Tuesday, October 11, 2011

Wisudawan Madrasah Rasulullah saw (1)

9 05 2011
Oleh KH JALALUDDIN RAKHMAT
REFORMASI Agung kedua yang dilakukan Rasulullah adalah dengan mengubah kesetiaan kepada kelompok menjadi kesetiaan kepada Islam. Sekarang saya ingin memberikan contoh keberhasilan reformasi kedua itu melalui kehidupan beberapa sahabat yang lulus dari Madrasah Rasulullah saw. Tidak semua sahabat lulus dari Madrasah Rasulullah. Ada juga sahabat yang diskors selama tiga bulan dan semua sahabat-sahabat Nabi yang lain dilarang berbicara dengan dia. Sampai sahabat Nabi itu kemudian lari ke gunung, bertaubat siang dan malam.

Para sahabat yang lulus dari madrasah Rasulullah saw, anehnya, banyak yang tidak kita kenal. Salah seorang tokoh yang tidak begitu kita kenal adalah Utsman bin Mazh’un, dia dikuburkan di Baqi. Bapaknya adalah Mazh’un bin Wahab bin Hudzafah bin Jumuh Al-Quraisyi. Sedangkan Ibunya ialah Suhailah binti Al-Anbas bin Ahban bin Khudzafah bin Jumuh.

Utsman masuk Islam beserta seluruh keluarganya. Dia adalah orang ketigabelas yang masuk Islam. Dia sangat rajin beribadah. Ia pun hijrah dua kali ke Habsyi. Dia ikut berperang di Badar bersama Rasulullah saw. Dia meninggal dua setengah tahun setelah Hijrah. Nabi menguburkannya di Baqi dan memberi tanda di kuburan Utsman dengan batu. Nabi sering menziarahi kuburannya. Hal ini sekaligus merupakan dalil bahwa ziarah ke kubur itu ialah sunnah Rasulullah saw. Kelak, salah seorang putera Utsman syahid pada hari Yamanah, ketika kelompok Musailamah Al-Kadzab melakukan perlawanan.

Kesetiaan Utsman bin Mazh’un kepada Allah dan Rasul-Nya lebih tinggi daripada kesetiaannya kepada yang lain. Ketika orang-orang Islam dikejar-kejar dan dianiaya, Utsman hijrah ke Habsy beserta seluruh keluarganya. Seperti kita ketahui, ‘Amr bin ‘Ash menyusul ke Habsyi dan meminta Utsman supaya kembali lagi ke Mekkah. ‘Amr bin ‘Ash juga meminta kepada Raja Habsyi supaya tidak menerima umat Islam di negeri itu dan mengembalikannya ke Mekkah.

Ketika Utsman bin Mazh’un kembali dari Habsyi ke Mekkah, penindasan masih berlangsung. Orang-orang Islam masih disiksa dan dianiaya. Dia menghadapi ancaman terhadap dirinya dan keluarganya. Akhirnya dia mencari perlindungan kepada keluarga Al-Walid bin Mughirah, seorang penyair yang sejak dulu dekat dengan Utsman.

Pada awalnya, Utsman bin Mazh’un masuk Islam karena rasa malu. Rasulullah saw sering berdakwah kepadanya dan berulang kali mengajak Utsman bin Mazh’un masuk Islam. Utsman pernah berkata, “Aku ini masuk Islam karena malu saja. Rasulullah berulang kali mengajak aku untuk masuk Islam. Waktu itu Islam belum ada dalam hatiku. Sampai suatu hari aku sedang bersama Rasulullah, tiba-tiba Rasul memandang ke langit. Seakan-akan beliau sedang memahami sesuatu. Setelah Rasul merenung, aku bertanya kepada Rasul tentang apa yang terjadi. Lalu Rasul menjawab, “Allah menyuruh kamu untuk berbuat baik dan memberikan hak kepada keluargamu. Dan Allah melarang kamu dari keburukan dan kemungkaran.” (QS Al-Nahl 90).
“Waktu itu, menetaplah Islam dalam hatiku. Itulah saatnya aku masuk Islam yang sungguh-sungguh, karena aku tersentuh oleh ayat yang indah itu. Lalu aku datangi paman Nabi, Abu Thalib, dan aku kabarkan ke-islamanku. Beliau memberi nasehat, “Ya Ahli Quraisy, ikuti Muhammad, nanti kamu mendapat petunjuk. Karena Muhammad tidak memerintah kecuali kepada akhlak yang mulia.”

