Monday, June 18, 2012

TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH: Dari Fiqh Al-Khulafa’ Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme


15 07 2008 

Oleh JALALUDDIN RAKHMAT

1. FIQH AL-KHULAFA’ AL-RASYIDIN: FIQH PENGUASA
Seorang laki-laki datang menemui ‘Umar bin Khathab: “Saya
dalam keadaan junub dan tidak ada air.” Maksud kedatangannya
untuk menanyakan apakah ia harus shalat atau tidak.

‘Umar menjawab, “Jangan shalat sampai engkau mendapatkan air.”
‘Ammar bin Yasir berkata pada ‘Umar bin Khathab: “Tidakkah
Anda ingat. Dulu –engkau dan aku– pernah berada dalam
perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak shalat,
sedangkan aku berguling-guling di atas tanah. Aku sampaikan
kejadian ini kepada Rasulullah saw. Dan Nabi berkata, cukuplah
bagi kamu berbuat demikian.”

Mendengar demikian Umar menegur ‘Ammar: “Ya Ammar, takutlah
pada Allah”, Kata Ammar, “Ya Amir al-Mu’minin, jika engkau
inginkan, aku tidak akan menceritakan hadits ini selama engkau
hidup.” [1]

“Yang dimaksud Ammar,” kata Ibn Hajar, [2] “Aku melihat memang
lebih baik tidak meriwayatkan hadits ini ketimbang
meriwayatkannya Aku setuju denganmu, dan menahan diriku. Toh,
aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak bersalah.”
Sejak itu, ‘Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi. ‘Umar
tetap berpegang teguh pada pendapatnya — orang junub, bila
tidak ada air, tidak perlu shalat. “Wa hadza madzab masyhur
‘an ‘Umar,” kata Ibn Hajar. Semua sahabat menolak pendapat
Umar, kecuali Abdullah bin Mas’ud. Al-Bukhari mencatat
perdebatan Abdullah bin Mas’ud dengan Abu Musa al-Asy’ari
tentang kasus ini pada hadits No. 247. Abu Musa menentang
pendapat Abdullah –sekaligus madzhab Umar– dengan mengutip
ayat (“jika kalian tak mendapatkan air hendaklah tayamum
dengan tanah yang baik”). Menarik untuk dicatat bahwa kelak
dengan merujuk ayat yang sama, mazhab Hanafi melanjutkan
mazhab ‘Umar.

Lebih menarik lagi untuk kita catat adalah beberapa pelajaran
dari riwayat di atas. Pertama, memang terjadi perbedaan paham
di antara sahabat dalam masalah fiqhiyah Kedua, lewat
kekuasaan, ‘Umar menghendaki pembakuan paham dan mengeliminasi
pendapat yang berlainan. Ketiga, terlihat ada sikap
hiperkritis dalam menerima atau menyampaikan riwayat Dan
keempat, perbedaan di antara para sahabat berpengaruh besar
pada ikhtilaf kaum Muslim pada abad-abad berikutnya
Karena itu membicarakan fiqh para sahabat menjadi sangat
penting sebagai pijakan bagi pembahasan masalah fiqh mutakhir.
Saya akan memulai makalah ini dengan membahas urgensi fiqh
sahabat dalam keseluruhan pemikiran fiqhiyah. Setelah itu,
saya akan menjelaskan sebab-musabab timbulnya ikhtilaf fiqh di
antara para sahabat, karakteristik fiqh sahabat, dan
contoh-contoh fiqh al-khulafa al-rasyidin.

URGENSI FIQH SAHABAT

Fiqh shahabi memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam
khazanah pemikiran Islam. Pertama, sahabat –sebagaimana
didefinisikan ahli hadits– adalah orang yang berjumpa dengan
Rasulullah saw dan meninggal dunia sebagai orang Islam. [3]
Dari makalah kita mengenal sunnah Rasulullah, karena itu, dari
mereka juga kita mewarisi ikhtilaf di kalangan kaum Muslim.
Kedua, zaman sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya
masa tasyri’. Inilah embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila pada
zaman tasyri’ orang memverifikasi pemahaman agamanya atau
mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah,
pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri. Sementara
itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islam
dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah
baru. Dan para sahabat merespon situasi ini dengan
mengembangkan fiqh (pemahaman) mereka. Ketika menceritakan
ijtihad pada zaman sahabat, Abu Zahrah menulis: [4]
Di antara sahabat ada yang berijtihad dalam batas-batas
al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula
yang berijtihad dengan ra’yu bila tidak ada nash, dan
bentuk ra’yu-nya bermacam-macam; ada yang berijtihad
dengan qiyas seperti Abdullah bin Mas’ud; dan ada yang
berijtihad dengan metode mashlahat, bila tidak ada nash.
Dengan demikian, zaman sahabat juga melahirkan prinsip-prinsip
umum dalam mengambil keputusan hukum (istinbath; al-hukm.);
yang nanti diformulasikan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh.
Ketiga, ijtihad para sahabat menjadi rujukan yang harus
diamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti.
Al-Syathibi [5] menulis, “Sunnah sahabat r.a. adalah sunnah
yang harus diamalkan dan dijadikan rujukan.” Dalam
perkembangan ilmu fiqh, madzhab sahabat –sebagai ucapan dan
perilaku yang keluar dari para sahabat– akhirnya menjadi
salah satu sumber hukum Islam di samping istihsan, qiyas,
mashalih mursalah dan sebagainya. Madzhab sahabat pun menjadi
hujjah. Tentang hal ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian
menganggaprlya sebagai hujjah mutlak; sebagian lagi sebagai
hujjah bila bertentangan dengan qiyas; sebagian lainnya hanya
menganggap hujjah pada pendapat Abu Bakar dan Umar saja,
berdasarkan hadits (“berpeganglah pada dua orang sesudahku,
yakni Abu Bakar dan Umar”); dan sebagian yang lain,
berpendapat bahwa yang menjadi hujjah hanyalah kesepakatan
khulafa’ al-Rasyidin. [6]

Terakhir keempat, ini yang terpenting, ahl al-Sunnah sepakat
menetapkan bahwa seluruh sallabat adalah baik (al-shahabiy
kulluhum ‘udul). Mereka tak boleh dikritik, dipersalahkan,
atau dinilai sebagaimana perawi hadits lain. Imam ahli jarh
dan ta’dil, Abu Hatim al-Razi dalam pengantar kitabnya
menulis: [7]

Adapun sahabat Rasulullah saw, mereka adalah orang-orang
yang menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui tafsir dar
ta’wil, yang dipilih Allah untuk- menemani Nabi-Nya, untuk
menolongnya, menegakkan agamanya, memenangkan ke
benarannya… Allah memuliakan mereka dengan karunia-Nya
menempatkan kedudukan mereka pada tempat ikutan. Mereka
dibersikkan dari keraguan, dusta, kekeliruan, keraguan
kesombongan, dan celaan. Allah menamai mereka sebagai
‘udul al-ummah (umat yang paling bersih)… Merekalah
‘udul al-ummah, pemimpin-pemimpin hidayah, hujjah agama,
dan pembawa al-Qur’an dan al-’Sunnah.
Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan
bila mazhab sahabat menjadi rujukan penting bagi perkembangan
fiqh Islam sepanjang sejarah. Tentu saja, menurut kesepakatan
ahl al-sunnah, di antara para sahabat itu yang paling penting
adalah khulafa al-rasyidun. Bila mereka sepakat, pendapat
mereka dapat membantu memecahkan masalah fiqh; bila mereka
ikhtilaf, mazhab sahabat menimbulkan kemusykilan yang sulit
diatasi. Lalu mengapa mereka ikhtilaf?

PENYEBAB IKHTILAF DI KALANGAN SAHABAT
Salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalah
prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak
terjadi pada zaman Rasulullah saw. Sementara itu, setelah
Rasulullah wafat, putuslah masa tasyi’. Menghadapi
masalah-masalah baru itu, muncul dua pandangan. [8]
Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan
hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur’an setelah
Rasulullah wafat dipegang ahl al-Bait. Hanya merekalah,
menurut nash dari Rasul, yang harus dirujuk untuk
menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum
Allah. Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa
berhentinya wahyu, karena mereka tahu betul –tugas mereka
adalah mengacu pada Ma’shumun.
Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yang
ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah
Ilahi. Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarik
hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di
masyarakat. Kelompok ini –kelak disebut Ahl al-Sunnah–
ternyata tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak
hal tak terjawab oleh nash. Mereka akhirnya menggunakan
metode-metode ijtidah seperti qiyas atau istihsan.
Semua Khalifah al-Rasyidin termasuk kelompok kedua, kecuali
Ali bin Abi Thalib. Kelompok kedua lebih banyak menggunakan
ra’yu, dan kelompok pertama lebih banyak merujuk nash.
Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertama
dalil naqli. Umar pernah melarang hajji tamattu’, padahal
al-Qur’an dan al-Sunnah sangat tegas menetapkannya. Ketika
Utsman juga melarangnya, Ali secara demonstratif melakukannya
di depan Utsman. Kata Utsman: Aku melarang manusia melakukan
tamattu, dan engkau sendiri melakukannya. Ali menjawab: Aku
tak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw. hanya karena
pendapat seseorang. [9] Setelah perdebatan ini, menurut
riwayat lain dari Abdullah bin Zubair, Utsman berkata:
Sesungguhnya laranganku itu hanya ra’yuku saja. Siapa yang mau
boleh menjalankannya; siapa yang tak mau boleh
meninggalkannya. [10]

Contoh lainnya adalah hukuman dera bagi peminum khamr.
Rasulullah saw. menderanya 40 kali. [11] Umar –atas saran Abd
al-Rahman bin Auf menderanya 80 kali. Ali kembali menderanya
40 kali. Rasulullah saw. menetapkan thalaq tiga dalam satu
majlis itu dihitung satu. [12] Begitu pula Ali. Umar
menetapkan thalaq tiga itu jatuh tiga sekaligus. Umar
memutuskan hukuman rajam bagi orang gila yang berzina. Ali
membebaskan hukum itu berdasarkan hadits. [13]
Bila contoh-contoh tadi berkenaan dengan perbedaan antara
ketetapan nash dengan ra’yu, contoh-contoh berikut menunjukkan
perbedaan memahami nash. Kata quru dalam wal muthalaqatu
yatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru’ diartikan
berbeda-beda. Abdullah bin Mas’ud dan Umar mengartikan “quru”
itu haidh. Zaid ibn Tsabit mengartikannya masa bersuci di
antara haidh dengan haidh lagi. [14] Ibn Umar menafsirkan
“al-muhshanat dalam ayat wa al muhshanat min alladzina utu
al-kitab sebagai wanita Muslim, karena itu Ibn Umar
mengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki Muslim. Ibn
‘Abbas menganggap ayat itu sebagai pengecualian (takhshish)
dari ayat wa la tankihu al-musyrikat hatta yu’minna. Utsman
tampaknya sependapat dengan Ibn ‘Abbas, karena ia menikah
dengan Nailah, wanita Nashrani, dan Thalhah menikahi wanita
Yahudi dari Syam. [15]

Kadang-kadang ikhtilaf terjadi di antara para sahabat karena
perbedaan pengetahuan yang mereka miiiki. Sebagian sahabat,
misalnya, mengetahui nash tertentu, sebagian lain tidak
mengetahuinya. Umar pernah menegur orang yang dikiranya salah
ketika membaca QS al-Fath: 26. Ia memarahi orang itu. Tetapi
Umar kemudian dikoreksi Ubayy bin Ka’ab. Kata Ubayy Anda tahu
saya berada di dalam beserta Rasulullah saw. ketika ia membaca
ayat itu. Engkau sendiri berada di pintu… Demi Allah Ya
Umar, sesungguhnya Anda tahu, ketika saya hadir Anda tidak
ada; ketika saya diundang, Anda tidak. [16]
Al-Syaikh Muhammad Muhammad al-Madany menjelaskan salah satu
sebab ikhtilaf yang berkenaan dengan sunnah: [17]
Sahabat Rasulullah saw., yang mengambil sunnah dari
Nabi dan meriwayatkannya, berbeda-beda dalam kemampuan
pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya.
Rasulullah saw. ditanya tentang suatu masalah. Ia
menghukum dengan hukum tertentu memerintahkan atau
melarang sesuatu, melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Yang hadir waktu itu dapat menyimpan peristiwa
itu, yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya. Ketika
Rasulullah saw. wafat, bertebaranlah sahabat di
negeri-negeri, dan setiap penduduk negeri mengambil
dari sahabat yang ada di negeri mereka. Berkata Ibn
Hazm: “Orang Madinah hadir pada tempat yang tidak
dihadiri orang Basrah, orang Basrah menghadiri tempat
yang tidak dihadiri orang Syam; orang Syam hadir di
tempat yang tidak dihadiri orang Basrah; orang Basrah
menghadiri yang tidak dihadiri orang Kufah; orang Kufah
hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Madinah. Ini
semua terjadi dalam hadits, dan pada saat kita
memerlukan informasi. Padahal –seperti telah kita
jelaskan–sebagian sahabat pada sebagian waktu tidak
hadir di majelis Rasulullah saw., sedangkan sebagian
lagi hadir. Setiap orang hanya mcngetahui apa yang ia
saksikan, dan tidak mengetahui apa yang tidak ia
hadiri. Ini jelas menurut akal. ‘Amar dan yang lain
mengetahui tentang tayamum, Umar dan Ibn Mas’ud tidak
mengetahuinya, sehingga mereka berkata: Orang junub
tidak tayamum, walau pun tidak menemukan air selama dua
bulan. Ali Hudzaifah al-Yamani dan lain-lain mengetahui
hukum mengusap tetapi ‘Aisyah, Ibn ‘Umar, Abu Hurairah
tidak mengetahuinya walaupun mereka penduduk Madinah.
Anak perempuan dari anak beserta anak perempuan
mendapat waris diketahui Ibn Mas’ud tetapi tidak
diketahui Abu Musa.

Marilah kita berikan satu contoh lagi yang lebih ilustratif.
Ketika orang sedang berkumpul di hadapan Umar bin Khathab,
masuklah seorang laki-laki: “Ya Amir al-Mu’minin, ini Zaid bin
Tsabit berfatwa di masjid dengan ra’yunya berkenaan dengan
mandi janabah.” Kata Umar: “Panggil dia!” Zaid pun datang dan
Umar berkata: “Hai musuh dirinya sendiri!, aku dengar kau
berfatwa pada manusia dengan ra’yumu sendiri? Kata Zaid: “Ya
Amir al-Mu’minin. Aku tidak melakukan itu. Tetapi aku
mendengar hadits dari paman-pamanku, lalu aku sampaikan — dan
Abi Ayyub dari Ubbay bin Ka’ab,” dari Rifa’ah bin Rafi’. Kata
Umar: “Panggil Rafa’ah bin Rafi’. Ia berkata: “Apakah kalian
berbuat demikian – bila kalian bercampur dengan isteri kalian
dan tidak keluar air mani kalian mandi?” Kata Rafa’ah: “Kami
melakukan begitu pada zaman Rasulullah saw. Tidak turun ayat
yang mengharamkan. Tidak juga ada larangan dari Rasulullah
saw.” Kata Umar: “Apakah Rasulullah saw. mengetahuinya?” Kata
Rafa’ah: “Tidak tahu.” Lalu Umar mengumpulkan Muhajirin dan
Anshar, lalu bermusyawarah. Semua orang berkata tidak perlu
mandi, kecuali Ali dan Mu’adz. Keduanya berkata: “Jika kedua
khitan bertemu, wajib mandi.” Kata Umar: “Kalian
sahabat-sahabat yang ikut Badr sudah ikhtilaf, apalagi
orang-orang setelah kalian!” Kata Ali, Ya Amir al-Mu’minin:
“tidak ada orang yang lebih tahu dalam hal ini kecuali isteri
Rasulullah saw. Ia mengutus orang bertanya pada Hafshah.
Hafshah tidak tahu. ‘Aisyah ditanya. Kata ‘Aisyah: “Bila
khitan sudah bertemu khitan, wajib mandi.” Kata Umar: “Bila
ada lagi orang berfatwa bahwa tidak wajib mandi kalau tidak
keluar, aku akan pukul dia.” [18]

Dalam kasus yang baru kita ceritakan, ikhtilaf di antara para
sahabat dapat diselesaikan oleh khalifah. Khalifah bahkan
menetapkan sangsi bagi orang yang mempunyai pendapat berbeda.
Dalam kasus-kasus yang lain, ikhtilaf di antara para sahabat
itu dibiarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Buat
orang-orang sektarian, ikhtilaf para sahabat ini menjadi
sumber perpecahan. Buat orang yang berjiwa terbuka, ikhtilaf
ini adalah assets bagi perkembangan pemikiran. ‘Umar bin Abd
al-’Aziz, tokoh ukhuwah Islamiyah yang menghentikan kutukan
pada Ali di mimbar, berkata: “Aku tidak senang kalau sahabat
Nabi tidak ikhtilaf. Seandainya pendapat mereka itu tunggal,
sempitlah manusia dibuatnya. Mereka adalah teladan yang
diikuti. Jika kita mengambil dari siapa saja di antara mereka,
jadilah itu sunnah. Artinya, mereka membuka pintu ijtihad bagi
manusia. Mereka boleh ikhtilaf, karena bila mereka tidak
membukanya, para mujtahid berada dalam kesempitan. Allah
memberikan keluasan pada umat dengan adanya ikhtilaf furu’i di
antara mereka. Dengan begitu, ia membuka umat untuk memasuki
Rahmat-Nya.” [19]

KARAKTERISTIK FIQH SAHABAT
Seperti telah disebutkan di muka, dari segi prosedur penetapan
hukum, ada dua cara yang dilakukan para sahabat. Kedua cara
ini melahirkan dua mazhab besar di kalangan sahabat — Madzhab
‘Alawi dan Madzhab ‘Umari yang akhirnya mewariskan kepada kita
sekarang sebagai Syi’ah dan ahli Sunnah. Para sahabat –
seperti Miqdad, Abu Dzar, ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah dan
sebagian besar Bani Hasyim — merujuk pada ahl al-Bait dalam
menghadapi masalah-masalah baru. Mereka berpendapat bahwa ada
dua nash yang dengan tegas menyuruh kaum Muslim berpegang
teguh pada pimpinan ahl-al-Bait. Lagi pula, menurut mereka,
pendapat seseorang menjadi hujjah bila orang itu ma’shum. Ah
al-Bait memiliki kema’shuman berdasarkan nash al-Qur’an dan
al-Sunnah. [30]

Pada bagian ini, saya tak akan membicarakan kelompok sahabat
ini, tapi akan memutuskan perhatian pada metode ijtihad
kelompok sahabat yang tak merujuk ahl al-Bait. Menurut
Muhammad al-Khudlari Bek, fiqh mereka ini hanya terbatas pada
qiyas. Menurut Muhammad Salim Madkur, ijtihad mereka
menggunakan tiga metode: a) menjelaskan dan menafsirkan nash;
b) qiyas pada nash atau pada ijma’, dan ijtihad dengan ra’yu
seperti al-Mashalih al-Mursalah dan istihsan. Muhammad Ali
al-Sais menyebutkan bahwa ijtihad sahabat itu meliputi qiyas,
istihsan, al-baraah al-ashliyah, sadd al-dzara’i, al-mashalih
al-mursalah. [21]
Menurut pendapat saya, ada tiga tahap dalam ijtihad para
sahabat: a) merujuk pada nash al-Qur’an dan al-Sunnah b)
menggunakan metode-metode ijtihad seperti qiyas, bila nash
tidak ada atau tidak diketahui; dan c) mencapai kesepakatan
lewat proses perkembangan opini publik yang alamiah.
Pada tahap pertama, para Khulafa al-Rasyidin selain Ali,
tampaknya lebih memusatkan perhatian pada ayat-ayat al-Qur’an
(atau ruh ajaran al-Qur’an) dengan agak mengabaikan
(kadang-kadang menafikan hadits). Di bawah ini saya kutipkan
berbagai riwayat berkenaan dengan sikap Khulafa al-Rasyidin
pada Hadits (sunnah):

1) Dari Ibn Abbas: ketika Nabi menjelang wafat, di rumah
Rasulullah saw., berkumpul orang-orang, di antaranya Umar bin
Khathab. Nabi berkata: “Bawalah ke sini, aku tuliskan bagimu
tulisan yang tidak akan menyesatkanmu selama-lamanya.” Umar
berkata: “Nabi sedang dikuasai penyakitnya. Padamu ada Kitab
Allah. Cukuplah bagimu Kitab Allah.” Terjadi ikhtilaf di
antara orang-orang di rumah itu. Di antara mereka ada yang
mengikuti ucapan Umar. Ketika terjadi banyak pertengkaran dan
ikhtilaf, Nabi saw. berkata: “Pergilah kamu semua dari aku.
Tidak layak di hadapanku bertengkar.” [22]

2) ‘Aisyah meriwayatkan: Ayahku telah mengumpulkan 500 hadits
Rasulullah saw. Pada suatu pagi ia datang padaku dan berkata:
“Bawalah hadits-hadits yang ada padamu itu. “Aku membawanya.
Ia membakar dan berkata, “Aku takut jika aku mati aku masih
meninggalkan hadits-hadits ini bersamamu,” [23] al-Dzahabi
meriwayatkan bahwa Abu Bakar mengumpulkan orang setelah Nabi
wafat dan berkata; “Kalian meriwayatkan hadits Rasulullah saw.
yang kalian pertengkarkan. Nanti orang-orang setelah kalian
akan lebih bertikai lagi. Janganlah meriwayatkan satu Hadits
pun dari Rasulullah saw. Jika ada yang bertanya kepada kalian,
jawablah — Di antara Anda dan kami ada Kitab Allah,
halalkanlah apa yang dihalalkannya, dan haramkanlah apa yang
diharamkannya” [24]

3) Al-Zuhri meriwayatkan, Umar ingin menuliskan sunnah-sunnah
Rasulullah saw. Ia memikirkannya selama satu bulan,
mengharapkan bimbingan Allah dalam hal ini. Pada suatu pagi,
ia memutuskan dan menyatakan: “Aku teringat orang-orang
sebelum kalian. Mereka tenggelam dalam tulisan mereka dan
meninggalkan Kitab Allah. [25] Umar kemudian mengumpulkan
hadits-hadits itu dan membakarnya. [26] Ia juga menetapkan
tahanan rumah pada tiga sahabat yang banyak meriwayatkan
hadits: Ibn Mas’ud, Abu Darda, dan Abu Mas’ud al-Anshari.”
[27]

Tradisi pelarangan hadits ini dilanjutkan para tabi’in,
sehingga di kalangan ahl al-sunnah, penulisan hadits terlambat
sampai abad 8 M./2 H. Menurut satu riwayat, Umar ibn Abd
al-Aziz (meninggal 719/101) adalah orang yang pertama
menginstruksikan penulisan hadits. [28]

Karakteristik kedua dari ijtihad sahabat, bila tidak ada nash,
menggunakan qiyas atau pertimbangan kepentingan umum. Dalam
beberapa kasus, bahkan pertimbangan kepentingan umum
(maslahat) didahulukan dari nash, walaupun ada nash sharih
(tegas) yang bertentangan dengan itu. Berikut ini
contoh-contohnya.
1. Khalid Muhammad Khalid menulis tentang ijtihad Umar dalam
al-Dimuqrathiyyah: Umar bin Khattab telah meninggalkan
nash-nash agama yang Suci dari al-Qur’an dan al-Sunnah ketika
dituntut kemaslahatan untuk itu. Bila al-Qur’an menetapkan
bagian muallaf dari zakat, serta Rasulullah dan Abu Bakar
melakukannya, Umar datang dan berkata, “Kami tidak memberi
kamu sedikit pun karena Islam.” Ketika Rasul dan Abu Bakar
membolehkan penjualan Ummahat al-Awlad, Umar melarangnya.
Ketika talaq tiga dalam satu majelis dihitung satu menurut
Sunnah dan ijma, Umar meninggalkan sunnah dan menyingkirkan
ijma.

