Saturday, July 16, 2011

PENGALAMAN MUKTASIM DALAM KEBENARAN YANG HILANG


Bagaimana Permulaannya
Pembahasan tentang cara-cara dan pemikiran yang benar dan bertanggung jawab adalah sesuatu bahasan yang sulit. Tahapan ini adalah tahapan yang sulit, meski pun pembahasan yang saya bahas bersifat spontan. Sepanjang kehidupan saya, saya sering bertanya, berdiskusi dan lain sebagainya, dan tidak ada waktu yang kosong dari pembahasan.

Setelah serangan keras yang dilancarkan oleh kaum Wahabi ter­hadap Sudan, dan pengintensifan diskusi dan dialog, serta semakin berkembangnya pergerakan agama, mulailah tersingkap banyak kebenaran,dan semakin jelas berbagai perselisihan dan pertentangan sejarah, keyakinan dan fikih. Kemudian mulailah upaya-upaya pengkafiran terhadap beberapa kelompok dan keluar mereka dari tali ikatan Islam, yang mendorong kepada terbentuknya mazhab-mazhab yang berbeda.

Meskipun pahit apa yang telah terjadi, namun minat saya untuk melakukan pembahasan malah semakin bertambah, dan saya merasakan realitas pertanyaan-pertanyaan spontan yang selama ini menggangu benak saya.

Besarnya perhatian saya kepada ajaran wahabi dikarenakan diskusi-diskusi dan seminar-seminar yang mereka laksanakan telah menarik perhatian saya. Hal terpenting yang saya pelajari dari mereka ialah keberanian menentang ajaran yang ada. Saya pernah meyakini bahwa ajaran adalah sesuatu yang sakral, yang tidak dapat diserang dan dikritik, meskipun saya banyak memberikan catatan terhadap kenyataan yang ada, yang didasari oleh pertimbangan nurani dan fitrah saya.

Saya terus berjalan bersama mereka, dan banyak sekali diskusi yang terjadi diantara saya dan mereka, yang pada kenyataannya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membingungkan benak saya. Saya memperoleh jawaban yang memuaskan bagi sebagian pertanyaan saya, sementara jawaban sebagian yang lain tidak dapat saya temukan pada mereka. Hal ini menjadi jaminan bagi saya untuk bersimpati dan membantu mereka, namun dengan tetap disertai beberapa catatan yang merintangi saya untuk berpegang secara penuh kepada ajaran wahabi. Yang pertama dan yang terpenting dari itu ialah saya tidak menemukan di sisi mereka apa yang dapat memenuhi cita-cita risalah saya. Kadang-kadang, rasa was-was menghinggapi diri saya dengan mengatakan, sesungguhnya apa yang engkau pikirkan dan yang engkau cari adalah sesuatu yang utopis yang tidak ada kenyata­annya, dan ajaran wahabi adalah ajaran yang paling dekat dengan Islam yang tidak ada tandingannya.


Saya berjalan mengikuti rasa was-was ini dan sekaligus membenarkannya, disebabkan ketidaktahuan saya terhadap pemikiran-pemikiran dan ajaran-ajaran yang lain. Namun, dengan cepat saya sadar bahwa apa yang dilakukan oleh Jamaluddin tidak mungkin merupakan pemikiran wahabi. Saya pernah berteriak lantang, "Sesungguhnya ajaran wahabi adalah jalan yang paling dekat kepada Islam — disebabkan mereka mengemukakan dalil-dalil dan nas-nas yang membenarkan mazhab mereka, yang tidak saya temukan pada kelompok-kelompok lain di Sudan namun kesulitan mereka ialah bahwa mazhab yang mereka bangun tidak ubahnya seperti rumus-rumus matematika. Yaitu berupa kaidah-kaidah yang kaku, yang tanpa memiliki refleksi peradaban yang jelas dalam kehidupan manusia, juga dalam meng-hadapi berbagai macam tataran kehidupan. Baik dalam tataran individu, tataran sosial, tataran ekonomi atau tataran politik, dan bahkan di dalam tata cara berhubungan dengan Allah SWT. Bahkan sebaliknya, ajaran ini menjadikan manusia menjadi liar dan terasing dari masyarakat, dan sekaligus memberikan surat jaminan untuk mengkafirkan kelompok masyarakat yang tidak sepaham dengan mereka. Setiap orang dari mereka tidak bisa hidup bersama dengan masyarakat. Dia selalu membedakan diri dari masyarakat dengan pakaian dan tingkah lakunya. Seluruh sisi kehidupannya tidak sejalan kecuali dengan teman-temannya. Saya merasakan kesombongan dan keangkuhan dari mereka. Mereka memandang manusia mempunyai kedudukan yang tinggi, namun dalam kehidupannya mereka tidak mau bekerja sama dan membaur dengan masyarakat.


Bagaimana mungkin mereka dapat bekerja sama dengan masya­rakat?! Sementara seluruh yang dilakukan masyarakat adalah bid'ah dan sesat dalam pandangan mereka.
Saya masih ingat benar manakala bantuan wahabi masuk ke desa kami, dalam jangka waktu yang tidak berapa lama, dengan tanpa didasari pengkajian dan kesadaran, sekelompok besar dari para pemuda ikut bergabung ke dalam barisan wahabi, namun tidak berapa lama kemudian mereka semua keluar dari barisan tersebut. Menurut perkiraan saya ini disebabkan karena mazhab baru ini melarang mereka berbaur dengan masyarakat, dan mengharamkan banyak sekali ke-biasaan yang sudah mendarah daging pada diri mereka, yang sebenarnya kebiasaan itu tidak bertentangan dengan agama.


