Posted on September 1, 2009
TAFSIR AYAT HUKUM PUASA
Oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat *
Di
antara kitab tafsir, ada kitab yang membahas ayat-ayat hukum di dalam Al-Quran.
Seperti kitab tafsir yang ditulis oleh Muhammad ‘Ali Al-Shabuni, Tafsir
Ayat Al-Ahkam. Inilah kitab tafsir yang mengumpulkan dan memilih khusus
ayat-ayat hukum saja, dan tidak membahas seluruh ayat Al-Quran.
Jumlah
ayat hukum dalam Al-Quran berbeda-beda sesuai dengan perbedaan pendapat yang
terjadi di kalangan ulama. Ada yang menyebutkan bahwa jumlah ayat hukum hanya
enam puluh ayat; ada yang menyebutkan jumlahnya ratusan ayat; tetapi ada pula
yang berpendapat bahwa seluruh ayat Al-Quran itu mengandung implikasi hukum.
Misalnya, Jalaluddin Al-Suyuthi dalam kitabnya, Al-Iklil, menunjukkan
bahwa semua ayat Al-Quran mengandung implikasi hukum, dengan dasar ayat
Al-Quran itu sendiri.
Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah… (QS 5: 49).
Al-Suyuthi
juga mengatakan bahwa ayat 6 dan 7
surah Al-Fatihah
[Tunjukilah
kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
nikinat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat]
mengandung
implikasi hukum, yaitu hendaknya kita mengikuti orang-orang terdahulu yang baik
dan tidak mengikuti orang-orang terdahulu yang jelek. Atau kita harus mengambil
pelajaran yang baik dan meninggalkan yang jelek dari masa yang lalu.
Semua
ayat Al-Quran (termasuk sejarah) mengandung hukum juga. Sebagai contoh, kisah
Ash-habul Kahfi. Ashhabul Kahfi memasuki gua, tidur, dan meninggal dunia di
situ. Lalu ada orang Mukmin yang mengatakan, “Bagaimana kalau kita bangun di
atas kuburan itu masjid?” Kemudian orang-orang Mukmin itu membangun masjid
di atas kuburan Ash-habul Kahfi. Peristiwa itu menjadi ketentuan hukum dalam
Al-Quran. Itu peristiwa sejarah, tetapi di dalamnya ada ketentuan hukum, yaitu
boleh membangun masjid di atas kuburan orang-orang saleh sebagai peringatan
(dzikra).
Menurut
sebagian orang, hukum seperti ini bertentangan dengan hadis yang mengatakan
tidak boleh shalat di atas kuburan. Sebagian lagi berpendapat hukum ini
ditunjang hadis lain yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. yang mulia pemah
shalat di atas kuburan. Misalnya, Rasulullah pemah melakukan shalat di atas
kuburan Al-Harqa, seorang perempuan penyapu masjid yang meninggal dunia, yang
baru diketahui oleh Rasulullah saw. ketika beliau mendatangi masjid itu.
Rasulullah saw. meminta sahabat-sahabatnya untuk menunjukkan di mana letak
kuburan perempuan itu, dan beliau shalat di atas kuburannya.
Jadi,
ayat Al-Quran ini mempunyai implikasi hukum yang bertentangan dengan hadis yang
satu dan sesuai dengan hadis yang lain. Akan tetapi, dalam ilmu hadis, ketika
kita memilih hadis mana yang paling kuat, maka kita memilih hadis yang paling
sesuai dengan AI-Quran.
Ketika
ingin mengelompokkan ayat-ayat hukum, kita menemukan kesulitan untuk
mengelompokkan apakah ini ayat hukum, ayat sejarah, atau ayat akidah, karena
pada kenyataannya ayat-ayat itu tumpang-tindih. Artinya, ayat yang satu bisa
mengandung akidah, sejarah, dan juga hukum. Walaupun menemui kesulitan seperti
itu,
Al-Shabuni
mengelompokkan ayat-ayat hukum dalam
rangkaian kuliah dia tentang ayat-ayat hukum.
Ayat
tentang puasa, misalnya, beliau cantumkan dalam kuliah yang kesembilan. Mari
kita mulai membahas beberapa kata kunci dari ayat tentang puasa berikut ini.
