Wednesday, August 3, 2011

KONSEPSI TAKLID



Pendahuluan
 Keyakinan atau I'tikad seorang muslim tentang ushul al Din [dasar-dasar agama] harus berlandaskan dalil, bukti serta argumentasi yang kuat. Karena dalam wilayah ini seorang muslim tidak boleh mengikuti atau bertaklid kepada siapapun. Adapun dalam wilayah hukum agama atau furuiyah, seorang muslim dapat dibagi kepada tiga tingkatan. Mereka yang mampu mengistinbatkan hukum dari dalil-dalilnya disebut mujtahid. Mereka yang tidak mampu mengistimbatkan hukum, tetapi hanya mengamalkan hukum berdasarkan pendapat seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan dinamakan mukallid. Sedangkan mereka yang tidak sampai kepada derajat yang pertama, namun ia bukan pula berada pada derajat ketiga disebut muhthat artinya orang yang berhati hati dalam mengamalkan hukum. Seperti apabila ada mayoritas mujtahid memutuskan bahwa sesuatu itu haram, disisi lain ada mujtahid yang menetapkan bahwa sesuatu itu makruh, maka seorang muhthat harus meninggalkannya sesuatu itu. Atau contoh lain, sebagian mujtahid memutuskan bahwa sesuatu itu hukumnya wajib, namun menurut sebagian mujtahid yang lain hukumnya sunnah, maka seorang yang muhthat harus mengamalkan berdasarkan keputusan yang wajib.

Imam Khomaini r.a. berkata: setiap mukallaf yang tidak sampai kepada derajat ijtihad (mujtahid) dalam persoalan yang bukan dharuriyat, baik ibadah, muamalah, yang berstatus hukum mustahab atau mubah harus bertaklid atau ikhtiyat dengan mengetahui syarat-syaratnya. Dan lebih lanjut, Imam mengatakan bahwa tidak banyak orang yang mempunyai kemampuan berihtiyat[1].

Menurut Muhammad Hasan Falah Zadeh menusia ditinjau dari sisi kewajibannya menjalankan taklif syari'at dibagi kepada tiga tingkatan.

Pertama, mereka yang mempunyai kemampuan berijtihad dan memenuhi syarat-syarat mujtahid.

Kedua, mereka yang mempunyai kemampuan menelaah dan mengkaji secara matang lagi mendalam fatwa-fatwa atau hasil ijtihad serta mengetahui perbandingan antara satu fatwa dengan fatwa yang lain. Tetapi tidak mempunyai kemampuan berijtihad dan tidak memenuhi syarat mujtahid disebut muhthat.

Ketiga, mereka yang bukan mujtahid dan bukan pula muhthat. Kelompok ketiga ini disebut mukallid.[2]

Dalam pandangan syiah, al awam dan al ami, yakni mereka yang tidak mempunyai kemampuan berijtihad dan tidak pula mempunyai kemampuan untuk berihtiyat (memilih yang terkuat) dari beberapa pendapat atau fatwa yang ada, wajib bertaklid kepada marja' taklid dalam mengamalkan syari'at agama.

Mukallid yang beramal tanpa bertaklid kepada marja' taklid, seluruh ibadahnya tidak sah. Pendapat ini menurut sebagian orang, mungkin tidak rasional. Apa hubungan marja' taklid dengan orang awam [al awam] hingga tanpa bertaklid, ibadah seseorang tidak sah ?.

Ulama syi'ah menganalogikan seorang mujtahid dengan seorang dokter, insinyur atau profesi lainnya. Seorang pasien untuk mengobati penyakitnya tidak dapat menentukan obatnya sendiri, ia harus pergi ke dokter diperiksa, diberi resep dan membeli obat di Apotik. Seorang pasien harus mengikuti semua petunjuk dokter dan mentaati semua aturan mengkonsumsi obat. Apabila ada seorang pasien mengobati dirinya sendiri, kemungkinannya mudharatnya lebih besar daripada sembuhnya, karena ia tidak mengetahui ilmu kedokteran.

