November 20, 2007 pukul 1:25 am
Oleh
JALALUDDIN RAKHMAT
Pada 10
Zulhijjah, dari atas untanya, Nabi Muhammad Saw menyampaikan khotbah. Usai
khotbah seseorang bertanya, “Saya berziarah dulu (tawaf) ke Baitullah. Setelah
itu, saya melempar jumrah?” Beliau berkata, “If’al lâ harâj, lakukan saja.
Tidak ada salahnya.” Yang lain berkata, “Saya bercukur dulu sebelum
menyembelih.” Beliau berkata, “Lakukan saja. Tidak ada salahnya.” Yang lain
bertanya lagi, ”Saya menyembelih sebelum melempar?” Beliau berkata, “Lakukan
saja. Tidak ada salahnya.” Kata Abdullah bin Umar, “Setiap ditanya tentang
sesuatu yang didahulukan atau diakhirkan, Nabi Saw selalu berkata, ‘Lakukan
saja. Tidak ada salahnya’.” (Shahih Al-Bukhari,”Kitab Al-Hajj”).
Para
ulama menghitung tidak kurang dari 24 cara ibadat haji yang disampaikan kepada
Rasulullah Saw, dan beliau membenarkannya; bercukur sebelum melempar, bercukur
sebelum menyembelih, menyembelih sebelum melempar, thawaf ifadhah sebelum
melempar, thawaf ifadhah sebelum bercukur, melempar dan ifadhah bersamaan
sebelum bercukur, thawaf ifadhah sebelum menyembelih, sa’i sebelum thawaf, dan
lain-lain. Berbagai cara haji itu mula-mula memang dipertengkarkan oleh para
sahabat Nabi. Masing-masing merasa hajinya yang paling benar. Ketika setiap
cara itu dikemukakan kepada Nabi, beliau membenarkan semuanya: “lakukan saja.
Tidak ada salahnya.”
“Bukankah
ini menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang harus dilakukan oleh mukalaf –dan
Nabi Saw tidak menentukan dengan tegas cara-cara dan urutannya– pelaksanaannya
terbuka luas. Setiap mukalaf dapat melakukannya sesuai dengan keyakinannya,”
tulis Muhammad Jalil Isa ketika mengomentari hadis ini (lihat kitabnya, Maa laa
Yazuz fih Al-Khilaf, h.66). Sebagai Rasul Allah, Nabi Saw berhak menentukan
cara dan urutan haji yang benar. Tetapi, beliau malah menyerahkannya kepada
pertimbangan praktis para pengikutnya. Bandingkan perilaku Nabi Saw ini dengan
sebagian besar kita. Tidak ada hak pada kita untuk menentukan madzhab fikih
yang benar dan salah. Tetapi, kita malah menetapkan hanya cara dan urutan
ibadat haji seperti yang kita amalkan saja yang benar. Kita sering berkata,
“Nahnu ashwâb; Kamilah yang paling benar.”
Ketika
berkata “If’al lâ harâj”, Nabi Saw bukan saja mengajarkan penghargaan pada
pemahaman agama yang berbeda; beliau juga menunjukkan bahwa yang paling penting
dari ibadat haji bukanlah ritus-ritus formalnya, melainkan hakikatnya.
Ritus-ritus itu, walaupun tidak boleh ditinggalkan, hanyalah wahana untuk
tujuan haji yang sebenarnya. Kita tidak perlu mempertentangkannya. Yang perlu
dibicarakan adalah bagaimana membersihkan ibadat haji kita dari kata-kata
kotor, kefasikan, dan pertengkaran, apa pun alasannya. Inilah yang disebut adab
haji atau rahasia haji (asrâr al-hajj).
Banyak
hadis menjelaskan keutamaan ibadat haji dan tempat-tempat yang mulia, yang
diziarahi jemaah haji:
Barangsiapa
yang haji ke Baitullah, kemudian tidak berkata kotor dan tidak berbuat dosa,
maka ia keluar dari dosanya seperti ketika ia keluar dari perut ibunya.
Barangsiapa yang meninggal di salah satu haramain (Mekkah dan Madinah), maka ia
tidak akan dihadapkan kepada pengadilan Tuhan, tidak akan diperiksa; akan
dikatakan kepadanya, “Masuklah ke surga.”
Orang-orang
yang berhaji adalah rombongan Tuhan dan para peziarah-Nya. Jika mereka meminta,
Tuhan akan mengabulkan permintaannya. Jika mereka meminta ampunan-Nya, Tuhan
akan mengampuninya. Jika mereka berdoa, Tuhan akan mengabulkannya. JIka mereka
meminta syafaat, mereka akan diberinya. (lihat ”Kitab Rahasia Haji”, Ihya Ulum
Al-Din, juz 1).