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
(Yaitu)
pada hari-hari yang telah ditentukan. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan AI-Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, dan barang-siapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) se-banyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu, dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS 2: 183-185).
Kata-kata
Kunci Ayat-ayat Puasa
Al-Shiyam
Al-shiyam berasal dari kata shama-yashumu-shawman wa shiyaman.
Al-shiyam menurut bahasa pada mulanya berarti meninggalkan diri dari sesuatu.
Kalau
kendaraan atau binatang tunggangan tidak mau jalan, orang Arab menyebutnya, Shamat
al-khayl idza amsakat an al-sayr (Kuda itu berpuasa, mogok, dan tidak mau
jalan). Kalau angin yang bergerak kemudian tiba-tiba berhenti, orang Arab
menyebutnya, Shamat al-rih, (angin berpuasa) artinya, berhenti bergerak.
Dalam Al-Raghib,
yang disebut shaum adalah tidak melakukan sesuatu baik berkaitan
dengan makanan, pembicaraan, maupun perjalanan. Karena itu, kuda yang tidak
mau berjalan disebut “Kuda itu berpuasa”. Kata Abu Ubaidah, setiap orang yang
meninggalkan makan, tidak mau bergerak, dan tidak mau berbicara (di dalam
bahasa Arab) disebut shaim. Sedangkan menurut istilah syara‘,
yang disebut dengan shiyam adalah menahan diri dari makan, minum, dan
bercampur (dengan istri) dengan niat dari terbit fajar sampai tenggelamnya
matahari.
Pengertian
di atas menunjukkan beberapa hal. Pertama, itulah syarat minimal puasa. Kedua,
puasa itu harus disertai niat. Waktunya dari terbit fajar sampai tenggelamnya
matahari. Dan sempurnanya puasa yaitu meninggalkan hal-hal yang tercela dan
tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Ma’dudat
Ma’dudat
berasal dari kata ‘adda-ya’uddu,
artinya menghitung. Seperti halnya kata wa ‘addadah dalam surah
Al-Humazah, yang artinya mengumpul-ngumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.
Kata ayyaman ma’dudat, dalam surah Al-Baqarah, berarti hari-hari yang
dihitung waktunya. Yang dimaksudkan di sini yaitu bulan Ramadhan itu. Al-’iddah
juga berarti bilangan-bilangan yang tertentu
Yuthiqunahu
Yuthiqunahu artinya melakukan sesuatu tetapi dengan berat sekali.
Sesuatu yang sangat berat kita memikulnya tetapi masih bisa kita lakukan
disebut thagah. Sehingga ada sebuah doa yang bunyinya, “Wa la
tuhammilna ma la thagata lana bih” (Jangan engkau bebankan kepada kami apa
yang tidak bisa kami pikul).
Fidyah
Fidyah berasal dari kata fada. Fidyah artinya menebus.
Orang Arab kadang-kadang bersumpah dengan kata-kata ini. Misalnya: Ju’iltufidaka
ya rasulallah (Biarlah diriku menjadi tebusanmu wahai Rasulullah).
Syahr
Syahr berasal dari syahara, yang berarti muncul. Kalau
suatu perkara muncul ke permukaan, orang Arab mengatakannya, Syahara al-amr (Perkara
itu tampak jelas). Kalau ada orang mencabut pedangnya dari sarungnya, mereka
katakan, Syahara al-sayf (Dia membuka pedangnya).
Digunakannya
kata syahr adalah karena ada sesuatu yang terbuka dan yang dikenal. Oleh
karena itu kita kenal pula kata -masyhur- yang seringkali kita
pergunakan yang berarti terbuka. Mengapa bulan disebut dengan syahr? karena
bulan diketahui lewat penglihatan yang masyhur. Secara bahasa menunjukkan bahwa
datangnya bulan itu harus. Dan berdasarkan berita yang kemudian tersebar secara
masyhur. Dan hal ini merupakan salah satu dalil bahwa buIan puasa harus
berdasarkan ru’yat. Artinya, ada orang yang melihat, kemudian
menyampaikannya kepada orang banyak.
