Wednesday, August 3, 2011

MENGKAJI ULANG FALSAFAH KEMAKSUMAN PARA NABI



“Allah Maha Mengetahui hal yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan hal gaib kepada siapapun. Kecuali kepada rasul yang Dia ridhai. Sesungguhnya Dia menciptakan para penjaga di depan dan belakangnya. Supaya Dia mengetahui bahwa rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah Tuhan mereka. Allah mengetahui apa yang ada dalam mereka dan menghitung segala sesuatu.“ (Qs. al-Jin [72]: 26-27).

“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quraan) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) yang diajarkan kepadanya oleh (jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas; dan (jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. (QS. An-Najm (53): 1-6)

Sebelum kami membuktikan kemaksuman para Nabi, perlu kami jelaskan sebagian poin-poin penting berikut ini:

Pertama, maksud dari kemaksuman para nabi atau selain mereka, bukan sekedar tidak melakukan dosa. Karena bisa jadi seorang manusia biasa tidak melakukan maksiat sepanjang usianya, khususnya apabila orang itu berusia pendek. Akan tetapi yang kita maksud dengan kemaksuman para nabi di sini, adalah adanya malakah nafsaniyah (karakter inheren) yang kuat yang mencegah dia dari berbuat dosa dan maksiat, sekalipun dalam kondisi yang sulit.

Malakah ini dicapai dengan pengetahuannya yang sempurna dan terus menerus  terhadap keburukan perbuatan dosa, dan dengan kehendak serta keinginan yang kuat untuk mengendalikan hawa-nafsu. Karena malakah semacam ini tidak mungkin dapat  terwujud kecuali dengan bantuan dan inayah Allah Swt secara khusus, maka pelakunya diidentikkan dengan-Nya.

Kemaksuman mereka bukan berarti bahwa Allah memaksa mereka untuk meninggalkan dosa dan mencabut kebebasan kehendak dan usaha mereka. Kemaksuman sebagian manusia sempurna seperti para nabi dan imam juga bisa dinisbahkan kepada Allah dengan makna yang lain, yaitu bahwa Dialah yang menjamin kemaksuman mereka.

Kedua, kemaksuman seseorang itu menuntutnya untuk meninggalkan berbagai perbuatan yang dilarang atasnya, seperti perbuatan maksiat yang diharamkan di dalam seluruh syariat dan perbuatan yang dilarang dalam syariat yang ia ikuti. Dengan demikian tidak terdapat kontradiksi antara kemaksuman para nabi dengan mengamalkan sebagian perbuatan yang dibolehkan dalam syariatnya untuk pribadi mereka secara khusus, sekali pun itu diharamkan dalam syariat-syariat yang sebelumnya atau akan diharamkan pada ajaran yang akan datang.

Ketiga, maksud dari maksiat  yang seorang maksum itu tersucikan darinya ialah perbuatan yang “haram” dalam istilah Fiqih, atau meninggalkan perbuatan yang “wajib” menurut istilah Fiqih. Adapun kata maksiat dan semacamnya, yaitu adz-dzanbu (dosa), terkadang digunakan untuk hal-hal yang lebih luas daripada makna maksiat dan dosa, seperti bisa juga digunakan untuk mengartikan tarkul aula (meninggalkan yang lebih utama). Meninggalkan yang lebih utama tidaklah menafikan kemaksuman dari diri mereka.


Dalil Akal atas Kemaksuman Para Nabi

Dalil akal yang pertama atas keterjagaan para Nabi dari maksiat ialah bahwa tujuan utama diutusnya para nabi itu ialah untuk memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia dan membimbing mereka kepada hakikat kebenaran dan tugas-tugas yang telah ditentukan oleh Allah Swt. ke atas mereka. Pada hakikatnya, para nabi itu merupakan duta-duta Tuhan untuk seluruh umat manusia. Mereka mempunyai tugas untuk memberikan hidayah kepada jalan yang lurus. Apabila mereka sendiri tidak konsisten dengan ajaran Ilahi, bahkan mereka mengamalkan yang sebaliknya; yang menyalahi kandungan risalah yang mereka bawa dan menyalahi ucapan yang mereka katakan dan pelajaran yang mereka berikan, pasti umat manusia akan menilai bahwa perbuatan mereka tersebut sebagai penjelasan yang menyalahi ucapan mereka sendiri.  Dengan demikian, seorang pun tidak akan percaya lagi kepada ucapan mereka. Akibatnya, tidak akan terealisasi secara sempurna tujuan diutusnya mereka.