Semua
keutamaan haji ini hilang bila orang meninggalkan adab batiniahnya. Haji adalah
safar rohani menuju Allah Swt. Menurut Al-Ghazali, orang tidak akan mencapai
Tuhan tanpa meninggalkan kelezatan syahwat dan keterikatan kepada hawa nafsu.
Dahulu, untuk mencapai Tuhan, para pendeta meninggalkan tanah airnya,
mengembara dengan menanggung berbagai kesulitan. Mereka hidup sederhana sambil
merendahkan dirinya di hadapan kebesaran Allah. Boleh jadi mereka berpakaian
kusam dan berambut kusut-masai, berkelana dalam perjalanan panjang mencari
Tuhan.
Ketika
Nabi Saw ditanya para pemeluk agama terdahulu tentang kependetaan dan
pengembaraan, beliau berkata, ”Allah sudah menggantikannya untuk kami dengan jihad
dan takbir pada setiap tempat yang mulia.” Yang dimaksud Nabi dengan jihad dan
takbir adalah haji. Dalam ibadat haji, setiap Muslim menjalani kehidupan
kependetaan. Bukankah ketika mereka wuquf di Arafah, Tuhan membanggakan jemaah
haji di hadapan para Malaikat-Nya: ”Hamba-hamba-Ku datang kepada-Ku denga
rambut kusut-masai dari setiap sudut negeri yang jauh. Wahai hamba-hamba-Ku,
bubarlah dari Arafah dengan ampunan-Ku atas kamu.” Jemaah haji adalah jemaah
pendeta, rombongan orang suci.
Hadis
Pertama
Pada
suatu hari, datanglah kepada Rasulullah Saw dua orang: satu dari Anshar, satu
lagi dari Safiq (dusun yang agak jauh dari Madinah). Orang dari Safiq berkata:
”Sudah lebih dulu datang kesini saudaramu orang Anshar. Ia berkata: ”Ya
Rasulullah, saya sedang dalam perjalanan dan saya dalam keadaan tergesa-gesa.”
Orang Anshar berkata: ”Ya Rasulullah, aku sudah izinkan dia untuk bertanya.”
Rasulullah berkata kepada orang Safiq itu: ”Jika kamu mau, silakan kamu
bertanya kepadaku. Jika tidak mau, aku akan kabarkan permohonan kamu itu.” ”Ya
Rasulullah, kabarkanlah kepadaku dari engkau sendiri.” Lalu, Rasulullah Saw
berkata: ”Engkau bertanya kepadaku tentang shalat, tentang wudhu, dan tentang
sujud.” Orang itu berkata: ”Memang benar begitu, demi yang mengutus engkau dengan
kebenaran.”Kemudian Rasulullah berkata: ”Sempurnakanlah wudhu kamu dan kalau
engkau ruku, penuhkan kedua tanganmu dengan kedua lututmu, dan kalau engkau
sujud, ratakan dahimu di atas tanah dan shalatlah seperti shalat yang terakhir
(perpisahan).” Setelah itu, orang itu berkata: ”Ya Rasulullah, ini keperluanku
sekarang.” Rasulullah berkata: ”Kalau mau, kamu boleh bertanya kepadaku. Kalau
tidak mau, akan kukabarkan juga kepadamu.” ”Ya Rasulullah, kabarkanlah
kepadaku.” ”Kamu mau bertanya kepadaku tentang haji, tawaf, sa’i. melempar
jumrah, mencukur rambut dan hari Arafah.” Orang itu berkata: ”Ketahuilah,
setiap kali unta kamu mengangkat kakinya, Allah tuliskan kebaikan bagi kamu;
dan setiap kali unta itu meletakkan kakinya, Allah hapuskan dari kamu satu
keburukan dan tawaf di Baitullah dan Sa’i antara Shafa dan Marwah, menyebabkan
kamu keluar dari dosa-dosamu, seperti ketika ibumu melahirkan kamu. Kalau kamu
melempar jumrah, lemparan jumrah itu menjadi tabungan kamu untuk hari kiamat.
Kalau kamu mencukur rambut, maka bagi setiap lembar rambut yang jatuh, akan
menjadi cahaya pada hari kiamat, dan hari Arafah adalah hari ketika Allah Azza
wa Jalla membanggakan para jamaah di antara para Malaikat-Nya. Kalau kamu hadir
pada hari itu dengan membawa dosa sebanyak butir-butir pasir di sahara atau
sebanyak butir-butir hujan dari langit atau sebanyak hari-hari di dalam dunia
ini, semua itu akan menghapuskan seluruh dosa itu.”