Ada baiknya saya sebutkan, bahwa salah satu di antara yang menyebabkan para pemuda yang bergabung dengan mazhab wahabi menderita ialah bahwa ada kebiasaan di desa kami, dimana para pemudanya biasa duduk-duduk di atas hamparan pasir yang bersih di saat malam-malam bulan purnama, di mana mereka menghabiskan malamnya dengan mengobrol. Saat itulah merupakan satu-satunya kesempatan bertemu bagi para pemuda desa setelah bekerja sepanjang had di ladang dan tempat-tempat kerja lainnya. Kini pemimpin mereka melarang perbuatan itu dan mengharamkannya, dengan alasan bahwa Rasulullah saw telah mengharamkan perbuatan duduk-duduk di atas jalan. Padahal tempat-tempat tersebut tidak terhitung jalan. Kedua, dan ini merupakan masalah seluruh orang wahabi, yaitu bahwa setiap orang dari mereka dalam waktu yang singkat dan dengan ilmu yang sedikit telah menjadi seorang mujtahid yang berhak memberikan fatwa dalam masalah apapun. Saya masih ingat, pada satu hari saya duduk berdiskusi dengan salah seorang dari mereka mengenai banyak hal. Di tengah-tengah diskusi dia bangkit berdiri setelah mendengar azan Magrib di mesjid mereka. Saya katakan kepadanya, "Sabar, kita selesaikan dulu diskusi kita." Dia menjawab, "Tidak ada lagi diskusi. Telah datang waktu salat, mari kita salat di mesjid." Saya berkata kepadanya, "Saya salat di rumah", meskipun biasanya saya selalu salat bersama mereka. Dia berteriak lantang, "Batal salat Anda." Saya merasa heran dengan kata-kata ini dan sebelum saya sempat meminta penjelasan darinya dia telah berbalik dan pergi. Saya berkata kepadanya, "Sebentar, apa yang menyebabkan salat saya di rumah batal?"


Dia menjawab dengan penuh kesombongan, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Tidak ada salat bagi tetangga mesjid kecuali di mesjid.'" Saya berkata kepadanya, "Tidak ada perselisihan di dalam keutamaan salat berjamaah di mesjid, namun ini bukan berarti hilangnya kesahan salat di selain tempat ini. Hadis di atas sedang menekankan keutamaan di mesjid, bukan sedang menjelaskan hukum salat di rumah. Adapun dalilnya ialah kita belum pernah melihat di dalam fikih disebutkan bahwa salah satu yang membatalkan salat ialah salat di rumah, dan tidak ada seorang pun dari fukaha yang memberikan fatwa demikian. Adapun yang kedua, dengan hak apa Anda mengeluarkan hukum ini?! Apakah Anda seorang fakih?! Karena sulit sekali bagi seorang manusia untuk bisa memberikan fatwa dan menjelaskan hukum tentang permasalahan tertentu. Seorang fakih harus mempelajari seluruh nas yang berkaitan dengan masalah tersebut. Dia harus mengetahui petunjuk perintah (dilalah al-amr) dan petunjuk larangan (dilalah an-nahy) di dalam nas. Apakah perintah menunjukkan kepada hukum wajib atau hukum mustahab, apakah larangan menunjukkan kepada hukum haram atau hukum makruh. Sungguh, agama ini amat dalam, maka selamilah dengan kehati-hatian."
Tampak kegusaran pada wajahnya. Dia cemberut dan berkata, "Anda telah mentakwil hadis, dan takwil itu haram." Lalu dia pun pergi.
Saya serahkan urusaan saya kepada Allah SWT dari manusia dungu seperti ini, yang tidak memahami apa pun.


Pikiran inilah yang menjadi penyebab kedua yang menghalangi saya menjadi seorang wahabi, meski pun saya banyak terpengaruh dengan pikiran-pikiran mereka dan membelanya.
Dalam keadaan ini untuk beberapa waktu, saya bingung dan tidak mempunyai arah. Terkadang saya mendekati mereka dan terkadang pula saya menjauhi mereka. Saya melihat bahwa jalan satu-satunya yang ada di hadapan saya —sebagai ganti dari sekolah di akademi militer— ialah saya harus belajar di fakultas atau universitas Islam, sehingga saya dapat melanjutkan pengkajiaan saya dengan lebih teliti. Setelah menyelesaikan ujian masuk universitas, di mana di sana terdapat enam universitas atau institut yang diminati oleh para mahasiswa, saya memilih fakultas Islam. Kini, saya telah selesai diterima di salah satu fakultas Keislaman (yaitu fakultas studi Islam dan bahasa Arab di universitas Wadi an-Nil di Sudan). Saya sangat senang dengan penerimaan ini. Setelah menunaikan latihan kemiliteran (bela negara) —yang tidak mungkin seseorang dapat memasuki perguruan tinggi kecuali setelah menunaikan latihan militer ini— mulailah para utusan dari seluruh penjuru Sudan datang ke Universitas, dan saya termasuk yang pertama dari mereka. Pada saat interview, direktur fakultas bertanya kepada saya, tokoh mana yang Anda kagumi? Saya katakan kepadanya, "Jamaluddin", dan saya jelaskan kepadanya alasan saya mengaguminya. Direktur fakultas merasa puas dengan jawaban saya. Setelah banyak mendapat pertanyaan, akhirnya secara resmi saya pun diterima di fakultas. Di fakultas, saya sering mengunjungi perpustakaan, terdapat banyak buku-buku dan ensiklopedia yang tebal-tebal. Akan tetapi, kesulitan yang saya hadapi ialah dari mana saya harus mulai? Dan apa yang harus saya baca?