Ramadhan
Ramadhan
merupakan sebuah kata mabni pada fathah, yang harus dibaca ramadhana, bukan
ramadhanu atau ramadhani. Kata ramadhan berasal dari kata al-ramdhu
yang artinya saat matahari terik sekali. Ramadhan artinya membakar sesuatu.
Menurut
riwayat, kata Al-Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasysyaf, dahulu ketika
orang Arab memindahkan nama bulan itu ke dalam bahasa Arab karena yang menamai
bulan-bulan itu sebetulnya adalah bukan bangsa Arab, tetapi bangsa Babylonia
yang telah mengenal perhitungan peredaran bulan, mereka menggantinya berdasarkan
waktu ketika mereka mengalami bulan-bulan itu. Sehingga ada nama Rabi’ Al-Awwal
dan Rabi’ Al-Akhir. Rabi’ artinya musim semi, karena kebetulan waktu itu
Rabi’ Al-Awwal jatuh pada musim semi. Akan tetapi karena perhitungan bulannya
memakai peredaran bulan, bukan peredaran matahari, maka bulan Rabi’ Al-Awwal
atau Rabi’ Al-Akhir tidak selalu jatuh pada musim semi.
Pada
waktu pengalihan nama-nama bulan itu, Ramadhan jatuh pada musim panas sehingga
disebutlah Ramadhan, musim yang sangat panas. Sekarang, walaupun Ramadhan jatuh
pada musim dingin, tetap saja disebut ramadhan. Mungkin nama Ramadhan ini hanya
cocok dipakai di Indonesia, karena bulan Ramadhan selalu jatuh pada musim
panas. Dalam sebuah hadis ada riwayat yang menyebutkan bahwa ia disebut Ramadhan
karena bulan ini membakar dosa-dosa kita.
Setelah
kita melihat beberapa pengertian kata-kata kunci di atas, kita akan melihat
segi-segi hukum ayat ini.
Kandungan
Makna Ayat-ayat Puasa
Ayat ini
mengandung beberapa makna. Pertama, puasa sebenarnya juga diwajibkan
atas umat-umat sebelum kita, termasuk kaum Nasrani dan Yahudi. Kalau Anda
mempelajari Ilmu Perbandingan Agama, maka Anda akan menemukan bahwa puasa
terdapat dalam semua agama, juga dalam agama Hindu dan agama Budha. Tentu
bentuk puasanya bermacam-macam. Ada sebagian ahli tafsir yang mengatakan bahwa
orang-orang terdahulu juga diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan. Hanya saja,
kata mereka, kewajiban ini diubah sesudah mengalami perkembangan.
Di sini,
malah ada riwayat yang menyebutkan bahwa dahulu orang-orang Nasrani berpuasa
pada bulan Ramadhan, tetapi karena bulan itu terlalu panas, maka mereka
memindahkannya pada musim dingin dan ditambah sepuluh hari sehingga menjadi
empat puluh hari. Sampai sekarang mereka berpuasa empat puluh hari.
Tetapi
kalau saya boleh memberikan pendapat, yang dimaksud dengan ungkapan “sama
seperti diwajibkannya atas orang-orang sebelum kamu” bukan berarti sama
segala-galanya. Bukan berarti bahwa puasa itu harus dilakukan pada bulan
Ramadhan, dengan syarat yang sama, yang mesti dilakukan sejak terbit fajar
sampai tenggelamnya matahari. Karena setiap agama mempunyai syariat tertentu.
Kedua, puasa yang wajibnya ditentukan pada hari-hari tertentu,
yaitu pada bulan Ramadhan.
Ketiga, dipilihnya bulan Ramadhan ini adalah karena bulan Ramadhan
bulan yang paling mulia. Pada bulan inilah Al-Quran diturunkan. Hal ini
mempunyai implikasi hukum, yaitu bahwa kita bisa memperingati
peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah dengan berpuasa. Karena itu kita
dianjurkan berpuasa pada hari lahir Rasulullah Saw.