Itu
salah satu keutamaan ibadat haji. Tentu saja sekarang tidak akan dihitungkan
dari langkah unta; boleh jadi dihitungnya dari putaran ban, naik mobil.
Sebagaimana kita ketahui, Nabi Saw berbicara kepada orang yang sezaman dengan
beliau.
Hadis
Kedua
Kalau
seorang mukmin masuk ke dalam kuburnya, masuk juga bersama dia enam makhluk. Di
antara makhluk itu ada yang paling bagus wajahnya, paling cerah penampilannya,
paling semerbak harumnya, paling bersih keadaannya. Maka berhentilah yang bagus
di sebelah kanannya, dan yang lain di sebelah kirinya; ada yang di hadapannya
dan ada yang di belakangnya, ada yang di dekat kedua kakinya; dan yang paling
bagus duduk di dekat kepalanya. Kemudian yang paling bagus wajahnya berkata,
”Siapa kalian ini? Semoga Allah memberikan balasan kepada kamu semua.” Maka
berkatalah orang yang di sebelah kanannya ”Sayalah shalat yang dia lakukan.”
Berkata yang di sebelah kirinya, ”Saya zakat.” Berkata yang di hadapannya:
”Saya shaum dia.” Berkata yang di belakangnya, ”Saya haji dan umrah dia.”
Berkatalah yang dekat kedua kakinya, ”Sayalah silaturahmi yang dia sambungkan
dengan saudara-saudaranya.” Mereka yang ditanya itu kemudian serempak bertanya
lagi, ”Siapa anda? Wajahmu paling baik dan paling indah di antara kami semua,
harummu paling semerbak dan penampilanmu paling cemerlang.” Dia berkata,
”Sayalah kecintaan dia kepada keluarga Muhammad.”
Hadis
ini sebetulnya menjelaskan ayat Al-Qur’an: ”Barang siapa yang melakukan
kebaikan walaupun sedikit, dia akan melihatnya”. Allah akan mengubah seluruh
kebaikan itu, dari sesuatu yang abstrak menjadi konkret, dan akan anda saksikan
nanti setelah anda berada di alam kubur. Semua amal yang kita lakukan, akan
kita saksikan di alam kubur. Amal-amal saleh wasiat Rasulullah Saw kepada Abu
Dzar adalah agar ia selalu memelihara shalat malamnya, karena malam akan
menghilangkan kesepian dan kesunyian di alam kuburnya nanti.
Hadis
Ketiga
Hadis
yang lain diriwayatkan oleh Ibrahim bin Maimun (sanadnya panjang). Dia berkata:
”Aku berhaji satu tahun, kemudian satu tahun lagi sahabatku saja yang haji.”
”Mengapa engkau tidak melakukan haji, hai Ibrahim.” Ibrahim berkata: ”Aku tidak
punya kesempatan untuk itu, tapi aku bersedekah sebesar ongkos haji itu, 500
dirham”. Abu Abdillah berkata: ”Haji itu lebih utama”. Ibrahim berkata:
”Bagaimana kalau aku keluarkan 1500 dirham?” ”Haji lebih utama.” ”2000 dirham?”
Kemudian Abu Abdillah berkata: ”Adakah dalam 2000 dirham yang engkau sedekahkan
itu tawaf di Baitullah? ”Tidak.” ”Adakah di dalam 2000 dirham itu sa’i di
antara Shafa dan Marwah? ”Tidak.” ”Adakah dalam 2000 dirham itu wukuf di
Arafah? ”Tidak”. ”Adakah dalam 2000 dirham itu melempar Jumrah? ”Tidak.”
”Adakah dalam 2000 dirham itu manasik? ”Tidak.” ”Haji lebih utama.”
Pernah
terjadi perdebatan di antara para ulama. Di antara rukun-rukun Islam itu, mana
yang paling utama: shalat, shaum, zakat, atau haji? Sebagian jumhur ulama
berpendapat, hajilah yang paling utama. Alasannya, di dalam shalat tidak ada
ibadat hajinya, tetapi di dalam haji ada shalatnya. Dalam tawaf, anda wajib
melakukan shalat sunat tawaf. Sebelum berangkat, anda dianjurkan shalat Safar.
Anda dianjurkan shalat di Masjidil Haram. Jadi, dalam haji, ada shalatnya. Di
dalam haji juga ada shaumnya. Kalau orang tidak bisa membayar dam, ia harus
melakukan shaum 10 hari (3 hari pada musim haji dan 7 hari ketika dia pulang).