Saya tetap dalam keadaan ini, berpindah dari suatu buku ke buku yang lain, tanpa mempunyai program yang jelas. Salah seorang dari kerabat saya telah membukakan pintu yang luas dan penting di dalam pembahasan dan penyelidikan, yaitu mempelajari sejarah dan mengkaji mazhab-mazhab Islam, untuk bisa mengetahui kebenaran di antara mereka. Sungguh ini merupakan pertolongan Allah SWT yang tidak saya duga, saya bisa bertemu dengan kerabat saya Abdul Mun'im —dia lulusan fakultas hukum— di rumah paman saya di kota Athbarah. Saat itu dia sedang berbincang-bincang di halaman rumah dengan seorang anggota Ikhwanul Muslimin yang merupakan tamu di rumah paman saya. Saya menajamkan pendengaran saya untuk bisa melndengar apa yang sedang mereka perbincangkan.... Dengan segera saya menuju kepada mereka manakala saya tahu topik yang menjadi perbincangan mereka adalah masalah-masalah agama. Saya duduk di dekat mereka, dan memperhatikan perkembangan perbincangan. Tampak sekali Abdul Mun'im begitu tenang di dalam perbincangan tersebut, meski pun begitu gencar provokasi dan serangan dari pihak lawan. Saya tidak mengetahui secara menyeluruh watak diskusi yang sedang berlangsung, hingga akhirnya anggota Ikwanul Muslimin itu berkata, "Sy'iah itu kafir dan zindiq!!"
Di sini saya mulai mengerti, dan timbul pertanyaan di benak saya....
Siapakah Syi'ah itu? Kenapa mereka kafir? 
Apakah Abdul Mun'im orang Syi'ah?


Apa yang dikatakannya sesuatu yang asing. Apakah itu perkataan Syi'ah?!
Harus diakui bahwa Abdul Mun'im telah dapat mengalahkan lawannya pada setiap masalah yang dikemukaan di dalam diskusi, di samping tampak sekali kemampuan logika dan kekuatan argumentasinya.
Setelah selesai diskusi dan mengerjakan salat magrib, saya mendekati Abdul Mun'im. Saya bertanya kepadanya dengan penuh hormat, "Apakah Anda seorang Syi'ah? Siapakah orang Syi'ah itu? Dan, dari mana Anda mengenal mereka?"
Abdul Mun'im berkata, "Pelan-pelan, satu pertanyaan demi satu pertanyaan”.
Saya berkata kepadanya, "Maaf, saya masih bingung dengan apa yang saya dengar dari Anda."
Abdul Mun'im menjawab, "Ini sebuah pembahasan yang panjang, yang merupakan hasil kerja keras selama empat tahun, dan itu pun masih belum sampai kepada kesimpulan yang diinginkan."
Saya potong pembicaraannya, "Kesimpulan apakah itu?"
Abdul Mun'im menjawab, "Kita hidup di atas timbunan kebodohan dan pembodohan sepanjang hidup kita. Kita berjalan di bela kang masyarakat kita dengan tanpa bertanya, apakah agama yang ada di sisi kita ini adalah yang dikehendaki oleh Allah SWT, yaitu Islam? Setelah melakukan pengkajian, menjadi jelas bagi saya bahwa kebenaran sejauh dalam pandangan saya, yaitu Syi'ah.
Saya berkata kepadanya, "Mungkin Anda tergesa-gesa, atau Anda salah... !"
Mendengar itu dia tersenyum sambil berkata, "Kenapa Anda sendiri tidak mengkajinya dengan teliti dan penuh kesabaran? Apalagi Anda mempunyai perpustakaan di universitas, yang akan memberikan manfaat yang banyak sekali kepada Anda."
Saya berkata dengan penuh keheranan, "Perpustakaan kami perpustakaan Ahlus Sunnah, bagaimana mungkin saya dapat mengkaji Syi'ah?"
Abdul Mun'im menjawab, "Salah satu bukti dari kebenaran Syi'ah ialah mereka berargumentasi atas kebenaran mereka dengan menggunakan kitab-kitab dan riwayat-riwayat ulama Ahlus Sunnah. Karena di dalamnya banyak sekali hal-hal yang menjelaskan kebenaran mereka dengan jelas sekali."
Saya menimpali, "Kalau begitu, sumber-sumber rujukan Syi'ah adalah sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah itu sendiri?"
Abdul Mu'im menjawab, "Tidak, Syi'ah mempunyai sumber-sumber rujukan tersendiri, yang jumlahnya berkali-kali lipat dibandingkan sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dan semuanya diriwayatkan dari Ahlul Bait as dan dari Rasulullah saw. Namun demi-kian, mereka berargumentasi kepada Ahlus Sunnah dengan menggunakan riwayat-riwayat yang ada di dalam sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dikarenakan Ahlus Sunnah tidak percaya kepada apa yang ada pada sisi mereka, maka mau tidak mau mereka harus berhujjah dengan apa-apa yang diyakini oleh kalangan Ahlus Sunnah."
Pembicaraannya menyenangkan saya dan membuat saya tambah berminat untuk melakukan pembahasan. Saya tanya kepadanya, "Kalau begitu, bagaimana saya harus memulai?"
Abdul Mu'in menjawab, "Apakah di perpustakaan Anda terdapat kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Musnad Ahmad, Turmudzi dan Nasa'i?"
Saya menjawab, "Tentu saja, di perpustakaan kami terdapat sekumpulan besar kitab-kitab hadis rujukan."
Abdul Mu'im berkata, "Mulailah dari sini. Kemudian, bacalah kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab sejarah, karena di dalam kitab-kitab ini terdapat hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya mengikuti ajaran Ahlul Bait as."
Mulailah dia menyebut beberapa contoh darinya, dengan tidak lupa menyebutkan sumbernya, sekaligus dengan nomer jilid dan nomer halamannya. Saya terheran-heran. Dengan penuh perhatian saya mendengarkan hadis-hadis yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Saya ragu apakah hadis-hadis ini benar-benar ada di dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah. Namun dengan segera Abdul Mun'im memotong keraguan saya itu dengan mengatakan, "Catat hadis-hadis ini oleh Anda, dan kemudian carilah di perpustakaan. Nanti kita ketemu lagi pada hari Kamis yang akan datang —Insya Allah.''


