Wednesday, August 3, 2011

Kemaksuman Dan Ilmu Imam

Kemaksuman Seorang Imam

Setelah dapat dibuktikan bahwa sebenarnya masalah Imamah terfokus pada pengangkatan Ilahi yang telah Allah anugerahkan kepada Ali bin Abi Thalib as dan sebelas keturunannya, kita pun dapat menetapkan kemaksuman mereka melalui ayat ini, “Sesungguhnya janji Kami tidak akan meliputi orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 142)

Ayat ini secara tegas menafikan kedudukan karuniawi Ilahi (Imamah) itu bagi orang-orang yang telah tersentuh noda maksiat dan dosa, sekecil apa pun dosa itu.

Selain ayat ini, kita pun dapat menetapkan kemaksuman mereka dengan ayat Ulil Amri di pelajaran lalu. Di dalam ayat itu, Allah SWT mewajibkan ketaatan kaum muslimin kepada mereka secara mutlak, dan menggandengkannya dengan ketaatan kepada Rasul-Nya. Artinya, ketaatan kepada mereka itu tidak akan bertentangan dengan ketaatan kepada Allah SWT. Jadi, dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa perintah mentaati mereka secara mutlak berarti Allah SWT telah menjamin kemaksuman mereka, dan mereka itu adalah orang-orang yang sungguh memiliki kemaksuman.
Ayat lain yang dapat dijadikan sebagai argumen atas kemaksuman para Imam Ahlulbait as adalah “Ayat Tathir” yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kenistaan dari kalian wahai Ahlu Bait Nabi dan mensucikan kalian dengan sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Penjelasannya, kehendak Allah dalam ayat ini bukan berupa iradah tasyri’iyah (kehendak tinta Ilahi), karena iradah tasyri’iyah ihwal mensucikan hamba-hamba-Nya bersifat dan berlaku secara umum, artinya tidak khusus hanya kepada orang-orang tertentu saja. Sedangkan kehendak Allah dalam ayat ini khusus untuk Ahlulbait Nabi saw. Dengan demikian, kehendak Allah dalam ayat ini tidak lain adalah iradah takwiniyah (kehendak cipta Ilahi) yang tidak mungkin akan mengalami perubahan, sebagaimana firman-Nya,“Sesungguhnya “amr” Allah apabila ia menghendaki sesuatu, ia berkata, ‘Jadilah’, maka terjadilah ia.” (QS.Yasin: 82)

Penyucian secara mutlak dan pembersihan segala bentuk kotoran, kenistaan dan keburukan adalah kemaksuman. Kita telah mengetahui, bahwa tidak ada satu pun dari mazhab-mazhab Islam yang mengklaim adanya kemaksuman bagi seorang pun yang silsilah keturunannya bersambung kepada Nabi saw selain mazhab Syi’ah Imamiyah. Penganut Syi’ah meyakini bahwa Siti Fatimah Az-Zahra as, putri Rasul saw, dan 12 Imam dari keturunannya menyandang sifat maksum.

Perlu kami tekankan di sini, bahwa terdapat lebih dari 70 hadis yang kebanyakan diriwayatkan oleh ulama Ahlusunah, yang menunjukkan bahwa “Ayat Tathir” tesebut diturunkan kepada lima manusia agung, yaitu Rasulullah saw., Imam Ali as, Fatimah as, Al-Hasan as dan Al-Husein as.

Syeikh Ash-Shaduq menukil sebuah riwayat dari Amirul Mukminin Ali as, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Wahai Ali, sesungguhnya ayat tathir ini diturunkan untukmu dan kepada kedua putramu dan para Imam dari putra-putramu.”

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, berapa orangkah jumlah imam setelahmu?”