Dr. al-Dawalibi menulis hal yang sama dalam ‘Ilm Ushul
al-Fiqh: “Di antara kreasi Umar r.a. yang menunjang kaidah
hukum berubah karena perubahan zaman ialah jatuhnya thalaq
tiga dengan satu kalimat; sedangkan di zaman Nabi, Abu Bakar
dan permulaan Khilafah Umar, thalaq tiga pada sekali ucapan
dijadikan satu seperti hadits shahih dari Ibn ‘Abbas. Kata
Umar: “Manusia terlalu terburu-buru di tempat yang seharusnya
hati-hati…” Kata Ibn Qayyim, Amir al-Mu’minin Umar bin
Khathab melihat orang telah melecehkan urusan thalaq… Umar
ingin menghukum keteledoran ini, sehingga sahabat menahan
dirinya untuk tidak mudah menjatuhkan thalaq. Umar melihat ini
untuk kemashlahatan umat di zamannya… Ini adalah prinsip
taghayyarat bihi al-fatwa litaghayyur al-zaman.” [29]
2. Ketika kelompok muallaf datang menemui Abu Bakar untuk
menuntut surat, mereka datang kepada Umar. Umar merobek surat
itu dan berkata, “Kami tidak memerlukan kalian lagi. Allah
sudah memenangkan Islam dan melepaskan dari kalian. Jika kamu
Islam (baiklah itu), jika tidak pedanglah yang memutuskan
antara kamu dan kami. “Mereka kembali pada Abu Bakar dan
berkata, “Adakah khalifah itu atau dia? “Abu Bakar menjawab,
“Ia, insya Allah. ” Lalu berlalulah apa yang diputuskan Umar.
[30]

3. Al-Fujaah pernah menyatakan diri ingin berjihad dan meminta
perbekalan pada Abu Bakar. Abu Bakar memberinya bekal.
Al-Fujaah ternyata menggunakan fasilitas Abu Bakar ini untuk
merampok. Abu Bakar menyuruh Tharifah bin Hajiz untuk
membawanya ke Madinah. Abu Bakar menghukumnya dengan
membakarnya hidup-hidup. [31]

4. Abu Bakar dan Umar tidak memberikan hak khumus dari
keluarga Rasulullah saw., tapi menyalurkan hak itu fi
sabilillah. Mereka berpendapat, setelah Rasulullah saw. wafat,
khalifah yang berhak mengatur pembagian khumus. [32]
5. Utsman bin Affan membolehkan “menikahi” dua orang wanita
bersaudara dari antara budak belian sekaligus. Ali bin Abi
Thalib mengharamkannya. [33] Utsman juga melakukan banyak
“pembaharuan” dalam fiqh Islam: a) mengitmamkan shalat dalam
keadaan safat di Mina; [34] b) menambahkan adzan ketiga pada
hari Jum’at ; [35] c) melarang haji tamattu; [36] d)
membolehkan tidak mandi bagi yang bercampur dengan isterinya
tanpa mengeluarkan mani; [37] e) mengambil zakat dari kuda;
[38] f) mendahulukan khotbah sebelum shalat pada shalat ‘id.
[39]

Saya hentikan kutipan kasus-kasus ijtihad Khulafa’ al-Rasyidin
di sini. Marilah kita lihat proses perkembangan pemikiran para
sahabat sehubungan dengan sunnah. Menurut Fazlur Rahman, [40]
pada zaman para sahabat, orang secara bebas memberikan
tafsiran pada sunnah Rasulullah saw. Berkembanglah berbagai
penafsiran. Dalam proses free market of ideas,
pendapat-pendapat tertentu kemudian berkembang menjadi opini
generalis, lalu opini publik, lalu konsesnsus. Karena itu,
waktu itu yang disebut sunnah ialah apa yang disebut Imam
Malik sebagai al-amr al-mujtama’ ‘alaih. Saya hampir
sependapat dengan Fazlur Rahman, kecuali dalam satu hal: Apa
yang disepakati tidak selalu berkembang dari hasil persaingan
pendapat yang demokratis. Seringkali yang disebut ijma’ adalah
konsensus yang “ditetapkan” oleh penguasa politik waktu itu.
Tidak berlebih-lebihan kalau kita simpulkan bahwa fiqih
al-Khulafa al-Rasyidin adalah fiqih penguasa.

KESIMPULAN

Fiqh para sahabat –khususnya seperti diwakili oleh
al-Khulafa, al-Rasyidun– adalah fondasi utama dari seluruh
bangunan fiqh Islam sepanjang zaman. Fiqih shahabi memberikan
dua macam pola pendekatan terhadap syari’ah yang kemudian
melahirkan tradisi fiqh yang berbeda. Ikhtilaf di antara para
sahabat, selain mewariskan kemusykilan bagi kita sekarang,
juga –seperti kata ‘Umar ibn Abdul Aziz– menyumbangkan
khazanah yang kaya untuk memperluas pemikiran. Tentu saja,
untuk itu diperlukan penelaahan kritis terhadapnya. Sayang
sekali, sikap kritis ini telah “dimatikan” dengan vonnis
zindiq oleh sebagian ahli hadits. Ada dua sikap ekstrim
terhadap sahabat yang harus dihindari: menghindari sikap
kritis atau melakukan sikap hiperkritis. Ketika banyak orang
marah karena ‘Umar dikritik, ‘Umar sendiri berkata, “Semoga
Allah meyampaikan kepadaku kesalahan-kesalahanku sebagai suatu
bingkisan.” [41]

2. FIQH TABI’IN: FIQH USHUL
Sejak zaman sahabat (dan ini diakui para sahabat sendiri)
telah terjadi perubahan-perubahan dalam syari’at Islam. Suatu
ketika seorang tabi’in, Al-Musayyab memuji Al-Barra bin ‘Azib:
“Beruntunglah Anda. Anda menjadi sahabat Rasulullah saw. Anda
berbaiat kepadanya di bawah pohon.” Al-Barra menjawab, Hai
anak saudaraku, engkau tidak tahu hal-hal baru yang kami
adakan sepeninggal Rasulullah. [42] Kata ma ahdatsna (apa-apa
yang kami adakan) menunjukkan pada perbuatan bid’ah yang
dilakukan para sahabat Nabi. Diriwayatkan bahwa pada hari
kiamat ada rombongan manusia yang pernah menyertai Nabi diusir
dari al-haudh (telaga). Nabi saw: “Ya Rabbi, mereka sahabatku.
Dikatakan kepadanya: Engkau tak tahu apa-apa yang mereka
ada-adakan sepeninggal kamu. [43]
Bid’ah-bid’ah ini telah mengubah sunnah Rasulullah saw.
Sebagian sahabat mulai mengeluhkan terjadinya perubahan ini.
Imam Malik meriwayatkan dari pamannya Abu Suhail bin Malik,
dari bapaknya (seorang sahabat). Ia berkata: Aku tidak
mengenal lagi apa-apa yang aku lihat dilakukan “orang” kecuali
panggilan shalat. Al-Zarqani mengomentari hadits ini: Yang
dimaksud “orang” adalah sahabat. Adzan tetap seperti dulu.
Tidak berubah, tidak berganti. Ada pun shalat, waktunya telah
diakhirkan, dan perbuatan yang lain telah berubah. [44] Imam
Syafi’i meriwayatkan dari Wahab bin Kaysan. Ia melihat Ibn
Zubair memulai shalatnya sebelum khutbah, kemudian berkata:
Semua sunnah Rasulullah saw sudah diubah, sampai shalat pun.
[45] Kata Al-Zuhri: Aku menemui Anas bin Malik di Damaskus. Ia
sedang menangis. “Mengapa Anda menangis,” tanya Al-Zuhri. Anas
menjawab, “Aku sudah tidak mengenal lagi apa yang aku lihat,
kecuali shalat. Ini pun sudah dilalaikan orang”. [46] Al-Hasan
al-Bashri menegaskan: “Seandainya sahabat-sahabat Rasulullah
saw lewat, mereka tidak mengenal kamu (yang kamu amalkan)
kecuali kiblat kamu”. [47] ‘Umran bin al Husain pernah shalat
di belakang Ali. Ia memegang tangan Muthrif bin Abd Allah dan
berkata: Ia telah shalat seperti shalatnya Muhammad saw. Ia
mengingatkan aku pada Shalat Muhammad saw. [48]
Jadi pada zaman sahabat pun, sunnah Nabi sudah banyak diubah.
Salah satu sebab utama perubahan adalah campur tangan
penguasa. Karena pertimbangan politik, Bani Umayyah telah
mengubah sunnah Nabi, khususnya yang dijalankan secara setia
oleh Ali dan para pengikutnya. Ibn ‘Abbas berdoa: Ya Allah,
laknatlah mereka. Mereka meninggalkan sunnah karena benci
kepada Ali. [49] Contohnya, menjaharkan basmalah, sebagai
upaya menghapus jejak Ali. [50] Contoh yang lain adalah sujud
di atas tanah, yang menjadi tradisi Rasulullah saw dan para
sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Umar, Jabir
ibn Abdullah dan lain-lain. Dalam perkembangannya, sujud di
atas kain menjadi syi’ar Ahl al-Sunnah; sedangkan sujud di
atas tanah dianggap musyrik dan dihitung sebagai perbuatan
zindiq”. [51]
Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana campur tangan
kekuasaan politik membentuk fiqh. Karena fiqh lebih banyak
didasarkan pada al-hadits, penguasa politik kemudian melakukan
manipulasi hadits dengan motif politik. Fiqh Tab’in, selain
mengambil hadits sebagai sumber hukum, juga mengambil ijtihad
para sahabat. Sebab itu, kita juga akan mengupas kemusykilan
ijtihad sahabat. Karena pendapat-pendapat para sahabat terbagi
dua –yang berpusat pada al-hadits dan al-ra’y– kita akan
membicarakan juga tradisi fiqh al-atsar dan fiqh al-ra’y.
Secara keseluruhan, kita lebih banyak menelaah ushul ketimbang
fiqh. Hal ini disebabkan ushul adalah sandaran para tabi’in;
dan karenanya secara singkat ia disebut Fiqh al-ushul.
Sebelum membahas itu semua, marilah kita lihat sedikit latar
belakang fiqh tabi’in.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN FIQH TABI’IN
Setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia, orang-orang Islam
bertanya pada sahabat dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak
semua sahabat menjawab pertanyaan mereka; dan mereka pun tidak
bertanya pada semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali
memberi fatwa, mungkin karena ketidaktahuan, kehatihatian,
atau lagi-lagi pertimbangan politis. Sebagian lagi banyak
sekali memberi fatwa, mungkin karena pengetahuan mereka, atau
karena posisinya memungkinkan untuk itu.
Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah
para khalifah sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan
al-hadits. Abu bakar meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar 537
hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua hadits
mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27%
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah (Abu Huraiah
meriwayatkan 5374 hadits).
Karena itu, para tabi’in, yakni mereka yang berguru pada
sahabat, umumnya bukanlah murid al-Khulafa al-Rasyidin. Dalam
pada itu, ketika kekuasaan Islam meluas, hanya sedikit para
sahabat yang meninggalkan Madinah. Dalam kaitan ini, Abu
Zahrah menulis: [52]
Sebenarnya, sebelum Dinasti Umayyah berkuasa, tidak banyak,
bahkan sedikit sekali sahabat yang keluar dari Madinah. Umar
bin Khatab menahan para sahabat senior di Madinah dan melarang
mereka meninggalkan kota itu. Pertama, ‘Umar ingin mengambil
manfaat dari pendapat mereka. Kedua, ia mempertimbangkan
alasan-alasan, baik secara politik maupun administratif dalam
pemerintahan. Baru ketika Utsman memerintah, mereka diizinkan
keluar. Yang keluar kebanyakan bukan fuqaha. Juga bukan
sahabat senior, kecuali yang diizinkan keluar oleh Umar,
seperti Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, dan
lain-lain. Sahabat yang terkenal punya banyak murid adalah Ibn
Mas’ud di Iraq, Abdullah ibn ‘Umar serta ayahnya Al-Faroq,
Zaid ibn Tsabit dan lain-lain di Madinah.
Kebanyakan, menurut Abu Zahrah, murid-murid sahabat itu para
mawali (non Arab). Fiqh tabi’in, karena itu, umumaya fiqh
mawali. Dari sahabat, para tabi’in mengumpulkan dua hal:
Hadits-hadits Nabi saw dan pendapat-pendapat para sahabat
(aqwal al-shahabat). Bila ada masalah baru yang tidak terdapat
pada kedua hal tersebut, mereka melakukan ijtihad seperti atau
dengan metode yang dilakukan para sahabat. Banyak diantara
tabi’in yang mencapai faqahah (kefaqihan) begitu rupa sehingga
sahabat (sic!) berguru pada mereka. Qabus ibn Abi Zhabiyan
berkata: Aku tanya ayahku, mengapa Anda tinggalkan sahabat dan
mendatangi ‘Alqamah. Ayahku menjawab Aku menemukan
sahabat-sahabat Nabi bertanya kepada ‘Alqamah dan meminta
fatwanya. Ka’ab al-Ahbar sering dimintai fatwa oleh Ibn Abbas,
Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Amr. ‘Alqamah dan Ka’ab
keduanya tabi’in.
Ada tujuh orang faqih tabi’in yang terkenal (al-fuqaha
al-sab’ah): Sa’id ibn Musayyab (wafat 93 H), ‘Urwah ibn
al-Zubair (wafat 94 H), Abu Bakar ibn ‘Abid (wafat 94 H),
Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar (Wafat 108 H), Abidullah
ibn Abdillah (wafat 99 H), Sulayman ibn Yasar (wafat 100 H)
dan Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit (wafat?). Di samping mereka
ada ‘Atha ibn Abi Rabah, Ibrahim al-Nakh’i, Al-Syu’bi, Hamad
ibn Abu Sulayman Salim mawla Ibn Umar, dan ‘Ikrimah mawla Ibn
Abbas.