“Kemudian aku datangi Walid bin Mughirah, aku bacakan ayat itu dan Mughirah pun terpesona. Dia berkata, “Sungguh dalam ayat-ayat itu ada kemanisan-nya. Di atasnya juga ada keindahannya. Pada puncaknya ada buahnya. Dan di bawahnya rimbun. Ini bukan ucapan manusia. Kalau itu ucapan Muhammad, alangkah bagusnya ucapan Muhammad itu. Dan kalau itu ucapan Tuhannya, alangkah bagusnya ucapan Tuhannya itu”.

Walid bin Mughirah memang dekat dengan Utsman bin Mazh’un, meskipun dia tidak masuk Islam. Malahan ia termasuk dedengkot kekufuran. Tapi kepada Walid bin Mughirah, Utsman bin Mazh’un berlindung. Dan Walid bin Mughirah melindungi dia. Sehingga dia tidak diganggu oleh orang-orang kafir. Sementara orang-orang Islam yang lain menderita, Utsman bin Mazh’un ber-senang-senang di bawah perlindungan Walid bin Mughirah.

Utsman berkata, “Demi Allah, pagi dan soreku tentram dalam perlindungan seseorang yang musyrik. Sedangkan sahabat-sahabatku dan teman seagamaku sekarang menderita barbagai bala dan kesulitan karena Allah. Itu semua tidak menimpaku. Sungguh keadaanku ini adalah sebuah kekurangan yang besar, sebuah aib besar untuk diriku.”

Kemudian Utsman bin Mazh’un datang menemui Walid bin Mughirah, “Wahai Abâ ‘Abdi Syam, sudah selesai sekarang perlindunganmu itu. Aku kembalikan perlindunganmu itu.” Walid menjawab, “Kenapa kau kembalikan perlindungan itu, hai anak saudaraku? Apakah ada seseorang dari kaumku yang menyakitimu?” “Tidak,” jawab Utsman, “bukan karena itu. Tapi aku ingin memilih perlindungan Allah dan aku tidak ingin meminta perlindungan kepada selain Dia.” Walid berkata, “Kalau begitu, berangkatlah kamu ke mesjid dan umumkan terang-terangan bahwa kamu sudah menolak perlindunganku.” Keduanya pun lalu berangkat ke mesjid. Di sana Walid meng-umumkan, “Ini Utsman, dia menolak perlindunganku.” Utsman mengatakan, “Benar apa yang dia katakan dan dia sudah melindungi aku dengan sebaik-baiknya. Tapi aku lebih senang untuk berlindung kepada Allah saja dan karena itu aku kembalikan perlindungan Walid.”

Pada waktu itu datang rombongan tokoh-tokoh Quraisy, salah seorang di antaranya ialah Walid bin Rabiah bin Malik bin Ja’far bin Kilab dari Bani Kilab yang juga duduk di situ. Lalu ada seorang yang bernama Lubaib dari Bani Kilab yang ketika mendengar Utsman bin Mazh’un telah melepaskan perlindungan Walid bin Mughirah, dia membacakan sebuah syair, “Sungguh segala sesuatu selain Allah itu akhirnya jadi bathil.” “Shadaqta. Kamu benar”, kata Utsman. Kemudian Lubaib meneruskan syairnya, “Semua nikmat akhirnya akan berakhir juga.” Maksud Lubaib, perlindungan Mughirah itu sekarang berakhir semua. Utsman berkata, “Kamu dusta. Kenikmatan surga tidak akan pernah berakhir.” Lalu Lubaib berteriak, “Hai Quraisy, lihatlah orang yang duduk bersama kalian ini! Dia termasuk orang-orang bodoh yang meninggalkan agama kita.” Utsman terus membantahnya, sampai Lubaib marah. Kemudian salah satu telinga dan mata Utsman dipukul, sehingga matanya lebam karena pukulan.