Pada Hari Jumat
Setelah saya merujuk hadis-hadis tersebut ke dalam Sahih Bukhari, Muslim dan Turmudzi di perpustakaan universitas kami, saya menjadi yakin akan kebenaran apa yang dikatakannya. Saya kaget dengan serangkaian hadis-hadis lain yang lebih menunjukkan kepada wajibnya mengikuti Ahlul Bait, yang membuat saya menjadi shok. Kenapa kita belum pernah mendengar hadis-hadis ini sebelumnya?!
Maka saya pun menunjukkan serangkaian hadis ini kepada sebagian teman-teman saya, supaya mereka pun ikut serta berpartisipasi di dalam kesulitan ini. Sebagian dari mereka memberikan perhatian, sementara sebagiannya lagi tidak begitu peduli. Namun saya telah bertekad untuk melanjutkan pengkajian, meski pun untuk itu saya harus menghabiskan seluruh umur saya. Ketika tiba hari Kamis, saya pergi ke Abdul Mun'im. Dia menyambut kedatangan saya dengan penuh senang hati. Dia berkata, "Anda tidak boleh tergesa-gesa, Anda harus melanjutkan pengkajian Anda dengan penuh kesadaran."


Kemudian kami mulai membahas permasalahan-permasalahan lain yang beraneka macam, dan itu terus berlangsung hingga Jumat sore. Saya banyak mendapatkan manfaat dari pembahasan-pembahasan itu, dan banyak mengetahui sesuatu yang sebelumnya saya tidak ketahui. Sebelum saya kembali ke kampus dia meminta saya untuk membahas beberapa masalah. Demikianlah hal itu berlangsung hingga beberapa waktu. Diskusi yang berlangsung di antara saya dengan dia selalu berubah dari waktu ke waktu. Terkadang saya berbicara keras kepadanya, dan terkadang saya membantah beberapa permasalahan yang sudah amat jelas. Sebagai contoh, ketika saya merujuk beberapa hadis di dalam kitab-kitab rujukan, dan saya meyakini keberadaannya, saya katakan kepadanya, "Hadis-hadis ini tidak ada." Sampai sekarang saya tidak tahu apa yang mendorong saya melakukan itu, selain dari pe-rasaan merasa terdesak dan menginginkan kemenangan.


Dengan cara ini, dan dengan semakin bertambahnya pembahasan, tersingkaplah kebenaran di hadapan saya yang tidak saya perkirakan sebelumnya. Sepanjang periode ini saya banyak melakukan diskusi dengan teman-teman. Ketika meraka tidak mampu lagi menghadapi saya, mereka meminta saya untuk berdiskusi dengan doktor yang mengajarkan mata kuliah ilmu fikih kepada kami. Saya katakan, "Tidak ada halangan bagi saya, namun terdapat penghalang di antara saya dengan dia yang menghalangi saya dapat berbicara bebas dengannya." Mereka tidak merasa puas dengan jawaban saya. Mereka mengatakan, "Di antara kami dan Anda ada dosen, jika argumentasi Anda dapat memuaskannnya maka kami akan bersama Anda..!"
Saya katakan, "Yang menjadi masalah bukanlah memuaskan atau tidak memuaskan, yang menjadi masalah ialah dalil dan argumentasi, dan pencarian akan kebenaran...."
Pada permulaan mata kuliah fikih mulailah saya berdiskusi dengan dosen saya dalam bentuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Nampak dia tidak banyak menentang saya, bahkan sebaliknya dia menekankan kecintaan kepada Ahlul Bait as dan keharusan mengikuti mereka, serta menyebut keutamaan-keutamaan mereka. Selang be­berapa hari dia meminta saya untuk menemuinya di kantornya, di kantor pusat universitas. Setelah saya pergi menemuinya, dia menyodorkan kepada saya sebuah kitab yang terdiri dari beberapa juz, yaitu kitab Sahih al-Kafi, yang termasuk kitab rujukan hadis yang paling dipercaya di kalangan Syi'ah. Dia meminta kepada saya untuk tidak semberono terhadap kitab ini, karena kitab ini merupakan warisan dari Ahlul Bait. Saya tidak dapat berbicara sepatah kata pun karena saking gugupnya, lalu saya ambil kitab itu dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Saya pernah mendengar kitab ini namun saya belum pernah melihatnya. Hal ini menjadikan saya ragu apakah doktor ini seorang Syi'ah, meski pun saya tahu dia itu seorang Maliki. Setelah bertanya ke sana ke mari, menjadi jelas bagi saya bahwa dia itu se­orang sufi yang mencintai Ahlul Bait as.