BUKTI-BUKTI MANIPULASI HADITS
Di sini tidak ditunjukkan manipulasi hadits kecuali seperti
tampak pada kitab-kitab hadits yang ada sekarang. Dari situ
paling tidak kita melihat petunjuk (indikator) manipulasi
hadits pada zaman tabi’in. Contoh-contoh yang diberikan di
sini difokuskan pada manipulasi yang diduga beralasan politis.
Ada beberapa cara manipulasi hadits, antara lain sebagai
berikut.
Pertama, membuang sebagian isi hadits dan menggantinya dengan
kata-kata yang tidak jelas. Ketika Marwan menjadi Gubernur
Mu’awiyah di Hijaz, ia meminta rakyat untuk membaiat Yazid.
Abd al-Rahman ibn Abu Bakar memprotes Marwan sambil berkata.
“Kalian menginginkan kekuasaan ini seperti kekuasaan
Heraclius!”. Marwan marah dan menyuruh orang menangkap Abd
al-Rahman. Ia lari ke kamar ‘Aisyah ra, saudaranya. Marwan
berkata: Ayat al-Qur’an: alladzi qala liwalidaihi uffin lakum
turun tentang Abd al-Rahman. ‘Aisyah menolak asbab al-nuzul
ini. Shahih Bukhari menghilangkan ucapan Abd al-Rahman dengan
mengatakan faqaala ‘Abd al-Rahman ibn ‘Abi Bakar syai’an (Abd
al-Rahman mengatakan sesuatu). [53] Dengan cara itu, kecaman
kepada Mu’awiyah dan Marwan tidak diketahui. Kehormatan
Khalifah dan Gubernurnya terpelihara. Dalam tarikhnya,
al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi saw tentang Ali: “Inilah
washihu dan khalifahku untuk kamu”. Kata-kata ini dalam Tafsir
al-Thabari dan Ibn Katsir diganti dengan: wa kadza wa kadza
(demikianlah-demikianlah). Tentu saja kata “washi”dan
“khalifah” mempunyai konotasi yang sangat jelas. [54]
Kedua, membuang seluruh berita tentang sahabat dengan petunjuk
adanya penghilangan itu. Muhammad ibn Abu Bakar menulis surat
kepada Mu’awiyah menjelaskaan keutamaan Ali sebagai washi Nabi
saw. Mu’awiyah pun mengakuinya. Isi surat ini secara lengkap
dimuat dalam Kitab Shiffin dari Nashr bin Mazahim (wafat 212
H) dan Muruj al-Dzahab tulisan al-Mas’udi (wafat 246 H).
Al-Thabari (wafat 310 H) melaporkan peristiwa itu dengan
menunjuk kedua kitab di atas sebagai sumber. Tetapi ia
membuang semua isi surat itu dengan alasan “supaya orang
banyak tidak resah mendengarkannya.” Ibn Atsir dalam
Al-Bidayah wa al-Nihayah juga menghilangkan kedua surat itu
dengan mengemukakan alasan yang sama. [55]
Ketiga, memberikan makna lain (ta’wil) pada hadits. Al-Dzahabi
ketika meriwayatkan biografi Al-Nasai menulis, ketika al-Nasai
diminta meriwayatkan keutamaan Mu’awiyah, ia berkata, “hadits
apa yang harus aku keluarkan kecuali ucapan Nabi, semoga Allah
tidak mengenyangkan perut Mu’awiyah”. Kata Al-Dzahabi:
Barangkali yang dimaksudkan dengan keutamaan Mu’awiyah ini
adalah ucapan Nabi saw: Ya Allah, siapa yang aku laknat atau
aku kecam, jadikanlah laknat dan kecaman itu kesucian dan
rahmat baginya. [56] Bagaimana mungkin laknat Nabi menjadi
kesucian dan rahmat; tetapi Bukhari dan Muslim memang
meriwayatkan hadits ini. [57] Al-Thabrani dalam Majma’
al-Zawaid meriwayatkan ucapan Rasulullah saw kepada Salman
bahwa Ali adalah washi-nya. Al-Thabrani memberi komentar: Ia
menjadikan washi untuk keluarganya, bukan untuk Khalifah.
Keempat, membuang sebagian isi hadits tanpa menyebutkan
petunjuk ke situ atau alasan. Ibn Hisyam mendasarkan tarikhnya
pada tarikh Ibn Ishaq. “Tetapi aku tinggalkan sebagian riwayat
Ibn Ishaq yang jelek bila disebut orang”, kata Ibn Hisyam
dalam pengantarnya. Di antara yang dibuang itu adalah kisah
“wa andzir ‘asyirataka al-aqrabin”. Dalam Ibn Ishaq
diriwayatkan Nabi saw berkata; “Inilah saudaraku, washiku, dan
khalifahku untuk kamu.” [58] Belakangan ini Muhammad Husayn
Haykal, dalam Hayat Muhammad melakukan hal yang sama. Pada
bukunya, cetakan pertama, ia mengutip ucapan Nabi: Siapa yang
akan membantuku dalam urusan ini supaya menjadi saudaraku,
washiku dan Khalifahku untuk kamu. Pada Hayat Muhammad,
cetakan kedua (Tahun 1354), ucapan Nabi saw ini dihilangkan
sama sekali.
Kelima, melarang penulisan hadits Nabi saw. Berkenaan dengan
ini bagian “Fiqh al-Khulafa’ al-Rasyidin” di atas. Beberapa
tabi’in juga melarang penulisan hadits.
Keenam, mendha’ifkan hadits-hadits yang mengurangi kehormatan
penguasa atau yang menunjang keutamaan lawan. Ibn Katsir
mendha’ifkan riwayat Nabi tentang Ali sebagai Washi. Ia
menganggap riwayat itu sebagai dusta, yang dibuat-buat oleh
orang Syi’ah, atau orang-orang yang bodoh dalam ilmu hadits.
[69] Ia lupa bahwa hadits ini diriwayatkan dari banyak sahabat
Nabi oleh Imam Ahmad, Al-Thabari, Al-Thabrani, Abu Nu’aim
al-Isbahani, Ibnu ‘Asakir dan lain-lain. Al-Syu’bi
meriwayatkan hadits dari Al-Harits al-Hamdani. Ia berkata:
menyampaikan padaku Al-Harits, salah seorang pendusta. Ibn Abd
al-Barr mengomentari ucapan al-Syu’bi: Ia tidak menjelaskan
apa alasan dusta untuk Al-Harits. Ia membenci Al-Harits karena
kecintaannya yang berlebihan pada Ali dan mengutamakan Ali di
atas sahabat yang lain. Karena itu, wallahu a’lam, Al-Syu’bi
mendustakan Al-Harits; Al-Syuibi mengutamakan Abu Bakar, dan
bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama masuk Islam.
3. Lahirnya Madzhab-madzhab Fiqh
Ketika al-Manshur baru saja diangkat menjadi khalifah, ia
mengundang Malik ibn Anas, Ibn Sam’an dan Ibn Abi Dzuaib. Ia
dikawal para prajurit dengan pedang-pedang terhunus. Setelah
berbicara panjang, Khalifah bertanya. “Bagaimana pendapat
kalian tentang diriku? Apakah aku pemimpin adil atau zalim?”
Malik bin Anas berkata: “Ya Amiral Mu’minin, aku tawassul
padamu dengan Allah swt dan aku meminta tolong padamu dengan
Muhammad saw dan dengan kekeluargaanmu padanya, maafkanlah aku
untuk tidak berbicara.” “Aku maafkan Anda”, kata al-Manshur.
Kemudian ia melirik kepada Ibn Sam’an: “Bagaimana pendapat
kamu?” Kata Ibn Sam’an: “Anda, demi Allah, orang yang paling
baik. Demi Allah, ya Amir al-Mu’minin, Anda berhaji ke
Baitullah; Anda perangi musuh; Anda berikan keamanan di jalan;
Anda lindungi orang yang lemah supaya tidak dimakan yang kuat.
Andalah tonggak agama, orang terbaik, dan umat teradil.”
Kemudian al-Manshur melirik Ibn Abi Dzuaib. “Atas nama Allah
bagaimana pendapatmu tentang diriku?” Yang ditanya menjawab,
“Menurut pendapatku, Anda manusia terjahat, demi Allah. Anda
merampas harta Allah, RasulNya, dan bagian keluarga Rasul,
anak yatim, dan orang miskin. Anda hancurkan yang lemah, Anda
persulit orang yang kuat. Anda tahan harta mereka. Apa
alasanmu di hadapan Allah nanti?”
“Celaka kamu, tidakkah kamu lihat apa yang ada dihadapanmu?”
kata al-Manshur. “Benar, aku lihat pedang dan itu berarti
kematian. Bagiku sama saja apakah mati itu dipercepat atau
diperlambat.”
Peristiwa di atas, yang dikisahkan Ibn Qutaybah. menunjukkan
posisi Malik ibn Anas dibandingkan ulama yang sezaman
dengannya. Ibn Abi Dzuaib, nama lengRapnya Abu al-Harit
Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn al-Mughirah ibn Dzuaib
al-’Amiri, adalah seorang alim yang terkenal faqih dan wara.
Menurut al-Dahlawi, di samping Malik, Ibn Dzuaib adalah orang
yang membukukan hadits di Madinah. Tapi, namanya hampir tidak
pernah disebut dalam buku-buku tarikh. Ia lebih berani, dan
boleh jadi lebih faqih dari Malik. Namun sekarang hampir tidak
ada orang yang mengenalnya.
Sejarah memang hanya memihak yang menang. Fame bestows no
favors upon the losers. Malik bin Anas kelak terkenal sebagai
pendiri madzhab Maliki, dengan para pengikut yang tersebar di
berbagai bagian dunia Islam. Ibn Dzuaib, tentu saja tidak
dikenal. Imam Malik menjadi terkemuka setelah al-Manshur
memberikan segala kehormatan kepadanya. Ketika naik haji,
al-Manshur berkata kepada Malik: “Saya punya rencana untuk
memperbanyak kitab yang kau susun ini, yaitu saya salin, dan
kepada setiap wilayah kaum Muslim saya kirim satu naskah,
serta saya instruksikan agar mereka mengamalkan isinya
sehingga mereka tidak mengambil yang lain.” Begitu pula,
ketika Harun al-Rasyid berkuasa, ia bermusyawarah dengan Malik
untuk menggantungkan al-Muwaththa pada Ka’bah dan
memerintahkan orang untuk beramal menurut Kitab itu. Walau
Malik menolak rencana kedua khalifah itu, kita tahu bahwa
Malik didukung para penguasa.
Masih sezaman dengan Malik dan bahkan Malik pernah berguru
kepadanya, adalah faqih dari keluarga Rasulullah saw, Ja’far
al-Shadiq. Ia pun hampir tidak dikenal kecuali pada kalangan
pengikutnya saja. Malik berkata tentang Ja’far: “Aku pernah
berguru pada Ja’far bin Muhammad beberapa waktu. Aku tidak
pernah melihatnya kecuali dalam salah satu di antara tiga
keadaan: sedang shalat, sedang puasa, atau sedang membaca
al-Qur’an. Tidak pernah aku lihat ia meriwayatkan hadits dari
Rasulullah kecuali dalam keadaan suci. Ia tak bicara sesuatu
yang tak manfaat, dan ia termasuk ulama yang taat beribadah,
zuhud, yang hanya takut kepada Allah saja.” Sifat terakhir ini
justru menyebabkan Ja’far tidak disenangi penguasa. Fiqhnya
“dicurigai” dan para pengamalnya dianiaya.
Seperti akan kita uraikan nanti, sebetulnya banyak madzhab
muncul, tetapi karena tidak didukung penguasa, madzhab-madzhab
itu akhirnya hilang dari catatan sejarah. Dalam tulisan ini
kita akan mencatat beberapa orang tokoh madzhab yang
terlupakan. Tapi sebelum itu, kita akan meninjau latar
belakang historis dari tumbuhnya madzhab-madzhab fiqh. Pada
akhir bagian ini kita akan membicarakan “pokok dan tokoh”
madzhab yang masih memiliki banyak pengikut sampai sekarang.

SEJARAH PEMBENTUKAN MADZHAB
Kelima Madzhab yang akan kita bicarakan -Ja’fari, Maliki,
Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali– tumbuh pada zaman kekuasaan
dinasti Abbasiyah. Pada zaman sebelum itu, bila orang
berbicara tentang madzhab, maka yang dimaksud adalah madzhab
di kalangan sahabat Nabi: Madzhab Umar, Aisyah, Ibn Umar, Ibn
Abbas, Ali dan sebagainya. Para sahabat dapat dikelompokkan
dalam dua besar. Yaitu ahl al-Bayt dan para pengikutnya, juga
para sahabat di luar ahl al-Bayt. Ali dan kedua puteranya, Abu
Dzarr, Miqdad, ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abu Rafi Mawla
Rasulullah, Ummi Salamah, dan sebagainya, masuk kelompok
pertama. Sedangkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Abu
Hurairah dan lain-lain masuk kelompok kedua.
Murtadha al-’Askary menyebut dua madzhab awal ini sebagai
Madrasah al-Khulafa dan Madrasah Ahl al-Bayt. Kedua madrasah
ini berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an, memandang sunnah
Rasulullah, dan melakukan istinbath hukum. Pada zaman
kekuasaan dinasti Umawiyyah, madrasah al-Khulafa bercabang
lagi ke dalam dua cabang besar: Madrasah al-Hadits dan
Madrasah al-Ra’y. Yang pertama, berpusat di Madinah,
melandaskan fiqhnya pada al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijtihad para
sahabat, dan sedapat mungkin menghindari ra’yu dalam
menetapkan hukum. Yang kedua, berpusat di Iraq, sedikit
menggunakan hadits dan lebih banyak berpijak pada penalaran
rasional dengan melihat sebab hukum (illat) dan tujuan syara’
(maqashid syar’iyyah).
Sementara itu, Madrasah ahl al-Bayt tumbuh “di bawah tanah”
mengikuti para imam mereka. Karena tekanan dan penindasan,
mereka mengembangkan esoterisme dan disimulasi untuk
memelihara fiqh mereka. Ibn Qutaybah dalam Kitab al-Ikhtilaf
menceritakan bagaimana raja-raja Umawiyyat berusaha
menghapuskan tradisi ahl al-Bayt dengan mengutuk Ali bin Abi
Thalib di mimbar-mimbar, membunuh para pengikut setianya, dan
mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ahl al-Bayt. Tidak
jarang sunnah Rasulullah yang sahih ditinggalkan karena sunnah
itu dipertahankan dengan teguh oleh para pengikut ahl al-Bayt.
Ibn Taymiyyah menulis perihal tasyabbuh dengan syiah: “Dari
sinilah para fuqaha berpendapat untuk meninggalkan
al-mustahabbat (yang sunat) bila sudah menjadi syiar
orang-orang Syi’ah. Karena walaupun meninggalkannya tidak
wajib menampakkannya berarti menyerupai (tasyabbuh) mereka,
sehingga sunni tidak berbeda dengan syi’ah. Kemaslahatan
berbeda dengan mereka dalam rangka menjauhi dan menentang
mereka lebih besar dari kemaslahatan mengamalkan yang musthab
itu.” Salah satu contoh sunnah yang dijauhi orang adalah
tasthih seperti diceritakan oleh Muhamamd bin ‘Abd al-Rahma
yang berkata: “Yang sunnah dalam membuat kubur adalah
meratakan permukaan kubur (tasthith). Inilah yang paling kuat
menurut madzhab Syaf’i. “Tapi Abu Hanifah dan Ahmad berkata:
“Menaikkan permukaan kubur (tasnim) lebih baik, karena tasthih
sudah menjadi syi’ar sy’iah.”
Pada periode Umawiyyah, madrasah-madrasah itu tidak melahirkan
pemikiran-pemikiran madzhab. Dr. Muhammad Farouq al-Nabhan
menjelaskan sebab-sebab berikut: a) Hubungan yang buruk antara
ulama dan khulafa. Banyak tokoh sahabat dan tabi’in yang
menganggap daulat Umawiyyah ditegakkan di atas dasar yang
batil. Para khalifah banyak melakukan hal-hal yang melanggar
sunnah Rasulullah saw b) Terputusnya hubungan antara pusat
khilafah dengan pusat ilmiah. Waktu itu, pusat pemerintahan
berada di Syam, sedangkan pusat-pusat ilmiah berada di Iraq
dan Hijaz; c) Politik diskriminasi yang mengistimewakan orang
Arab di atas orang bukan Arab. Dinasti Umawiyah memisahkan
Arab dan mawali. Kebijakan ini menyebabkan timbulnya rasa
tidak senang pada para mawali – yang justru lebih banyak pada
daerah kekuasaan Islam. Banyak di antara mereka adalah para
sarjana dalam berbagai disiplin ilmu.
Karena itu pada permulaan pemerintahannya, Dinasti Abbasiyah
disambut dengan penuh antusias baik oleh mawali maupun
pengikut ahl al-Bayt. Di antara mawali itu adalah Abu Hanafi
dan di antara imam ahl al-Bayt adalah Ja’far bin Muhammad.
Keduanya mengembangkan ajaran mereka pada zaman Abbasiyah.

IMAM-IMAM MADZHAB YANG TERLUPAKAN
Sudah disebutkan di muka, bahwa madzhab-madzhab besar yang
kita kenal sekarang –kecuali mazhab Ja’fari– membesar karena
dukungan penguasa. Madzhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu
Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam
pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah: al-Mahdi, al-Hadi, dan
al-Rasyid. Al-Kharaj adalah Kitab yang disusun atas permintaan
al-Rasyid. Kitab ini adalah rujukan utama madzhab Hanafi.
Madzhab Maliki berkembang di khilafah Timur atas dukungan
al-Manshur dan di khilafah Barat atas dukungan Yahya bin Yahya
ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di
Afrika, al-Mu’iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk
mengikuti madzhab Maliki. Madzhab Syafi’i membesar di Mesir
ketika Shalahuddin al-Ayyubi merebut negeri itu. Madzhab
Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan al-Mutawakkil.
Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali
dengan persetujuan Imam Ahmad ibn Hanbal.
Dalam menyimpulkan semua ini, Syah Wali al-Dahlawi menulis:
“Bila pengikut suatu madzhab menjadi masyhur dan diberi
wewenang untuk menetapkan keputusan hukum dan memberikan
fatwa, dan tulisan mereka terkenal di masyarakat, lalu orang
mempelajari madzhab itu terang-terangan. Dengan begitu,
tersebarlah madzhabnya di seluruh penjuru bumi. Bila para
pengikut madzhab itu lemah dan tidak memperoleh posisi sebagai
hakim dan tidak berwewenang memberi fatwa, maka orang tak
ingin mempelajari madzhabnya. Lalu madzhab itu pun hilang
setelah beberapa lama.”
Beberapa madzhab yang hilang itu secara singkat diuraikan
sebagai berikut:
1. Madzhab al-Tsawri. Tokoh madzhab ini adalah Abu Abd
Allah Sufyan bin Masruq al-Tsawry. Lahir di Kufah tahun
65 H dan wafat di Bashrah tahun 161 H. Imam Ahmad
menyebutnya sebagai seorang faqih, ketika Ahmad menyebut
dirinya hanya sebagai ahli hadits. Ia berguru pada
Ja’far al-Shadiq dan meriwayatkan banyak hadits. Ayahnya
termasuk perawi hadits yang ditsiqatkan Ibn Ma’in.
Berkali-kali al-Manshur mau membunuhnya, tetapi ia
berhasil lolos. Ketika ia diminta menjadi qadhi, ia
melarikan diri dan meninggal di tempat pelarian.
Pahamnya diikuti orang sampai abad IV Hijrah;
2. Madzhab Ibn ‘Uyaiynah. Nama lengkapnya Abu Muhammad
Sufyan ibn ‘Uyaiynah wafat tahun 198 H. Ia mengambil
ilmu dari Imam Ja’far, al-Zuhry, Ibn Dinar, Abu Ishaq
dan lain-lain. Di antara yang mengambil riwayat dari
padanya adalah Syafi’i. Ia memberi komentar: “Seandainya
tidak ada Malik dan Ibn ‘Uyaiynah, hilanglah ilmu Hijaz.
Madzhabnya diamalkan orang sampai abad IV, tetapi
setelah itu hilang karena tidak ada dukungan penguasa.
3. Madzhab al-Awza’iy. Pendirinya Abd al-Rahman bin Amr
al-Awza’iy adalah imam penduduk Syam. Ia sangat dekat
dengan Bani Umayyah dan juga Bani Abbas. Madzhabnya
tersisihkan hanya ketika Muhammad bin Utsman dijadikan
qadhi di Damaskus dan memutuskan hukum menurut Madzhab
Syafi’i Ketika Malik ditanya tentang siapa di antara
yang empat (Abu Hanifah, al-Awza’iy, Malik dan
al-Tsawry) yang paling benar? Malik berkata:
“Al-Awza’iy.” Mazhabnya diamalkan orang sampai tahun 302
H;
4. Madzhab al-Thabary. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn
Yazid ibn Khalid ibn Ghalib al-Thabary lahir di
Thabaristan 224 H dan wafat di Baghdad 310 H. Ia
termasuk mujtahid ahl al sunnah yang tidak bertaklid
kepada siapa pun. Kata Ibn Khuzaymah: Ia hafal dan paham
al-Qur’an; mengetahui betul makna al-Qur’an. Ia faqih,
mengetahui sunnah dan jalan-jalannya; dapat membedakan
yang sahih dan yang lemah, yang nasikh dan yang mansukh
dan paham akan pendapat para sahabat. Tidak diketahui
sampai kapan madzhabnya diikuti orang.
5. Madzhab al-Zhahiry. Abu Sulayman Dawud ibn ‘Ali
dilahirkan di Kufah tahun 202 H dan hidup di Baghdad
sampai tahun 270 H. Madzhabnya berkembang sampai abad
VII. Salah seorang muridnya yang masyhur adalah Ibn
Hazm. Ia diberi gelar al-Zhahiry karena berpegang secara
harfiah pada teks-teks nash. Ia berkembang di daerah
Maroko, ketika Ya’qub ibn Yusuf ibn Abd al-Mu’min
meninggalkan mazhab Maliki dan mengumumkan
perpindahannya ke madzhab al-Zhahiry.
Inilah sebagian di antara tokoh-tokoh madzhab yang tidak lagi
dianut secara resmi sekarang ini. Berikut adalah para pemuka
madzhab yang terkenal. Karena riwayat hidup mereka sudah
disebutkan di atas –kecuali Imam Ja’far– di sini hanya
disebutkan beberapa catatan kecil saja. Pokok-pokok pikirannya
dalam fiqh akan kita perkenalkan secara singkat.

IMAM JA’FAR IBN MUHAMMAD AL-SHIDIQ (82-140 H)
Ja’far ibn Muhammad ibn Ali ibn Husain (ibn Ali) ibn Fathimah
binti Rasulullah saw lahir di Madinah tahun 82 H pada masa
pemerintah Abd al-Malik ibn Marwan. Selama lima belas tahun ia
tinggal bersama kakeknya, Ali Zainal Abidin keturunan Rasul
yang selamat dari pembantaian di Karbela. Setelah Ali wafat,
ia diasuh oleh ayahnya Muhammad al-Baqir dan hidup bersama
selama sembilan belas tahun.
Ia sempat menyaksikan kekejaman al-Hajjaj, pemberontakan Zaid
ibn Ali, dan penindasan terhadap para pengikut madrasah ahl
al-Bayt. Ia juga menyaksikan naiknya al-Saffah dan al-Manshur
dengan memanipulasikan kecintaan orang pada ahl al-Bayt. Ia
juga menyaksikan bahwa para khalifah Abbasiyah tidak lebih
baik dari para khalifah Umawiyah dalam kebenciannya kepada
keluarga Rasul. Abu Zahrah menulis:
Dinasti ‘Abbasiyah selalu merasa terancam dalam
kekuasaannya oleh para pengikut Ali. Kaum ‘Alawi
menunjukkan nasab seperti mereka dan memiliki kekerabatan
dengan Rasulullah yang tidak dimililki ‘Abbasiy.
Orang-orang yang menentang mereka semuanya berasal dari
‘Alawiyyin. Mereka selalu cemas menghadapi mereka. Karena
itu, bila para penguasa ‘Abbasiyah melihat ada dakwah
‘Alawi, mereka segera menghukumnya. Bila mereka melihat
ada pejabat yang memuji Bani ‘Ali, mereka segera
mengucilkannya atau membunuhnya. Mereka tak perduli
membunuh orang tak berdosa karena dianggap mengancam
pemerintahannya.
Dalam suasana seperti itulah, Imam Ja’far memusatkan
perhatiannya pada penyebaran sunnah Rasulullah dan peningkatan
ilmu dan akhlak kaum Muslim. Di antara murid-muridnya adalah
Imam Malik, al-Tsawry, Ibn ‘Uyaiynah, Abu Hanifah, Syu’bah ibn
al-Hajjaj, Fadhail ibn Iyadh, dan ribuan para perawi.
Untuk mengetahui pemikiran Imam Ja’far dalam hal fiqh, kita
tuliskan percakapannya dengan muridnya selama dua tahun
seperti diceritakan Abu Nu’aim:
Abu Hanifah, Ibn Syabramah, dan Ibn Abi Layla menghadap
Imam Ja’far. Ia menanyakan Ibn Abi Layla tentang kawannya,
yang kemudian dijawab Ia orang pintar dan mengetahui
agama. “Bukankah ia suka melakukan qiyas dalam urusan
agama?,” tanya Ja’far. “Benar.”
Ja’far bertanya kepada Abu Hanffah: “Siapa namamu?”
“Nu’man.”
“Aku tidak melihat Anda menguasai sedikit pun.” kata
Ja’far sambil mengajukan berbagai pertanyaan yang tidak
bisa dijawab Abu
“Hai Nu’man, ayahku memberitahukan kepadaku dari kakekku
bahwa Nabi saw bersabda: Orang yang pertama menggunakan
qiyas dalam agama adalah iblis. Karena ketika Allah
menyuruhnya bersujud kepada Adam ia berdalih: Aku lebih
baik dari dia karena aku Kau buat dari api dan ia Kau buat
dari tanah. Barang siapa yang menggiyas dalam agama, Allah
akan menyertakannya bersama iblis, karena ia mengikutinya
dengan qiyas.
Manakah yang lebih besar dosanya – membunuh atau berzinah?
“Membunuh.”
“Lalu, mengapa Allah hanya menuntut dua orang saksi untuk
pembunuhan dan empat orang saksi untuk zinah.”
“Mana yang lebih besar kewajibannya – shalat atau shawm
(puasa)?”
“Shalat”
“Mengapa wanita yang haidh harus mengqadha shawmnya tetapi
tidak harus mengqadha shalatnya. Bagaimana kamu
menggunakan qiyasmu. Bertaqwalah kepada Allah dan jangan
melakukan qiyas dalam agama.”
Dari percakapan di atas kita melihat perbedaan pendekatan
hukum di antara dua pemuka madzhab. Di antara karakteristik
khas dari madzhab Ja’fari, selain menolak qiyas adalah hal-hal
berikut: a) Sumber-sumber syar’iy adalah al-Qur’an, al-Sunnah
dan akal. Termasuk ke dalam sunnah adalah sunnah ahl al-Bayt:
yakni para imam yang ma’shum. Mereka tidak mau menjadikan
hujjah hadits-hadits yang diriwayatkan para sahabat yang
memusuhi ahl al-Bayt; b) Istihsan tidak boleh dipergunakan.
Qiyas hanya dipergunakan bila ‘illat-nya manshush (terdapat
dalam nash). Pada hal-hal yang tak terdapat ketentuan nashnya,
digunakan akal berdasarkan kaidah-kaidah tertentu; c)
Al-Qur’an dipandang telah lengkap menjawab seluruh persoalan
agama. Tugas mujtahid adalah mengeluarkan dari al-Qur’an
jawaban-jawaban umum untuk masalah-masalah yang khusus. Karena
Rasulullah dan para imam adalah orang yang mengetahui
rahasia-rahasia al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an yang paling
absah adalah yang berasal dari mereka.