Hari-hari
penting boleh kita peringati dengan berpuasa. Kalau hari-hari kita mempunyai
hari-hari yang kita anggap sebagai hari yang penting, maka kita boleh berpuasa
pada hari itu sebagai tanda syukur kepada Allah Swt. Itu boleh dilakukan,
sebagaimana bulan Ramadhan dipilih karena di bulan itu diturunkan Al-Quran.
Keempat, ayat puasa ini bersambung terus sampai ayat 187. Ayat
pertama berakhir dengan kalimat “supaya kamu bertakwa”. Ayat terakhir
tentang puasa diakhiri dengan “mudah-mudahan mereka bertakwa”. Ini
artinya, diwajibkannya puasa adalah supaya orang-orang menjadi takwa.
Saya
pernah menulis bahwa puasa adalah madrasah ruhaniah.
Kalau ada madrasah untuk mendidik intelek kita, maka ada pula puasa yang
mendidik ruhani dan ketakwaan kita. Mengapa puasa disebut madrasah untuk
melatih ketakwaan? Karena tanda-tanda orang yang bertakwa dilatihkan pada bulan
puasa ini.
Tanda-tanda
Orang Bertakwa
Dalam
Al-Quran, disebutkan bahwa tanda-tanda orang yang bertakwa ialah infaq dalam
keadaan senang dan susah. Di bulan puasa kita dilatih untuk infaq. Dalam hal
memberi, diriwayatkan bahwa Rasulullah yang mulia ketika memasuki bulan puasa
adalah laksana angin yang berhembus, karena begitu mudahnya beliau memberikan
sesuatu kepada orang lain. Oleh karena itu, bulan puasa juga dinamakan bulan
infaq. Kaumn Muslim berharap melakukan infaq karena akan diberi pahala yang
besar.
Tanda
lainnya ialah menahan amarah. Karena salah satu tanda orang yang takwa ialah
bahwa dia sanggup mengendalikan amarahnya. Bukan berarti tidak marah. Dan tidak
benar kalau orang takwa itu tidak marah, karena marah adalah salah satu emosi
yang sehat.
Orang
yang bertakwa ialah orang yang bisa mengendalikan amarahnya. Di bulan puasa
kita dianjurkan untuk mengendalikan amarah kita, sampai pun kalau ada orang
Yang mencaci-maki kita. Kita hanya boleh menjawab dengan satu kata saja, “Saya
ini sedang puasa!”
Implikasi
Hukum dari Ayat tentang Puasa
Hukum
yang pertama yang dibicarakan oleh para ahli fiqih sehubungan dengan ayat ini
ialah apakah kaum Muslim pernah diwajibkan berpuasa sebelum turunnya ayat
tentang puasa di bulan Ramadhan. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa
dahulu kaum Muslim diwajibkan berpuasa tetapi hanya selama tiga hari. Itu pun
boleh dipilih; yaitu antara melakukan puasa dan membayar fidyah. Yang mau
berpuasa tidak usah membayar fidyah, dan yang tidak mau berpuasa hanya
diwajibkan membayar fidyah kepada orang miskin. Tetapi kemudian kata mereka
ayat ini dihapus oleh ayat berikutnya. Yang berpendapat seperti ini misalnya,
ialah seorang ulama tabi’in yang bernama Atha’.
Suatu
saat ada tamu yang berkunjung ke rumah Atha’ siang hari. Dan Atha’ sedang asyik
makan. Kemudian ditanya, “Kenapa kamu makan di siang hari?” Lalu Atha’
mengatakan, “Dahulu puasa itu diwajibkan tiga hari dan kamu boleh memilih. Yang
mau berpuasa puasalah, yang tidak mau berpuasa hendaknya membayar fidyah kepada
orang miskin. Tetapi kemudian ayat ini dihapuskan dengan ayat itu juga yaitu
bahwa puasa diwajibkan di bulan Ramadhan, dan yang disebut dengan orang yang
tidak mampu melakukan puasa ialah orang-orang yang sakit, orang tua seperti aku
ini. Karena aku sudah tua, aku dibebaskan dari puasa dan aku harus membayar
fidyah.” (Riwayat ini dapat Anda temukan dalam tafsir Jami’ Al-Bayan dan
tafsir Al-Durr Al-Mantsur, juz I).
