16 04 2011
Bagaimana menurut Anda tentang penerapan Syariat Islam di
Indonesia? Apakah yang seharusnya diterapkan, syariat Islam atau syariat
Islami?
Saya
diundang oleh Walikotamadya Bandung. Beliau ingin menjadikan Bandung sebagai
kota bersyariat Islam. Beliau mengundang saya untuk meminta pendapat saya. Saya
menyambut baik adanya Perda Syariat Islam. Akan tetapi dengan catatan, agar
menerapkan syariat Islam sebagai rahmat seluruh alam.
Kalau
aturan syariat Islam yang dimaksud adalah wanita harus mengenakan jilbab, atau
pegawai negeri wajib sholat jamaah dan bisa membaca al-Quran, saya tidak
setuju. Saya lebih mengusulkan syariat Islam seperti: menyantuni fakir miskin,
meningkatkan upah minimum kota/regional, memberi pekerjaan bagi yang belum
mendapat pekerjaan. Kalau ayat tentang kewajiban mengenakan jilbab, saya bisa
tunjukkan satu dua ayat. Tapi jika Anda ingin ayat tentang perintah menyantuni
fakir miskin, maka saya dapat memberikan ratusan ayat pada Anda. Dengan syariat
Islam menurut pengertian yang kedua inilah, bukan hanya saya saja yang
mendukung, saya yakin pemeluk agama lain pun juga akan menudukung. Perda-perda
syariat Islam tidak sekaligus jadi. Maka seharusnya penerapan syariat Islam
harus bersifat rahmat lil alamin karena akan membawa kedamaian bagi agama-agama
lain. Begitu banyak ayat-ayat yang menyuruh kita menyantuni fakir miskin
daripada sekadar mengenakan jilbab. Kalau syariat Islam menurut pengertian yang
pertama, sepertinya kita bukan benar-benar menegakkan syariat Islam, tapi hanya
ingin tampil beda saja dari agama lain. Coba bayangkan kalau daerah mayoritas
Kristen menuntut penegakan syariat Kristen. Atau daerah mayoritas Hindu ingin
menegakkan syariat Hindu. Maka dari itu, jangan memperlakukan orang lain
semena-mena hanya karena kita ingin tampil beda.
Akhir-akhir
ini kita sering mengalami masalah dengan peribadatan haji. Tiap tahun banyak
yang ingin pergi haji tapi terbatas kuota. Padahal agama kita mengajarkan agar
jika kita mampu, kita wajib melaksanakan haji. Bagaimana menanggapi hal ini?
Bagaimana kalau kita perpanjang saja waktu ibadah haji itu sehingga banyak
orang berkesempatan melaksanakan ibadah haji?
Allah
swt berfirman: Allah menghendaki kemudahan dan Dia tidak menghendaki kesukaran.
Agama, intinya adalah memberi kemudahan. Akan tetapi dalam agama ada unsur yang
qath’iyyat yakni yang tidak boleh diganti-ganti termasuk di dalamnya rakaat
sholat. Kalau kita pikir-pikir, seharusnya sholat shubuh itu 10 roka’at supaya
orang-orang tidak kantuk. Dan seharusnya sholat dhuhur itu cuma satu roka’at
karena waktu itu manusia sibuk sekali bekerja. Akan tetapi, agama telah
menetapkan dan ini sudah pasti dan tidak bisa diubah-ubah. Memang, dalam agama
ada juga peraturan-peraturan yang dinamis. Dan peraturan yang semacam inilah
yang dapat diubah-ubah sesuai perkembangan zaman.
Kalau
tentang ibadah haji, sebenarnya tidak ada persoalan dalam menyangkut manasik
haji. Yang perlu dipikirkan adalah, manajemen ibadah hajinya. Sebab sampai saat
ini pelaksanaan ibadah haji sepenuhnya diatur oleh Pelayan Dua Tanah Suci
(khodimul haramain). Di Barat sudah ada teor queueing theory (teori mengantri)
yakni perhitungan yang dibuat untuk mengatur mengantri. Perhitungan yang rumit
ini seharusnya bisa dipakai dalam masalah ibadah haji.
Anda
membagi orang muslim menjadi dua: ahlu adh-dhawahir dan ahlu al-bawathin. Apa
maksud keduanya ini?
Ada
bagian-bagian dari ilmu ajaran Islam yang hanya berhubungan dengan hal-hal lahiriah
saja seperti bagaimana cara kita berwudlu, sholat, dll. Ini dikenal dengan
istilah fiqh. Orang-orang yang menekuni hal-hal yang lahiriah inilah yang
disebut ahli dhawahir. Sedangkan ada juga dalam ajaran agama ini yang bersifat
bathiniah. Orang-orang yang menekuni hal-hal yang bersifat bathiniyah inilah
yang disebut bawathin. Orang-orang dhahiriyah berpegang teguh pada teks-teks.