IMAM ABU HANIFAH
Abu Hanifah terkenal sebagai alim yang teguh pendirian. Ia
menentang setiap kezaliman. Beberapa kali ia mengkritik
al-Manshur secara terbuka. Ketika Muhammad dan Ibrahim dari
ahl al-Bayt memberontak, Abu Hanifah mendukungnya. Begitu
pula, ketika Imam Zayd melawan penguasa, Abu Hanifah berbay’at
kepadanya. Abu Zahrah, penulis biografi Abu Hanifah, menulis:
“Sesungguhnya Abu Hanifah itu Syi’ah dalam kecenderungan dan
pendapatnya tentang penguasa di zamannya. Yakni, ia melihat
bahwa khalifah haruslah diserahkan pada keturunan Ali dari
Fathimah; dan bahwa para khalifah yang sezaman dengan mereka
telah merampas haknya dan karena itu mereka zalim.”
Sikap Abu Hanifah itu, ditambah hasutan Ibn Abi Layla,
menimbulkan kemarahan Al-Manshur. Tapi karena kedudukan Abu
Hanifah di masyarakat, Al-Mansur tak dapat membunuhnya tanpa
alasan. Lalu ia menjebak Abu Hanifah dengan jabatan qadhi.
Ketika Abu Hanifah menolaknya, ia dipenjarakan. Setiap hari,
ia dicambuk sepuluh lecutan. Ia mengakhiri hidupnya, menurut
satu riwayat, karena diberi makanan beracun.
Abu Hanifah meninggalkan banyak murid. Di antaranya Abu Yusuf,
yang kemudian menjadi qadhi dan banyak memasukkan hadits dalam
kitab-kitabnya; Muhammad ibn Hasan al-Syaybany, yang pernah
berguru pada Malik dan kemudian menggabungkan madrasah hadits
dengan madrasah Ra’y; dan Zafr ibn al-Hudzail, yang sangat
ekstrem menggunakan qiyas.
Pokok fiqih madzhab Hanafi bersumber pada tiga hal: a)
Sumber-sumber naqliyah, yang meliputi al-Qur’an, al-Sunnah,
ijma, dan pendapat para sahabat. Abu Hanifah berkata, “Aku
mengambil dari al-Kitab, jika aku dapatkan di dalamnya. Bila
tidak, aku ambil Sunnah Rasulullah dan hadits-hadits yang
sahih, yang disampaikan oleh orang-orang yang dapat dipercaya.
Jika tidak aku dapatkan dalam al-Kitab dan Sunnah Rasulullah,
aku mengambil pendapat para sahabat yang aku kehendaki dan
meninggalkan yang tidak aku kehendaki. Aku tidak keluar dari
pendapat sahabat kepada pendapat yang lain. Bila sudah sampai
pada tabi’in, mereka berijtihad dan aku pun berijtihad,”, b)
Sumber-sumber ijtihadiyah, yaitu dengan menggunakan qiyas dan
istihsan. c) Al-A’raf, yakni adat kebiasaan yang tidak
bertentangan dengan nash, terutama dalam masalah perdagangan.
Abu Hanifah bahkan mengarqurkan beramal dengan ‘urif.

IMAM MALIK
Pada zaman kekuasaan Ja’far ibn Sulayman tahun 146 H Malik
dihukum cambuk. Ia –menurut satu riwayat– mengeluarkan fatwa
yang tidak dikehendaki penguasa. Setelah itu, al-Manshur
merasa bersalah, di samping ingin berusaha memanfaatkan alim
besar ini. Ia tidak mungkin menarik Ja’far dan tidak berhasil
mengambil hati Abu Hanifah. Al-Manshur pada musim haji 153 H,
meminta maaf kepada Malik atas perlakukan salah seorang
penguasanya. Ia memberikan wewenang besar pada Malik untuk
mengangkat dan memberhentikan para pejabat yang dipandangnya
tidak mampu. Ia juga boleh menghukum mati atau memenjarakan
yang dipandangnya bersalah.
Karena wewenangnya ini, Malik menjadi sangat berwibawa.
Orang-orang ketakutan berada di majlisnya, karena wibawa
Malik. Ketika seorang murid membantah Malik perihal penguburan
rambut dan kuku, Malik memukul orang itu dan memenjarakannya
Ketika seorang bertanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang
orang yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk?.” Malik
memanggil pengawalnya: “Ia zindiq, bunuh dia.” Orang itu
berkata: “Bukan aku yang berkata begitu. Aku hanya melaporkan
ucapan orang lain.” Malik menukas: “Tapi aku hanya
mendengarnya dari kamu.”
Catatan kecil di atas menunjukkan kekuasaan Malik. Ini sangat
berpengaruh pada penyebaran madzhabnya. Madzhab Maliki
mendasarkan fiqhnya pada 12 pokok: a) Al-Qur’an: zhahirnya,
dalil-nya, mafhum-nya dan illat-nya; b) Al-Sunnah:
al-mutawatirah dan al-masyhurah. Bila zhahirnya sunnah
bertentangan dengan al-Qur’an, didahulukan al-sunnah; c) Ijma’
penduduk Madinah, ijma’ secara naql. Ijma’ sebelum terbunuhnya
Utsman, ijma’ mutaakhir: masing-masing dengan kekuatan hukum
yang berbeda; d) Fatwa sahabat; e) Khabar Ahad dan Qiyas; f)
Istihsan; g) Mashalih mursalah; h) Sadd al-Dzara’i; i) Mura’at
khilaf al-mujtahidin; j) Istishhab; k) Syar’man qablana.

IMAM SYAFI’I
Pokok-pokok fiqh Syafi’i ada lima: a) Al-Qur’an dan al-Sunnah;
b) al-Ijma’; c) Pendapat sahabat yang tidak ada yang
menentangnya; d) Ikhtilaf sahabat Nabi; e) Qiyas.

IMAM HANBALI
Pokok-pokok fiqh madzhab Hanbali: a) Al-Nushush; b) Fatwa
sahabat; c) Ikhtilaf sahabat; d) Hadits mursal dan dha’if; e)
Qiyas.

4. STAGNASI PEMIKIRAN FIQH: MASA KETERTUTUPAN
Dr. Muhammad al-Tijani al-Samawi bercerita tentang kisah
fanatisme di kota Qafsah, Tunisia. Seorang alim besar di kota
itu mengecam orang-orang yang menjamak shalat Zhuhur dan
Ashar. “Mereka membawa agama baru yang bukan agama Muhammad
saw. Mereka menyalahi al-Qur’an yang menyatakan bahwa shalat
itu bagi kaum Mukmin kewajiban yang ditetapkan waktunya.”
Seusai shalat, seorang pemuda menanyakan lagi perihal shalat
jamak. Ia berkata bahwa itu termasuk salah satu bid’ah orang
Syi’ah. Tetapi shalat jamak ini terdapat dalam kitab hadits
shahih Bukhari dan Muslim, kata pemuda itu. “Tidak benar,”
kata sang imam. Pemuda itu mengeluarkan kedua kitab shahih
tersebut dan memintanya membaca hadits-hadits tentang shalat
jamak. Ketika ia membacanya, hadirin tercengang mendengarnya.
Ia mengembalikan kedua kitab itu sambil berkata, “Ini khusus
untuk Rasulullah saw. Bila engkau sudah menjadi Rasul Allah
bolehlah engkau melakukannya.” Pemuda itu bermaksud
menunjukkan bahwa Ibn Abbas, Anas ibn Malik dan banyak sahabat
lainnya melakukan shalat jamak (bukan karena bepergian),
tetapi ia mengurungkan maksudnya.
Di Afghanistan seorang mushalli memberi isyarat dengan
telunjuknya dan menggerak-gerakkannya. Kawan shalat di
sampingnya memukulnya dengan keras sehingga telunjuk itu
patah. Ketika ditanya mengapa itu terjadi, ia menjawab bahwa
menggerakkan telunjuk dalam tasyahud adalah haram. Apa
dalilnya? Dalilnya terdapat dalam Kitab fiqh al-Syaikh
al-Kaydani.
Kedua peristiwa di atas terjadi dalam rentang waktu cukup lama
-menurut sebagian penulis dari abad VI Hijrah sampai abad
XIII. Sebuah rentang waktu yang oleh para Tarikh Tasyri’
disebut sebagai zaman stagnasi pemikiran fiqh (‘ashr
al-rukud).
Al-Ustadz al-Zarqa melukiskan situasi umum pada waktu itu:
Pada zaman tersebut pemikiran fiqh mengalami kemunduran,
dimulai kemandegan dan diakhiri kebekuan, walau selama masa
itu muncul juga beberapa ulama fiqh dan ushul yang cemerlang.
Pada zaman inilah pemikiran taqlid mutlak dominan. Pemikiran
bergeser dari upaya mencari sebab-sebab dan maksud syara’
dalam memahami hukum, ke upaya menghapal yang sia-sia dan
merasa cukup dengan menerima apa yang telah tertulis dalam
kitab-kitab madzhab tanpa penelitian. Dengan begitu,
menghilanglah kegiatan yang dulu merupakan gerakan takhrij,
tarjih, dan tanzhim dalam madzhab fiqh. Peminat fiqh hanya
mempelajari kitab yang ditulis seorang faqih tertentu di
antara tokoh-tokoh madzhabnya Ia tidak melihat kepada syari’at
dan fiqh kecuali melalui tulisan dalam kitab itu, sesudah
sebelumnya mempelajari al-Qur’an, al-Sunnah, pokok-pokok dan
maksud-maksud syara’.
Pasal ini akan memperlihatkan karakteristik zaman ini dari
segi karya-karya ilmiah yang lahir waktu itu dan dari segi
kecenderungan pemikiran. Kita akan mengakhiri dengan melacak
sebab-sebab timbulnya stagnasi pemikiran ini.

KARAKTERISTIK ZAMAN STAGNASI: TRADISI MENSYARAH KITAB
Setelah keempat imam madzhab ahl al-Sunnah meninggal dunia,
fiqh memasuki zaman tadwin (kodifikasi). Berbagai ilmu Islam
dibukukan dan tidak disampaikan secara lisan lagi. Penafsiran
al-Qur’an, hadits, ilmu ushul al-fiqh, dan fiqh para imam
madzhab disusun dalam buku. Dalam penafsiran al-Qur’an
misalnya, para ulama menghimpun hadits-hadits Nabi saw, baik
yang lemah maupun yang kuat, serta menghimpun penafsiran para
sahabat, tabi’in, dan para mujtahid. Mereka menulis buku-buku
yang lebih merupakan ensiklopedia atau kamus dari pada
analisis ilmiah. Pada masa inilah berkembang al-tafsir bi
al-ma’tsur. Hadits-hadits dibukukan dalam bentuk al-jawami’,
al-masanid, al-ma’ajim, al-mustadrakat dan sebagainya.
Bersamaan dengan itu, dibukukan pula riwayat para perawi
hadits, ilmu jarh wa ta’dil dan riwayat para sahabat. Para
pengikut membukukan fatwa-fatwa dan hasil ijthad para mujtahid
tersebut.
Gerakan tadwin, di satu sisi menyimpan khazanah ilmu para
ulama; tapi di sisi lain menyebabkan para ulama merasa cukup
dengan apa yang telah tersedia. Mereka tak merasa perlu
melakukan penelitian ulang. Perlahan-lahan berkembanglah
tradisi membuat syarah (komentar) dan matan. Maksudnya untuk
memudahkan pembaca memahami kitab-kitab rujukan. Mereka
menjelaskan kata-kata atau kalimat-kalimat secara sematik,
atau menambahkan penjelasan dengan mengutip ucapan para ulama
lain. Tidak jarang syarah suatu kitab disyarahi dan disyarahi
lagi. Untuk Shahih al-Bukhari, sepanjang saya ketahui, paling
tidak ada tiga kitab syarah: Fath al-Bary, Irsyad al-Sary,
Umdat al-Qary. Ada pula beberapa kitab yang mensyarah
al-Muwatha susunan Imam Malik.
Pada zaman ini, juga berkembang tradisi munaqasyah madzhabiyah
(diskusi madzhab). Para ulama madzhab Syafi’i menyerang
tulisan para ulama madzhab Hanbali atau sebaliknya.
Argumentasi dikembangkan untuk membela madzhab masing masing.
Ulama ahl al-Sunnah menulis kitab yang menyerang ajaran
Syi’ah. Ulama Syi’ah membalasnya dengan menulis kitab lagi.
Atau sebaliknya. Sebagai jawaban terhadap serangan ahl
al-Sunnah, al-Hilly menulis Minhaj al-Karamah. Ibn Rouzbahan
menulis bantahan pada Minhaj al-Karamah. Bantahan ini dibantah
lagi oleh al-Mar’asyi al-Tustary. Sekarang bantahan itu sudah
menjadi 19 jilid Ihqaq al-Haq, yang setiap jilidnya seukuran
satu jilid Encyclopedia Britannica. Ibn Taymiyah menulis
Minhaj al-Sunnah untuk menolak Minhaj al-Karamah. Al-Amini
menulis 11 jilid al-Ghadir hanya untuk membuktikan keshahihan
hadits Ghadir Khum, yang didhaifkan Ibn Taymiyah. Polemik
antar madzhab ini bukanlah sesuatu yang jelek dan telah
berlangsung sejak zaman para imam madzhab. Imam Syafi’i,
misalnya, melakukan kritik terhadap beberapa pendapat Muhammad
ibn al-Hasan al-Syaybany. Tapi pada zaman kemandegan,
munaqasyah madzhabiyah telah menjadi benih yang menyuburkan
fanatisme madzhab. Setiap madzhab membela pahamnya dengan
tidak lagi mengindahkan adab diskusi ilmiah. Sikap ini
ditunjukkan jelas oleh al-Syaykh Abu al-Hasan Abdullah
al-Karkhy ketika ia berkata, “setiap ayat atau hadits yang
bertentangan dengan apa yang ditetapkan madzhab kami, harus
dita’wilkan atau dimansukhkan.

FANATISME MADZHAB
Asad Haydar menyebut tahun 645 Hijrah sebagai tahun
ditetapkannya empat mazhab sebagai madzhab yang diakui
khilafah Islam waktu itu. Para ulama dari keempat madzhab
diundang ke istana. Walau begitu, gejala fanatisme madzhab
dapat dilacak sejak abad IV Hijrah. Seperti telah disampaikan
pada tulisan terdahulu, kekuasaan sangat berperan dalam
menyuburkan fanatisme madzhab.
Untuk mempertahankan keunggulan madzhabuya, para pengikutnya
meriwayatkan mitos di sekitar para imam madzhabnya.
Kadang-kadang riwayat-riwayatnya dinisbahkan pada Nabi
Muhammad saw. Konon Nabi Muhammad saw pernah berkata: “Semua
nabi bangga denganku dan aku bangga dengan Abu Hanifah. Siapa
yang mencintai Abu Hanifah ia mencintaiku, siapa yang membenci
Abu Hanifah ia membenciku. Di antara karamah Abu Hanifah ialah
bergurunya Nabi Khidr kepadanya. Ia belajar pada Abu Hanifah
setiap waktu Subuh selama lima puluh tahun. Ketika Abu Hanifah
wafat, Nabi Hidhir mohon agar ia diizinkan tetap berguru
padanya di alam kubur, supaya ia dapat mengajarkan syari’at
Islam secara lengkap. Allah mengizinkannya. Ia kemudian
menyelesaikan kuliah dari Abu Hanifah selama 25 tahun lagi.
Diriwayatkan oleh para pengikut Maliki bahwa pada paham Imam
Malik sudah tertulis Malik Hujatullah di bumi. Tentang Imam
Syafi’i, katanya, Rasul Allah saw bersabda: “Ya Allah berilah
petunjuk pada suku Quraiysy, karena seorang alimnya akan
memenuhi seluruh bumi dengan ilmunya.” Orang alim itu adalah
Imam Syafi’i. Mengenai Imam Ahmad bin Hanbal Abdullah
al-Sajastany berkata: “Aku pernah melihat Rasul Allah saw
dalam mimpi. Aku bertanya: “Ya Rasul Allah, siapakah yang
engkau tinggalkan, yang patut kami ikuti di zaman kami?” Rasul
Allah saw menjawab: “Aku tinggalkan bagimu Ahmad bin Hanbal.”
Dengan berbagai “keutamaannya” itulah, pengikutnya
mensakralkan fatwa para mujtahid. Fatwa mujtahid lebih
didulukan dari ayat al-Qur’an dan al-Sunnah. Al-Fakhr al-Razy
menceritakan pengalamannya ketika ia menafsirkan: afala
yatadabbarun al-Qur’an. Aku pernah menyaksikan sekelompok
faqih yang taklid, memandangku dengan heran bila aku bacakan
ayat-ayat al-Qur’an tentang beberapa masalah yang bertentangan
dengan madzhab mereka. Mereka tidak mau menerimanya bahkan
tidak mau menelitinya. Mereka heran bagaimana mungkin
mengamalkan zhahirnya ayat-ayat itu, padahal ulama dari
madzhab mereka terdahulu tidak pernah mengamalkannya.
Abu Sulayman al-Khaththaby mengisahkan suasana zaman itu: Saya
lihat ahli ilmu dewasa itu terbagi menjadi dua kelompok:
pendukung hadits dan atsar dan ahli fiqh dan fikir. Padahal
keduanya sama-sama dibutuhkan dan tidak bisa ditinggalkan
dalam menuju cita-cita kehidupan. Itu karena hadits bagaikan
fondasi, sedangkan fiqh bagaikan bangunannya. Setiap bangunan
yang fondasinya tidak kokoh, maka akan cepat roboh. Setiap
fondasi tanpa bangunan, maka akan sunyi dan lekas rusak. Saya
lihat kedua kelompok ini saling berdekatan tempat tinggalnya
dan sebetulnya saling membutuhkan. Namun, karena rasa harga
diri mereka yang sangat tajam, keduanya menjadi ikhwan yang
saling berjauhan: mereka tak menampakkan sikap saling membantu
dan menolong di jalan yang hak.
Kedua kelompok itu, pertama, kelompok ahli hadits dan atsar
rata-rata berambisi dalam periwayatan, pengumpulan sanad, dan
pemisahan hadit-hadits gharib dan syadz –hadits-hadits yang
kebanyakan mawadhu’ dan maqlub. Mereka tidak memelihara
matannya, tidak memahami maknanya, tidak menggali rahasianya,
dan tidak mengungkapkan kandungan fiqhnya.
Kadang-kadang mereka mencela para fuqaha, mencacad mereka dan
menuduhnya menyalahi sunnah. Mereka tidak sadar bahwa kadar
keilmuannya sendiri sangat dangkal dan mereka berdosa
melemparkan kata-kata kotor pada para fuqaha.
Sedangkan kelompok kedua, yakni ahli fiqh dan fikir,
kebanyakan tidak memilih-milih hadits, kecuali sebagian kecil.
Mereka hampir tidak bisa membedakan hadits yang shahih dan
hadits yang dhaif, yang bagus dan yang buruk. Mereka tidak
mempedulikan hadits-hadits yang dikuasai dan yang digunakan
untuk mempertahankan argumentasinya di hadapan lawan bila
hadits-hadits tersebut telah sesuai dengan madzhab yang mereka
ikuti dan pendapat yang mereka yakini. Mereka sepakat menerima
hadits dhaif dan munqathi’ bila telah masyhur di kalangan
mereka dan telah membibir dalam percakapan mereka, walau tidak
didukung satu dalil pun atau tidak meyakinkan. Yang demikian
adalah suatu kesesatan dan penipuan ra’yu.
Apabila diriwayatkan pada mereka hasil ijtihad para tokoh
madzhab mereka atau para ahli dari aliran mereka, mereka
segera mencari kepercayaan umat terhadapnya, namun mereka
tidak ikut bertanggungjawab.
Saya lihat para pendukung Malik tidak menerima riwayat dari
padanya kecuali yang melalui Abu al-Qasim (Rasul Allah),
ashhab (para sahabat), dan para pendahulu yang setingkat
dengan mereka. Maka pendapat yang datang dari Al-Hakam tidak
memiliki keistimewaan di mata mereka. Mereka mau menerima
riwayat dari padanya kecuali yang melalui Abu Yusuf, Muhammad
ibn al-Hasan dan para tokoh sahabat serta murid-muridnya yang
lain. Bila pendapat itu datang dari al-Hasan ibn Ziyad dan
pendapatnya berbeda dengan riwayat yang melalui mereka, mereka
tidak akan menerima. Begitu juga para pengikut al-Syafi’i.
Mereka hanya menerima riwayat al-Muzany dan al-Raby ibn
Sulayman al-Murady. Maka bila datang riwayat Harmalah,
al-Jiziy dan sebagainya, mereka tak memperhatikan dan tak
menganggapnya sebagai pendapat al-Syafi’i.
Demikianlah keumuman sikap setiap kelompok terhadap madzhab
imam dan gurunya masing-masing.
Fanatisme madzhab bukan saja telah menghambat pemikiran,
menghancurkan otak-otak cemerlang, tapi juga menimbulkan
perpecahan di kalangan kaum Muslim. Dalam sejarah, telah
terjadi beberapa kali, mereka saling mengkafirkan yang
kemudian memuncak pada peperangan antar sesama Muslim. Sebagai
contoh adalah peristiwa yang terjadi di Baghdad, 469 Hijrah.
Pada madrasah Nizhamiyah, Ibn al-Qusyayry al-Syafi’i memegang
kekuasaan. Ia selalu mengecam Ahmad ibn Hanbal dan para
pengikutnya sebagai penganut antropomorfisme. Dengan bantuan
penguasa ia menyerang pemimpin Hanbaly, Abd al-Khaliq ibn Isa.
Pengikut al-Qusyayry menutup pintu-pintu pasar madrasah
Nizhamiyah. Lalu, terjadilah pertumpahan darah antara kedua
golongan. Pemerintah kemudian mengumpulkan wakil kedua belah
pihak dan meminta supaya mereka berdamai. Al-Qusyayry berkata:
“Perdamaian macam apa yang harus ada diantara kami? Perdamaian
terjadi di antara orang yang memperebutkan kekuasaan atau
kerajaan. Sedangkan kaum ini menganggap kami kafir dan kami
menganggap orang-orang yang aqidahnya tidak sama dengan kami
juga kafir. Maka perdamaian macam apa yang bisa berlaku di
antara kami.”