Rasul saw menjawab, “Para Imam itu adalah engkau sendiri wahai Ali, kemudian setelah itu kedua putramu Al-Hasan dan Al-Husein. Setelah Al-Husein adalah Ali putranya. Setelah Ali adalah Muhammad putranya. Setelah Muhammad adalah Ja’far putranya. Setelah Ja’far adalah Musa putranya. Setelah Musa adalah Ali putranya. Setelah Ali adalah Muhammad putranya. Setelah Muhammad adalah Ali putranya. Setelah Ali adalah Al-Hasan putranya. Dan setelah Al-Hasan adalah Al-Hujjah putranya. Demikianlah aku dapatkan nama-nama mereka tertulis di kaki ‘Arsy. Ketika itu aku bertanya kepada Allah tentang nama-nama tersebut. Allah berfirman, ‘Wahai Muhammad, mereka adalah para Imam setelahmu, mereka itu suci dan terjaga dari segala dosa, kesalahan dan kealpaan. Sedang musuh-musuh mereka adalah orang-orang yang terkutuk.’”

Demikian pula hadis “Tsaqalain” (dua pusaka berharga). Dalam hadis ini, Rasul saw menggandengkan Ahlulbaitnya dengan Al-Qur’an. Beliau sangat menekankan, bahwa keduanya itu tidak akan berpisah selama-lamanya. Hadis ini merupakan argumen yang jelas atas kemaksuman mereka. Karena, apabila mereka melakukan maksiat, walau sekecil apa pun dan sekali pun karena kelupaan, berarti mereka itu secara praktis telah berpisah dari Al-Qur’an.

Dengan kata lain, tidak terpisahnya mereka sekejap mata pun dari Al-Qur’an menunjukkan bahwa segala perkataan, perbuatan, tingkah laku dan apa saja yang keluar dari mereka itu sejalan dengan Al-Qur’an, sesuai dengan kehendak Allah SWT, dan berarti mereka tidak pernah berbuat dosa dan lupa. Inilah yang dimaksud dari kemaksuman mereka.

Ilmu Imam

Tidak diragukan lagi bahwa Ahlulbait as telah menimba ilmu dari Nabi saw jauh lebih luas dan mendalam dibandingkan para sahabat mana pun dan siapa pun. Sebagaimana Nabi saw telah bersabda, “Janganlah kalian mengajari mereka, karena mereka itu jauh lebih pandai daripada kalian.”

Terutama Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, yang tumbuh dan besar dalam asuhan Rasul saw sejak masa kecilnya dan senantiasa menyertai beliau sampai akhir hayatnya.

Ali as adalah orang yang paling dekat dengan Nabi saw dan senantiasa menimba berbagai ilmu dari beliau, hingga ia menyandang gelar “bab ‘ilmu an-nabi” (gerbang ilmu Nabi). Sehubungan dengan itu, Rasul saw bersabda, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya.” [Rujuk ke Mustadrakul Hakim, jilid 3/226]

Hadis ini telah diakui kesahihannya, baik oleh ulama Ahlusunah maupun ulama Syi’ah. Bahkan seorang ulama Ahlusunah telah menulis sebuah buku yang berjudul “Fath al-Malik al-’Aly bi Sihhati Hadis Madinatil Ilmi ‘Ali“. Buku tersebut ditulis pada tahun 1354 H. dan dicetak di Mesir.

Dalam sebuah riwayat, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Sesungguhnya Rasulullah telah mengajarkanku seribu pintu ilmu, dan setiap pintu dari ilmu tersebut terbuka bagiku seribu pintu ilmu lainnya, maka aku memiliki sejuta pintu ilmu, sehingga aku mengetahui segala apa yang telah terjadi dan segala apa yang akan terjadi sampai hari kiamat. Dan aku pun mengetahui ‘ilmu manaya’ (tentang kematian seseorang), ‘ilmu balaya’ (tentang terjadinya bencana) dan ‘Fashlul khithab’ (tentang mengadili dan memberikan keputusan).” [Rujuk ke Yanabi'ul Mawaddah,hal. 88, Ushulul Kâfi, jilid 1/296]