Karenanya, hikmah dan rahmat Ilahi itu  menuntut bahwa para nabi itu harus maksum dan bersih dari berbagai dosa. Bahkan tidak akan keluar perbuatan yang tidak baik dari diri mereka, sekalipun dalam bentuk lalai atau pun kelupaan, supaya umat manusia tidak berasumsi bahwa mereka menjadikan pengakuan lalai dan lupa sebagai alasan untuk melakukan dosa dan maksiat. (Jika nabi boleh lalai dan lupa tentu manusia biasa boleh menggunakan alasan ini untuk melakukan dosa dan maksiat).

Dalil akal yang kedua atas kemaksuman para nabi adalah bahwa di samping ditugaskan untuk menyampaikan kandungan wahyu dan risalah kepada umat manusia dan memberikan petunjuk kepada mereka ke jalan yang lurus, para nabi juga  ditugaskan untuk mendidik dan membersihkan jiwa mereka.

Dan tugas yang lainnya adalah mengantarkan individu-individu yang mempunyai potensi kepada peringkat yang terakhir dari peringkat kesempurnaan insani. Artinya, di samping memberikan pengajaran dan tuntunan kepada umat manusia, para nabi juga mempunyai tugas penting lainnya, yaitu memimpin dan mendidik mereka secara menyeluruh, sekalipun mereka termasuk orang-orang yang berpotensi dan terpandang di masyarakat. Dan  kedudukan yang tinggi ini tidak mungkin dapat dicapai kecuali oleh orang-orang yang telah mencapai derajat kesempurnaan insani dan yang memiliki lebih banyak karakter kesempurnaan, yaitu karakter kemaksuman. Selain itu, peran sikap dan perilaku seorang pendidik itu lebih berpengaruh daripada ucapannya dalam membina mereka. Jika ditemukan berbagai kekurangan dan kesalahan pada perbuatannya, ucapannya itu pasti tidak lagi berarti.


Dengan demikian, tujuan Ilahi dari diutusnya para nabi – sebagai penuntun dan pendidik umat manusia– hanya bisa terealisasi secara penuh apabila mereka itu maksum dan terpe-lihara dari berbagai macam maksiat, kesalahan, dan penye-lewengan, baik dalam ucapan maupun perbuatan mereka.

 Dalil Wahyu atas Kemaksuman Para Nabi

Pertama, Al-Qur’an menggunakan istilah al-mukhlas pada sebagian individu ketika mereka tidak tersentuh oleh bujuk-rayu sekalipun oleh setan.  Dari sinilah setan bersumpah untuk menyesatkan seluruh Bani Adam, kecuali mereka yang mukhlas, sebagaimana terdapat dalam firman-Nya:

“Maka dengan keagungan-Mu aku akan berusaha sekuat tenaga untuk meyesatkan seluruh umat manusia kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas” (Qs. Shad: 82-83).

Tidak diragukan lagi bahwa sebab putus asanya setan dari menyesatkan orang-orang yang mukhlas itu karena mereka suci dan terjaga dari dosa dan maksiat. Kalau tidak demikian, musuh-musuh mereka itu tentu akan dapat menggoda mereka dan penyesatan setan dapat menyentuh mereka. Dan jika mereka pun bisa disesatkan, setan tidak akan membiarkan mereka sedetik pun. Oleh karena itu, arti al-mukhlash itu identik dengan arti al-ma’sum. Walaupun tidak dijumpai argumen yang menunjukan kekhususan sifat mukhlas ini bagi para nabi, akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa sifat ini tersandang oleh mereka. Al-Qur’an telah memberikan penilaian atas sebagian para nabi dengan sifat al-mukhlasin:

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim Ishak dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan manusia akan akhirat” (Qs. Shaad: 45-46).