PENUTUPAN PINTU IJTIHAD
Walau ada pembagian ijtihad yang bermacam-macam, kita dapat
mengelompokkan dua macam ijtihad: ijtihad muthlaq dan ijtihad
fi al-madzhab. Pada ijtihad muthlaq, seorang mujtahid
mengembangkan metode ijtihadnya secara mandiri dan
mengeluarkan hukum-hukum berdasarkan metodenya itu. Yang dapat
melakukan ijtihad jenis ini disebut mujtahid mustaqil
(mujtahid independen). Menurut para pengikut madzhab Syafi’iy
dan kebanyakan Hanafi, ijtihad mustaqil sudah tertutup. Namun
sebaliknya menurut kebanyakan Hanbaly, setiap zaman tak boleh
kosong dari mujtahid mustaqil. Sementara itu menurut Maliky,
meski pada tiap zaman boleh saja tak ada mujtahid mustaqil,
tapi tak boleh tidak harus ada mujtahid fi al-madzhab.
Demikian catatan Abu Zahrah tentang tertutupnya pintu ijtihad.
Namun kenyataannya, di zaman kemandegan pintu ijtihad, yang
ditutup adalah ijtihad muthlaq. Adapun ijtihad fi al-madzhab,
terus berkembang. Di sini mujtahid berpegang pada metode
ijtihad imam mazhabnya, tapi boleh saja menghasilkan
kesimpulan furu’iyyah yang berbeda dari imam mazhabnya. Dalam
hal ini, ia tentu saja masih menggunakan fatwa imam mazhabnya
sebagai rujukan. Karena itu, ia disebut mujtahid muntasib,
mungkin karena ia berijtihad dengan metode yang sama untuk
menjawab masalah-masalah yang belum dipecahkan imam mazhabnya;
atau menafsirkan yang mujmal menjelaskan yang mubham dari
ucapan imam, atau mentarjih (memilih yang terkuat) pendapat
imam yang bermacam-macam itu.
Sebenarnya, penutupan pintu ijtihad pada saat ini, lebih
ditujukan pada ijtihad muthlaq. Walau tak diketahui secara
pasti sejak kapan, penutupan pintu ijtihad terjadi karena ada
anggapan bahwa tidak ada ulama yang memenuhi persyaratan
seperti keempat imam itu. Sebalikaya, menurut Abu Zahrah, di
kalangan Syi’ah tidak pernah dikenal tertutupnya pintu
ijtihad. Sayyid Rasyid Ridha, mengikuti gurunya Syaikh
Muhammad Abduh, mengecam penutupan pintu ijtihad yang mana
pun: “Kita tidak menemukan manfaat apa pun dari penutupan
pintu ijtihad”. Bahayanya banyak –berakibat pada
terbengkalainya akal, terputusnya pengembangan ilmu dan
terhalangnya kemajuan pemikiran. Kaum Muslim mundur karena
meninggalkan ijtihad sehingga mereka menjadi seperti yang kita
lihat sekarang ini.

SEBAB-SEBAB STAGNASI
Dr. Muhammad Farouq al-Nabhan menyebut tiga sebab stagnasi
pemikiran pada zaman ini: faktor-faktor politik, campur tangan
penguasa dalam kekuasaan kehakiman dan kelemahan posisi ulama
dalam menghadapi umara.
Untuk yang pertama, kita ingin menegaskan kembali bahwa
madzhab berkembang karena dukungan politik. Maka ketika satu
madzhab memperoleh kekuasaan, pemikiran yang bertentangan
dengan madzhab itu ditindas. Jika kita membaca kitab-kitab
sejarah madzhab, kita akan menemukan bagaimana seseorang yang
berbeda madzhab atau berganti madzhab menghadapi berbagai
cobaan. Lebih-lebih bila berbeda pendapat dengan madzhab
penguasa.
Untuk sebab kedua, telah ditunjukkan bagaimana para ulama
berebutan menjadi qadhi. Qadhi diangkat oleh penguasa. Qadhi
tidak ingin mengambil risiko berbeda pendapat dengan
madzhabnya, karena ia dapat dikucilkan oleh masyarakat,
didiskreditkan ulama dan diadukan pada penguasa. Karena itu,
yang paling aman adalah mengikuti pendapat para imam mazhab
yang sudah dibukukan. Di sini harus dicatat: dalam sejarah,
para penguasa Muslim lebih sering menindas kebebasan pendapat
dari pada mengembanghannya. Di samping itu, posisi ulama yang
lemah memperkuat fanatisme madzhab. Ulama sangat bergantung
kepada umara. Umara tentu saja selalu berusaha mempertahankan
status quo, demi “ketertiban dan keamanan”.
Dalam posisi seperti itu, kalau pun ulama berijtihad,
ijtthadnya hanyalah dalam rangka memberikan legitimasi pada
kebijakan penguasa. Contoh terakhir adalah pernyataan para
ulama Rabithah yang mendukung kehadiran tentara Amerika di
Jazirah Arab. Empat puluh tiga hari sebelum Saddam menyerbu
Kuwait, para ulama dari 70 negara Islam menyatakan bahwa
Saddam sebagai mujahid Islam yang taat pada Allah dan
al-Qur’an. Setelah invasi, para ulama yang sama menyatakan
Saddam sebagai bughat dan pemimpin dhalim. Bukankah ini
ijtihad dan setiap ijtihad selalu mendapat pahala? Bila
ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala, dan bila benar dua.
Abd al-Wahhab Khalaf menyebutkan empat faktor yang menyebabkan
kemandegan. Yaitu terpecahnya kekuasaan Islam menjadi
negara-negara kecil hingga umat disibukkan dengan eksistensi
politik; terbaginya para mujtahid berdasarkan madrasah tempat
mereka belajar; menyebarnya ulama mutathaffilin (ulama yang
memberi fatwa berdasarkan petunjuk Bapak); dan menyebarnya
penyakit akhlak seperti hasud dan egoisme di kalangan ulama.

5. FIQH DITELAAH KEMBALI: FIQH KAUM PEMBARU
“Yahya memberitakan kepadaku dari Malik dari Ibn Syihab. Ia
ditanya tentang menyusui orang dewasa. Ia berkata: ‘Urwah bin
Zub air mengabarkan kepadaku bahwa Hudzaifah bin ‘Utbah bin
Rabi’ah –salah seorang sahabat Nabi saw. yang ikut
menyaksikan perang Badar– telah mengangkat Salim sebagai
anaknya. Sehingga ia disebut Salim mawla Abu Hudzaifah,
sebagaimana Rasulullah saw. mengangkat Zaid ibn Haritsah
sebagai anak. Abu Hudzaifah menikahkan Salim –yang dipandang
sebagai anaknya itu– dengan anak saudara perempuannya
Fathimah bint al-Walid bin ‘Utbah bin Rabi’ah. Waktu itu ia
termasuk wanita muhajirat yang awal dan gadis Quraysy yang
utama. Ketika Allah menurunkan ayat dalam Kitab-Nya tentang
Zaid ibn Haritsah –panggillah mereka dengan nama bapak-bapak
mereka. Itu lebih adil di sisi Allah. Jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka mereka adalah saudaramu
dalam agama dan mawla-mawla kamu –maka dikembalikanlah setiap
orang di antara mereka itu kepada bapaknya. Bila tidak
diketahui bapaknya, dikembalikan kepada mawlanya. Sahlan binti
Suhail –istri Hudzaifah dari Bani Amir– datang menemui
Rasulullah saw. dan berkata: “Ya Rasul Allah, kami menganggap
anak kepada Salim. Ia sering masuk ke rumahku dan aku dalam
keadaan fudhul (memakai busana rumah yang tidak menutup
aurat). Kami hanya mempunyai rumah satu, bagaimana menurut
Anda? Rasulullah saw. berkata kepadanya: “Susukanlah dia lima
kali susuan sehingga ia menjadi muhrim dengan susunya”.
Setelah itu ia memandangnya sebagai anak susuan. Aisyah
mengambil cara ini bila ada laki-laki yang ingin masuk ke
rumahnya Ia menyuruh saudaranya, Umu Kultsum binti Abu Bakar
al-Shiddik dan anak-anak perempuan saudaranya untuk menyusukan
laki-laki yang ingin masuk ke rumahnya. Istri-istri Nabi saw
yang lain menolak untuk mengizinkan laki-laki masuk ke rumah
dengan susuan seperti itu. (Malik, Al-Muwatha 2: 115-116)
Contoh lain: “Seorang A’raby meminum minuman ‘Umar. (Ia mabuk)
dan ‘Umar menetapkan hukum cambuk baginya. Orang A’raby itu
berkata: Aku minum dari minumanmu. ‘Umar meminta minumannya
itu, lalu mencampurkan air ke dalamnya, kemudian meminumnya.
Ia berkata: Siapa yang ragu untuk meminumnya, campurkan air ke
dalamnya. Ibrahim al-Nakhti meriwayatkan hadits yang sama dari
‘Umar dan berkata: ‘Umar meminumnya setelah mencambuk orang
A’raby itu. (Al-Jashash, Ahkam al-Qur’an 2:565).
Dua peristiwa di atas diambil dari kitab-kitab yang menjadi
rujukan dalam menjawab masalah-masalah fiqhiyah. Dari
peristiwa yang pertama para faqih menyimpulkan beberapa hukum:
(1) Batas susuan yang menyebabkan seorang haram dinikahi
adalah lima kali susuan; (2) Tidak boleh laki-laki yang bukan
muhrim memasuki rumah seorang perempuan, kecuali bila
laki-laki itu saudara sepesusuan; (3) Dianjurkan menyusukan
orang yang sudah dewasa supaya ia halal masuk ke rumah seorang
perempuan.
Kesimpulan terakhir ini telah disepakati fuqaha. Mereka
mempersoalkan cara menyusukan itu. Bagaimana mungkin Nabi saw
menghalalkan sesuatu dengan tindakan yang haram? (Bukankah
bersentuhan dengan perempuan yang bukan muhrim itu haram,
apalagi menyusu kepadanya?). Mungkinkah ini hanya fiqhnya
‘Aisyah. Bukankah istri-istri Nabi saw yang lain menolaknya?
Bukankah pada kitab hadits yang sama Umar ibn Khatab dan
Abdullah ibn Mas’ud hanya membenarkan susuan pada waktu kecil
saja?
Peristiwa yang kedua dijadikan dalil oleh sebagian pengikut
madzhab Hanafi untuk menghalalkan minuman keras (khususnya
Nabi) bila dicampur dengan air. Tentu saja fuqaha
mazhab-mazhab yang lain menolaknya. Dengan merujuk pada hadits
yang mengharamkan minuman keras –baik sedikit maupun banyak
mereka telah membenarkan halalnya minuman keras karena
dicampur air. Yang kemudian menjadi persoalan adalah tindakan
‘Umar. Apakah perilaku ‘Umar dapat dijadikan model dalam
pengambilan kesimpulan hukum? Apakah pendapat para sahabat
dapat dijadikan hujjah dalam agama? Apakah tindakan ‘Umar itu
suatu preseden bolehnya meninggalkan nash-nash syari’at bila
kondisi berubah?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan problema yang
dihadapi para pembaru Islam ketika mereka menelaah kembali
fiqh yang ada. Yang dipersoalkan bukan hanya penafsiran
nash-nash tetapi juga metode pengambilan keputusan. Dalam
istilah fiqh, yang harus ditinjau bukan saja al-adillat
al-syar’iyat, tetapi juga ushul al-fiqh. Dari fenomena
tersebut, ternyata “Kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah”
tidak segampang seperti yang dibayangkan.
Slogan yang di Indonesia didengungkan kaum modernis ini,
sebetulnya hanyalah salah satu aliran peninjauan kembali fiqh,
setelah orang merasa perlu membuka kembali pintu ijtihad.
Aliran tersebut sebenarnya adalah skripturalisme, yaitu aliran
yang berpegang kepada teks-teks syari’at secara kaku. Arkoun
menyebut aliran ini logosentrisme yang ia gambarkan sebagai
berikut:
Di samping aliran ini ada aliran yang sangat menekankan rasio
(akal)., yaitu liberalisme. Aliran ini tak lagi terikat dengan
bunyi teks, tapi berusaha menangkap menurutnya, makna hakiki
dari teks. Makna ini dianggap sebagai ruh ajaran Islam, tema
umum Islam, maqashid syar’iyah dan sebagainya. Skripturalisme
dan liberalisme keduanya berusaha mendobrak kebekuan pemikiran
Islam; sekaligus merupakan fiqh baru yang dapat menjawab
masalah-masalah baru akibat perubahan masyarakat. Berbagai
upaya rekonstroksi fiqh di dunia Islam sekarang ini berangkat
dari kedua aliran tersebut. Karena itu, dalam upaya menelaah
kembali fiqh, kita harus memulai dengan menyorot kedua aliran
ini secara kritis dibahas skriptularisme.
LATAR BELAKANG SKRIPTURALISME
Seperti diketahui dalam fiqh tabi’in, ada dua aliran besar
dalam fiqh Islam: ahl al-Ra’y dan ahl al-Hadits. Yang pertama
menekankan rasio dalam pengambilan keputusan. Yang kedua
berdasarkan fiqh pada hadits walaupun lemah dan menolak
penggunaan rasio. Mazhab-mazhab fiqh terletak di antara kedua
ekstrim itu. Yang paling dekat dengan ahl al-ra’y adalah
madzhab Hanafi; dan yang paling dekat dengan ahl al-hadits
adalah mazhab Hanbali.
Imam Ahmad ibn Hanbal, yang mengumpulkan ribuan hadits dalam
musnadnya, memang lebih terkenal sebagai ahli hadits dari pada
ahli fiqh. Ibn Qutaybah memasukkan Ahmad di antara muhadditsin
dan Ibn Jarir al-Thabari menolak Ahmad sebagai ahli fiqh.
Semuanya terjadi karena Ahmad mendasarkan mazhabnya pada
hadits Rasulullah saw (meski lemah), fatwa para sahabat, dan
menolak qiyas kecuali dalam keadaan terpaksa. Jadi fiqhnya
selalu merujuk pada nash-nash al-Qur’an atau hadits.
Karena itu, tugas ahli fiqh hanyalah mencari nash yang
relevan. Pada Ibn Hazm, dan terutama sekali pada Daud
al-Zhahiri, kesetiaan pada teks sangat ekstrem. Mereka menolak
ta’wil dan menerima hadits secara harfiyah. Ibn Taymiyah
memperkuat gerakan anti rasionalisme ini dengan menolak setiap
penggunaan logika dalam khazanah ilmu-ilmu Islam dan sekaligus
menolak praktek-praktek yang tidak ada dasarnya dalam teks
al-Qur’an dan hadits. The Encyclopedia of Islam menyebut Ibn
Taymiyah sebagai the bitter enemy of innovations.
Paham Ibn Taymiyah dihidupkan kembali oleh Muhammad ibn Abd
al-Wahab lima abad kemudian. Seperti Ibn Taymiyah, ia mencela
kaum mutakallim, filsuf dan sufi. Dalam kalimat W.C. Smith,
Muhammad ibn Abd al-Wahab menolak “the corruption and laxity
of the contemporary decline, the introvert warmth and other
wordly pety of the mystic way, …the alien intellectualism
not only of philosophy but also theology” (Smith, 1968:42).
Raja Malik ibn Abd al-Aziz, ketika menyampaikan khutbahnya di
Makkah tahun 1355, berkata: “Madzhab kami mengikuti dalil,
bila ada; bila tidak ada, dan yang ada hanya ijtihad, kami
mengikuti ijtihad Ahmad ibn Hanbal: (Mughniyah, 1987:95).
Paham ini, yang kemudian menjadi paham resmi Arab Saudi,
mempengaruhi banyak aliran pembaharuan di seluruh dunia.
Mereka melihat masa Salaf sebagai model, dan kembali kepada
al-Qur’an dan hadits sebagai satu-satunya jalan untuk
memecahkan segala persoalan Islam.

