Tuesday, October 11, 2011

Neurotheology: Pengalaman Religius Berbasis Otak (4)


29 04 2011
Oleh JALALUDDIN RAKHMAT
Oleh karena itu, menurut Albright, sistem limbik bukanlah struktur “modul Tuhan” yang tunggal, atau “pemancar Tuhan”. Otak bekerja sebagai hasil dari interkoneksi yang kompleks dari area-area yang terdapat di otak. Karenanya, otak secara keseluruhan terlibat di dalam pengalaman religius atau pengalaman dengan Tuhan. Praktik-praktik keagamaan mungkin bisa mengontrol otak reptil dengan memberikan petunjuk di dalam sikap seksual dan kekerasan. Otak mamalia memberikan emosi dan daya ingat, serta membantu kita untuk membangun hubungan yang bermakna dengan Tuhan. Akhirnya, kita sampai pada bagian terpenting pada otak: korteks serebral. Inilah bagian otak yang memiliki daya pikir:

Melingkupi dua bagian otak terdapat korteks serebral yang menyediakan apa yang sebagian besar orang anggap sebagai ciri khas manusia, termasuk bahasa. Korteks serebral juga adalah area dimana banyak informasi yang diproses di bagian-bagian otak yang lain, disatukan dan diolah sehingga kita bisa membuat keputusan dan penilaian. Pengalaman religius akan melibatkan semua area ini: pengalaman mistis, cinta dan kekerabatan, sistim limbik, berbagai jenis ritual, otak reptil, serta ketajaman dan pemahaman terhadap panggilan dari Tuhan, korteks serebral (misalnya, lobus frontal)..

Persinger, Joseph, Albright, telah mencoba untuk mengidentifikasi dimana letak “Titik Tuhan” di dalam otak sebagai fondasi neurotheology. Lebih spesifik, mereka telah memulai setengah bagian pertama neurotheology yang mencapai kesimpulan bahwa “otak yang menciptakan Tuhan”. Kembali ke Dr Jill Bolte Taylor, mereka telah mempelajari bagian pertama dari pencerahan Taylor tentang stroke. Mereka menemukan bahwa “alamat” pengalaman religius terdapat pada sisi kanan otak Anda. Hal itu juga menjadi kesimpulan dari “pencarian tak berujung akan pengetahuan tentang Tuhan” dari para ateis tulen, seperti yang direpresentasikan oleh Mathew Alper:

Satu hal yang saat ini saya bisa katakan tentang kepastian empiris Tuhan adalah bahwa Tuhan itu hanyalah satu kata; yang sebagaimana semua kata, ia lahir dari dalam otak manusia. Hal ini berarti satu-satunya fakta yang saya miliki sekarang tentang sifat keberadaan Tuhan, tidak datang dari sesuatu yang saya pahami dari atas, dari “di luar sana”. Tetapi ia justru datang dari sesuatu yang lahir dari dalam. Lebih spesifik, dari hasil kerja organ pisik saya, otak – dan bukan hanya otak saya saja, tetapi dari semua otak dari hampir semua orang dari setiap budaya sampai masa awal kelahiran spesies saya.

Sampai disini bukanlah akhir pencarian ini. Bagian ini baru setengah perjalanan. Memang, ini adalah perjalanan panjang sejak dari zaman dahulu kala. “Untuk mengevaluasi latar belakang historis neurotheology, kita harus mempelajari sejarah beberapa ribu tahun yang lalu untuk melihat bagaimana tradisi religius telah mempertimbangkan adanya hubungan antara pikiran dan usaha seseorang untuk berinteraksi dengan beberapa realitas yang lebih tinggi,” demikian tulis Andrew Newberg, salah seorang pendiri disiplin ilmu baru yang disebut neurotheology. Beliau masih menulis disiplin ilmu baru ini dalam tanda petik, sebagaimana yang beliau katakan ketika memberikan defenisi: “’Neurotehology’ adalah bidang studi dan riset yang unik yang mencoba untuk memahami hubungan, yang secara spesifik antara otak dan teologi, dan secara luas antara pikiran dan agama.”

Terdapat dua jenis hubungan tersebut: bagian pertama adalah bagaimana otak menciptakan Tuhan, dan bagian kedua adalah bagaimana Tuhan menciptakan otak. Di dalam istilah kita sekarang: bagaimana otak membentuk pengalaman religius dan bagaimana pengalaman religius memiliki pengaruh terhadap otak. Andrew Newberg melaporkan bagian kedua dari studi tentang otak di dalam karya best-seller-nya, How God Changes Your Brain.

No comments:

Post a Comment