Dalam
satu riwayat disebutkan, “Rasulullah datang ke Madinah dan puasa pada hari
Asyura dan tiga hari di setiap bulan.” Riwayat ini dijadikansebagai dasar
pendapat di atas bahwa sebetulnya orang Islam diwajibkan berpuasa hanya pada
hari Asyura dan tiga hari setiap bulan. Kemudian turun ayat puasa di bulan
Ramadhan. Itu pun masih boleh memilih. Yang mau puasa boleh, dan yang tidak
puasa boleh membayar fidyah kepada orang miskin. Kemudian itu pun masih dihapus
lagi dengan ayat yang menyatakan bahwa semua orang wajib berpuasa kecuali orang
tua, orang sakit, dan seterusnya.
Pendapat
ini sangat sukar kita terima, karena hadisnya tidak kuat. Hadis yang menyatakan
bahwa Rasulullah datang ke Madinah dan puasa Asyura itu masih dipersoalkan.
Karena ketika Rasulullah Saw. datang ke Madinah, beliau menemukan orang-orang
Yahudi berpuasa, Puasa apa ini? Puasa Asyura. Mengapa? Karena pada hari inilah
Allah menyelamatkan Musa dari Fir’aun. Lalu Rasulullah bersabda: “Aku lebih
berhak untuk berpuasa,” maka berpuasalah beliau pada hari itu.
Hadis
ini tentu saja tidak lolos dari studi kritis kita. Pertama, Rasulullah
datang pertama kali ke Madinah pada bulan Rabi’ Al-Awwal. Jadi tidak masuk akal
bila orang berpuasa Asyura pada bulan Rabi’ Al-Awwal. Kedua, mungkin
orang berkata yang dimaksud datang ke Madinah itu sudah lama datang ke Madinah,
dan baru sampai tahun terakhir. Itu pun tidak mungkin bahwa Rasulullah Saw. tidak
mengetahui kebiasaan orang Yahudi dan baru tahu satu tahun terakhir saja.
Walhasil,
sebelum turun perintah puasa di bulan Ramadhan, kaum Muslim tidak diwajibkan
untuk berpuasa. Kata Ibn Jarir Al-Thabari, “Inilah pendapat (qaul) yang
paling benar menurut pendapatku.”
Jadi,
yang dimaksud dengan kata ayyaman ma’dudat (hari-hari tertentu) itu bukan tiga
hari di setiap bulan, tetapi maksudnya adalah bulan Ramadhan.
Hukum
yang kedua dari ayat, “Barangsiapa yang sakit di antara kamu, atau dalam
perjalanan, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan
itu pada hari-hari yang lain.” Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini.
Pertama, jumhur ulama mengatakan bahwa buat orang yang sakit dan orang
yang bepergian boleh berbuka dan juga boleh berpuasa. Sebagian mazhab
mengatakan bahwa kalau sakit atau dalam perjalanan, maka orang itu harus
meng-qadha puasanya. Menurut pendapat yang terakhir ini, kalau Anda sedang
sakit atau dalam perjalanan, Anda boleh berpuasa tetapi Anda juga harus
meng-qadha. Itulah dua pendapat yang masing-masing mempunyai beberapa alasan.
Jumhur
ulama mengatakan bahwa orang yang sakit dilarang berpuasa karena akan
memberatkan puasanya. Al-Quran menyebutkan:
“Allah
rnenghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Dan oleh karena itu, orang yang sakit boleh berbuka puasa.
Al-Qurthubi
dalam tafsirnya mengatakan bahwa
orang yang sakit ada dua macam. Kalau dia puasa, maka dia akan semakin sakit.
Untuk orang seperti ini wajib berbuka. Dan yang kedua, bagi orang yang sanggup
berpuasa dalam keadaan sakit, disunatkan baginya berbuka, tetapi dia juga boleh
berpuasa. Mazhab yang lain mengatakan bahwa puasa dalam keadaan sakit itu
haram, karena itu wajib berbuka. Sakit apa pun. Ini adalah mazhab Al-Zhahiri.
