Posted on Juni 2, 2009
Oleh :
Jalaluddin Rakhmat
Ini
adalah sebuah kisah tentang kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib dalam
Khulafaurrasyidin yang sangat patut kita teladani.
Tidak
ada khalifah yang paling mencintai ukhuwwah, ketika orang berusaha
menghancurkannya, seperti Ali ibn Abi Thalib. Baru saja dia memegang tampuk
pemerintahan, beberapa orang tokoh sahabat melakukan pemberontakan. Dua orang
di antara pemimpin Muhajirin meminta izin untuk melakukan umrah. Ternyata
mereka kemudian bergabung dengan pasukan pembangkang. Walaupun menurut hukum
Islam pembangkang harus diperangi, Ali memilih pendekatan persuasif. Dia
mengirim beberapa orang utusan untuk menyadarkan mereka. Beberapa pucuk surat
dikirimkan. Namun, seluruh upaya ini gagal. Jumlah pasukan pemberontak semakin
membengkak. Mereka bergerak menuju Basra.
Dengan
hati yang berat, Ali menghimpun pasukan. Ketika dia sampai di perbatasan Basra,
di satu tempat yang bernama Alzawiyah, dia turun dari kuda. Dia melakukan
shalat empat rakaat. Usai shalat, dia merebahkan pipinya ke atas tanah dan air
matanya mengalir membasahi tanah di bawahnya. Kemudian dia mengangkat tangan
dan berdo’a: “Ya Allah, yang memelihara langit dan apa-apa yang dinaunginya,
yang memelihara bumi dan apa-apa yang ditumbuhkannya. Wahai Tuhan pemilik
‘arasy nan agung. Inilah Basra. Aku mohon kepada-Mu kebaikan kota ini. Aku
berlindung kepada-Mu dari kejahatannya. Ya Allah, masukkanlah aku ke tempat
masuk yang baik, karena Engkaulah sebaik-baiknya yang menempatkan orang. Ya
Allah, mereka telah membangkang aku, menentang aku dan memutuskan bay’ah-ku. Ya
Allah, peliharalah darah kaum Muslim.”
Ketika
kedua pasukan sudah mendekat, untuk terakhir kalinya Ali mengirim Abdullah ibn
Abbas menemui pemimpin pasukan pembangkang, mengajak bersatu kembali dan tidak
menumpahkan darah. Ketika usaha ini pun gagal, Ali berbicara di hadapan sahabat-sahabatnya,
sambil mengangkat Al-Qur’an di tangan kanannya: “Siapa di antara kalian yang
mau membawa mushaf ini ke tengah-tengah musuh. Sampaikanlah pesan perdamaian
atas nama Al-Qur’an. Jika tangannya terpotong peganglah Al-Qur’an ini dengan
tangan yang lain; jika tangan itu pun terpotong, gigitlah dengan gigi-giginya
sampai dia terbunuh.”
Seorang
pemuda Kufah bangkit menawarkan dirinya. Karena melihat usianya terlalu muda,
mula-mula Ali tidak menghiraukannya. Lalu dia menawarkannya kepada sahabat-sahabatnya
yang lain. Namun, tak seorang pun menjawab. Akhirnya Ali menyerahkan Al-Qur’an
kepada anak muda itu, “Bawalah Al-Qur’an ini ke tengah-tengah mereka. Katakan:
Al-Qur’an berada di tengah-tengah kita. Demi Allah, janganlah kalian
menumpahkan darah kami dan darah kalian.”
Tanpa
rasa gentar dan penuh dengan keberanian, pemuda itu berdiri di depan pasukan
Aisyah. Dia mengangkat Al-Qur’an dengan kedua tangannya, mengajak mereka untuk
memelihara ukhuwwah. Teriakannya tidak didengar. Dia disambut dengan tebasan
pedang. Tangan kanannya terputus. Dia mengambil mushaf dengan tangan kirinya,
sambil tidak henti-hentinya menyerukan pesan perdamaian. Untuk kedua kalinya
tangannya ditebas. Dia mengambil Al-Quran dengan gigi-giginya, sementara
tubuhnya sudah bersimbah darah. Sorot matanya masih menyerukan perdamaian dan
mengajak mereka untuk memelihara darah kaum Muslim. Akhirnya orang pun menebas
lehernya.
Pejuang
perdamaian ini rubuh. Orang-orang membawanya ke hadapan Ali ibn Abi Thalib. Ali
mengucapkan do’a untuknya, sementara air matanya deras membasahi wajahnya.
“Sampai juga saatnya kita harus memerangi mereka. Tetapi aku nasihatkan kepada
kalian, janganlah kalian memulai menyerang mereka. Jika kalian berhasil
mengalahkan mereka, janganlah mengganggu orang yang terluka, dan janganlah
mengejar orang yang lari. Jangan membuka aurat mereka. Jangan merusak tubuh
orang yang terbunuh. Bila kalian mencapai perkampungan mereka janganlah membuka
yang tertutup, jangan memasuki rumah tanpa izin, janganlah mengambil harta mereka
sedikit pun. Jangan menyakiti perempuan walaupun mereka mencemoohkan kamu.
Jangan mengecam pemimpin mereka dan orang-orang saleh di antara mereka.”
Sejarah
kemudian mencatat kemenangan di pihak Ali. Seperti yang dipesankannya, pasukan
Ali berusaha menyembuhkan luka ukhuwwah yang sudah retak. Ali sendiri
memberikan ampunan massal. Sejarah juga mencatat bahwa tidak lama setelah
kemenangan ini, pembangkang-pembangkang yang lain muncul. Mu’awiyah mengerahkan
pasukan untuk memerangi Ali. Ketika mereka terdesak dan kekalahan sudah di
ambang pintu, mereka mengangkat Al-Qur’an, memohon perdamaian. Ali, yang sangat
mencintai ukhuwwah, menghentikan peperangan. Seperti kita ketahui bersama, Ali
dikhianati. Karena kecewa, segolongan dari pengikut Ali memisahkan diri.
Golongan ini, kelak terkenal sebagai Khawarij, berubah menjadi penentang Ali.
Seperti biasa, Ali mengirimkan utusan untuk mengajak mereka berdamai. Seperti
biasa pula, upaya tersebut gagal.
Dari:
Islam Aktual. Jalaluddin Rakhmat. Mizan, Jakarta 1991
No comments:
Post a Comment