Atau seperti orang awam yang tidak mengerti konstruksi bangunan, memdirikan rumah tujuh lantai tanpa ada perhitungan matang dari seorang insinyur pembangunan, mungkinkah rumah itu akan berdiri tegak ? Apabila dalam urusan yang berhubungan dengan kebutuhan jasmani manusia begitu berhati-hati. Apabila sakit, untuk mencapai kesehatannya ia begitu patuh dengan petunjuk dokter, karena bila melanggar aturan dokter kemungkinan bukan sembuh dari penyakitnya, tetapi ajal yang menghampirinya. Atau seorang yang tidak ahli bangunan, ia tidak berani tanpa petunjuk insinyur pembangunan mendirikan bangunan tujuh lantai, karena berakibat fatal.

Mengapa mereka begitu berani menjalankan ibadah tanpa bimbingan seorang yang ahli dalam bidangnya. Bagaimana seorang beribadah tanpa bimbingan seorang mujtahid ? Bagaimana dalam hal sah dan tidaknya ibadah beramal tanpa bimbingan marja' taklid ? Bagaimana seorang takut mati bila melanggar petunjuk dokter, dan tidak takut masuk neraka, kalau ibadahnya salah ? Mereka yang tidak setuju dengan analogi ini berkata: bukankah dalam beramal kita dapat merujuk langsung kepada al Qur'an dan al Sunnah atau membaca buku-buku yang telah ditulis oleh ulama?

Mengapa mesti bertaklid kepada marja' taklid yang tidak maksum ?
Ulama syi'ah menjawabnya dengan pertanyaan berikut: mengapa seorang yang sakit tidak membaca buku kedokteran saja, mengapa mesti kedokter, bukankah dokter juga tidak ma'sum dari penyakit ?

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengemukakan perbedaan pendapat ulama tentang kewajiban bertaklid. Namun sebagaimana dikemukakan oleh Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi bahwa untuk mengetahui proses taklid, ada beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian lebih mendalam. 

Yaitu Apakah yang dimaksud taklid dikalangan syi'ah, kepada siapa seorang bertaklid, masalah apa saja yang masuk dalam wilayah taklid dan apa sebabnya manusia harus bertaklid ? Semoga tulisan ini dapat memberi gambaran singkat tentang taklid dikalangan syi'ah dan lebih lanjut, studi banding fiqh antara mazhab dapat dilaksanakan lebih intens.

Definisi Taklid.
Secara etimologis taklid berarti mengikuti, membawa pedang dan mengikuti tanpa dalil dan argumentasi. Untuk mengetahui taklid menurut istilah fiqh akan dikemukakan beberapa pendapat ulama.

Menurut Imam Khumaini r.a, taklid adalah beramal dengan menyandarkan kepada fatwa seorang faqih tertentu.[3]

Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat mendefinisikan taklid adalah beramal sesuai dengan fatwa seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan.[4]

Sayyid Izzuddin Bahrul Ulum mengatakan dalam kitabnya al taklid fi Syari'at al Islamiyah yang dikutip oleh Abdul Hadi al Fadhli bahwa taklid adalah mengikuti pendapat mujtahid yang memenuhi syarat ijtihad dalam masalah agama. Mengikuti dalam masalah hukum dan menggunakannya seperti seseorang yang menggunakan kalung perhiasan. [5]

Menurut Allamah Haidari, taklid adalah Menjadikan amal orang yang bukan mujtahid sesuai dengan fatwa seorang mujtahid dalam hukum syari'at.[6]