KEGAGALAN SKRIPTURALISME
Keyakinan bahwa kesetiaan pada teks al-Qur’an dan hadits cukup
untuk memecahkan persoalan ternyata hanya simplikasi. Pada
saat yang sama, menurut Fazlur Rahman, “since the leaders of
these movements were interested in negating some of the
influences of the medieval school of islamic thought and law,
they inevitably took a negative attitude toward the
intellectual and spiritual developments that had taken place
in the intervening centuries” (Rahman, 1981:26).
Ada beberara kegagalan skripturalisme. Pertama, dalam aqidah.
Karena skriptualisme menerima teks-teks al-Qur’an dan hadits
dengan apa adanya, mereka menetapkan keharusan percaya bahwa
Ia turun ke langit dunia, mengobrol dengan ahli surga, duduk
di atas ‘arasy, tertawa dan sebagainya. Dengan menolak ta’wil,
mereka telah mematikan telaah filosofis. Filsafat bukan saja
dijauhi, tetapi juga dikafirkan. Wacana teologi menjadi
gersang.
Kedua, skriptualisme menyingkirkan pengalaman mistikal dari
kehidupan beragama. Kaum sufi, yang mencoba menangkap makna
batiniyah dari nash-nash, dianggap sesat. Praktek-praktek
keagamaan yang tidak secara spesifik ditunjukkan dalam nash,
dianggap bid’ah. Selanjutnya, yang disebut bid’ah adalah apa
saja yang tidak merujuk pada dalil yang telah dipilihnya.
Qunut pada shalat Subuh, membaca dzikir bersama, membaca
shalawat kepada Nabi saw, mengucapkan doa yang tidak ma’tsur,
–dan di Indonesia– menyelenggarakan upacara tahlilan dan
marhabanan dianggap tidak mengikuti sunnah Rasulullah saw
(dalam bahasa orang awam, tidak ada contohnya dari Nabi saw).
Padahal, saya kira, bukan tidak mengikuti sunnah, tetapi tidak
berdasarkan dalil yang disetujui mereka. Tidak ada maksud saya
–dan bukan tempatnya di sini– untuk merinci dalil-dalil
orang-orang yang mempraktekkan upacara-upacara agama tersebut.
Dengan menyingkirkan mistisisme, kaum skripturalis telah
menghilangkan pengalaman beragama (religious experiences) yang
emosional. Para pengikutnya tidak lagi “menikmati” agama dan
sebagian mengalami ketidakpuasan rohaniah.
Ketiga, skripturalisme, karena menolak wacana intelektual,
mudah mendorong orang ke arah fanatisme. Madzhab yang lain
akan dianggap menyimpang dari al-Qur’an dan sunnah. Dalam
skala makroskopis, paham ini melahirkan orang-orang yang
wawasannya sempit, tapi merasa faqih. Pada tahap
institusional, orang-orang awam tidak merasa perlu lagi dengan
kehadiran fuqaha. Bukankah segala persoalan dapat diselesaikan
dengan merujuk pada dalil-dalil al-Qur’an dan hadits.
Muncullah para “mujtahid” yang tidak berkualifikasi. Mereka
membentuk kelompok-kelompok, yang memuncak pada fragmentasi
umat.
Keempat, skripturalisme terbukti tidak menjawab berbagai
masalah kontemporer. Salah satu contoh adalah perbincangan
tentang zakat profesi atau pekerjaan-pekerjaan yang tidak
diwajibkan zakat padanya. Sebagian di antara mereka akhirnya
menggunakan qiyas juga, tetapi tanpa aturan yang konsisten.
Sebagian kaum modernis di Indonesia, yang menolak qiyas,
menggunakannya dalam menjelaskan zakat profesi. Ada yang
mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian; zakat emas
dan perak; dan zakat perdagangan.
Terakhir, kelima, skripturalisme tidak dapat menyelesaikan
kemusykilan-kemusykilan yang terjadi ketika melakukan istidlal
(memberikan dalil-dalil hukum) dari nash-nash. Al-masail
al-lafzhiyah –seperti makna lughawi, makna ‘urfi (kebiasaan),
makna haqiqi dan majazi, makna ‘am dan khash dan sebagainya;
mukhtalaf al-hadits; penentuan keshahihan hadits; qawaid ushul
al-fiqh dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan
penafsiran nash tidak mendapat perhatian.
Akibat kegagalan skripturalisme tersebut, orang tidak
memberikan solusi terhadap segala kemusykilan ini. Tulisan ini
hanya ingin mengingatkan kita akan pentingnya penilaian kritis
terhadap pendekatan pada fiqh. Kritik terhadap skripturalisme
sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela liberalisme. Pada
gilirannya, liberalisme juga sangat rentan terhadap berbagai
problem. Melalui studi kritis terhadap keduanya, kita dapat
merumuskan kaidah-kaidah baru dalam menegakkan fiqh yang lebih
relevan dan signifikan.

6. FIQH KAUM PEMBARU: MADZHAB LIBERALISME
Seperti telah disebut di atas, para pembaru mencoba mendobrak
stagnasi dengan melakukan salah satu di antara dua pilihan.
Mereka kembali secara ketat pada teks-teks al-Qur’an dan
al-hadits atau mereka berusaha menemukan ruh atau semangat
dari ajaran al-Qur’an dan al-hadits. Yang pertama kita sebut
skripturalisme (sudah dibicarakan) dan kedua, karena berusaha
secara bebas untuk menggunakan penalaran, kita sebut
liberalisme. Walaupun saya tidak akan membahas pokok-pokok
pikiran kaum liberal Islam seperti yang dipaparkan Leonard
Binder, saya akan mengutip deskripsinya tentang kaum liberalis
Islam.
For Islamic liberals, the language of the Qur’an is coordinate
with the essence of revelation, but the content and the
meaning of revelation is not essentially verbal. Since the
words of the Qur’an do not exhaust the meaning of revelation,
there is a need for an effort at understanding which is based
on the words, but which goes beyond them, seeking that which
is represented or revealed by language.
Jadi ciri khas kaum liberalis ialah upaya untuk menangkap
esensi wahyu; makna wahyu di luar arti lahiriah dari
kata-kata. Mereka bersedia meninggalkan makna lahir dari teks
untuk menemakan makna dalam dari konteks. Di bawah ini saya
akan mengulangi lagi akar pemikiran kaum liberalis dengan
mengutip apa yang pernah saya tulis pada pengantar buku Islam
dan tantangan Modernitas. Setelah itu, secara khusus kita akan
mengambil contoh pemikiran Ibrahim Hosen dan Fazlur Rahman
untuk menggambarkan pokok-pokok pemikiran kaum liberalis.
Seperti biasa, pada akhirnya saya akan mengajukan kritik.

SEJARAH MADZHAB LIBERALISME
Fiqh kaum liberal dapat dilacak pada madzhab ahl al-ra’y di
kalangan para sahabat Nabi. Fiqh al-ra’y sebenarnya sejajar
dengan tafsir al-Qur’an bi al-dirayat, tapi kaum liberalis
modern justru mengambil inspirasi dari tafsir bi al-ma’tsur.
Karena itu, sesudah mengutip sejarah ijtihad bi al-ra’y saya
akan mengutip juga perkembangan tafsir bi al-ma’tsur.

TRADISI IJTIHAD BI ‘L-RA’Y
Ketika [brahim Hosen berbicara tentang ta’aqquli dan
ta’abbudi, dan ketika Rahman mengulas pemikiran modernis dan
fundamentalis, keduanya menggaungkan kembali perbedaan
pendapat para sahabat tentang sunnah Rasullah saw. Apakah Nabi
Muhammad saw berijtihad? Banyak para sahabat membagi
perintah-perintah Nabi ke dalam dua bagian. Yaitu yang
berhubungan dengan ibadah ritual (kelak disebut huquq Allah)
dan yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial (kelak
disebut huquq al-’ibad). Mereka menerima yang pertama secara
ta’abbudi, dan yang kedua secara ta’aqquli. Pada bagian kedua,
Rasulullah saw sering berijtihad; ijtihadnya boleh jadi benar
atau salah. Karena itu, di sini para sahabat tidak merasa
terikat dengan sunnah. Bukankah Nabi mengatakan, “Kamu lebih
tahu urusan duniamu?”
Bukhari meriwayatkan peristiwa yang oleh Ibn ‘Abbas disebut
sebagai “tragedi hari Kamis”. Dalam keadaan sakit, Nabi
menyuruh sahabatnya mengambil dawat dan pena untuk menuliskan
wasiatnya. “Dengan ini kalian tidak akan sesat selamanya”‘
kata Nabi. Umar berkata, “Nabi saw dalam keadaan sakit parah.
Di tangan kalian ada kitab Allah. Cukuplah buat kita kitab
Allah itu.” Tampaknya Umar berpendapat bahwa kondisi sakit
Nabi melahirkan ijtihad Nabi yang tidak perlu diikuti.
Para ahli hadits meriwayatkan berbagai peristiwa ketika
ijtihad Nabi berbeda dengan ijtihad ‘Umar; dan Allah
membenarkan ijtihad ‘Umar. Nabi menginginkan agar para tawanan
Badar dibebaskan dengan tebusan, sedangkan ‘Umar mengusulkan
untuk membunuh mereka. Nabi hendak menshalatkan ‘Abdullah ibn
Ubayy, tapi Umar melarangnya. Dalam kasus-kasus ini, wahyu
selalu turun membenarkan Umar. Diriwayatkan bahwa Nabi saw,
disertai Abu Bakar pernah menangis terisak-isak menyesali
kekeliruan ijtihadnya. ‘Umar bertanya: “Apa yang menyebabkan
Anda dan sahabat Anda menangis? Kalau ada sesuatu yang patut
aku tangisi, aku akan menangis. Kalau tidak ada tangisan, aku
akan berupaya menangis seperti tangisan Anda.” Nabi kemudian
menceritakan tentang wahyu yang membenarkan Umar dan
menyalahkan Nabi. “Seandainya azab turun,” kata Nabi, “tidak
akan ada yang selamat kecuali Umar ibn Khaththab.”
Hadits-hadits di atas –walaupun keabsahannya harus kita
teliti secara kritis– merupakan justifikasi terhadap peluang
menggunakan ra’yu dalam menghadapi sunnah (yang berasal dari
Ijtihad Nabi). Ketika Abu Bakar dan Umar meninggalkan pasukan
Usamah, padahal Nabi memerintahkan mereka untuk berada di
dalamnya, Ibn Abi al-Hadid membenarkan kedua sahabat itu.
“Sesungguhnya Nabi saw mengirimkan pasukan itu berdasarkan
Ijtihad dan bukan berdasarkan wahyu yang diharamkan
membantahnya.”
Karena Umar adalah primadona dari kelompok pertama para
sahabat ini, kemudian kita pun menyebut madzhab pemikiran
mereka sebagai madzhab Umari. Sebagai lawan mereka –dalam
pemikiran– adalah madzhab Alawi, yang terdiri atas
sahabat-sahabat yang berkumpul di sekitar Ali ibn Abi Thalib.
Mereka tidak membedakan huquq al-’ibad dan huquq Allah dalam
instruksi-instruksi Nabi yang bernilai tasyri’. Tidak ada
ijtihad Nabi. “Ia tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya,
tetapi ia hanya berbicara berdasarkan wahyu yang diturunkan
kepadanya.” (QS 53:3).
Ketika Umar dan Utsman –pada zamannya masing-masing melarang
haji tamattu” Ali menentangnya. Ibn Katsir, dalam kitab
tarikhnya, menulis: “Para sahabat r.a. sangat takut kepada
Umar dan tidak menemukan orang yang melawan pendapat Umar
kecuali Ali ibn Abi Thalib, yang berkata: “Barang siapa
melakukan tamattu’, ia sudah menjalankan kitab Allah dan
sunnah NabiNya.” Ketika Ali menegur Utsman yang melarang
tamattu’, Utsman berkata: “Aku tidak melarangnya. Ini hanyalah
ra’yu yang aku pegang. Kalau orang mau, silakan ambil
ra’yu-ku. Kalau tidak, tinggalkan saja.”
Umar juga diriwayatkan berkata: “Inilah ra’yu Umar. Kalau
benar, dari Allah dan kalau salah, dari Umar.” Abdullah ibn
Mas’ud berkata seperti itu juga: “Aku mengatakan ini dengan
ra’yuku. Bila benar, ia berasal dari Allah dan bila salah ia
berasal dari setan. Allah dan Rasul-Nya terlepas darinya.”
Para tabi’in dari Kufah kelak berguru kepada Abdullah ibn
Mas’ud, sehingga lahirlah mazhab Kufah yang menitik-beratkan
Fiqh al-ra’y. Sementera itu, Ali tetap tinggal di Madinah,
sebelum ia memindahkan ibu kota ke Kufah pada masa
kekhalifahannya. Ketika Utsman melarang menggabungkan haji
dengan ‘umrah, ia menegur Ali: “Kau lakukan itu padahal aku
melarangnya?” Ali menjawab: “Aku tidak akan meninggalkan
sunnah Rasulullah saw karena (ra’yu) salah seorang manusia.”
Kita pun kemudian mengetahui bahwa di Madinah, daerah Hijaz,
berkembanglah madzhab Hijaz, yang menekankan Fiqh al-atsar.
Fiqh al-ra’y makin diperteguh dengan kecenderungan umum
madzhab Umari untuk mengabaikan penulisan hadits. ‘Aisyah
melaporkan: “Ayahku telah mengumpulkan 500 hadits Nabi saw.
Pada suatu pagi, ia datang menemuiku dan berkata, “ambilkan
hadits-hadits yang ada padamu.” Lalu saya berikan kepadanya.
Ia membakarnya dan berkata: “Saya khawatir, saya mati, dan
meninggalkan hadits-hadits itu padamu.” Abu Bakar juga pernah
mengumpulkan orang setelah Nabi wafat, dan berkata: “Kalian
meriwayatkan dari Rasulullah saw. hadits-hadits yang kalian
perselisihkan. Nanti, manusia sesudahmu akan lebih daripada
itu. Janganlah meriwayatkan sesuatu pun dari Rasulullah saw.
Bila ada yang bertanya kepada kalian, jawablah: “Di antara
Anda dan kami ada Kitab Allah, halalkan yang halal dan
haramkan yang haram.”. Walaupun begitu, periwayatan hadits
tetap berlangsung sampai zaman Umar. Umar menyuruh
mengumpulkan hadits-hadits itu dan memerintahkan untuk
membakarnya. Alasan Umar: “Aku khawatir hadits-hadits itu akan
memalingkan orang dari Kitab Allah.”
Tradisi pengabaian penulisan hadits –dan sekaligus
pembakarannya– dilanjutkan oleh tabi’in. Rasul Ja’farian
menyebutkan nama-nama ulama tabi’in yang melarang penulisan
hadits, yaitu, Abu Burdah, Ashim, Abu Sa’id, Sa’id ibn Jubair,
Ibrahim al-Nakha’i, dan lain-lain. Al-Hasan ibn Abi al-Hasan
–menjelang kematiannya– memerintahkan pembantunya untuk
menyalakan api pembakaran. Ke dalamnya, ia lemparkan semua
tulisan, kecuali satu buku saja. Akibatnya, khusus di kalangan
ahl al-Sunnah, penulisan hadits terlambat sekitar dua abad.
Konon, yang pertama kali melakukan tadwin hadits adalah Ibn
Syihab al-Zahri atas perintah Umar ibn Abd al-Aziz.
Sejarah singkat madzhab ‘Umari ini menunjukkan tiga ciri
khasnya: (1) madzhab ini memusatkan perhatian utamanya –dan
seringkali dengan mengabaikan yang lain– kepada al-Qur’an.
“Hasbuna Kitab Allah,” kata Umar; (2) madzhab ini mengutamakan
ra’yu ketimbang al-Sunnah; dan (3) madzhab ini menekankan
aspek maqashid syar’iyyah atau kemaslahatan umat untuk
menetapkan hukum, dan kurang terikat pada zhawahir (makna
tekstual) dan nash. Untuk menangkis tuduhan bahwa Umar sering
meninggalkan nash-nash al-Qur’an secara sengaja, Abu Zahrah
menulis: “Tidak seorang sahabat pun meninggalkan nash demi
ra’yunya atau kemaslahatan yang dipandangnya. Sesungguhnya
maslahat yang difatwakan sahabat tidak bertentangan dengan
nash, tetapi mengaplikasikan nash secara baik, berdasarkan
pemahaman yang benar akan maksud-maksud syara’.
Di kalangan madzhab-madzhab ahl al-Sunnah, fiqh al-ra’y dan
fiqh al-atsar ini tidak terpilah tegas, tetapi membentuk
kontinum. Madzhab-madzhab itu berbeda dalam intensitas
penggunaan nash dan ra’yu. Ali Yafie melukiskannya sebagai
lingkaran-lingkaran: “Lingkaran paling dalam (pertama)
merupakan kelompok yang paling sedikit menggunakan ra’yunya.
Prinsip mereka dalam pengambilan hukum, tak memperkenankan
penggunaan akal. Kaidah mereka: la ra’yu fi al-din (tidak ada
tempat rasio dalam agama). Madzhab yang menggunakan kaidah
semacam ini disebut madzhab al-Zhahiri, karena diprakarsai
Dawud al-Zhahiri yang dilanjutkan Ibn Hazm dalam kitabnya
al-Muhalla. Disadari atau tidak, madzhab ini sebenarnya juga
menggunakan rasio. Hanya intensitas penggunaannya sangat
sedikit.
“Lingkaran yang kedua, merupakan madzhab yang menggunakan
rasio agak lebih intens daripada kelompok pertama tadi. Mazhab
ini disebut mazhab Hanbali yang dipelopori Imam Ahmad ibn
Hanbal. Doktrin mereka menyatakan bahwa hadits dha’if harus
lebih diprioritaskan daripada akal. Madzhab ini banyak
dilaksanakan di Saudi Arabia.
“Lingkaran ketiga, kelompok yang disebut madzhab Maliki yang
dipelopori Imam Malik. Doktrinnya menyatakan bahwa rasio harus
diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan. Kaidah mereka
adalah al-Mashalih al-Mursalah.
“Lingkaran keempat adalah madzhab Syafi’i yang dipelopori Imam
Syafi’i. Dalam proses pengambilan hukum, madzhab ini lebih
banyak menggunakan analogi atau qiyas.
“Sedangkan kelompok kelima, terakhir, adalah mazhab yang
frekuensi penggunaan akalnya lebih banyak. Akal lebih
dipentingkan dalam proses pengambilan hukum daripada hadits.
Madzhab ini dipelopori oleh Imam Hanafi.”
Untuk memberikan contoh madzhab yang paling “Umari”, marilah
kita melihat madzhab Hanafi. Ketika Raqabah ibn Musqilah
ditanya tentang Abu Hanifah, ia menjawab: “Abu Hanifah adalah
orang paling pandai tentang apa yang sudah terjadi.” Yang
dimaksud dengan apa yang sudah terjadi adalah hadits-hadits
Nabi. Apa yang belum terjadi adalah ketetapan hukum
berdasarkan qiyas.
Abu Hanifah memang hanya sedikit meriwayatkan hadits. Kata Ibn
Khaldun, hal itu dikarenakan Abu Hanifah sangat memperketat
syarat-syarat penerimaan hadits. Kata Dr. Ahmad Amin,
kurangnya hadits pada Abu Hanifah menunjukkan bahwa ia tidak
merasa puas dengan menyampaikan hadits saja; ia menguji hadits
dengan pertimbangan psikologis dan konteks sosial. Abu Hanifah
pernah dilaporkan berkata: “Seandainya Rasulullah berjumpa
denganku, ia akan mengambil banyak pendapatku. Bukankah agama
itu ra’yu yang baik?” Barangkali ini penegasannya tentang
keharusan nash tunduk pada analisis rasional. Simaklah riwayat
yang diceritakan Dr. Ali Hasan Abd al-Qadir: “Musuh-musuh Abu
Hanifah menuduhnya tidak memberikan perhatian besar pada
hadits. Ia memprioritaskan ra’yu dalam mengeluarkan keputusan
fiqh. Ia menolak banyak hadits demi ra’yu. Abu Shalih al-Fura
menuturkan, “aku mendengar Yusuf ibn Asbath berkata, Abu
Hanifah menolak 400 atau lebih hadits Nabi saw. … Kataku:
“Berikan sebagian contohnya.” Katanya: “Rasulullah berkata,
kuda mendapat dua bagian, prajurit mendapat satu bagian. Kata
Abu Hanifah: “Aku tidak akan menjadikan bagian binatang lebih
banyak daripada bagian seorang Mukmin.” Rasulullah melakukan
isy’ar (melukai punggung unta) sebelum menyembelih hewan
kurbannya. Kata Abu Hanifah: “Isy’ar adalah penganiayaan.”
Nabi bersabda: “Dua jual beli dengan khiyar sebelum keduanya
berpisah.” Kata Abu Hanifah: “Bila jual beli wajib, tidak ada
khiyar.” Nabi mengundi istri-istrinya kalau mau bepergian.
Kata Abu Hanifah: “Undian itu judi.” Kata mereka: “Pada zaman
Abu Hanifah, ada empat orang sahabat. Abu Hanifah tidak
tertarik untuk menemui mereka.” Ibn Abu Syaibah dalam bukunya,
pada bab khusus, menyebut hadist-hadist yang ditolak Abu
Hanifah dan mencapai 150 hadits.
Salah satu murid terkemuka dari Abu Hanifah adalah Abu Yusuf.
Ia memegang jabatan qadhi pada masa-masa kekhalifahan
‘Abbasiyyah, antara lain pada masa al-Mahdi, al-Hadi dan
al-Rasyid. Lewat tangan-tangan kekuasaan, madzhab Hanafi
tersebar ke seluruh kekuasaan Islam. Daerah-daerah madzhab
Hanafi antara lain Mesir dan Pakistan. Di Mesir, Ibrahim Hosen
mereguk ilmunya. Di Pakistan, Fazlur Rahman dilahirkan. Tidak
heran kalau Fazlur Rahman sering –bahkan paling sering–
menyebut Abu Yusuf, ketika merumuskan metodologi ijtihadnya.
Ia memuji Abu Yusuf karena memberikan penafsiran yang
situasional kepada hadits yang “berdiri sendiri”, menerima
hadits dengan sikap kritis, dan menetapkan “sunnah yang
dikenal baik” sebagai kriteria terhadap “semangat dan sikap
kolektif” dari hadits.
Kita tidak akan membicarakan pengaruh Abu Yusuf terhadap
metodologi Rahman (dan juga Hosen). Uraian di atas diberikan
untuk menjelaskan dasar-dasar pemikiran Rahman pada
perkembangan pemikiran Islam klasik. Cukuplah dikatakan bahwa
dengan mempelajari fiqh-fiqh klasik, kita akan terkejut
menemukan bahwa klaim orisinalitas pembaruan Rahman –yang
berulangkali disebut Taufik Adnan Amal dalam bukunya, Tafsir
Kontekstual– hanya dapat diterima oleh orang yang tidak
mempunyai dasar dalam pemikiran Islam tradisional. Rahman,
bagi madzhab Hanafi, tidak berbeda dari Ibn Taimiyah bagi
madzhab Hanbali. (Untuk menggembirakan kita semua kedua-duanya
berhak disebut Syaikh al-Islam). Karena itu, kritik terhadap
Rahman juga dapat dilacak pada kritik fuqaha al-atsar terhadap
fuqaha al-ra’y; sebagaimana kritik Rahman terhadap hadits
(sunnah) dapat ditelusuri pada kritik fuqaha al-ra’y terhadap
fuqaha al-atsar.
Kita akan membicarakan kritik pembaruan Rahman di akhir
tulisan ini. Sebelum sampai ke situ, ada baiknya kita juga
meninjau perkembangan metodologi penafsiran al-Qur’an, sebagai
latar belakang teoretis dalam memahami penafsiran al-Qur’an
yang dirumuskan oleh Rahman.