Masih ada
lagi cerita dari Atha’ yang waktu itu belum tua usianya. Waktu itu ditemukan
bahwa dia berbuka di siang hari. Setelah ditanya, “Kenapa Anda berbuka?” Dia
menjawab, “Karena saya sakit mata. Dan dalam Al-Quran hanya disebutkan orang
yang sakit saja, tanpa disebutkan jenis sakit apa pun. Dan saya sedang sakit
mata. Oleh karena itu, saya sekarang berbuka.”
Di
antara pendapat yang mengatakan wajib berbuka di saat sakit adalah Umar bin
Khaththab, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Auf, Abu Hurairah,
Urwah bin Zubayr, dan juga para imam Ahlul Bayt.
Dalil
ini juga berkenaan dengan tidak bolehnya bepuasa ketika bepergian. Yang masih
menjadi perbedaan pendapat adalah penentuan jenis sakit dan ukuran jarak
bepergian.
Umar bin
Khaththab pernah memerintahkan seorang
laki-laki yang puasa dalam perjalanan untuk mengulangi puasanya. Kata Yusuf
bin Hakam, “Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang puasa dalam perjalanan.
Lalu Ibnu Umar berkata bahwa kalau kamu bersedekah kepada seseorang tetapi
orang itu menolak sedekah kamu apakah kamu tidak marah. Nah ketahuilah bahwa
buka di dalam perjalanan itu adalah sedekah dari Allah, dan Allah marah bila
Dia ditolak sedekahnya.”
Abdurrahman
bin Auf berpendapat bahwa tidak boleh
berpuasa dalam perjalanan baik perjalanan itu sulit atau gampang. Orang yang
berpuasa dalam perjalanan hukumnya sama dengan orang yang buka dan tidak
bepergian. Artinya, haram hukumnya bagi orang yang tidak berpuasa dalam kondisi
tidak sedang bepergian. Ibnu Abbas mengatakan bahwa berbuka di dalam perjalanan
adalah kewajiban. Dan para imam Ahlul Bayt, berdasarkan riwayat dari Abu
Abdillah, yang sama seperti riwayat Abdurrahman bin Auf, mengatakan bahwa orang
yang berpuasa di bulan Ramadhan di perjalanan sama hukumnya dengan orang yang
tidak berpuasa tetapi tidak bepergian.
Dalam
riwayat lain disebutkan pula bahwa Abu Abdillah mengatakan, “Kalau aku
menemukan orang yang mati ketika berpuasa dalam perjalanan, maka aku tidak akan
menshalatkannya.”
Riwayat-riwayat
dari Ahlus Sunnah, Muslim dan Turmudzi, dalam kitab Taysir Al-Wushul ila
Jami’ Al-Ushul fi Hadits Al-Rasul, dari Jabir r.a. berkata, “Rasulullah
keluar di bulan Ramadhan ke kota Makkah, kemudian berpuasa sampai di tempat
yang namanya Qira’ Al-Ghanim. Orang-orang dalam keadaan berpuasa semua.
Waktu itu Rasulullah meminta sebuah pinggan, wadah air, dan Rasulullah
mengangkat pinggan itu tinggi-tinggi kemudian beliau minum di hadapan orang
banyak. Kemudian dilaporkan kepada Rasulullah sesudah itu, ada orang yang terus
saja berpuasa. Lalu Nabi berkata, ‘Mereka itu orang-orang yang durhaka. Mereka
itu orang-orang yang durhaka.’ Nabi Saw. menyebutnya dua kali.”
Berdasarkan
hadis-hadis itu sebagian ulama berpendapat bahwa puasa dalam keadaan sakit dan
dalam perjalanan itu hukumnya haram. Kita belum menceritakan ukuran jarak
perjalanan yang mengharuskan kita tidak berpuasa, tetapi prinsip umumnya,
menurut sebagian ulama, berpuasa dalam keadaan sakit dan puasa dalam perjalanan
itu hukumnya haram.
________________________________
Di kutip dari buku “Renungan-renungan Sufistik” hal, 45-55
Karya Dr. Jalaluddin Rakhmat
No comments:
Post a Comment