikan dan pemberangusan terhadap pendapat-pendapat orang lain. Orang yang membaca bukunya akan mendapati saya amat lapang dada.
Saya yakin dia tidak menginginkan dari kitabnya ini selain dari ingin menyulut fitnah di antara kalangan Syi'ah dan Ahlus Sunnah, serta memecah belah barisan kaum Muslimin dengan berbagai macam cara, supaya bertambah bala dan kelemahan yang menimpa mereka. Alangkah bagusnya jika bukunya ini dikirimkan kepada musuh-musuh Islam dan kaum Muslimin, yaitu negara Israel.

Di samping dia seseorang yang lebih bodoh untuk bisa diajak berdiskusi, karena tidak ada satu dalil pun yang dikemukakannya, bukunya ini tidak lebih hanya berupa kumpulan kebohongan dan rekayasa atas Ahlul Bait dan para pengikutnya. Dia menafikan seluruh keutamaan yang datang berkenaan dengan mereka, dan mengingkari ayat-ayat dan hadis-hadis yang dengan jelas menunjukkan wajibnya berpegang teguh kepada mereka.
Berikut ini beberapa contoh dari cara-cara yang dia gunakan di dalam mendaifkan hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait: 

a. Setelah menyebutkan sekumpulan hadis dia mengatakan, "Kami menolaknya dan kami menolak monster  kemanusiaan yang bergantung padanya."[153]
a.1. Hadis pertama, "Perumpamaan Ahlul Baitku di sisimu tidak ubahnya seperti pintu pengampunan. Siapa saja yang memasukinya akan aman." "Perumpamaan Ahlul Baitku di sisimu tidak ubahnya seperti bahtera Nuh. Siapa saja yang berpegang kepadanya akan selamat dan siapa saja yang tertinggal darinya akan tenggelam."
Dia mendhaifkan hadis ini dengan selemah-lemahnya argumentasi. Dia mengatakan, "Hadis ini mengharuskan bahwa keselamatan dan keamanan terletak di dalam berpegang kepada Ahlul Bait, dan kecelakaan serta kemusnahan terletak di dalam ketertinggalan dari mereka. Yang demikian ini tidak dibolehkan berdasarkan ucapan Al-Qur'an. Karena Al-Qur'an tidak mensyaratkan untuk keselamatan kecuali dengan beriman kepada Allah dan beramal saleh, dan tidak memperingatkan kehancuran kecuali atas kekufuran dan melaksanakan perbuatan maksiat; serta tidak ada satu pun ayat di dalam Kitab Allah yang bertentangan dengan ucapan kita ini."[154]

Saya katakan, "Namun, apa hubungannya perkataan Anda dengan hadis ini. Karena pembuktian sesuatu tidak menafikan selainnya. Ini yang pertama.

Yang kedua, seluruh Al-Qur'an menentang ucapan Anda. Al-Qur'an yang ada di tangan Anda ini memerintahkan kita untuk berpegang kepada para nabi dan para rasul, dan menetapkan kekufuran orang yang tidak berpegang kepada mereka, "Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang kamu dilarang olehnya maka jauhilah." Demikian juga Al-Qur'an memerintahkan kita untuk berpegang kepada para wali, "Taatilah Allah, dan taatilah Rasul serta ulil amri dari kamu." Perintah di dalam ayat ini dengan jelas menunjukkan kepada wajib, maka dengan demikian wajib hukumnya berpegang kepada mereka. Allah SWT juga telah mewajibkan kepada kita untuk berpegang kepada orang-orang Mukmin dan mengikuti jalan mereka.

Allah SWT berfirman, "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali." (QS. an-Nisa: 115)

Maka, tidak berpegang teguh kepada mereka berarti kehancuran. Namun amat disayangkan, Ibnu Jabhan tidak merujuk kepada Kitab Allah sehingga dia tahu bagaimana perbuatan masuk pintu bagi Bani Israil merupakan pengampunan bagi dosa-dosa mereka, "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan kata-kanlah, 'Bebaskanlah kami dari dosa', niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-Baqarah: 58)
Ibnu Jabhan bukan tidak mengetahui hal itu, namun rasa permusuhan dan kebenciannya yang sangat kepada Ahlul Bait telah mendorongnya melakukan demikian. Kita akan tambahkan kemarahannya dengan firman Allah SWT yang berbunyi,

"Katakanlah, 'Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas apa yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku.'" (QS. asy-Syura: 23)

Dia berargumentasi, "Kenapa kita harus mengikuti Ahlul Bait. Apakah mereka mempunyai ilmu yang belum disampaikan oleh Rasulullah saw kepada kaum Muslimin seluruhnya. Sesungguhnya keyakinan yang seperti itu berarti menuduh Rasulullah saw telah melakukan pilih kasih dan menyembunyikan risalah.