TAFSIR BI ‘L-RIWAYAT DAN TAFSIR BI ‘L-DIRAYAT
Fiqh al-atsar mempunyai tandingan dalam tafsir bi al-riwayat,
sebagaimana fiqh al-ra’y mempunyai persamaannya dalam tafsir
bi ‘l-dirayat. Tafsir –menurut Muhammad Ali al-Shabuni–
adalah ilmu untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada
Nabi-Nya, Muhammad saw, dan menjelaskan maknanya serta
menggali hukum-hukum dari hikmahnya. Bila tafsir itu diperoleh
dengan menukil penjelasan dari al-Qur’an lagi, al-Hadits,
pendapat sahabat dan tabi’in, maka tafsir itu disebut tafsir
bi ‘l-riwayat atau tafsir bi ‘l-ma’tsur. Bila tafsir itu
berpijak pada ijtihad mufasir –dengan mengerahkan kemampuan
nalar dan/atau intuisinya– maka kita menyebutnya tafsir bi
al-dirayah atau tafsir bi ‘l-ra’y.
Di antara kedua jenis tafsir itu, para mufasir menganggap
taisir bi ‘l-riwayat adalah yang paling dapat dipercaya. Di
antara jenis-jenis tafsir bi ‘l-riwayat, tafsir al-Qur’an
dengan al-Qur’an adalah yang paling baik. Sesudah itu, baru
tafsir al-Qur’an dengan al-Sunnah (misalnya, lewat asbab
al-nuzul). Rupanya, dari sinilah Rahman mengajak kita untuk
menafsirkan al-Qur’an dengan melihat al-Qur’an secara
keseluruhan dan dengan melihat “sebab-sebab pewahyuan”.
Anehnya, tafsir bi ‘l-riwayat seperti ini diambil Rahman
ketika berbicara tentang hukum Islam dan ditinggalkan Rahman
ketika membahas aspek teologis dan eskatologis ajaran Islam.
Untuk yang terakhir ini, Rahman hampir sepenuhnya berpijak
pada tafsir bi ‘l-dirayat. Untuk mengapresiasi metode
penafsiran Rahman, kemusykilan kedua penafsiran ini akan kita
lihat.
Pertama kali, kita akan melihat problematik al-Qur’an yufassir
ba’dhuhu bad’dhan, yang menjadi pijakan Rahman. Selanjutnya,
kita akan melacak kemusykilan asbab al-nuzul, yang –menurut
Rahman– dapat mengungkapkan latar belakang situasional,
membedakan ketetapan legal dari sasaran dan tujuan al-Qur’an,
serta menggali prinsip-prinsip universal ajaran Islam.
Akhirnya, kita akan menelusuri akar-akar penafsiran Rahman
pada tafsir bi ‘l-dirayat.
Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an mempunyai basis dalam
petunjuk-petunjuk al-Qur’an sendiri (QS 11:1; 7:52; 2:185) dan
al-Sunnah. Nabi saw. menafsirkan kata zhulm dalam, wa lam
yalbisu imanabum bi zhulm (QS 6:82) sebagai syirk berdasarkan
ayat inn al-syirk la-zhulm ‘azhim (QS 31:13). Tradisi Nabi ini
dilanjutkan oleh para sahabat. Ibn Abbas menafsirkan dua
kematian dan dua kehidupan dalam surah Ghafir ayat 11 dengan
merujuk kepada surah al-Baqarah ayat 28. Semula manusia mati,
ketika berada dalam tulang sulbi orang tua mereka. Kemudian
Allah menghidupkan mereka di dunia. Setelah itu Allah
mematikan mereka dan menghidupkan mereka kembali pada Hari
Kiamat. Ali ibn Abi Thalib menyimpulkan bahwa waktu minimal
kehamilan adalah enam bulan, dari penafsiran QS 31:14 dengan
QS 46:15.
Banyak kitab tafsir mengaku menggunakan metoda ini. Abd
al-Karim al-Khathib al-Mishri bahkan menamai kitab tafsirnya
al-Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an. Bila kita teliti
kitab-kitab itu, kita akan menemukan prosedur penafsiran
Qur’ani yang bermacam-macam. Paling tidak, kita dapat
membaginya ke dalam kelompok: tafsir Qur’ani yang murattab
(berdasarkan urutan ayat dari al-Fatihah sampai al-Nas) dan
tafsir Qur’ani maudhu’i (berdasarkan tema-tema atau
topik-topik tertentu)
Untuk mengetahui prosedur penafsiran qurani yang murattab,
kita uraikan jalan yang ditempuh oleh al-Thabathaba’i, dalam
Tafsir al-Mizan.
Pertama, “maka ayat-ayat al-Qur’an dilihat dari konteks
ayat-ayat itu” (siyaq al-ayat). Yang dimaksud dengan konteks
adalah “semua yang mengungkapkan ( makna) lafadz yang ingin
kita pahami dari petunjuk-petunjuk yang lain, baik yang
bersifat lafdziyah, seperti kata-kata yang membentuk kalimat
tunggal yang berkaitan dengan lafadz yang ingin kita pahami,
atau bersifat haliyah, seperti kasus-kasus atau fenomena yang
menjadi petunjuk bagi topik yang dibicarakan.” Misalnya, ayat
“Dan Allah menciptakan kamu serta apa yang kamu perbuat” (QS
37:96). Tanpa melihat konteks ayat, kita akan terjatuh ke
dalam paham Jabbariyah. Ayat ini terdapat dalam kisah ucapan
Ibrahim kepada para penyembah berhala. Apakah kamu menyembah
barang yang kamu pahat, (QS 37:95), padahal Allah menciptakan
kamu serta apa yang kamu perbuat (QS 37:96). Jadi jelas. Bahwa
“apa yang kamu perbuat” adalah berhala-berhala itu.
Kedua, “ayat-ayat lain dipergunakan untuk memahami ayat-ayat
yang mujmal atau sama, mempermudah makna yang sulit, atau
menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan dalam
al-Qur’an.” Yang dimaksud dengan “khalifah” dalam surah
al-Baqarah ayat 30 tidak terbatas pada Adam, tetapi meliputi
anak-cucunya, dengan melihat surah al-A’raf ayat 69, Yunus
ayat 14, dan al-Naml ayat 62. Yang dimaksud dengan kata
al-mustaqar dalam surah al-Qiyamah ayat 12 adalah “tempat
kembali” dengan melihat surah al-Insyiqaq ayat 6, al-’Alaq
ayat 8, al-Najm ayat 42, dan al-Qhashash ayat 88.
Tafsir maudhu’i baru muncul belakangan. Perbedaan antara
tafsir maudhu’i dengan tafsir murattab mirip dengan perbedaan
antara thesaurus dengan dictionary. Tafsir maudhu’i dimulai
dari topik, kemudian dikumpulkan ayat-ayat yang berkenaan
dengan topik tersebut. Pengantar pada tafsir ini –sepanjang
pengetahuan saya dari kalangan kaum Muslim– ditulis oleh
Muhammad al-Baqir al-Abthahi. 26. Ja’far Subhani menulis
serial mafahim al-Qur’an (sampai sekarang sudah selesai lima
jilid), dan menjelaskan metodenya sebagai berikut: “… (Kita)
kumpulkan setiap ayat yang berkaitan dengan pengertian
tertentu dan topik tertentu, dalam satu tempat. Ayat-ayat itu
kemudian disusun dan dirangkai begitu rupa sehingga dihasilkan
kesatuan pandangan yang lengkap dan kesatuan pemikiran yang
menghimpun dan meliputi seluruh ayat tersebut. Kadang-kadang
ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tertentu tersebar pada
surah-surah yang berbeda atau pada tempat-tempat yang berbeda
dalam surah yang sama. Al-Qur’an menunjukkan dalam setiap
surah atau setiap tempat, salah satu aspek dari topik tertentu
itu.
“… Kita memperoleh manfaat lain dari pengumpulan ayat-ayat
yang berkaitan dengan topik tertentu dengan tetap berpijak
pada pandangan Qur’ani yang utuh tentang topik tersebut.
Seringkali kita mengalami kesulitan untuk memahami ayat atau
mengetahui tujuannya karena jarak kita yang jauh dari zaman
wahyu, dan karena kita tidak mengetahui konteks turunnya ayat
itu atau petunjuk-petunjuk situasional yang berlaku pada
masyarakat Islam saat itu. Mengumpulkan ayat-ayat dalam
hubungannya satu sama lain, dapat membantu kita dalam
menghilangkan kekaburan dan ketidakjelasan.”

POKOK-POKOK PEMIKIRAN MADZHAB LIBERALISME
Pendapat Prof. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia ini pernah mengajukan saran-saran bagi pembaruan
pemikiran keagamaan di Indonesia. Ia mengusulkan enam hal.
Pertama, kita harus meninggalkan pemahaman harfiah terhadap
al-Qur’an dan menggantinya dengan pemahaman berdasarkan
semangat dan jiwa al-Qur’an. Kedua, kita harus mengambil
sunnah Rasul dari segi jiwanya untuk tasyri al-ahkam dan
memberikan keleluasaan sepenuhnya untuk mengembangkan teknik
dan pelaksanaan masalah-masalah keduniawian. Ketiga, kita
harus mengganti pendekatan ta’abbudi terhadap nash-nash dengan
pendekatan ta’aqquli. Keempat, kita harus melepaskan diri dari
masalikul’illah gaya lama dan mengembangkan perumusan ‘illat
hukum yang baru. Kelima, kita harus menggeser perhatian dari
masalah pidana yang ditetapkan oleh nash kepada tujuan
pemidanaan. Terakhir, kita harus mendukung hak pemerintah
untuk mentakhshish umumnya nash dan membatasi muthlaqnya.
TAFSIR KONTEKSTUAL FAZLUR RAHMAN
Rahman dalam Tema Pokok al-Qur’an memperinci metodologi
penafsiran al-Qur’an dalam tiga langkah. Pertama, pendekatan
historis untuk menemukan makna teks; kedua, pembedaan antara
ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan al-Qur’an; ketiga,
pemahaman sasaran al-Qur’an dengan memperhatikan latar
belakang sosiologisnya. Dalam perkembangan pemikirannya yang
kemudian, ketiga langkah ini merupakan langkah pertama dalam
perumusan prinsip-prinsip hukum Islam; yaitu, bergerak dari
yang khusus kepada yang umum. Dari ketiga langkah tersebut di
atas, kita harus sanggup menyimpulkan prinsip-prinsip umum
ajaran al-Qur’an. Nanti, prinsip-prinsip umum ini kita
aplikasikan untuk memecahkan masalah-masalah konkret dewasa
ini. Secara operasional, Amal dan Pangabean memperincinya
dalam Tafsir Kontekstual al-Qur’an.

KRITIK PADA FIQH IBRAHIM HOSEN
Esensi dari pemikiran Hosen ialah jiwa atau semangat dari
al-Qur’an dan Sunnah. Kita tidak perlu terikat pada teks-teks
lahir al-Qur’an dan Sunnah. Kita tidak boleh menerima
teks-teks itu begitu saja (secara ta’abbudi). Kita harus
menggunakan akal (ta’aqquli). Pandangan ini menimbulkan
beberapa kemusykilan. Pertama, ketika kita meninggalkan makna
lahir teks dan mencari jiwa atau semangat teks, kita
meninggalkan makna obyektif yang sudah jelas dan memasuki
makna subyektif yang tidak jelas kriterianya. Makna lahiriah
dari teks, “Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya sampai
menutupi dada mereka” (QS. al-Nur: 31) jelas menunjukkan
perintah memakai kerudung sampai menutup dada. Sekarang kita
abaikan makna lahiriah ini. Kita harus mencari semangat atau
ruh perintah ini. Kata sebagian orang, yang dimaksud ialah
hendaknya wanita memelihara kesucian dirinya dengan menutup
diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Semangat ajaran
Islam itu kesucian diri, bukan menutupkan kerudung. Kata
“menutupkan kerudung” harus dipahami sebagai kata kiasan. Kata
sebagian orang, dahulu wanita-wanita Arab itu senang membuka
dadanya untuk merangsang kaum pria. Perintah ini harus
dipahami sebagai perintah untuk menahan diri dari
perbuatan-perbuatan yang mendorong orang ke arah pemuasaan
nafsu.
Kita masih dapat mengumpulkan pendapat-pendapat lain. Tetapi
yang menjadi persoalan ialah apakah berpegang pada semangat
al-Qur’an atau al-Sunnah itu berarti tidak usah setia lagi
pada makna lahiriahnya. Apakah perempuan tidak perlu memakai
kerudung bila ia sudah pandai menjaga diri tidak melakukan
tindakan yang “merangsang”? Kita memerlukan kriteria kapan
teks harus ditinggalkan demi makna yang lebih dalam dan kapan
makna yang lebih dalam itu harus diperlakukan sebagai
pengayaan makna lahiriah dan bukan pengabaiannya. Tanpa
kriteria ini kaum liberalis dapat membawa kita ke arah tadhyi
(pengabaian nash) dan tahrif (penyimpangan makna). Kita tidak
perlu mengeluarkan zakat bila pemerintah sudah melakukan
kebijakan pemerataan pendapatan dan memberikan santunan pada
fakir miskin. Bukan semangat dari ajaran zakat ialah
pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan? Ketika para
sahabat bersiap diri menghadapi perang di bulan Ramadlan,
Rasulullah menyuruh mereka berbuka. Apa semangat dari larangan
ini? Umat Islam sedang menghadapi tugas yang berat. Mereka
memerlukan tenaga dan kekuatan. Dalam situasi seperti itu
puasa boleh ditinggalkan. Sekarang, ketika kita memerlukan
tenaga untuk membangun, ketika kita harus meninggalkan
produktivitas, apakah kita juga harus meninggalkan puasa.
Kedua, berdasarkan pada ‘illat baru, hukum-hukum syari’at
dapat berubah. Misal, dengan mengganti ‘illat qashar pada
masyaqqah (kepayahan), qashar tidak lagi berlaku dalam
perjalanan tetapi dalam situasi apapun yang membuat orang
payah. Kita dapat menggashar shalat hanya karena kita baru
saja menyelenggarakan seminar yang menguras energi. Dengan
kebebasan mencari ‘illat baru, kepastian hukum menjadi kabur.
Dengan cara ini terbukalah peluang untuk memasukkan
pikiran-pikiran non-islami ke dalam struktur syari’at Islam.
Ketiga, dengan menetapkan pemerintah sebagai pentakhshish dan
pengtaqyid nash, fiqh akan lebih berfungsi sebagai pemberi
justifikasi daripada jurisprudensi. Fiqh menjadi alat status
quo dan bukan sebagai korektor. Dalam istilah sebagian orang,
Islam akan dipandang hanya sebagai suplemen dan bukan sebagai
alternatif. Saya yakin, pemikiran seperti ini tidak memerlukan
usaha yang sungguh yang menjadi makna ijtihad, karena
justifikasi tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.

