Judul buku: The Road to Muhammad
Penulis: Jalaluddin Rakhmat
Penerbit: Mizan dan Muthahhari Press
Tebal: xxxviii + 384 halaman
Banyak cara untuk mengungkapkan rasa cinta kepada kekasih. Umumnya dilakukan dengan memberi sesuatu, entah itu hadiah atau sekedar perhatian melalui kata-kata mesra dan penuh kasih sayang.
Khusus untuk Rasulullah SAW, sebagian umat Islam mengutarakan rasa cintanya melalui pembacaan shalawat, atau memperingati hari lahirnya (Maulid). Namun ada pula yang menganggap memperingati Maulid sebagai bid’ah. Begitu pula dengan membaca shalawat.
Bagi seorang Jalaluddin Rakhmat, menulis buku berisi ajakan untuk mencintai Nabi SAW, dan mengkritisi tarikh (sejarah hidup)-nya yang sudah tercemar riwayat-riwayat yang merendahkan kehormatannya, adalah wujud kecintaan kepada kekasih Allah tersebut. Buku ini buktinya.
Kang Jalal bertekad menulis buku tentang Rasulullah setiap memperingati Maulid Nabi. Menurut editor buku ini, Miftah F. Rakhmat, Kang Jalal, yang juga ayahnya, selalu ingin memberikan “kado sederhana” untuk “manusia termulia”.
Setelah menulis The Road to Allah, kini dia menulis The Road to Muhammad, yang isinya mengingatkan kita semua bahwa tak mungkin kita sampai pada Allah tanpa kecintaan Rasulullah. Dengan kata lain, cinta Nabi rindu Rabbani. (hal xxiv)
Buku ini bukan biografi Nabi. Namun isinya menjelaskan berbagai keutamaan Nabi, baik sebagai reformis agung, kekasih tersuci, maupun guru termulia. Ada juga yang membahas tentang penderitaan dan penghinaan terhadap Rasulullah dan keluarganya.
Berkaitan dengan kecintaan seorang muslim kepada Allah dan Rasul-Nya, Kang Jalal menjelaskan, ada beberapa cara yang digunakan untuk menjauhkan umat Islam dari Allah. Antara lain, dengan memupus kecintaan umat kepada Rasulullah.
Cara ini dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama, memasukkan riwayat-riwayat yang merendahkan Rasulullah, seperti riwayat yang meletakkan Rasulullah – kalau tidak paling bawah – pada peringkat kedua setelah para sahabat.
Kedua, karena umat harus mencintai Rasulullah melalui keluarganya, keluarga Rasulullah disingkirkan perlahan-lahan. Mereka, kata Kang Jalal, disingkirkan sebagai panutan, sebagai imam kaum Muslim.
Ketiga, menyingkirkan keluarga Rasulullah dari shalawat sehingga tinggal shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut Kang Jalal, dalam perjalanan sejarah, bahkan sampai sekarang, telah terjadi bukan saja penyingkiran keluarga Muhammad dari shalawat, melainkan juga penyingkiran shalawat itu sendiri. (hal 20-21)
Dia menilai, saat ini penentangan terhadap kecintaan kepada Rasulullah sangat keras. Ada sebagian dari umat yang bukan saja takut melakukannya, melainkan juga khawatir amalnya terhapus karena dituduh musyrik.
Begitu juga dengan ritual berdiri untuk membacakan shalawat kepada Rasulullah – yang mula-mula dibid’ahkan – kini sudah dimusyrikkan. Ada yang mengecam praktek seperti itu bukan kecintaan, melainkan kultus individu. Istilah tersebut, menurut Kang Jalal, dimunculkan untuk melegitimasi kurangnya kecintaan kepada Rasulullah (hal 215).
Kang Jalal mengaku dirinya dulu pernah membid’ahkan orang yang berdiri mengucapkan shalawat kepada Rasulullah. Dia juga pernah menganggap Rasulullah itu manusia biasa.
“Kalau boleh saya katakan, dalam sejarah hidup saya, sebenarnya tercermin sejarah kaum Muslim dalam hubungannya dengan kecintaan kepada Rasulullah,” dia mengungkapkan.
Sadar akan kekeliruannya selama ini, kini dia mengajak mengucapkan shalawat kepada Nabi untuk mengungkapkan cinta kita kepadanya. Dia menegaskan, kalau ada yang mengatakan bahwa hal itu bid’ah, biarlah semua orang tahu bahwa kita pelaku bid’ah.
Lebih ekstrem lagi, dia menyatakan, “Kalau Islam tidak menghormati Rasulullah, kita ucapkan saja selamat tinggal kepada Islam.” (hal 216)
Mengenai keluarga Nabi (Ahlul Bait), dia menilai banyak umat yang meninggalkan kecintaan kepada Ahlul Bait dikarenakan faktor politik. Sebab, sepanjang sejarah, kelompok Ahlul Bait adalah kelompok yang tertindas secara politik, karena kekuasaaan dipegang oleh orang-orang yang memusuhi keluarga Nabi.
Jadi, secara perlahan, Ahlul Bait disingkirkan dari pentas kehidupan umat. Bahkan, Ahlul Bait disingkirkan dari shalawat kaum Muslim.
Kang Jalal berpendapat, kecintaan kepada keluarga Nabi adalah titik temu dari semua mazhab. Karena itu, dia menyarankan, kalau kita ingin mempersatukan kaum Muslim, persatukanlah dari titik pertemuan ini, yaitu dari kecintaan kepada keluarga Rasulullah. (hal 229-230)
Berbagai pendapat Kang Jalal dalam buku ini bisa menimbulkan pro-kontra. Mereka yang sudah terbiasa dengan tradisi bershalawat dan merayakan Maulid Nabi, tentu sependapat dengannya.
Berbeda halnya dengan mereka yang “kritis” terhadap ritual-ritual tersebut. Pasti mereka akan mengkritisi saran dan pendapat Kang Jalal menyangkut tradisi bershalawat dan peringatan Maulid tersebut. Bahkan mungkin ada pula yang mengecam pendapat-pendapat tersebut sebagai bid’ah.
Pembaca yang bijak pasti bisa menilai dengan arif isi buku ini. Bila sependapat, silakan amalkan. Jika tidak, tak perlu buru-buru membid’ahkan, tapi sanggahlah pendapat tersebut dengan cara yang elegan.
No comments:
Post a Comment