Meski begitu, ilmu Ahlulbait as tidak terbatas hanya pada apa yang mereka dengar dari Rasulullah saw, baik secara langsung ataupun melalui perantara. Mereka juga memiliki potensi untuk mendapatkan ilmu dari Allah SWT dengan cara-cara lainnya, bukan hanya dengan cara-cara yang biasa dan wajar. Cara lain itu ialah ilham atau tahdist, [Ushulul Kafi, kitab Al-Hajj, hal. 264, 270] sebagaimana ilham yang diterima oleh Hidir as dan Dzul Qarnain as, [Lihat surah Al-Kahfi: 65-98 dan Ushulul Kafi, jilid 1/268] juga Siti Maryam as dan ibu Nabi Musa as. [Lihat surah Ali Imran: 42, Maryam: 17-21, Thaha: 38, dan Al-Qashash: 7] Bahkan terkadang Al-Qur’an menggunakan istilah wahyu untuk sebagian ilham tersebut, akan tetapi maksudnya tentu bukanlah wahyu kenabian.

Dengan cara inilah sebagian para imam as telah mencapai kedudukan imamah sejak masa kecil. Oleh karena itu, mereka dapat mengetahui berbagai masalah, tanpa proses belajar dan bimbingan dari orang lain. Kenyataan ini dapat kita temukan dan kita buktikan di dalam riwayat-riwayat yang tidak sedikit jumlahnya, yang datang dari para imam suci itu sendiri. Dengan mengkaji riwayat-riwayat tersebut, akan dapat dibuktikan kemaksuman mereka.

Sebelum menunjukkan riwayat-riwayat tersebut, kami akan memberikan isyarat dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan seseorang atau beberapa orang yang memiliki “Ilmu Kitab” (Man ‘indahu ilmul kitab). Allah SWT berfirman, “Katakanlah wahai Muhammad, cukuplah hanya Allah dan seseorang yang memiliki “ilmu kitab” sebagai saksi antaraku dan antara kalian.”
Pertama, ayat tersebut menjelaskan bahwa Rasul saw berada dalam hak dan kebenaran melalui kesaksian Allah SWT dan seorang imam maksum, yaitu Ali bin Abi Thalib as.

Kedua, menjelaskan bahwa kesaksian seseorang yang digandengkan dengan kesaksian Allah SWT, ditambah pula dengan ilmu kitab yang dimilikinya, tidak diragukan lagi bahwa orang tersebut (Ali as) telah mencapai derajat tinggi di sisi Allah SWT.

Dalam ayat lainnya, telah disinggung pula bahwa Imam Ali as sebagai saksi yang mengiringi Rasul saw. Allah SWT berfirman, “Bukankah ia (Muhammad saw) berada dalam bayyinah dari sisi Tuhannya dan diiringi oleh seorang “Syahid” (saksi, yaitu Imam Ali as) dari kerabatnya.” (QS. Hud: 17)
Kata “minhu” (darinya) dalam ayat ini menunjukkan bahwa saksi tersebut adalah dari keluarga dan Ahlulbait Nabi saw sendiri. Sehubungan dengan ini, telah dinukil riwayat yang jumlahnya tak terbilang, baik melalui jalur Syi’ah atau pun jalur Ahlusunah. Riwayat-riwayat tersebut menjelaskan bahwa saksi tersebut tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib as.

Adapun riwayat-riwayat yang dapat kami nukilkan di sini sebagai bukti ketinggian ilmu Imam Maksum as adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Al-Maghazili Asy-Syafi’i dari Abdullah bin ‘Atha’ bahwa ia pernah berkata, “Ketika aku sedang duduk di sisi Abu Ja’far (Imam Baqir as), lewat di hadapan kami Ibnu Abdillah bin Salam (Abdullah adalah seorang ulama Ahli Kitab yang telah masuk Islam pada masa hayat Rasulullah saw), aku berkata, “Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu, inikah dia putra seseorang yang memiliki ilmu kitab?”