Ketika teman-teman saya melihat kesesuaian di antara saya dengan dosen tersebut, mereka meminta kepada saya untuk berdiskusi dengan dosen lain, yang mengajarkan mata kuliah hadis. Dosen mata kuliah hadis tersebut adalah seorang laki-laki yang taat beragama, sangat tawadu dan baik akhlaknya. Saya amat mencintainya. Maka saya pun memenuhi permintaan mereka. Mulailah terjadi diskusi di antara kami dalam banyak masalah. Saya menanyakan kepadanya tentang kesahihan beberapa hadis, dan dia pun menguatkan kesahihan hadis-hadis tersebut. Setelah berjalan beberapa waktu, saya merasakan ketidaksukaan dia dengan diskusi-diskusi saya, dan begitu juga teman-teman saya merasakan hal yang sama. Maka saya pun berpikir bahwa cara yang paling baik untuk melanjutkan diskusi ialah melalui tulisan. Lalu saya tulis sekumpulan hadis dan riwayat yang menunjukkan secara jelas akan wajibnya mengikuti Ahlul Bait as, dan saya minta kepadanya untuk membahas kesahihan hadis-hadis ini. Setiap hari saya meminta jawaban darinya, namun dia membela diri dengan mengatakan tidak ada pembahasan. Saya terus mengikutinya dengan cara ini, hingga dia merasakan rasa kegelisahan saya.
Dia mengatakan kepada saya, "Semuanya sahih."
Saya katakan, "Semuanya jelas menunjukkan wajibnya mengikuti Ahlul Bait."
Dia tidak menjawab, melainkan bergegas pergi ke kantor. Tindakannya ini merupakan goncangan bagi saya, dan menjadikan saya merasakan kebenaran akan perkataaan Syi'ah. Namun saya ingin perlahan-lahan dan tidak ingin tergesa-gesa di dalam memutuskan.
Kebetulan, dekan fakultas kami adalah Profesor 'Alwan. Dia mengajar mata kuliah tafsir bagi kami. Pada suatu hari dia berbicara tentang tafsir firman Allah SWT yang berbunyi, "Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi",
"Sesungguhnya Rasulullah saw tatkala berada di Ghadir khum dia menyeru manusia, maka mereka pun berkumpul. Lalu Rasulullah saw mengangkat tangan Ali as seraya berkata, 'Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali sebagai pemimpinnya.' Berita itu pun tersebar ke seluruh pelosok negeri, dan sampai kepada Harits bin Nukman al-Fihri. Lalu dia mendatangi Rasulullah saw dengan menunggang untanya. Kemudian dia menghentikan untanya dan turun darinya. Harits bin Nukman al-Fihri berkata,
'Hai Muhammad, kamu telah menyuruh kami tentang Allah, supaya kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa kamu adalah utusan-Nya, dan kami pun menerimanya. Kamu perintahkan kami untuk menunaikan salat lima waktu, dan kami pun menerimanya. Kamu perintahkan kami untuk menunaikan zakat, dan kami pun menerimanya. Kamu peritahkan kami untuk berpuasa di bulan Ramadhan, dan kami pun menerimanya. Kamu perintahkan kami untuk melaksakan ibadah haji, dan kami pun menerimanya. Kemudian kamu tidak merasa puas dengan semua ini sehingga kamu mengangkat tangan sepupumu dan mengutamakannya atas kami semua dengan mengatakan, 'Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya. 'Apakah ini dari kamu atau dari Allah?'
Rasulullah saw menjawab, 'Demi Allah yang tidak ada Tuhan melainkan Dia, sesungguhnya ini berasal dari Allah SWT.' Mendengar itu Hants bin Nukman al-Fihri berpaling dari Rasulullah saw dan bermaksud menuju ke kendaraannya sambil berkata, 'Ya Allah, seandainya apa yang dikatakan Muhammad itu benar maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.' Maka sebelum Harits bin Nukman al-Fihri sampai ke kendara­annya tiba-tiba Allah menurunkan sebuah batu dari langit yang tepat mengenai ubun-ubunnya dan ke mudian tembus keluar dari duburnya, dan dia pun mati. Kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya,
'Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. Untuk orang-orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya.' "[2]
Setelah selesai pelajaran salah seorang teman saya menemuinya dan berkata kepadanya, "Apa yang telah Anda katakan adalah perkataan Syi'ah." Bapak dekan tertegun sejenak, kemudian memandang ke arah pemerotes seraya berkata, "Panggil Mu'tashim ke ruang kantor...!"
Saya merasa heran dengan permintaan ini, dan merasa takut bertemu bapak dekan. Namun saya cepat-cepat menguasai diri saya dan pergi menemuinya. Sebelum sempat saya duduk, bapak dekan berkata kepada saya, "Anda orang Syi'ah!"
Saya menjawab, "Saya semata-mata hanya seorang yang sedang mengkaji."
Bapak dekan berkata, "Pengkajian itu sesuatu yang bagus, dan sesuatu yang harus."
Bapak dekan mulai menyebutkan beberapa kecurigaan tentang Syi'ah yang banyak disebut orang. Namun dengan pertolongan Allah SWT saya bisa menjawab semua itu dengan sekuat-kuatnya dalil dan argumentasi, dan dapat lancar berbicara melebihi dari yang saya duga. Sebelum menutup pembicaraan kami, dia berpesan kepada saya akan kitab al-Muraja 'at. Dia mengatakan, "Kitab al-Muraja 'at termasuk kitab yang bagus dalam hal ini."


Setelah saya membaca kitab al-Muraja 'at, Ma'alim al-Madrasatain dan beberapa kitab yang lain, maka kebenaran pun menjadi jelas bagi saya dan tersingkaplah kebatilan dari hadapan saya, disebabkan dalil-dalil yang jelas, dan argumentasi-argumentasi yang terang, yang menunjukkan kebenaran mazhab Ahlul Bait as, yang terkandung di dalam kedua kitab ini. Dengan begitu, kekuatan saya di dalam berdiskusi dan mengkaji pun menjadi semakin bertambah, sehingga Allah SWT membukakan cahaya kebenaran di dalam hati saya, dan saya pun mengumumkan Kesyi'ahan saya.
Selanjutnya mulailah periode baru dari pergumulan. Orang orang yang tidak mampu berdiskusi, mereka tidak menemukan jalan lain selain dari jalan olok-olok, caci maki, ancaman, fitnah dan jalan-jalan kebodohan lainnya. Saya serahkan seluruh urusan saya kepada Allah SWT, dan saya sabar dengan apa yang terjadi, meskipun serangan-serangan yang dialamatkan kepada saya itu berasal dari teman-teman saya, yang telah mengharamkan makan dan tidur dengan saya dalam satu atap.


