Wednesday, August 3, 2011

The Road to Muhammad

Judul buku:  The Road to Muhammad
Penulis: Jalaluddin Rakhmat
Penerbit: Mizan dan Muthahhari Press
Tebal:  xxxviii + 384 halaman

Banyak cara  untuk mengungkapkan rasa cinta kepada kekasih.  Umumnya dilakukan dengan memberi sesuatu, entah    itu  hadiah atau sekedar perhatian melalui kata-kata mesra dan penuh  kasih sayang.

Khusus untuk Rasulullah SAW,  sebagian umat Islam  mengutarakan rasa cintanya  melalui   pembacaan shalawat, atau memperingati  hari lahirnya (Maulid).  Namun ada pula  yang  menganggap  memperingati Maulid  sebagai bid’ah. Begitu pula dengan membaca shalawat.

Bagi seorang  Jalaluddin Rakhmat,    menulis buku  berisi ajakan untuk mencintai Nabi SAW, dan  mengkritisi   tarikh (sejarah hidup)-nya yang  sudah   tercemar  riwayat-riwayat yang merendahkan kehormatannya, adalah wujud kecintaan kepada  kekasih Allah tersebut.  Buku ini  buktinya.

Kang Jalal   bertekad  menulis buku tentang Rasulullah  setiap memperingati  Maulid Nabi. Menurut editor buku ini, Miftah F. Rakhmat,  Kang Jalal, yang juga ayahnya,  selalu  ingin  memberikan “kado sederhana” untuk “manusia termulia”.

Setelah menulis The Road to Allah,   kini dia menulis  The Road  to  Muhammad, yang  isinya mengingatkan kita semua bahwa tak mungkin kita sampai  pada Allah tanpa  kecintaan  Rasulullah. Dengan kata lain,  cinta Nabi rindu  Rabbani. (hal xxiv)

Buku ini bukan biografi Nabi.  Namun  isinya menjelaskan  berbagai keutamaan Nabi,  baik sebagai  reformis agung,  kekasih tersuci, maupun  guru termulia. Ada juga    yang  membahas tentang  penderitaan dan penghinaan terhadap  Rasulullah dan keluarganya.

Berkaitan dengan kecintaan seorang muslim kepada  Allah dan Rasul-Nya,  Kang Jalal menjelaskan, ada beberapa cara   yang digunakan untuk  menjauhkan  umat Islam dari  Allah. Antara lain,   dengan memupus kecintaan   umat kepada Rasulullah.

Cara ini dilakukan  dengan  beberapa   tahapan. Pertama, memasukkan riwayat-riwayat  yang merendahkan Rasulullah, seperti riwayat yang meletakkan Rasulullah – kalau tidak paling bawah – pada peringkat kedua  setelah para sahabat.

Kedua, karena umat  harus mencintai   Rasulullah melalui  keluarganya, keluarga  Rasulullah  disingkirkan perlahan-lahan. Mereka, kata Kang Jalal,  disingkirkan  sebagai panutan,  sebagai  imam kaum Muslim.

Ketiga,  menyingkirkan  keluarga  Rasulullah dari shalawat sehingga tinggal shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut Kang Jalal,  dalam perjalanan sejarah, bahkan sampai sekarang, telah terjadi bukan saja penyingkiran  keluarga Muhammad dari shalawat,  melainkan juga penyingkiran shalawat  itu sendiri. (hal 20-21)

Dia menilai,  saat ini penentangan  terhadap kecintaan kepada Rasulullah  sangat   keras.  Ada sebagian dari umat yang bukan saja takut   melakukannya,  melainkan juga khawatir   amalnya terhapus karena  dituduh musyrik.

Begitu juga dengan  ritual berdiri untuk membacakan   shalawat   kepada Rasulullah – yang mula-mula dibid’ahkan – kini  sudah dimusyrikkan.   Ada yang mengecam praktek seperti itu  bukan kecintaan,  melainkan kultus individu.  Istilah tersebut,  menurut Kang Jalal,   dimunculkan   untuk melegitimasi kurangnya kecintaan kepada Rasulullah (hal  215).

Kang Jalal mengaku  dirinya dulu pernah membid’ahkan  orang yang berdiri  mengucapkan shalawat kepada Rasulullah. Dia juga pernah menganggap   Rasulullah itu  manusia biasa.

“Kalau boleh  saya katakan,    dalam sejarah hidup saya, sebenarnya   tercermin  sejarah kaum Muslim dalam hubungannya  dengan kecintaan kepada Rasulullah,”  dia mengungkapkan.

Sadar akan kekeliruannya selama ini,  kini dia mengajak mengucapkan shalawat  kepada Nabi untuk mengungkapkan  cinta  kita kepadanya. Dia menegaskan, kalau  ada  yang mengatakan bahwa  hal itu bid’ah, biarlah semua orang  tahu bahwa  kita pelaku bid’ah.

Lebih ekstrem lagi, dia menyatakan, “Kalau Islam   tidak menghormati Rasulullah,  kita ucapkan saja  selamat tinggal kepada Islam.” (hal 216)

Mengenai  keluarga Nabi (Ahlul Bait), dia menilai  banyak umat  yang meninggalkan kecintaan kepada  Ahlul Bait  dikarenakan faktor politik.   Sebab, sepanjang sejarah, kelompok Ahlul Bait  adalah kelompok yang tertindas secara  politik, karena kekuasaaan dipegang oleh orang-orang  yang memusuhi keluarga Nabi.

Jadi, secara  perlahan,  Ahlul Bait   disingkirkan  dari pentas  kehidupan umat.  Bahkan,  Ahlul Bait disingkirkan   dari shalawat  kaum Muslim.

Kang Jalal berpendapat,   kecintaan kepada keluarga Nabi adalah   titik temu dari  semua mazhab. Karena itu, dia menyarankan,   kalau kita ingin mempersatukan kaum Muslim,  persatukanlah  dari titik  pertemuan ini, yaitu  dari kecintaan kepada keluarga Rasulullah.   (hal 229-230)

Berbagai pendapat  Kang Jalal dalam buku ini bisa menimbulkan pro-kontra. Mereka yang sudah terbiasa  dengan  tradisi bershalawat  dan merayakan Maulid Nabi, tentu sependapat dengannya.

Berbeda  halnya  dengan mereka  yang  “kritis” terhadap  ritual-ritual tersebut. Pasti  mereka  akan mengkritisi saran dan pendapat Kang Jalal menyangkut  tradisi  bershalawat dan peringatan Maulid tersebut. Bahkan   mungkin ada pula  yang mengecam pendapat-pendapat tersebut sebagai bid’ah.

Pembaca yang bijak pasti bisa  menilai dengan arif isi buku ini. Bila sependapat, silakan amalkan. Jika  tidak, tak perlu buru-buru membid’ahkan, tapi sanggahlah pendapat tersebut dengan cara yang  elegan.

No comments:

Post a Comment