KRITIK PADA FAZLUR RAHMAN
Metodologi Rahman –seperti telah disebutkan di atas–
bersandar sepenuhnya pada pendekatan historis untuk memperoleh
makna teks dari analisis latar sosiologis untuk memahami
sasaran al-Qur’an. Seperti dikatakan Subhani, karena jarak
kita yang jauh dari masa wahyu, sangat sukar kita memperoleh
gambaran utuh mengenai situasi sosial waktu itu. Dalam kalimat
Shadr, “terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial
ketika nash-nash itu dilahirkan dengan situasi sosial dewasa
ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan.”
Dari mana kita memperoleh informasi tentang situasi masa lalu
itu? Pertama, dari buku-buku tarikh, yang terbukti seringkali
ditulis oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan
historiografi, tetapi mempunyai motif-motif yang patut
dicurigai. Apalagi, seperti kata sebagian orang, Tuhan dapat
membuat sejarah, tetapi hanya ahli sejarah yang dapat mengubah
sejarah. Karena itu, seperti yang dilukiskan oleh Taufik dalam
buku ini (h. 224), para orientalis –lewat “analisis
sosiologi” mereka– dapat “membuktikan” pengaruh-pengaruh
Kristen dan Yahudi dalam al-Qur’an.
Kedua, kita merumuskan situasi di zaman Nabi itu dari asbab
al-nuzul, Rahman menyadari pentingnya asbab al-nuzul, tetapi
–pada saut yang sama– “menilai bahwa literatur asbab
al-nuzul itu seringkali sangat bertentangan dengan
kacau-balau” (h. 158). Apalagi –sebagai pelanjut mazhab
Umari– Rahman seringkali tidak ragu-ragu menanggap
hadist-hadist sebagai “fiksi yang dirumuskan belakangan saja”,
bila bertentangan dengan apa yang telah dipandangnya sebagai
prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur’an.
Lebih dari itu, sebagaimana yang telah banyak diketahui oleh
para peneliti ulum al-Qur’an, hadist-hadist tentang asbab
al-nuzul itu sangat sedikit. Di antara yang sedikit itu,
sebagian besar tidak tahan kritik –bahkan pada tingkat kritik
rawi atau sanad. Kemusykilan lainnya –yang terlalu panjang
bila diuraikan di sini– berkenaan dengan hubungan antara
dengan asbab al-nuzul. Kadang-kadang ayat yang sama dijelaskan
dengan asbab al-nuzul yang berlainan (ta’addud al-asbab wa
al-nazil wahid). Kadang-kadang sebab yang sama berkaitan
dengan ayat-ayat yang berlainan (ta’addud al-nazil wa ‘l-sabab
wahid).
Yang paling musykil –dan justru di sini Rahman berpijak–
adalah menetapkan apakah asbab al-nuzul itu hanya berkenaan
dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat
digeneralisasikan. Di kalangan para mufassirin terjadi
ikhtilaf apakah pelajaran (al-’ibrah) itu bersifat spesifik
(bi khushush al-sabab) atau umum (bi ‘umum al-lafazh).
Terdapat juga kemusykilan dalam menentukan apakah dalam
situasi tertentu, sebab itu khusus dan efek legalnya juga
khusus, sedang dalam situasi lain sebabnya khusus tetapi efek
legalnya umum. Pernah orang datang kepada Rasulullah saw.
meminta agar beliau memohon ampun kepada Allah untuk orang
itu. Kemudian turun surah al-Nisa ayat 64. Apakah meminta doa
kepada Rasul itu hanya berlaku pada waktu Rasul masih hidup
atau juga berlaku sekarang? Bukankah dari ayat ini dapat
disimpulkan suatu prinsip umum: Bila berbuat dosa, datanglah
kepada Rasulullah –baik dalam keadaan hidup atau mati dan
mintakan agar beliau memohonkan ampunan buat kita? Kaum
Wahhabi berpendapat bahwa tawassul itu syirik dan karena itu
menganggap ayat ini hanya berlaku ketika Rasulullah masih
hidup. Mereka berpegang pada sebab yang khusus (bi khushush
al-sabab). Di sini tampak bahwa prinsip umum yang diyakini
oleh mufasir menentukan spesifikasi atau generalisasi asbab
al-nuzul. Setiap orang akan setuju bahwa konteks historis
sangat diperlukan untuk memahami al-Qur’an. Setiap orang juga
tahu bahwa asbab al-nuzul dan tarikh sangat penting.
Kedua-duanya sangat dihajatkan terutama sekali untuk
menetapkan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai al-Qur’an
(“ideal moral” al-Qur’an) atau sebab berlakunya hukum (ratio
legis). Yang ingin diketahui orang ialah bagaimana Rahman
menarik kesimpulan dari ayat-ayat yang tidak ada asbab
al-nuzul-nya; juga, bagaimana kita dapat memastikan situasi
sosial dari tarikh yang dapat kita akses.
Marilah kita ambil kasus khamr. Menurut Rahman –juga
kebanyakan ulama– pengharaman khamr ini berlangsung secara
gradual. Khamr tidak diharamkan, ketika umat Islam belum
merupakan suatu masyarakat (society), tetapi hanya merupakan
komunitas informal. Setelah umat Islam terbentuk sebagai
masyarakat, khamr diharamkan. Apa prinsip umum yang dapat
ditarik dari latar sosiologis ini? Kata Rahman, “… ketika
manusia menjadi sebuah masyarakat (society), alkohol menjadi
membahayakan sehingga pengkonsumsiannya tidak diperkenankan.”
Inilah ratio legis haramnya alkohol. Kita tidak tahu apakah
Rahman setuju, jika kita menyimpulkan –dari kesimpulannya–
bahwa pengkonsumsian alkohol secara individual dalam komunitas
informal tidak haram.
Rahman menunjukkan evolusi “sikap” al-Qur’an terhadap khamr.
Mula-mula khamr dipandang sebagai rahmat Tuhan (QS 16:66-69),
tetapi akhirnya dianggap sebagai perbuatan setan (QS 5:90-91).
Dengan menggunakan metodologi Rahman, penelitian saya tentang
pengharaman menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Khamr sudah
diharamkan sejak awal kenabian, di Makkah. Tetapi karena
sahabat terus-menerus melakukan pelanggaran, maka pengharaman
ditegaskan berkali-kali –dari tahrim ‘am sampai tahrim khash
bi tasydid al-baligh (pengharaman khusus yang sangat keras).
Dalam urutan pengharaman khamr, para ahli tafsir sepakat
menyebutkan surah al-Maidah ayat 90 sebagai ayat yang
terakhir. Menurut Thabathaba’i, “Tidak turun ayat al-Ma’idah,
kecuali untuk mempertegas (keharaman khamr) bagi menusia,
karena mereka menganggap enteng larangan ilahi ini.”
Bahwa khamr telah diharamkan sejak awal bi’tsah dapat dilihat
pada peristiwa masuk-Islamnya A’sya ibn Qais. Ketika ia
bermaksud menyatakan Islamnya di depan Rasulullah saw., di
tengah jalan ia dicegat Abu Sufyan, Abu Jahal, dan orang-orang
Quraisy lainnya. “Hai Abu Bashir, Muhammad mengharamkan zina,”
kata mereka. Kata A’sya, “Aku tidak keberatan.” “Abu Bashir,
Muhammad mengharamkan khamr,” kata mereka lagi. Dan
seterusnya. Peristiwa ini terjadi di Makkah, ketika Abu Jahal
masih hidup. Abu Jahal terbunuh dalam perang Badar, jauh
sebelum turun surah al-Maidah. Dalam hadist yang dikeluarkan
oleh Thabrani dari Mu’adz ibn Jabal disebutkan bahwa di antara
yang pertama kali diharamkan pada permulaan kenabian adalah
minuman khamr.
Yang pertama mengharamkan khamr sebenarnya adalah surah
al-A’raf ayat 33, Katakan Tuhanku hanya mengharamkan kekejian
–baik yang tampak maupun yang tersembunyi– dan dosa
(al-itsm) dan pembangkangan tak benar serta menyekutukan
Allah. Al-Itsm dalam ayat itu adalah khamr, sebagaimana
ditegaskan dalam surah al-Baqarah ayat 214, Mereka bertanya
kepadamu tentang khmr dan judi. Katakanlah di dalamnya ada
dosa besar (itsm kabir). Al-A’raf termasuk surah yang turun
dalam periode Makkiyah awal.
Tentang surah al-Baqarah ayat 219 –yang dianggap Rahman dan
kebanyakan mufassirin belum mengharamkan khamr– al-Jashash
menjelaskan: “Ayat ini menetapkan haramnya khamr. Seandainya
tidak turun ayat lain yang mengharamkan, cukuplah ayat ini
saja. Karena Allah berfirman, di dalamnya dosa besar. Dosa
semuanya diharamkan dengan firman Allah, Tuhanku hanya
mengharamkan kekejian… dan dosa. (QS. al-A’raf:33). Allah
tidak saja menjelaskan bahwa dosa itu haram, tetapi (untuk
khamr) mempertegasnya dengan menyebutkan dosa besar, sebagai
penegas akan bahayanya. Adapun kata manfaat bagi manusia
tidaklah berarti menghalalkannya, karena yang dimaksud manfaat
itu manfaat dunia dan semua yang diharamkan ada manfaat
duniawi bagi pelanggarnya.” Walhasil, pengharaman khamr
diulang-ulang –makin lama makin keras– karena sahabat masih
tetap melakukannya. Karena itu surah al-Ma’idah 90 diakhiri
dengan kata Mengapa kalian belum berhenti juga. Menurut
riwayat, Umar menjawabnya, “Kami berhenti. Kami berhenti!”
Ini hanyalah sebuah contoh penggunaan metodologi Rahman dengan
hasil yang sama sekali berbeda dari konklusi Rahman. Karena
basis metodologi Rahman adalah tarikh dan asbab al-nuzul, yang
harus lebih dahulu dirumuskan adalah kritik keduanya (yang
kurang diperhatikan Rahman).
CATATAN
1.Riwayat ini dihimpun berdasarkan hadits Bukhari,
Muslim, al-Nasai, Ahmad Abu Dawud, Ibn Majah, Ibn Hajar
al-Asqalani. Lihat: Fath al-Bari, 1:443 al-Maktabah
al-Salafiyah.
2.Fath al-Bari, 1:457
3.Ibn Hajar mendefinisikan sahahat sebagai “orang yang
berjumpa dengan Nabi saw., beriman kepadanya dan
meninggal dalam Islam. Mereka yang termasuk jumpa ini
orang yang lama bergaul dengan Nabi atau yang sebentar,
yang berperang besertanya atau tidak, yang melihatnya
tetapi tidak menghadiri majelisnya, atau yang tidak
melihatnya seperti orang buta”, al-Ishahah fi Tamyiz
al-Shahabah, 1:10
4.Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyah, Beirut,
Dar al-Fikr, hal. 250.
5.Abu Ishaq al-Syatiby, Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari’at, Mathba’ah al-Maktabah al-Tijariyah, tanpa
tahun, tanpa kota, 4:74. Al-Syatibi mengutip ayat-ayat
al-Qur’an dan hadits-hadits untuk menunjang pendapatnya,
Muhammad Taqiy al-hakim mengkritik kelemahan argumentasi
al-Syatibi secara rinci. Pembaca yang tertarik dapat
melihat M.T Al-Hakim Al-Ushul al-’Ammah fi al-Fiqh
al-Muqaran, Beirut, Dar al-Andalus, 1974:133-143.
6.Lihat al-Ghazali, al-Mustasyfa, Mesir: Mustafa
Muhammad, tanpa tahun, 1:135. Pada halaman yang sama,
al-Ghazali menolak semua pendapat itu dan berkata,
“Siapa saja yang mungkin salah atau lupa dan tidak tegas
‘ishmahnya tidak boleh pembicaraannya menjadi hujjah.
Bagaimana mungkin berhujjah dengan ucapan mereka dengan
kemungkinan mereka salah. Bagaimana mungkin menetapkan
ishmah mereka tanpa hujjah yang mutawatir? Bagaimana
dapat dibayangkan adanya ‘ishmah, padahal mereka boleh
ikhtilaf? Mungkinkah dua orang ma’shum ikhtilaf?
Bagaimana mungkin, padahal sahabat sepakat bolehnya
bertentangan dengan sahabat yang lain? Abu Bakar dan
Umar tidak mengingkari orang yang berbeda ijtihadnya
dengan mereka; bahkan mereka mewajibkan –dalam masalah
ijtihad– agar setiap mujtahid mengikuti ijtihadnya
masing-masing.”
7.Taqdimah al-Ma’rifah li Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil,
Heiderabad, 1371, hal. 7-9. Mengenai ‘Udul-nya sahabat,
Ibn Hajar berkata, “Sepakat semua Ahl Sunnah bahwa
sahabat seluruhnya ‘udul, tak ada yang menentang hal ini
kecuali orang-orang bid’ah yang menyirnpang” (Al-Ishabah
1:9; Ibn Hajar mengemukakan dalil-dalil tentang
‘udul-nya sahabat secara rinci dalam kitab ini juga).
Ibn Al-Atsir dalam Usud al-Ghabah fi Ma’rifat
al-Shahabah, 1:3, menulis, “Sahabat sama seperti perawi
hadits yang lain kecuali satu hal –pada mereka tidak
berlaku jarh dan ta’dil, sebab mereka semna ‘udul, tidak
dikenai celaan.” Begitu “sucinya” para sahabat itu
sehingga Abu Zar’ah menulis, “Siapa yang mengkritik
salah seorang di antara sahabat Rasulullah saw,
ketahuilah bahwa dia itu zindiq (atheis).” Lihat
Al-Ishabah 1:10. Kecuali untuk sahabat yang masuk Islam
sesudah Bai’at al-Ridwan (sambil mereka pun tidak boleh
disebut kecuali kebaikan), menurut Ibn Hazm, “Seluruh
sahabat itu mukmin yang saleh; semuanya mati dalam iman,
petunjuk, dan kebajikan; semuanya masuk surga; tidak
seorangpun masuk neraka.” (Saya kutip lagi dari Muhammad
‘Ajal al-Khatib, Al-Sunnah qabl al-Tadwin, Kairo,
Maktabah Wahdah, 1963, hal. 395-396).
8.Muhammad Ibrahim Jannati, “Ra’y Gera’i Dar Ijtihad”,
dalam Kayhan-e Andisheh NO. 9. Diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris oleh Mahliqa Qara’i, “Ijtihad and the
Practise of Ra’y”, dalam Al-Tawhid, vol. V NO. 2, 1408;
hal. 57-58.
9.Shahih al-Bukhari, 3:69; Sunan al-Nasa’i, 5:148; Sunan
al-Baihaqi, 4:352 dan 5:22; lihat juga Shahih Muslim,
1:349.
10.Kupasan tentang perdebatan ini; lihat Ibn Qayyim, Zad
al-Ma’ad 1:177-225.
11.Abu Dawud 2:242; Shahih Muslim 2:52; Al-Baihaqi dalam
Sunan al-Kubra 8:318; Kanz al-Ummal 3:102.
12.Shahih Muslim 1:574; Musnad Ahmad 1:314; Sunan
al-Baihaqi 7:336; al-hakim 2:196; al-Dar al-Mantsur
1:279.
13.Abu Dawud 2:227; Ibn Majah 2:227, al-Hakim dalam
al-Mubarak 2:59 dan 4:389; al-Baihaqi dalam Sunan
al-Kubra 8:264; Taysir al-Wushul 2:5; Fath al-Bari
12:101; Umdat al-Qari 11:151; Irsayad al-Sari 10:9.
Bukhari meriwayatkan hadits ini tetapi dengan tidak
lengkap, pada Kitab Al-Muharibin.
14.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, 252.
15.Dr. Musa Towana, Al-Ijtihad: wa Mada Hajatina ilaih
fi Hadza al-Ashar, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah,
tanpa tahun, hal. 32-33.
16.Tafsir Ibn Katsir 4:194; Tafsir al-Darr al-Mantsur
6:74; Kanz al-Ummal 1:185.
17.Asbab al-Ikhtilaf bain Aimmah al-Madzahib
al-Islamiyah”, dalam Hawl al-Wahdah al-Islamiyah,
Teheran: Sepahar, 1404, hal. 227-228.
18.Ibn Qayyim al-Jawziyyah, “I’lam al-Muqi’in, Mesir:
Mathba’ah Sa’adah, tt 1:63-64.
19.Al-Syatibi, “Al-’Itisham. Saya kutip lagi dari Abu
Zahrah. Tarikh al-Madzahib, hal. 255.
20.Di antara ayat-ayat yang menunjukkan keharusan
mengikuti ahli bait adalah Al-Maidah 55 (Menurut banyak
ahli tafsir, turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib),
Al-Ahzab 33 (tentang ‘ishmah ahli bait), Al-Syura 23
(tentang keharusan mencintai ahli waris). Di antara
hadist-hadits tentang hal yang sama adalah hadits
Tsaqalain: Aku tinggalkan bagimu dua hal, yang jika kamu
berpegang teguh, kamu tidak akan sesat selama-lamanya
Kitab Allah den Ahli Baitku (hadits-hadits yang semakna
dengan ini diriwayatkan oleh Shaih Muslim dalam Kitab
Fadhail al-Shahabat”, Musnad Ahmad 4:366, Al-Baihaqi
2:148, Shahih al-Turmudzi 2:308, Mustadrak al-Shahihain
3:109, Kanz al-’Umal 1:47 dan lain-lain). dan hadits:
“Ahli baitku adalah tempat yang aman dari ikhtilaf bagi
umatku” (Mustadrak al-Shahihain 3:348), bukan tempatnya
di sini menuliskan semua riwayat yang dijadikan dalil
oleh kelompok pertama. Gubahan syair dari Al-Amini
al-Inhaqi dari Syiria, dalam Limadza Ikhtartu Madzhab
Ahl al-Bait, menyimpulkan dalil-dalil itu.
21.Lihat Dr. Musa Towana, Al-Ijtihad, hal. 39-40.
22.Shaih al-Bukhari, “Kitab al-’Ilam”, 1:22. Lihat juga
Shahih Bukhari, “Kitab al-Jihad”, dan Kitab al-Jizyah”,
Shahih Muslim Bab “Tark al-Wasyiyyah” Musnad Ahmad,
hadits NO. 1935. Thabaqat ibn Sa’ad 2:244, Tarikh
Thabari 3:193.
23.Tadzkirat al-Huffazh, 1:5; Kanz al-’Ummal, 1:174.
24.Tadzkirat al-Huffazh, tarjamah Abu Bakr, 1:2-3.
25.Al-Thabaqat al-Kubra, 11:257; Tarikh al-Khulafa, 138.
26.Al-Thabaqat al-Kubra, 7:188.
27.Tadzkirat al-Huffadz, 1:7, tarjamah ‘Umar
28.Al-Thabaqat al-Kubra, 7:447.
29.Lihat “Kontroversi sekitar Ijtihad ‘Umar r.a”, dalam
Iqbal Abdurrauf Saimima, ed., Polemik Reaktualisasi
Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal. 50.
30.Al-Jawharah al-Nayyirah; dikutip lagi dari al-Nash wa
al-Ijtihad, Qum Abu Mujtaba, 10404 H; hal. 44. Riwayat
pelarangan bagian muallaf, lihat Tafsir al-Manar 10:297;
Al-Durr al-Mantsur 3:252.
31.Tarikh al-Thabari 3:234; Tarikh Ibn Katsir 6:319;
Al-Kamil ibn al-Katsir 2:146, Il-Ishabah 2:322.
32.Kitab al-Kharraj 24-25; Sunan al-nasai 2:179; Tafsir
al-Thabari 10:6; Ahkam al-Qur’an dari Al-Jahshash 3:60
62; Sunan al-Baihaqi 6:342-343.
33.Al-Muwaththa’, 2:10; al-Baihaqi 7:164; Ahkam
al-Qur’an dari Al-Jahshash 2:168; Al-Muhalla’ 9:622;
Tafsir al-Zamahsyari 1:359; Tafsir al-Qurthubi 6:117;
Taisir al-Khazim 1:356; Al-Durr al-Mautsir 2:136; Tafsir
al-Syawkani 1:418.
34.Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’
1:282 dari Urwah: Rasulullah shalat dua rakaat di Mina
pada shalat-shalat yang empat rakaat. Abu Bakar shalat
di Mina dua rakaat. Umar shalat di Mina dua rakaat.
Usman mula-mula shalat dua rakaat, tetapi kemudian
meng-itmam-kannya. Lihat juga Shahih al-Bukhari 2:154,
Sunan al-Muslim 2:260, Musnad Ahmad 2:148 Sunan
al-Baihaqi 3:126.
36.Shahih al-Bukhari 3:69; Shahih al-Turmudzi 1:68,
Sunan Abu Dawud 1:171; Sunan Ibnu Majah 1:348; Sunan
al-Nasai 3:100, Kitab al-Umm 1:173, Sunan al-Baihaqi
1:429, 3:192, 205.
37.Shahih al-Bukhari 3:69; Shahih al-Muslim 1:349;
Musnad Ahmad 1:61,95; Sunan al-Nasai 5:148, 152; Sunan
al-Baihaqi 1:472; Mustadrak al-hakim 1:472; Tasyir
al-Wushul 1:282.
37.Shahih Muslim 1:142; Shahih al-Bukhari 1:109.
38.Ibn Hazm dalam Al-Muhalla 5:227; juga Al-Baladzuri
dalam al-Anshab 5:26.
39.Ibn Hajar, Fath al-Bari 2:361; lihat Al-Syawkani
dalam Al-Awthar 3:374. Ibn Hajar memberikan komentar.
“Utsman melihat kemaslahatan jamaah supaya dapat
mengejar shalat, sedangkan Marwan supaya orang
mendengarkan khutbahnya.”
40.Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung:
Pustaka, 1983, hal. 26 menulis: Kami telah menyatakan
(1) bahwa sunnah dari kaum muslim di masa lampau secara
konsepsional dan kurang lebih secara garis besarnya
berhubungan erat dengan sunnah Nabi dan pendapat yang
menyatakan bahwa praktek-praktek muslim di masa lampau
terpisah dari konsep sunnah Nabi adalah salah sekali;
(2) bahwa meskipun demikian, kandungan yang khusus dan
aktual dari sunnah kaum muslim di masa lampau tersebut
sebagian besarnya adalah produk dari kaum muslim
sendiri; (3) bahwa unsur kreatif dari kandungan ini
adalah ijtihad personal yang mengalami kristalisasi
menjadi ijma’ berdasarkan petunjuk pokok dari sunnah
nabi yang tidak dianggap sebagai sesuatu yang sangat
bersifat spesifik; (4) bahwa kandungan sunnah atau
sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati
secara bersama adalah identik dengan ijma’.
41.Syibli Nu’mani, Umar Yang Agung, Bandung: Pustaka,
1404, hal. 532.
42.Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, Dar
Al-Fikr Al-Araby, tt., hal. 267.
43.Shahih Bukhari, “Bab Ghazwat Al-Hudaibiyah,” Kitab
Al-Maghazi, hadits ke 4170; Fath al-bari 7:449-450;
2:401.
44.Shahih Bukhari, “Bab I: Al-Hawah”, Kitab Al-Riqaq.
Lihat Fath al-Bari, 11:463-476; Shahih Muslim, “Bab
Itsbat”, Kitab Al-Fadhail.
45.Syarh Al-Muwaththa’, 1:221; Tanwir Al-Hawalik,
1:93-94.
46.Al-Imam Al-Syafi’i, Al-Umm, 1:208.
47.Jami’ Bayan Al-’Ilm, 2:244; lihat juga Dhuha
Al-Islam, 1:365; Turmudzi 3:302.
48.Jami’Bayan Al-’ Ilm, 2:244.
49.Ansab Al-Asyraf, 2:180. Lihat juga Sunan al-Baihaqi
2:68; Kanz al-’Ummal, 8:143.
50.Catatan kaki pada hamisy kitab Sunan Al-Nasai, 5:263.
51.Tafsir Al-Nisabury, pada hamisy kitab Tafsir Al
Thabari, 1:79.
52.Lihat Ali Al-Hamady, Al-Sujud ‘ala al-A’rdh, Dar Al
Tarqib, 1978, hal. 14. Kitab ini menunjukkan,
berdasarkan hadit-hadits yang diriwayatkan Ahl Sunnah
bahwa disamping Rasulullah saw., sahabat-sahabat seperti
Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud,
Jabir bin Abdillah dan lain-lain melarang sujud selain
di atas tanah. Tidak mungkin kita menurunkan semua
hadits itu di sini Cukuplah kita kutip hadits Muslim
dari Khabab bin Al-Arat, “Kami mengeluoh kepada
Rasulullah tentang udara yang sangat panas sehingga
tanah menjadi sangat panas pada dahi-dahi kami. Tetapi,
Nabi saw. tidak mengizinkan kami (sujud selain di atas
tanah). Ibn Al-Atsir, ketika menjelaskan hadits ini,
dalam Al-Nihayah, berkata, “Para fuqaha menyebut
peristiwa ini berkenaan dengan sujud. Waktu itu para
sahabat meletakkan ujung baju mereka dilarang ketika
akan sujud untuk menghindarkan panas yang sangat; tetapi
mereka dilarang berbuat begitu. Ketika mereka mengadukan
apa yang mereka alami, Nabi saw. mengizinkan mereka
sujud di atas pakaian mereka itu.
53.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, hal.
257.
54.Shahih Al-Bukhari, 3:124, “Bab Walladzi Qala li
Walidaihi”, Fath Al-Bari, 10:197-198. Lihat juga
biografi Al-Haban bin Al-’Ash pada Al-’Isti’ab, Usud
Al-Ghabab, Al-Ishabah, Mustadrak Al-Hakim, 4:481, Tarikh
Ibn Katsir, 8:889; lihat juga biografi Abdurrahman bin
Abi Bakr dalam Ibn Asakir, Tarikh Dimasq.
55.Tafsir Al-Thabari, 19:72-75; Ibn Katsir, Al-Bidayah
wa Al-Nihayah, 3:40.
56.Ibn Katsir, ibid., 7:214
57.Kata Al-Dzhabi dalam Tadzkirat Al-Huffadz, 698-701.
58.Shahih Muslim, bab “Man La Ha’arahun Naby”, Kitab
Al-Birr wa Al-Shilah.
59.Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Beirut, Dar Ihya’ Al-Turats
Al-’Arabiy, juz I.

www.jalal-center.com






No comments:

Post a Comment