Mereka mengasingkan saya secara penuh, kecuali sebagian teman yang lebih paham dan lebih terbuka. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya saya bisa menormalkan kembali hubungan saya dengan semuanya, dan dalam bentuk yang lebih baik dari yang semula. Bahkan saya menjadi orang yang dihormati dan dihargai di tengah-tengah mereka. Sebagian mereka meminta pertimbangan saya di dalam setiap masalah yang kecil maupun yang besar, dari masalah-masalah kehidupannya. Namun ini semua tidak berlangsung lama. Api fitnah pun kembali menyala, setelah tiga orang mahasiswa lainnya mengumum­kan Kesyi'ahan mereka, di samping sekelompok besar mahasiswa yang menampakkan simpati dan dukungan mereka kepada Syi'ah. Serangkaian konflik dan guncangan pun mengelilingi kami, dan kami menghadapi semua itu dengan berpegang teguh kepada akhlak dan hikmah, sehingga kami mampu menghilangkan kemarahan dengan sesegera mungkin.






DI DESA KAMI

Desa kami (Nadi) adalah salah satu desa kecil yang berada di kawasan timur Sudan di tepian sungai Nil. Mayoritas penduduknya berasal dari kabilah Ribathab. Kabilah ini terkenal dengan kecerdasan dan ketajaman berpikiraya. Mata pencahariannya berkebun pohon kurma dan pertanian musiman.
Di desa ini, orang-orang wahabi mengeksploitasi penduduknya yang tulus dengan menyebarkan pikiran-pikiran wahabi. Mereka menanamkan pengaruhnya kepada pikiran dan pemahaman para penduduk desa dengan cara yang tidak langsung, yaitu dengan cara banyak menyelenggarakan berbagai ceramah dan pertemuan. Pada awalnya saya menahan diri, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca dan berdakwah kepada mazhab Ahlul Bait di kalangan keluarga dan saudara. Di antara saya dan kakak saya paling besar berlangsung perdebatan dan pertengkaran yang cukup sengit, hingga sampai kakak saya menolak untuk membaca buku-buku Syi'ah dan mengancam untuk membakarnya. Setelah melalui berbagai macam perdebatan, akhirnya saya mampu mempengaruhinya, dan dia pun mulai membaca beberapa buku, seperti Ahlul Bait al-Qiyadah Rabbaniyyah, al-Muraja'at, Ma'alim al-Madrasatain dan buku-buku lainnya. Hingga akhirnya Allah SWT menunjukkannya kepada cahaya Ahlul Bait as, dan kemudian dia pun mengumumkan Kesyi'ahannya. Adapun keluarga saya yang lain, umumnya mereka menunjukkan simpati dan dukungannya.


Dengan begitu maka tersebarlah misi saya di desa. Saya mulai menjelaskan Mazhab Ahlul Bait kepada para penduduk desa. Maka bangkitlah kemarahan para penganjur ajaran Wahabi, sehingga setiap ceramah yang mereka sampaikan selalu berisi kecaman dan fitnahan terhadap Syi'ah. Bahkan, terkadang mereka menyerang pribadi saya, namun saya menghadapi semua itu dengan sabar dan lapang dada.

Dialog dengan Seorang Pemimpin Wahabi

Telah berlangsung dialog di antara saya dengan pemimpin mereka, yang bernama Ahmad Amin. Saya meminta kepadanya untuk menggunakan nalar dan meninggalkan kesemberonoan dan penyerangan yang tidak layak. Setelah merasa tidak tahan lagi, dan semakin bertambah kekeraskepalaan dan keta'asuban mereka, maka saya pun pergi ke mesjid mereka dan menunaikan salat Zuhur di belakang mereka. Setelah selesai salat Zuhur saya bertanya kepadanya, "Apakah saya pernah memprotes Anda selama ini dikarenakan Anda mengecam dan mengkafirkan Syi'ah melalui pengeras suara?!"
Dia menjawab, "Tidak."
Saya bertanya lagi, "Apakah Anda tahu sebabnya?
"
Dia menjawab, "Tidak tahu."
Saya berkata, "Sesungguhnya perkataan Anda adalah penyerangan dan kebodohan, dan sekaligus penentangan terhadap pribadi saya. Saya takut memprotes Anda karena saya khawatir itu akan menjadi pembelaan bagi diri saya dan bukan pembelaan bagi kebenaran. Sekarang, saya minta kepada Anda untuk melakukan dialog ilmiah dan sistematis di hadapan semua yang hadir, sehingga tersingkap kebenaran."
Dia berkata, "Tidak ada halangan bagi saya."
Saya menjawab, "Jika begitu silahkan tentukan tema-tema yang akan didialogkan."
Dia berkata, "Penyimpangan Al-Qur'an dan keadilan sahabat."
Saya jawab, "Baik, namun ada dua perkara penting lainnya yang juga harus didialogkan, yaitu tentang sifat Allah dan tentang kenabian yang ada di dalam keyakinan riwayat Anda."
Dia menjawab, "Tidak!” 
Saya tanya, "Kenapa?"
Dia berkata, "Saya yang menentukan tema-tema dialog. Jika saya meminta dialog kepada Anda, maka baru Anda yang berhak menentukan tema-tema dialog."
Saya jawab, "Tidak masalah, kapan kita lakukan?"
Dia berkata, "Hari ini, setelah salat Magrib." Dia mengira saya akan takut dengan waktu yang dekat ini. Maka saya pun menunjukkan persetujuan saya dengan senang, dan kemudian meninggalkan mesjid.
Setelah menunaikan salat magrib dialog pun dimulai. Mulailah pemimpin mereka, Ahmad Amin —sebagaimana biasanya— menyerang dan mengecam Syi'ah dengan tuduhan bahwa Syi'ah meyakini adanya penyimpangan terhadap Al-Qur'an (tahrif Al-Qur'an), sambil memegang kitab al-Khuthuth al-'Aridhah (Garis-Garis Peringatan) karya Muhibbuddin di tangannya. Setelah dia selesai bicara, mulailah saya bicara. Saya bangkit menjawab semua tuduhan yang dilontarkannya itu secara rinci. Saya katakan, Syi'ah sama sekali berlepas diri dari keyakinan tahrif Al-Qur'an. Setelah itu saya katakan kepadanya, "Sebagaimana perkataan Nabi Isa as, 'Engkau melihat jerami yang ada di pelupuk mata orang namun engkau tidak melihat batang pohon yang ada di pelupuk matamu', sesungguhnya riwayat-riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis Ahlul-Sunnah dengan jelas mengatakan adanya tahrif Al-Qur'an. Sehingga penisbahan keyakinan adanya tahrif Al-Qur'an kepada Ahlul-Sunnah jauh lebih dekat dari penisbah-annya kepada Syi'ah." Kemudian saya menyebutkan kurang lebih dua puluh riwayat, dengan disertai sumber dan nomer halamannya dari kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Musnad Ahmad dan kitab al-Itgan fi 'Ulum al-Qur'an, karya as-Suyuthi. Sebagai contoh,