Orang yang sedang berada dalam perjalanan tidak boleh berpuasa, kecuali orang
yang sedang melakukan haji.
Jadi,
ketika berada di madinah, dianjurkan untuk banyak berpuasa. Ketika berziarah ke
makam Rasulullah Saw, amal-amal yang paling utama di Madinah adalah berpuasa,
walaupun sedang dalam perjalanan.
Hadis
Keempat
Kepada
Abu Abdillah ditanyakan juga keutamaan haji dibandingkan ibadat yang lain.
Beliau berkata: ”haji itu lebih utama daripada shalat dan shaum. karena, kalau
seseorang melakukan shalat, dia meninggalkan keluarganya sebentar saja; kalau
berpuasa, dia meninggalkan keluarga pada waktu siang saja. Tetapi, kalau pergi
haji, dia melelahkan badannya, merepotkan dirinya, menginfakkan hartanya, dan
melamakan perpisahan dari keluarganya; bukan karena harta yang diinginkannya,
bukan pula karena perdagangan.” Jadi, haji adalah ibadat yang paling baik
dibandingkan dengan ibadat yang lain. Pernah ditanyakan juga kepada para Imam
tentang hal yang baik, apakah haji yang berkendaraan atau haji yang berjalan.
Beliau berkata, ”Tidak pernah Allah disembah dengan sesuatu yang lebih utama
daripada haji dalam keadaan berjalan dan tidak ada yang lebih utama dari itu
semua.”
Karena
itulah, sepanjang sejarah sampai sekarang, kita saksikan puluhan ribu kaum
Muslimin berangkat melakukan ibadat haji dengan berjalan. Dari sudut negeri
Afrika yang jauh, mereka menyusuri jalan. Mungkin hanya di laut saja mereka
berkendaraan; setelah itu, mereka berjalan lagi. Sesampainya di Masjidil Haram,
mereka tidak tinggal di hotel. Mereka berkumpul di sekitar halaman Masjidil
haram, dengan langit sebagai atapnya dan tanah sebagai tempat tidurnya. mereka
ditemani burung-burung merpati yang biasanya sering tawaf di sekeliling kabah.
Ketika mereka tawaf di sekitar Kabah, burung-burung merpati pun ikut tawaf
bersama mereka dan menyertai mereka di tempat tidur mereka. Saya ingin sekali
berhaji seperti mereka, berbaring ditemani burung-burung merpati. Imam
Al-Ghazali, dalam Adab Al-Hajj, berkata, ”Kalau kita punya duit, perbanyaklah
berjalan di tanah suci. Daripada dipakai membayar kendaraan, lebih baik
digunakan untuk bersedekah kepada fakir miskin.”
Sebetulnya,
paling tidak untuk beberapa ibadat haji, kita harus berjalan atau lebih baik
berjalan. Misalnya, dari Arafah ke Muzdalifah ke Mina, dari Mina ke Mekah. Ada
usul dari Ziauddin Sardar ketika terjadi kemacetan di terowongan Mina. Ziauddin
mengusulkan agar di daerah tempat melakukan ibadat haji –Arafah, Muzdalifah,
Mina, dan Mekah– dilarang ada kendaraan bermotor. Kalaupun berkendaraan,
gunakan lagi unta, supaya memenuhi hadis itu. Namun, yang paing penting
sebetulnya adalah menjaga kekhusyuan haji itu. Bagaimana anda bisa khusuk pada
haji, kalau anda dihadapkan dengan suara klakson yang keras, macet, dan
disesakkan oleh asap yang keluar dari kendaraan bermotor.
Pada
haji sekarang ini, banyak yang tidak persis dengan haji Rasulullah Saw.
Misalnya, orang dianjurkan bubar dari Arafah bersama-sama; tetapi sekarang itu
tidak bisa dilakukan, karena kendaraannya harus bergiliran. Karena itu, bahkan
ada yang baru bubar dari Arafah pada tengah malam.
Selanjutnya,
yang kedua, dalam haji Rasulullah Saw, kalau sampai di Muzdalifah, kita harus
shalat jama’ dan qashar di Arafah. Selain itu, dalam hajinya, di Muzdalifah,
Rasulullah tidur di bukit-bukit itu, di Masy’aril Haram. Kemudian, setelah
shalat Shubuh, beliau berangkat bersama-sama, berzikir, sesuai ayat Al-Qur’an:
Fadzkurullaha ’indal masyaril haram.” Itu tidak pernah dilakukan oleh jamaah
haji Indonesia. jadi, haji dengan berjalan lebih utama.