Muslimi Zodeh dalam buku Resoleh taudhih al masail yang merupakan himpunan fatwa 6 (enam) marja taklid mengutip pendapat Imam khomaini, berkata: Seorang muslim dalam mengamalkan masalah-masalah ushuluddin dan keyakinan harus mengemukakan dalil dan argumentasinya, tidak boleh bertaklid kepada siapapun. Tetapi dalam masalah hukum seorang muslim yang tidak mencapai derajat mujtahid wajib bertaklid kepada seorang marja' taklid yaitu mengamalkan semua aturan atau hasil ijtihad mujtahid . Adapun mereka yang telah mampu melakukan ihtiyat hendaknya ia melakukannya dengan penuh keyakinan. Seperti dalam satu kasus seorang mujtahid berfatwa bahwa masalah ini haram hukumnya, tetapi dalam pandangan mujtahid yang lain tidak haram. Seorang yang berihtiyat (muhthat) harus meninggalkannya (tidak mengamalkannya). Sebaliknya sebagian mujtahid berpendapat bahwa masalah ini wajib hukumnya, namun dalam pandangan mujtahid yang lain sunnah, maka seorang muhthat harus mengamalkannya. Inilah yang dimaksud dengan berihtiyat. Lebih lanjut ia berkata, taklid adalah mengamalkan aturan seorang mujtahid yang memenuhi syarat ijtihad seperti laki-laki, baligh, berakal, syi'ah 12, anak dari hasil perkawinan yang sah, merdeka, masih hidup dan adil.[7]

Hukum bertaklid Taklid adalah perbuatan mukallaf dan setiap perbuatan mukallaf mesti mempunyai status hukum. Dalam kaidah umum dikemukakan bahwa sesungguhnya setiap kasus disisi Allah mempunyai ketentuan hukum.

Menurut ulama mazhab Imamiyah seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid, bertaklid hukumnya wajib. Konsekwensi logisnya seorang penganut mazhab Syi'ah apabila mengamalkan masalah yang berkaitan dengan hukum praktis, seperti shalat, zakat, puasa haji dan sebagainya tetapi tidak bertaklid kepada salah seorang marja' taklid, maka semua amalnya tidak sah. 

Ulama Syi'ah dalam menetapkan wajibnya hukum bertaklid menggunakan pendekatan akal dan naql (nas) Dan selanjutnya dalil itu dibagi kepada dalil ilmi dan amali. Yang dimaksud dengan dalil ilmi adalah dalil yang dijadikan petunjuk oleh seorang faqih atau mujtahid dalam menyelesaian perkara melalui kajian ilmiah dan pembahasan fiqhiyah. Dan yang dimaksud dengan dalil amali adalah dalil yang dipegang oleh orang awam untuk mengetahui hukum taklid. Dalil amali dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu al adillah al aqliyah dan al adillah al naqliyah. Al Adillah al aqliyah dibagi kepada dua bentuk yaitu al aql al fitri dan sirah al uqala. Menurut akal yang jernih atau al aql al fitri diketahui bahwa setiap manusia secara fitrah - tanpa membutuhkan bukti dan argumentasi- mengetahui bahwa orang yang tidak berilmu pengetahuan harus merujuk kepada orang yang berilmu pengetahuan. Dengan argumentasi ini mudah sekali dipahami bahwa orang awam wajib bertaklid dan mengikuti pendapat seorang mujtahid. Al aql al fitri ini dapat dijadikan dalil tentang wajibnya bertaklid baik oleh seorang mujtahid maupun oleh orang awam.

Dalil selanjutnya yang menunjukkan kewajiban bertaklid adalah sirah al aqala yaitu perjalanan atau prilaku orang-orang yang berakal. Orang awam yang tidak mengetahui hukum syari'at dituntut untuk melaksanakannya dan ia secara tabi'i tidak dapat keluar dari kenyataan sosial bahwa untuk mengetahui hukum syari'at ia harus merujuk kepada seorang mujtahid.

Taklid syar'i yaitu seorang yang bukan faqih atau bukan mujtahid merujuk kepada seorang mujtahid adalah satu cara dari beberapa cara yang merupakan jalan bagi masyarakat awam yang diistilahkan oleh Fuqaha sebagai al sirah al aqala.

Menurut ulama syi'ah ayat 122 surat al Taubah secara eksplisit menunjukkan kewajiban bertaklid.