“Dan ceritakanlah kisah Musa di dalam al-Buku (Al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang mukhlas dan seorang rasul dan nabi” (QS. Maryam: 51).

Begitu pula ihwal disucikannya Nabi Yusuf a.s. dari peyelewengan ketika beliau berada pada kondisi yang sangat sulit, karena beliau adalah hamba Allah yang mukhlas. “Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba-Ku yang mukhlas” (Qs. Yusuf:4).

Kedua, Al-Qur’an telah mewajibkan seluruh umat manusia untuk mentaati Nabi secara mutlak: ”Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.” (Qs. An-Nisa:64).

Ketaatan umat secara mutlak kepada para Nabi itu hanya terjadi apabila mereka itu berada pada ketaatan kepada Allah swt. dan sebagai perpanjangan dari-Nya, sehingga ketaatan kepada para nabi itu tidak menafikan ketaatan kepada Allah swt. Kalau tidak demikian, perintah secara mutlak untuk mentaati Allah swt. itu bertentangan dengan perintah secara mutlak kepada orang-orang yang melakukan kesalahan dan penyelewengan.

Ketiga, Al-Qur’an telah mengkhususkan kedudukan Ilahi kepada mereka yang sama sekali tidak berbuat zalim. Allah swt.  berfirman ketika menjawab permintaan Nabi Ibrahim As akan kedudukan imamah untuk putra-putranya: “Janjiku tidak akan meliputi orang-orang yang zalim.”

Kita tahu bahwa maksiat itu merupakan perbuatan zalim -paling tidak- atas diri sendiri. Dan setiap pelaku maksiat adalah zalim menurut istilah Al-Qur’an. Dengan begitu, para nabi dan orang-orang yang mempunyai kedudukan Ilahi (kenabian dan risalah) pasti suci dari kezaliman dan perbuatan dosa. Argumentasi atas kemaksuman para nabi ini bisa juga dijumpai pada ayat dan riwayat yang lain yang tidak mungkin kami jelaskan di sini.

Rahasia  Kemaksuman Para Nabi

Dalam kajian ini, barangkali tepat bila kami membubuhkan catatan tentang falsafah kemaksuman para nabi dalam hal menerima wahyu. Yaitu, bahwa mengetahui wahyu itu adalah perkara yang tidak mungkin mengalami kesalahan. Dan nabi-nabi yang mendapat wewenang untuk menerima wahyu memiliki hakikat ilmu yang mereka dapati dalam bentuk ilmu hudhuri (anugerah), dan mereka menyaksikan hubungan ilmu ini dengan Pemberi Wahyu (Allah), baik  melalui perantara malaikat atau tidak. Maka, tidak mungkin penerima wahyu akan merasa ragu; apakah yang diterimanya itu berupa wahyu atau bukan? Atau siapakah yang mewahyukan kepadanya? Atau apakah kandungan wahyu yang diturunkan kepadanya? Apabila terdapat sebagian hikayat yang menceritakan bahwa ada seorang nabi yang merasa ragu dengan kenabiannya, atau ia tidak mengetahui kandungan wahyu, atau ia tidak mengetahui siapakah pemberi wahyu itu, hikayat semacam ini adalah dusta dan dibuat-buat. Kebatilan kisah semacam ini sama dengan ungkapan: ia ragu terhadap wujud-nya sendiri, atau ragu terhadap pengetahuannya yang bersifat hudhuri.

Adapun falsafah kemaksuman para nabi dalam menjalankan tugas-tugas Ilahi seperti: menyampaikan risalah Allah kepada seluruh umat manusia, ini memerlukan mukaddimah sebagai berikut:

Suatu perbuatan manusia itu akan sempurna apabila terdapat di dalam hatinya kecondongan kepada sesuatu yang diinginkannya. Dan kecondongan itu muncul karena berbagai faktor yang menentukan jalan baginya agar ia sampai kepada tujuan yang diinginkannya tersebut dengan bantuan berbagai pengetahuan. Kemudian, ia akan melakukan perbuatan yang sesuai dengan tujuannya tersebut. Apabila terdapat kecon-dongan dan keinginan yang saling bertentangan, ia berusaha untuk mengetahui manakah yang lebih utama dan paling banyak nilainya. Ketika itu ia akan memilih yang lebih baik lalu melakukannya. Akan tetapi terkadang –akibat adanya kekurangan pada pengetahuannya– ia keliru dalam menentukan mana yang lebih utama. Atau karena ia tidak mengetahui manakah yang lebih bermaslahat, atau karena ia telah terbiasa dengan hal-hal yang buruk, ia memilih hal-hal yang buruk pula, dan tidak ada kesempatan baginya untuk berfikir jernih dan memilih yang lebih bermaslahat.