Hadis Kelima
Kita teruskan dengan hadis-hadis tentang pahala haji. Dari Ali ibn Husein as: ”Haji dan umrahlah kamu, nanti Allah sehatkan badanmu, Allah luaskan rezekimu, dan Allah cukupkan keperluan keluargamu.” Orang yang haji diampuni dosanya, diwajibkan baginya surga, dibimbing di dalam amal-amal sesudahnya, dan dipelihara keluarga dan hartanya. Orang yang berhaji itu dijaminkan kepada Allah jika Allah memanjangkan usianya, Allah kembalikan dia kepada keluarganya, jika Allah mematikan dia, Allah masukkan dia ke surga. Kalau seseorang itu melakukan haji, paling tidak, dia akan mendapat tiga hal: dikatakan, ’Allah ampuni dosa-dosamu yang lalu dan dosa-dosamu yang kemudian’, atau dikatakan kepanya, ’Allah akan ampuni dosa-dosamu yang lalu dan dosa-dosamu yang kemudian’, atau dikatakan kepadanya, ’Dipelihara keluargamu dan hartamu.’”
Hadis Kelima
Kita teruskan dengan hadis-hadis tentang pahala haji. Dari Ali ibn Husein as: ”Haji dan umrahlah kamu, nanti Allah sehatkan badanmu, Allah luaskan rezekimu, dan Allah cukupkan keperluan keluargamu.” Orang yang haji diampuni dosanya, diwajibkan baginya surga, dibimbing di dalam amal-amal sesudahnya, dan dipelihara keluarga dan hartanya. Orang yang berhaji itu dijaminkan kepada Allah jika Allah memanjangkan usianya, Allah kembalikan dia kepada keluarganya, jika Allah mematikan dia, Allah masukkan dia ke surga. Kalau seseorang itu melakukan haji, paling tidak, dia akan mendapat tiga hal: dikatakan, ’Allah ampuni dosa-dosamu yang lalu dan dosa-dosamu yang kemudian’, atau dikatakan kepanya, ’Allah akan ampuni dosa-dosamu yang lalu dan dosa-dosamu yang kemudian’, atau dikatakan kepadanya, ’Dipelihara keluargamu dan hartamu.’”
Dalam
riwayat yang lain disebutkan, semua yang beribadat haji akan memperoleh pahala termasuk
yang tidak sah sekalipun– yaitu dipelihara keluarga dan hartanya dan digantikan
nafkah yang pernah dikeluarkannya. Dalam sebuah hadis disebutkan, orang yang
sudah tiga kali haji, akan Allah lepaskan ia dari kemiskinan. Kalau orang sudah
Tawaf Ifadhah, tawaf yang terakhir dari ibadat haji, malaikat akan menepuk
bahunya seraya berkata, ”Jangan risaukan dosa-dosamu yang telah lalu, karena
Allah telah mengampuni semuanya. Sekarang perbaikilah amalmu yang akan datang.”
barangsiapa yang haji satu kali, Allah lepaskan belenggunya dari api neraka;
bagi yang dua kali, Allah ampuni dosa-dosanya; kalau tiga kali, Allah
menghitungnya sebagai orang yang terus-menerus melakukan ibadat haji.
Barangsiapa membiayai atau memebekali orang yang naik haji, maka pahalanya sama
dengan orang yang melakukan ibadat haji itu, tidak dikurangi sedikit pun. Sama
seperti orang yang memberi buka kepada orang yang berpuasa.
Oleh
karena itu, kalau ada orang yang mau naik haji, disunahkan membekalinya semampu
kita. Jangan malu-malu memberi sedikit. Sayyidina Ali berkata, ”Berilah
walaupun sedikit. Sebab, tidak memberi itu lebih memalukan lagi.” Atau, kalau
tidak membekalinya, peliharalah keluarga yang ditinggalkannya. Nabi Saw
bersabda, ”Barangsiapa yang menjaga kepentingan keluarga yang haji, dalam harta
dan keluarganya, maka baginya pahala seakan-akan dia ikut mencium Hajar Aswad.
”Dan ketika orang yang haji itu pulang, segeralah ucapkan salam kepadanya dan
menyalaminya. ”Hai orang-orang yang tidak haji, sambutlah dengan gembira
kedatangan orang yang haji. Salami mereka, muliakan mereka supaya disaksikan
juga bahwa kalian berserikat dengan mereka dalam pahala haji mereka.
http://jalal-center.com
No comments:
Post a Comment