Walid bin Mughirah, yang dulu sebagai pelindung Utsman, berada di situ dan berkata, “Hai anak saudaraku, sekiranya mata kamu itu sehat, itu karena dulu kau berada pada perlindungan yang kokoh.” Walid bermaksud menyindir Utsman. Tapi Utsman berkata, “Demi Allah, mataku yang sehat ini sekarang iri dengan mata yang lain dalam membela agama Allah.” Utsman menantang untuk dipukul lagi. Walid berkata, “Mari ke sini, Hai anak saudaraku. Kalau engkau mau, aku akan melindungimu.” “Tidak,” kata Utsman.

Ketika matanya hampir pecah karena dipukul, dia kemudian melantunkan syair yang berisi pujian tentang matanya: “Jika mataku, karena mencari rido Tuhan, mendapat pukulan tangan mulhid, ateis sesat. Tuhan Maha Pengasih telah menggantinya dengan pahala. Siapa yang mendapat rido Rahman pasti bahagia.”

Utsman bin Mazh’un adalah contoh orang yang meninggalkan kesetian kepada kelompoknya karena kesetian kepada Allah. Dia meninggalkan tribalisme menuju Tauhidul Ummah, menuju Al-Ukhuwah Al-Islamiyyah, persaudaran Islam.

Ada beberapa ayat Al-Qur’an turun berkenaan dengan Utsman bin Mazh’un. Utsman termasuk pada “segolongan” (thâifah) dalam ayat “Sesungguhnya Tuhanmu menge-tahui bahwa kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu.” (Al-Muzammil 20). Menurut A’isyah: Datang kepadaku istri Utsman bin Mazh’un dalam keadaan lusuh. Aku tanya mengapa. Ia berkata, “Suamiku puasa siang, salat malam, terus menerus.” Datang Nabi saw. aku sebutkan hal itu. Rasulullah saw menemui Utsman dan berkata: “Hai Utsman, kependetaan tidak diwajibkan atas kita. Tidakkah kamu mengambilku sebagai contoh? Demi Allah, aku paling takut kepada Allah, dan paling memelihara hukum-hukumnya.”

Menurut Ibn ‘Abd Al-Birr, sehubung-an dengan perilaku Utsman dan sahabat-sahabat yang ingin terus menerus ibadah, turun ayat Al-Maidah 93: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al-Isti’ab 3:186).

Rasulullah mengunjunginya ketika dia sakit. Ketika dia meninggal dunia, Rasulullah saw ikut menguburkan jenazah-nya. Rasulullah saw juga menangisi kepergian Utsman bin Mazh’un. Sejak zaman Jahiliyyah, Utsman bin Mazh’un memang berakhlak bagus, apalagi setelah dia masuk Islam. Nabi berkata, “Manusia itu seperti logam. Kalau di Zaman Jahiliyyah emas, setelah Islam pun emas juga.”

Ibnu Ishaq meriwayatkan Utsman sebagai, “Orang yang paling banyak beribadah. Puasa di waktu siang hari dan shalat di malam hari. Dia menjauhi syahwat dan meninggalkan perempuan. Kemudian dia meminta izin kepada Rasulullah saw untuk mengebiri dirinya tetapi Rasulullah melarangnya. Sejak Zaman Jahilliyah, dia tidak pernah minum khamar. Dia beralasan, “Aku tidak akan minum satu minuman yang menyebabkan akal pikiranku hilang”.

“Waktu Rasulullah saw ditinggalkan oleh putranya yang sangat dicintainya, yaitu Ibrahim yang meninggal di Madinah, Nabi mendampingkan kuburannya di samping kuburan Utsman bin Mazh’un. Beliau bersabda, “Kuburkan Ibrahim di dekat pendahulu kita yang saleh.”

No comments:

Post a Comment