Oleh karena itu, semakin pengetahuan, kesadaran dan  perhatian seseorang terhadap berbagai hakikat itu luas dan kuat, dan semakin kuat kehendaknya untuk menentukan kecondongan-kecondongan dan reaksi-reaksi internal, niscaya pilihannya akan lebih baik, dan lebih terjaga dari berbagai kesalahan dan penyimpangan.

Dari sinilah sebagian individu yang mempunyai pengetahuan dan potensi yang tinggi membekali dirinya dengan budaya yang semestinya, kesadaran yang baik dan pendidikan yang benar. Orang-orang semacam ini pasti akan sampai kepada peringkat kesempurnaan dan keutamaan. Mungkin juga mereka ini akan mencapai peringkat yang mendekati kemaksuman. Bahkan mungkin tidak terlintas dalam benak mereka pikiran untuk berbuat dosa dan melakukan hal-hal yang buruk. Sebagaimana tidak seorang pun yang berakal sehat mempunyai pikiran untuk minum racun atau ramuan-ramuan yang dapat membinasakan dirinya atau meng-konsumsi sesuatu yang kotor dan berbau busuk.

Maka itu,  apabila kita berasumsi adanya seseorang yang kapasitasnya telah terpenuhi untuk memperoleh berbagai macam hakikat, ruh  dan hatinya telah mencapai derajat yang tinggi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Hampir-hampir minyaknya itu dapat menerangi walaupun tidak disentuh oleh api”,  lantaran  kapasitasnya yang sudah penuh, jiwanya yang bersih, memperoleh pendidikan Ilahi serta ditopang dengan ruhul qudus. Orang semacam ini pasti akan melewati tangga-tangga kesempurnaan dengan cepat yang tidak bisa dibayangkan. Bahkan bisa jadi ia akan melewati jalan yang tidak mungkin dilewati oleh orang lain selama seratus tahun, dan sangat mungkin ia akan mengungguli orang lain walaupun ia masih kanak-kanak, bahkan sekalipun dia masih berupa janin. Bagi orang semacam ini akan tampak jelas nistanya perbuatan maksiat dan dosa, persis dengan tampak-nya bahaya minum racun, sesuatu yang berbau busuk dan kotoran-kotoran bagi orang lain. Sebagaimana orang biasa itu menjauhi hal-hal yang berbahaya dan kotor tanpa dipaksa, seorang yang maksum pun akan menjauhi berbagai maksiat dan dosa tanpa menafikan kehendak dan usaha bebasnya sama sekali.

Kesimpulannya, kemaksuman para nabi terbahagi kepada 3 keadaan:

Pertama: kemaksuman dari perbuatan dosa dan kesalahan pada masa mereka menerima wahyu.
Kedua: Kemaksuman dari perbuatan dosa dan kesalahan pada masa mereka menyampaikan seruan (dakwah).
Ketiga: Kemaksuman dari terdedah kepada perbuatan maksiat dan dosa.

Tahapan-tahapan amal

Sebagaimana amal-amal lahiriah memiliki dua tahapan, amal-amal kalbu juga memiliki dua tahapan. Ketika hati itu kotor, maka ia mulai menyenangi dosa, setelah itu mulai ingin mendekati dosa dan akhirnya melakukan dosa.

Proses hati untuk mendekati dosa itu tidak terjadi dalam diri nabi-nabi karena Allah Swt segera menghentikannya. “Dan sekiranya kami tidak memperteguh (hati)mu, niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada mereka” (QS. Al- Isra [17]:74).

Tentu, bukan hanya hasrat saja yang tidak terjadi dalam hati seorang nabi yang, melainkan juga bahkan mendekati hasrat. Kata “tarkanu” berasal dari “ruknun” yang berarti “mayl”, menyukai, mengharapkan, menginginkan (walaupun dalam kualitas yang sangat rendah).