Imam Al-Baqir as menjawab, “Bukan, akan tetapi (yang memiliki ilmu kitab) adalah Ali bin Abi Thalib as yang telah Allah turunkan ayat-ayat Al-Qur’an berkenaan dengan ketinggian derajatnya, yaitu ayat: “Wa man ‘indahuu ilmu al-kitab” dan ayat: “afaman kaana ‘alaa bayyinatin min rabbihii wa yatluuhu syaahidun minhu” dan ayat: “Innamaa waliyyukumullahu wa Rasuluhu walladziina aamanuu ….”

Ayat yang terakhir tadi artinya, “Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian adalah Allah, Rasul-Nya (Muhammad Saw) dan orang-orang yang betul-betul beriman (Imam Ali As dan 11 orang putra keturunannya) ….”

Kedua mazhab Ahlusunah dan Syi’ah telah menukil beberapa riwayat, bahwa yang dimaksudkan Asy-Syahid dalam surat Hud itu ialah Ali bin Abi Thalib as Dan kenyataannya memang, apabila kita mengamati dengan teliti kata “minhu” dalam ayat tersebut, jelas bahwa yang dimak-sudkan dari kata “minhu” (darinya) itu tidak lain ialah Imam Ali bin Abi Thalib as.

Adapun masalah Ilmu kitab, kita akan dapat mengetahui betapa pentingnya hal tersebut ketika kita mengkaji kisah Nabi Sulaiman as dan kehadiran istana Ratu Balqis di sisinya. Al-Qur’an telah menukil kisah tersebut.

“Dan berkata orang yang memiliki ilmu dari al-kitab, ‘Akulah yang akan menghadirkan singgana Balkis itu ke hadapanmu sebelum matamu berkedip.” (QS. An-Naml: 40)

Dari penjelasan ayat tersebut, dapatlah kita pahami bahwa mengetahui sebagian saja dari ilmu kitab mempunyai kekuatan yang begitu dahsyat dan luar biasa. Washi atau khalifah Nabi Sulaiman as yang bernama Asif bin Barkhiya itu hanya memiliki ilmun minal kitab, yakni sebagian dari ilmu kitab saja, sehingga denganya ia mampu memindahkan istana Ratu Balqis hanya dengan sekejap mata, bahkan lebih cepat dari itu. Sementara Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as memiliki ilmu kitab, yakni seluruh ilmu kitab. Sungguh kita tidak akan dapat membayangkan kehebatan, ketinggian dan kemuliaan ilmu beliau.

Dalam sebuah riwayat, Sudair berkata, “Aku mengunjungi rumah beliau (Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as) bersama Abu Bashir dan Maisar. Kami berkata kepada beliau, ‘Diri kami menjadi tebusanmu wahai Imam, kami telah mendengar di majlis tadi ucapan Anda tentang itu (bahwasanya tidak ada yang mengetahui hal-hal yang gaib selain Allah SWT sekaitan dengan budak perempuan engkau yang telah kabur) sedang kami tahu bahwa engkau memiliki ilmu yang sangat banyak dan kami tidak menisbahkan ilmu gaib kepada engkau.’

Sudair berkata, “Kemudian Imam Ja’far as berkata, ‘Wahai Sudair, bukankah kamu membaca Al-Qur’an?”

Aku menjawab, “Benar wahai Imam.”

Imam as berkata, ‘Apakah dari yang kamu baca itu kamu mendapati ayat yang berbunyi, ‘Orang yang memiliki sebagian ilmu kitab itu’, berkata, ‘Aku akan mendatangkannya kepadamu sebelum matamu berkedip.’

Sudair berkata, ‘Diriku ini tebusanmu, sungguh aku telah membacanya.’

Imam as berkata, ‘Apakah kamu tahu siapa orang itu? Apakah kamu tahu bahwa ia hanya memiliki sebagian saja dari ilmu kitab?’

Sudair berkata, ‘Beritahukan aku tentang hal itu, wahai Imam!’