Dan hendaklah ada sekelompok diantara mereka (orang yang beriman) untuk mendalami agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali.(QS al taubah/9:122)
  
Ayat ini menunjukkan bahwa dalam setiap komunitas mesti ada beberapa orang (nafar) yang khusus mendalami agama. Dan kemudian pada tahapan tertentu dia menjadi rujukan dan pembimbing bagi masyarakatnya dalam masalah agama. Dari ayat ini juga dipahami bahwa orang kebanyakan (awam) wajib untuk mengikuti dan merujuk kepada mereka. Merujuk dan mengikuti seorang mujtahid dalam mengamalkan hukum praktis adalah taklid menurut syara.

Al Bajnurdi mengatakan: ayat ini secara jelas menegaskan bahwa setiap orang awam wajib menerima pendapat seorang mujtahid. Hendaknya setiap negeri atau daerah mengirim utusannya yang mempunyai kemampuan ke pusat studi tersebut untuk mendalami hukum syari'at. Setelah selesai studi, mereka kembali ke negerinya membimbing masyarakat dengan ilmu yang dimilikinya.

Ayat lain yang dijadikan dalil wajib bertaklid adalah surat al Nahl ayat 43.

Maka bertanyalah kepada ahl zikr, jika kalian tidak mengetahui. (QS al Nahl/16:43).

Ada tiga penekanan yang perlu mendapat perhatian dalam ayat ini yaitu perintah bertanya, ahl zikr dan tidak mengetahui.

Ahli zikr dalam ayat ini adalah ulama yakni seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan ijtihad. Orang yang tidak mengatahui adalah masyarakat awam yang tidak mengerti proses ijtihad.

Atau mereka yang tidak mencapai derajat mujtahid.

Dan ketiga adalah bertanya yakni meminta fatwa yang berkaitan dengan pengamalan hukum praktis, mengikuti dan mengamalkannya. Bertanya, mengikuti dan mengamalkan hukum dengan bersandar ulama yang memenuhi persyaratan mujtahid disebut taklid.

Ayat lain yang juga dijadikan argumentasi tentang kewajiban bertaklid adalah firman Allah :

Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kalian (QS al Nisa/5:59.

Menarik untuk disimak komentar tokoh Syiah terkenal Syeih Shaduq dalam kitabnya Kamal al din wa tamam al nikmat sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan ulil amri dalam ayat ini adalah penerima wasiat (Imam Ali as) dan para Imam (imam 12) sesudah wafatnya Rasulallah Saw.[8]

Lebih lanjut, shaduq mengatakan bahwa Allah Swt mewajibkan kepada hamba-Nya untuk taat kepada-Nya. Setelah itu taat kepada Rasul-Nya. Ttaat kepada Rasulallah berarti taat kepada Allah Swt. Dan perintah berikutnya adalah agar orang yang beriman taat kepada ulil amri atau para Imam maksum ( Imam 12) dan mentaati Imam Maksum wajib hukumnya seperti mentaati Rasulallah Saw. Selama keghaiban Imam ke-12 yaitu Imam Mahdi, maka orang-orang yang beriman diperintahkan taat kepada seorang faqih.
Apabila ada seorang yang faqih yang memelihara dirinya dari perbuatan maksiat, memelihara pelaksanaan agamanya, melawan hawa nafsunya dan taat kepada perintah Maulanya (Allah), maka orang awam wajib bertaklid kepadanya.

Berikut ini akan penulis nukilkan beberapa riwayat dari ahlul bait yang memerintahkan bertaklid kepada seorang mujtahid.

Dari Abdul Aziz ibn al muhtadi, wakil Imam Ridha as, aku bertanya kepada Imam Ridah as: Sesungguhnya aku tidak setiap waktu bertemu denganmu, kepada siapa aku mengambil ilmu agama ? Imam bersabda: Ambillah dari Yunus ibn Abdurrahman.

Dari Ali ibn al Musayyab: aku bertanya kepada Imam Ridha a.s. Jarakku jauh sekali dan aku tidak setiap waktu dapat sampai kepadamu, dari siapa aku mengambil pelajaran agama ?
Imam Ridha as. berkata: Dari Zakaria ibn Adam al Makmun tentang urusan agama dan dunia.