Pengendali Dosa

Adapun maksud dari memperteguh (tatsbit) yaitu Tuhan tidak memberikan peluang kepada hasrat-hasrat nabi untuk meluapkan keinginannya. Itu juga dilaksanakan oleh Allah Swt terhadap Nabi Yusuf as, “Kami akan memalingkan darinya keburukan dan fakhisah (QS. Yusuf [12]:24). Artinya kami akan menutup suara-suara setan yang ingin menggodamu. Kami akan menyelamatkanmu dari tindakan dosa. Kami tidak memberikan kesempatan secuil pun pada dosa untuk mendekatimu. Tapi bukan berarti kami menyandera hatimu dari dosa.

Yang mengendalikan atau menurut ayat tersebut yang men-tatsbit adalah daya akal nazhari dan amal nazhari yang terdapat dalam pribadi Muhammad saw. Daya itulah yang selalu merujuk kepada Allah Swt. ‘Al-’aqlu ma ‘ubida Rahman wa uktusiba bihi al-jinan, “Akal adalah yang mendorong untuk menyembah Allah dan meraih surga” (Ushul Kafi, Juz 1:11).

Rasulullah saw mencapai kesempurnaan berkat inayah dari Allah Swt, karena itu pula nabi-nabi yang lain memberikan penghormatan padanya. Demikian juga malaikat-malaikat menyungkur bersujud di depannya, “maka bersujudlah semua malaikat (QS: Al-Hijr [15]:30).

Tahapan Penerimaan Rasul

Al-Quran mendokumentasikan keterpeliharaan amal dan ilmu nabi dalam rangkaian ayat-ayatnya. Rasulullah saw mencerap ilmu melalui wahyu, kemudian menjaganya dengan benar dan menyampaikannya tanpa penambahan dan pengurangan. Al-Quran menguraikan tahapan-tahapan ini. Ayat pertama, “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar telah diberi al-Quran dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana, Maha Mengetahui”, (QS. An-Naml: 6).

“…dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quraan) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)…” (QS. An-Najm: 3-4)

Dari sisi Allah (ladunillah) artinya dari sisi yang tidak mengenal lupa, lalai dan alpa. Tidak ada tempat untuk setan. Sumber itu tidak terhijab karena hijab kadang-kadang mengecoh manusia. Dalam proses penerima wahyu (taraqqi, menaik) benar-benar diterima dari sumber yang benar. Demikian juga saat harus menyampaikannya (tanazzul, turun).

“Ruhul amin turun kepada hatimu”.
Ruh amin singgah pada kalbu sucinya. Malaikat itu amin (terpercaya). Ia disemati sifat amin karena tidak lupa, lalai atau alpa menyampaian pesan kepada rasul.

“Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan (di sisi Allah), Yang ditinggikan (dan) disucikan, di tangan para utusan (malaikat); yang mulia lagi berbakti,
(QS. ‘Abasa:13-16), yang tidak menyentuhnya kecuali yang telah disucikan.”

Dalam tahapan kedua, Allah Swt berujar kepada Rasulullah bahwa ketika engkau telah memahami wahyu dengan benar, maka peliharalah pemahanan yang benar tersebut. “Kami akan membacakan (al-Quran) kepadamu (Muhammad) sehingga engkau tidak akan lupa, kecuali jika Allah menghendaki. Sungguh Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi” (QS. Al-A’la).

Maksudnya, kecuali jika Allah menghendaki bukan berarti Allah mungkin tidak menghendakinya, lalu Muhammad pun bisa lupa. Frase itu untuk menegaskan bahwa Muhammad pasti tidak akan lupa, yang bisa membuatnya lupa hanya Allah Swt saja.

Ringkasnya, rasul adalah manusia biasa dari segi makan, minum, tidur dan dalam menjalani kehidupan seharian namun bukan manusia biasa dari segi hubungannya dengan Allah SWT. Justeru itu, falsafah kemaksuman Nabi haruslah difahami dalam konteks yang lebih luas.

Wassalam…..

No comments:

Post a Comment