Selama agama telah sempurna, maka apalagi yang dibutuhkan dari Ahlul Bait?"

Lihatlah oleh Anda ketololan argumentasi ini. Jika penyampaian dan penjelasan hukum-hukum agama kepada sebagian orang tanpa sebagian orang yang lain berarti tindakan pilih kasih, maka berarti Rasulullah saw —yang merupakan Rasul Allah bagi seluruh manusia— harus menyampaikan sendiri risalahnya kepada seluruh manusia seorang demi seorang, atau paling tidak kepada mereka yang hidup sezaman dengannya. Yang demikian ini tentu tidak akan dikatakan oleh seorang yang berakal. Di samping urusan ini tidak termasuk ke dalam kerangka tabligh.

Ahlul Bait memiliki sifat-sifat yang menjadikan mereka mempunyai kelayakan atas kepemimpinan umat. Sudah merupakan sesuatu yang jelas bahwa manusia berbeda-beda di dalam tingkat pemahaman dan penguasaan mereka, dan juga berbeda-beda di dalam tingkat keimanan mereka. Rasulullah saw telah menyampaikan ajarannya bagi seluruh manusia, namun Ahlul Bait adalah manusia yang paling dahulu keimanannya, paling banyak jihadnya dan paling utama ketakwaan dan kewarakannya. Oleh karena itu Allah SWT mensucikan mereka dari segala dosa di dalam Kitab-Nya.
Lantas, kedengkian apakah ini, wahai Ibnu Jabhan?!
Jika kesempurnaan agama menafikan kebutuhan manusia, maka kenapa kita membutuhkan sahabat dan salaf saleh dan mengikuti mereka?!

Dengan dalil-dalil yang bodoh ini Ibnu Jabhan menolak hadis ini.

a.2. Hadis kedua: "Saya tinggalkan padamu dua benda yang sangat berharga, yaitu Kitab Allah dan 'itrahku."
Dia mengatakan, "Hadis ini telah diselewengkan, yang benar adalah 'Kitab Allah dan sunahku'. Kalau pun seumpama hadis ini tidak diselewengkan, lantas siapa yang dimaksud dengan 'itrah yang diisyaratkan di dalam hadis ini."[155]
Dengan sangat mudah dia menolak hadis "Kitab Allah dan 'itrahku".

Pembahasan mengenai hal ini telah kita lakukan pada permulaan buku.

Sudah merupakan sesuatu jelas, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama ilmu ushul, bahwa qadhiyyah (proposisi) tidak menetapkan maudhu'-nya. Hadis ini sedang dalam tataran menetapkan garis umum gadhiyyah, yaitu wajibnya berpegang teguh kepada Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Bait. Adapun pembicaraan mengenai apa itu Kitab Allah dan siapa itu 'itrah Ahlul Bait, tidak dapat diketahui dari hadis ini. Maka oleh karena itu diperlukan dalil lain, yang akan menjelaskan siapa keduanya yang dimaksud.

Bagaimana dia mengkritik hadis ini dengan mengatakan, "Siapa Ahlul Bait itu?!"

Pertanyaan ini seharusnya dia ajukan kepada Rasulullah saw. 

a.3. Hadis ketiga: "Hai Ali, tidak mencintaimu kecuali orang Mukmin dan tidak membencimu kecuali orang munafik."

Ibnu Jabhan berkata, "Hadis ini maudhu' (palsu) dan sama sekali tidak benar. Karena kecintaan kepada selain Allah dan Rasul-Nya tidak bisa menjadi ukuran bagi keimanan. Karena kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya pasti mengharuskan kecintaan kepada orang-orang saleh, dan tidak akan terlepas darinya."

No comments:

Post a Comment