Dari ibn Abi Ya'fur, aku bertanya kepada Abi Abdillah (Imam Ja'far al Shadiq) : Sesungguhnya tidak setiap waktu aku dapat bertemu dan datang kepadamu, sedangkan seorang laki-laki dari sahabat kami bertanya kepadaku, dan tidak ada ilmu padaku dari semua yang ditanyakannya ? Imam bersabda: Ambillah dari Muhammad ibn Muslim al Tsaqafi, karena ia telah mendengar dari ayahku.

Tiga riwayat di atas merupakan dalil yang tegas bahwa bertaklid merupakan kewajiban dalam pandangan Syi'ah Mujtahid dan cara mengetahuinya Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa seorang mujtahid adalah mereka yang mempunyai kemampuan untuk mengetahui hukum melalui jalan ijtihad.

Menurut Abdul Hadi al Fadhli, Mukallad atau marja' taklid adalah seorang faqih yang diikuti oleh para mukallid dalam persoalan agama. Orang awam mengambil fatwa dan mengamalkan daripadanya. Dan secara bahasa Mukallad semakna dengan mujtahid, faqih, marja taklid, marja' dan mufthi.

Dan seorang mujtahid itu harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1.Laki-laki [perempuan tidak dapat mencapai derajat marja' taklid sekalipun ia dapat mencapai derajat mujtahid]

2.Berakal [hendaknya orang yang dijadikan marja' taklid adalah mereka yang paling a'lam dari beberapa mujtahid yang ada]

 3.Baligh

4.Penganut syi'ah Imamiyah

5.Anak halal [ bukan dari hasil perkawinan yang tidak sah]

6.Masih hidup [orang yang sudah meninggal dunia tidak dapat menjadi marja' taklid]

7.Merdeka [seorang budak sahaya tidak dapat menjadi marja' taklid sekalipun ia seorang mujtahid]

8.Adil. [ melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan dan tidak melaksanakan perbuatan maksiat]

Cara mengetahui Mujtahid Untuk mengetahui seorang mujtahid yang paling a'lam dapat dilakukan tiga cara yaitu:

1.Manusia yakin bahwa seseorang yang dikenalnya itu merupakan seorang mujtahid.

2.Manusia mengetahui bahwa seseorang mujtahid dari informasi dua orang yang alim dan adil yang keduanya mengetahui bahwa seseorang itu mujtahid dan a'lam dengan syarat informasi itu tidak bertentangan dengan khabar dari dua orang alim yang adil lainnya.

3.Adanya beberapa orang ahli ilmu dan ahli khubrah yang mengetahui bahwa dia adalah seorang mujtahid dan a'lam dan dengan pendapat ahli ilmu ini melahirkan keyakinan bahwa dia adalah benar-benar seorang mujtahid.

Permasalahan disekitar taklid.
1.Apabila kesulitan dalam menetapkan orang yang ahli atau a'lam dalam ilmu agama, maka berdasarkan ihtiyad wajib, ia bertaklid kepada orang yang diperkirakan a'lam. Hal ini seperti seseorang yang bertaklid kepada seseorang yang kurang a'lam, tetapi karena tidak ada orang lain selain dia. Selanjutnya apabila ada dua orang yang sama-sama a'lam, boleh memilih salah satu dari keduanya, tetapi apabila diketahui salah satunya lebih wara', maka harus dipilih yang a'lam dan lebih wara'.

2.Cara mengetahui fatwa mujtahid atau pendapatnya dapat dilakukan dengan 4 jalan. a.Mendengar langsung dari seorang mujtahid
b.Mendengar dari dua orang yang adil bahwa mereka mengambil atau menukil dari fatwa mujtahid.
c.Mendengar dari seseorang yang melahirkan keyakinan dan kebenaran. d.Memperoleh fatwa dari buku bimbingan ibadah praktis [risalah amaliah] dengan keyakinan dan terhindar dari kesalahan.