Imam as berkata, “Sebagian ilmu yang ia miliki itu hanyalah setetes air lautan saja.”

Kemudian Imam Ja’far Ash-Shadiq as melanjutkan sabdanya, “Wahai Sudair, apakah engkau menemukan dari apa yang telah engkau baca itu firman Allah, “Qul kafaa billahi syahiidan baynii wabaynakum waman ‘indahuu ilmul kitâb?’

Aku menjawab, “Ya betul, aku telah membacanya.”

Lalu beliau berkata lagi, “Apakah orang yang memahami ilmu kitab seluruhnya itu lebih pandai ataukah orang yang hanya memahami sebagiannya saja?”

Aku berkata, ‘Tentu orang yang memahami seluruh ilmu kitab itulah yang lebih pandai.’

Sudair melanjutkan kisahnya, “Kemudian beliau memberikan isyarat dengan tangannya ke dadanya seraya berkata, ‘Demi Allah, seluruh ilmu kitab itu ada pada kami, demi Allah, seluruh ilmu kitab itu ada pada kami.’

Berikut ini kami nukilkan beberapa riwayat lainnya yang berhubungan dengan ilmu Ahlulbait Nabi saw. Imam Ali Ar-Ridha as bersabda dalam salah satu hadisnya yang panjang, “… dan sesungguhnya seorang hamba, jika Allah berkehendak memilihnya untuk mengatasi berbagai urusannya, Dia melapangkan hatinya untuk tugas tersebut, menganugrahkan sumber-sumber hikmah ke dalam hatinya, dan mencurahkan ilmu melalui ilham. Maka setelah itu, hamba tersebut tidak akan merasa lelah untuk menjawab berbagai persoalan, tidak akan merasa bingung dari kebenaran, ia akan selalu ditopang dengan kemaksuman, selalu benar dan diberi taufik, ia senantiasa aman dari segala kesalahan, kekeliruan dan ketergelinciran. Allah mengkhususkan anugerah-Nya itu kepadanya agar ia menjadi hujjah atas hamba-hamba-Nya, dan menjadi saksi bagi segenap makhluk-Nya. Itulah karunia Allah, Dia memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Maka apakah mereka itu (orang-orang yang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah ketika Rasulullah saw wafat) mengutamakan hamba yang seperti ini kemudian mereka memilihnya? Ataukah orang-orang yang mereka pilih itu memiliki sifat-sifat semacam ini sehingga mereka mengutamakannya?’” [Ushulul Kafi, jilid 1/198-203]
Hasan bin Yahya Al-Madaini meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Abdillah Ja’far as, dia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah as, ‘Wahai Imam, bagaimana (dan dengan ilmu apa) Imam menjawab tatkala ditanya?’

Imam as berkata, ‘Dengan ilham dan sama’ ( mendengar dari malaikat), atau mungkin pula dengan kedua-duanya. [Biharul Anwar, jilid, 26/58]

Di dalam riwayat lainnya, Imam Ash-Shadiq as bersabda, “Apabila seorang Imam itu tidak mengetahui apa yang benar dan apa yang akan terjadi, maka ia bukanlah Hujjah Allah bagi seluruh makhluk-Nya.”

Di dalam beberapa riwayat, Imam Ja’far Ash-Shadiq as bersabda, “Sesungguhnya seorang imam maksum, jika ia berkehendak mengetahui sesuatu, Allah akan memberitahunya.”

Dan dalam beberapa riwayat lainnya, beliau ditanya tentang maksud ayat, “Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu “ruh” dari “amr” Kami.”

Beliau bersabda, “Ruh tersebut adalah makhluk Allah, ia lebih agung daripada Jibril as dan Mikail as, ia senantiasa menyertai Rasulullah saw, membawa berita untuknya dan menopangnya. Dan (setelah beliau saw wafat) ia selalu bersama Imam-imam maksum as.” [Ushulul Kafi, jilid 1/273]

No comments:

Post a Comment