Imam Ahmad bin Hanbal mengeluarkan di dalam Musnadnya, dari Ubay bin Ka'ab yang berkata, "Berapa ayat Anda membaca surat al-Ahzab?" Dijawab, "Sekitar tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan ayat." Ubay bin Ka'ab berkata, "Sungguh, saya telah membacanya bersama Rasulullah saw panjangnya seperti surat al-Baqarah, dan di dalamnya terdapat ayat rajam."[3]


Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab sahihnya, dengan bersanad dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa Umar bin Khattab telah berkata, "Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw dengan kebenaran dan telah menurunkan Al-Qur'an kepadanya. Di antara ayat-ayat yang diturankan oleh Allah itu ialah ayat rajam, yang kami telah membacanya, menghapalnya dan memahaminya. Oleh karena itu, Rasulullah saw melaksanakan hukum rajam, dan begitu juga kami sepeninggalnya. Sungguh aku khawatir jika jaman berlangsung lama atas manusia akan ada orang yang mengatakan, 'Demi Allah, kami tidak menemukan ayat rajam di dalam Kitab Allah', maka mereka pun menjadi sesat karena meninggalkan kewajiban yang telah diturunkan Allah..." Hingga Umar bin khattab mengatakan, "Begitu juga kami pernah membaca sebuah ayat di dalam Kitab Allah yang berbunyi,
'Janganlah kamu membenci bapak-bapakmu, karena yang demikian itu adalah kekufuran bagimu, dan sesungguhnya kekufuran bagimu ialah kamu membenci bapak-bapakmu."[4]


Muslim meriwayatkan di dalam kitab sahihnya, "Perawi berkata, 'Abu Musa al-Asy'ari diutus menemui para pembaca Al-Qur'an dari penduduk Basrah, maka dia pun menemui tiga ratus orang yang baru selesai membaca Al-Qur'an. Abu Musa al Asy'ari berkata kepada mereka, 'Anda adalah sebaik-baiknya penduduk Basrah dan para pem-baca Al-Qur'an (qori) mereka, maka bacalah, dan janganlah Anda semua menunda-nunda sehingga hati Anda menjadi keras sebagaimana orang-orang sebelum Anda. Sungguh kami pernah membaca sebuah surat yang dari segi panjang dan kekerasannya serupa dengan surat al-Bara'ah, namun saya telah lupa dan hanya satu ayat saja yang masih saya hapal, yaitu 'Sekiranya seorang anak Adam mempunyai dua lembah harta nicaya dia akan mencari lembah yang ketiga, dan tidak ada yang memenuhi perut anak Adam kecuali tanah.' Begitu pula kami pernah membaca sebuah surat yang hampir sama dengan salah satu surat yang diawali dengan tasbih, namun kami telah lupa kecuali satu ayat darinya,
'Wahai orang-orang yang beriman, kenapa Anda mengatakan apa yang Anda tidak lakukan. Maka akan ditulis kesaksian pada leher-leher Anda, dan kelak Anda akan ditanya tentangnya pada hari kiamat. '"[5]


Pada saat saya menyebutkan riwayat-riwayat ini, saya lihat kedua mata Syeikh terbelalak, mulutnya ternganga, dan tampak sekali keheranan di wajahnya. Ketika saya berhenti bicara, dengan segera Syeikh berkata, "Saya belum pernah mendengar dan melihat riwayat-riwayat ini. Saya minta Anda menghadirkan kitab-kitab rujukan ini ke hadapan saya."
Saya jawab, "Baru saja Anda menyerang Syi'ah dan menuduhnya meyakini tahrif Al-Qur'an, kenapa Anda tidak menghadirkan kitab-kitab mereka yang belum pernah Anda lihat selama hidup Anda. Anda harus menghadirkan kitab-kitab rujukan Anda. Ini perpustakaan Anda, di dalamnya terdapat sahih Bukhari, sahih Muslim dan kitab-kitab hadis lainnya. Coba ambilkan kitab-kitab ini, sehinga saya tunjukkan riwayat-riwayat ini kepada Anda. Ketika dia tidak menemukan jalan keluar, dengan serta merta dia lari ke tema yang lain, yaitu bahwa Syi'ah meyakini konsep taqiyyah. Bagaimana kita dapat membenarkan perkataan mereka?!
Timbullah kegaduhan di kalangan hadirin, hingga akhirnya bangkit salah seorang dari mereka mengumandangkan azan Isya. Selesai mengerjakan salat kami sepakat untuk meneruskan dialog pada hari-hari yang akan datang, yaitu dengan cara memilih setiap harinya satu tema yang akan kami dialogkan. Keesokan harinya di waktu pagi saya tengah duduk di depan rumah saya, kemudian Syeikh itu lewat dan memberi salam kepada saya dengan penuh hormat seraya berkata, "Sesungguhnya pembahasan-pembahasan ini tidak dipahami oleh masyarakat umum, maka alangkah bagusnya jika kita berdialog secara khusus, antara saya dan Anda."
Saya menjawab, "Saya setuju, namun dengan syarat Anda harus menghentikan serangan kepada Syi'ah." Sejak saat itu saya tidak mendengar lagi dia menyerang Syi'ah.