3.Apabila seorang mukallaf tidak yakin dengan perubahan fatwa seorang mujtahid dan pendapatnya, ia boleh mengamalkan sesuai yang diketahuinya dari risalah amaliah. Apabila dia perkirakan kemungkinan terjadi perubahan fatwa, ia tidak wajib untuk meneliti, kecuali berdasarkan pertimbangan akal yang jelas.

4.Apabila seorang mujtahid yang a'lam memberi fatwa tentang suatu masalah, maka mukallidnya tidak boleh mengikuti mujtahid yang lain. Tetapi apabila mujtahidnya itu tidak memberi fatwa terhadap satu masalah, maka berdasarkan kehati-hatian hendaknya ie melaksanakan fatwa dari mujtahid yang lain itu.

5.Tidak boleh bagi seorang mukallid mengikuti atau bertaklid kepada mujtahid yang sudah meninggal dunia, kalau baru pertama kali bertaklid, Tetapi apabila mujtahid yang diikutinya itu meninggal dunia, mukallid boleh melanjutkan taklid kepada mujahid tersebut dalam seluruh malalah hingga apabila tidak ada fatwa dari mujtahid yang telah meninggal itu, maka hendaknya ia beramal berdasarkan mujtahid yang masih hidup.

6.Apabila seseorang mengamalkan fatwa mujtahid dan setelah mujtahid tersebut meninggal dunia, ia mengamalkan fatwa mujtahid yang masih hidup, maka ia tidak boleh kembali lagi mengamalkan fatwa mujtahid yang telah meninggal.

7.Dibolehkan pindah dari mujtahid yang sudah mati kepada mujtahid yang masih hidup dan Tidak boleh pindah dari mujtahid yang masih hidup kepada mujtahid lain yang masih hidup, kecuali apabila ia lebih a'lam dari yang pertama atau karena mujtahid yang pertama telah lepas keadilannya

8.Dan wajib bagi seorang mukallaf mengetahui masalah-masalah yang ia butuhkan.

9.Apabila seseorang tidak mengetahui status hukum sesuatu, kalau masih memungkinkan hendaknya ia bersabar hingga sampai kepadanya fatwa dari marja' taklidnya, tetapi apabila tidak memungkinkan hendaknya ia berihtiyat, yaitu mengamalkan sesuatu dengan jalan hati-hati. Misalnya ia tidak tahu apakah hukum LML itu boleh atau haram. Sedangkan ia tidak mengetahui fatwa dari marja' taklidnya, dalam kondisi ini hendaknya ia menunggu fatwa marja' taklidnya, tetapi kalau tidak memungkinkan, maka lihatlah fatwa dari mujtahid yang lain, apabila seorang mujtahid mengatakan LML itu haram sedangkan mujtahid yang lain mengatakan makruh, maka ambillah dan amalkan mujtahid yang mengatakan haram. [ini yang dimaksud dengan berihtiyat]
10.Apabila kita menginformasikan tentang fatwa seorang mujtahid kepada seseorang, kemudian fatwa itu ternyata sudah berubah, maka kita tidak perlu untuk memberitahukannya, tetapi apabila yang kita beritahukan itu salah, maka apabila memungkinkan segera memberitahukannya.

11.Apabila seorang mukallaf dalam beberapa waktu beramal tidak mengikuti marja' taklidnya, jika amalnya itu sesuai dengan fatwa marja' maka sah amalnya. Apabila tidak sesuai dengan fatwa marja' taklidnya, maka ia harus mengulangi sesuai dengan tuntunan marja' taklidnya.

12.Taklid berlaku umum dalam semua urusan hukum, baik ibadah, muamalah, yang wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah.

Kesimpulan dan penutup.
Taklid dalam pandangan ulama Syi'ah merupakan sesuatu yang sangat penting. Oleh karena itu tidak ada tasyayyu' (orang syi'ah) yang tidak bertaklid. Bertaklid artinya mengikuti pendapat seorang mujtahid yang memenuhi syarat sebagai seorang marja' taklid. Marja' Taklid artinya tempat kembali untuk diikuti yaitu seorang ulama yang layak untuk diikuti dalam masalah ibadah, muamalah dan lain sebagainya.