Misalnya, dalam hal memanjangkan jenggot. Orang-orang dhawahir menilai
memelihara jenggot sebagai hal yang sunnah karena rasulullah saw juga
memanjangkan jenggot. Mereka tidak melihat aspek memelihara keindahan. Demikian
pula dalam kasus bersiwak. Mereka memandang aspek bersiwak sebagai aspek yang
disunnahkan, bukan menggosok giginya. Jadi, menurut kalangan dawahir, yang sunnah
bukan menggosok gigi melainkan menggunakan siwak. Dan masih banyak lagi
contohnya.
Sementara
ahli bawathin meninjau aspek bathiniyahnya misalnya dalam kasus-kasus di atas.
Orang-orang bawathin memandang aspek menjaga keindahan tubuh dalam hadits
tentang rasulullah memanjangkan jenggotnya. Mereka juga memandang kesunnahan
menggosok gigi dalam hadits tentang rasulullah yang selalu menggunakan siwak
saat menggosok gigi. Akan tetapi kita tidak bisa secara langsung menghakimi
seseorang apakah ia termasuk ahli dhawahir atau bawathin. Sebenarnya
permasalahannya demikian rumit. Saya (Kang Jalal) sendiri mengakui saya
termasuk kalangan ahli dhawahir karena saya setuju dengan penerapan syariat
Islam.
[Dialog
dengan KH Jalaluddin Rakhmat di Masjid Takhobbar (Telkom Ketintang – Surabaya
Selatan) ba’da sholat Jumat pada 5 Oktober 2007]
DIAMBIL
DARI http://kahficom.blogspot.com/2007/10/dialog-dengan-kang-jalal.html
assalamu'alaikum
ReplyDeletesaya ingin bertanya, adakah syiah menganggap al-quran telah diubah??
'alaikumussalam,
Deletesaudara 'silence',
bagi menjawab persoalan tuan, saya panjangkan jawaban ringkas yang masyhur di kalangan mazhab syiah. jawabannya- Syiah menyelewengkan al-Qur'an.
Ulama Syiah dari dulu hingga sekarang menolak pendapat tentang berlaku penyelewengan dalam bentuk seperti berlaku perubahan/tahrif, lebih atau kurangnya ayat-ayat Qur an sama ada dari kitab-kitab Syiah atau Ahlul Sunnah.
Mereka berpendapat jika hujah berlakunya perubahan ayat-ayat Quran diterima maka Hadith sohih Nabi Muhammad SAW yang bermaksud, "Aku tinggalkan kamu dua perkara supaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya iaitu al-Qur an dan Sunnah/Ahl Bayt," tidak boleh dipakai lagi kerana al-Qur an yang diwasiatkan oleh Nabi SAW untukkumat Islam sudah berubah dari yang asal sedangkan Syiah sangat memberatkan dua wasiat penting itu dalam ajaran mereka.Lagi pun Hadith-hadith yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Syiah berkaitan dengan tahrif keatas al-Qur an yang berjumlah kira-kira 300 itu adalah Hadith-hadith dhaif. Begitu juga dalam kitab-kitab Sunnah seperti Sahih Bukhari turut menyebut tentang beberapa Hadith tentang perubahan ayat-ayat Quran misalnya tentang ayat rejam yang dinyatakan oleh Umar al-Khattab, perbezaan ayat dalam Surah al-Lail dan sebagainya. Bukahkah Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur'an (Surah 15:9), yang bermaksud: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Zikr (al-Qur'an), dan sesungguhnya Kami memeliharanya." Sekiranya seseorang itu menerima pendapat bahawa al-Qur'an telah diselewengkan oleh sesuatu golongan maka di sisi lain orang ini sebenarnya telah menyangkal kebenaran ayat di atas. Oleh itu semua pendapat tentang kemungkinan berlakunya tahrif dalam ayat-ayat Qur an sama ada dari Syiah atau Sunnah wajib ditolak sama sekali.
Imam Ja'far al-Sadiq AS meriwayatkan sebuah Hadith dari datuknya Rasulullah SAWA [bermaksud]:
"Setiap Hadith yang kamu terima dan bersesuaian dengan Kitab Allah tidak diragukan datangnya daripada aku dan Hadith-hadith yang kamu terima yang bertentangan dengan Kitab Allah, sesungguhnya bukan datang daripadaku."
[Al-Kulaini, al-Kafi, Jilid I, Hadith 205-5]