Dalam masalah hukum, seorang Syi'ah tidak dapat beramal sesuai kehendaknya sendiri dengan melihat al Qur'an dan al Hadits tetapi ia wajib mengikuti fatwa dari marja' taklidnya, sebab orang yang beramal tanpa mengikuti marja' taklidnya maka amalnya tidak sah. Seorang yang bukan mujtahid secara obyektif diketahui bahwa ia tidak akan sanggup untuk memahami nash al Qur'an dan hadits secara langsung, oleh karena itu untuk menghindari kesalahan dan kesesatan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama harus mengikuti seorang marja' taklid. Menurut pandangan Syi'ah setiap zaman selalu ada imamnya.

Pada masa Nabi Muhammad, imam umat pada waktu itu adalah Rasulallah yang membimbing dan memahami ayat dan maksud syari'ah. Setelah Rasulallah wafat, pembimbing dan imam umat adalah Ali ibn Abi Thalid dan selanjutnya.

Pada masa sekarang Imam zamannya adalah al Mahdi. Tetapi karena imam zaman dalam kegaibannya, maka beliau berpesan: Apabila kamu mendapatkan seorang yang berilmu [faqih], bertakwa dan adil, yakni melaksanakan semua kewawjiban agama dan meninggalkan yang dilarang serta tidak melakukan perbuatan dosa dan tidak rakus kepada dunia, maka ikutilah [bertaklidlah kepadanya].

Dalam pandangan syi'ah seorang mukallaf yang tidak sampai derajat mujtahid ia harus selalu berhubungan dengan marja' taklidnya dimanapun mereka berada. Untuk membimbing dan menuntunnya dari segala persoalan agamanya, baik yang berhubungan dengan masalah ibadah, muamalah dan yang lainnya. Menurut hemat penulis, konsepsi taklid merupakan suatu perekat antara ulama dengan umatnya.

Dengan konsep taklid ini ulama bertanggungjawab terhadap umatnya, dan umat harus selalu berkomunikasi dengan ulamanya dalam segala persoalan. Hingga fungsi ulama sebagai pewaris para Nabi dapat teraplikasi secara benar. Melihat persyaratan menjadi untuk mencapai derajat mujtahid begitu berat, menjadi isyarat bahwa ulama bukanlah sekedar mempunyai ilmu tanpa tanggung jawab, tetapi ia berilmu pengetahuan, berakhlak dan selalu membimbing umatnya. Dan tidak akan terjadi seorang yang bukan mujtahid memberi fatwa berdasarkan kemauannya sendiri. --------------------------------------------------------------------------------
[1] .Imam Khumaini, Tahri al Wasilah, (Qom:Muassasah al Nasyr al Islami, 1424 H), jilid. I, hal. 3. [2]. Muhammad Hasan Falah Zodeh, Omuzisy Ahkom (Qom:Markaz Jahani Ulumi Islami, tt), hal. 9. 4. Op.Cit, hal. 3. [4].Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat, Risalat Taudhih al Masail, (Qom:Intisyarat Syafaq), hal. 7. [5] Abdul Hadi, Op Cit, ha. 30. [6] .Allamah Khaidari, Ushul Istinbat, (Tehran:Daar al fikr,1383 S), hal. 536 [7] . Muslimi Zodeh, Resoleh Taudhih al masail mahsyi Iam Khomaini (Masyhad:Intisyarat Hatif,tt), hal. 11-12. Kitab ini merupakan himpunan dan kumpulan fatwa 6 marja' taklid yaitu Hadrat Imam Khomaini, Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat, Ayatullah Mirza Jawad Tabrizi, Ayatullah Sayyid Ali Husaeni sistani, Ayatullah Fadil Lankarani dan Ayatullah Nasir Makarim Syirazi. [8] . Syeh Shaduq, Kamal al din wal tamam al nikmat, (Jamkaran:Intisyarat Masjid al Muqaddas Jamkaran, 1382 H), jilid.1, hal. 49.

No comments:

Post a Comment