BEBERAPA CATATAN YANG HARUS DIPERHATIKAN

Sebelum saya merekam beberapa pembahasan saya di dalam buku ini, saya ingin mengisyaratkan beberapa catatan yang dapat saya simpulkan dari pengalaman-pengalaman saya mengenai metode pembahasan.

1.    Yakin dan tawakkal kepada Allah SWT adalah merupakan titik tolak pembahasan. Allah SWT telah memberikan cahaya akal kepada manusia, dan menyerahkan urusan penggunaannya ke tangan manusia. Barangsiapa yang mengabaikan cahaya ini dan tidak menyalakannya untuk menyingkap kenyataan, niscaya dia akan hidup di dalam timbunan kebodohan, khurafat dan kesesatan. Berbeda dengan mereka yang menggunakan dan mengembangkan akalnya. Perbedaan di antara kedua kelompok ini kembali kepada satu sebab, yaitu yakin dan tidak yakin. Orang yang merasa lemah dan kalah, dia tidak akan memperoleh manfaat dari akalnya. Adapun orang yang yakin kepada Allah SWT dan kepada akal yang telah diberikan-Nya niscaya dia akan sampai kepada puncak pengetahuan dan peradaban. Oleh karena itu, kebanyakan orang yang menentang cara saya di dalam pembahasan, mereka menggunakan cara ini untuk melemahkan keyakinan diri saya. Mereka mengatakan, "Dari mana Anda mempunyai kemampuan untuk membahas masalah-masalah ini?! Sementara ulama-ulama besar kita belum sampai kepada apa yang yang Anda katakan. Apa kedudukan Anda di hadapan ulama-ulama besar?!" Dan hal-hal lain yang digunakan untuk menghancurkan keyakinan diri.

2.    Menjauhkan diri dari tindakan menipu diri. Dalam arti, mencegah merembesnya kebenaran ke dalam akal. Terkadang itu dilakukan dengan cara menutup diri terhadap kenyataan, sehingga menjadikan seseorang bersikap ta'assub dan tidak mau mendengarkan kata-kata dan pikiran orang lain, tidak mau membaca buku-buku, dan tidak mau bersikap terbuka terhadap keilmuan orang lain. Setiap seruan yang menyuruh kepada penutupan diri, dengan tidak melakukan pembahasan dan tidak mencari ilmu, maka seruan yang seperti ini adalah seruan yang ingin mempertebal kebodohan dan menjauhkan manusia dari kebenaran. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh orang-orang wahabi, yang melarang manusia membaca buku-buku Syi'ah, dan duduk serta berdiskusi dengan orang-orang Syi'ah, adalah cara yang lemah, dan merupakan logika yang tidak sehat. Al-Qur'an al-Karim telah mengecam cara berpikir yang seperti ini dengan firman-Nya, "Katakanlah, 'Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar." (QS. Al-Baqarah:111)

3.    Memperkuat keinginan dalam menghadapi gelombang syahwat dan tekanan masyarakat, yang mengelak dari setiap orang yang menentang dan membangkangnya. Seseorang harus menghadapi tekanan-tekanan ini dengan kesabaran dan kemauan kuat, karena kebenaran tidak terbentang mudah bagi masyarakat dan karakter manusia. Sejarah para nabi Allah telah menunjukan kepada kita betapa mereka mendapat berbagai macam siksaan yang sangat keras dari masyarakat mereka. Bani Israil telah membunuh tujuh puluh orang nabi dalam sehari. Allah SWT berfirman, "Dan tiada seorang nabipun datang kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-oloknya." (QS. az-Zukhruf: 7)

4.    Di sana terdapat banyak hijab, yang terkadang menjadi penghalang tersingkapnya kebenaran. Kita harus memperhatikan dan mengawasinya sehingga kebenaran menjadi lebih jelas. Di antara hijab-hijab itu ialah:

a) Kecintaan terhadap diri. Ini merupakan seburuk-buruknya penyakit yang menimpa setiap manusia. Dari penyakit inilah terpantul seluruh sifat yang tercela, seperti hasud, dengki dan keras kepala. Ketika seorang manusia menjadikan pikiran dan keyakinanya sebagai bagian dari diri dan eksistensinya, sehingga meskipun pikiran dan keyakinannya itu merupakan sesuatu yang khurafat dia tidak mungkin mau menerima segala macam bentuk kritikan yang ditujukan kepadanya. Karena dia menganggap kritikan itu sebagai kritikan terhadap diri dan eksistensinya. Dengan insting mempertahankan diri dan kecintaan terhadapnya, dia akan berperang membela pikiran dan keyakinnya dengan tanpa kesadaran. Dan terkadang dia bersikap ta'asub terhadap sebuah pemikiran disebabkan pemikiran itu menda-tangkan manfaat baginya atau menolak bahaya darinya. Oleh karena itu, dia akan sekuat tenaga membelanya dan menolak segala macam bentuk pemikiran yang lain, meskipun kebenarannya tampak jelas di hadapan matanya. Atau, terkadang juga dia menyukai sebuah pemikiran karena pemikiran itu sejalan dengan hawa nafsunya atau hawa nafsu masyarakatnya, sehingga dia tidak akan mau surut darinya.


b) Kecintaan terhadap nenek moyang. Kecintaan ini mendorong manusia mengikuti mereka dengan tanpa didasarkan kepada pemikiran dan perenungan. Karena dorongan penghormatan dan rasa takut, disamping pendidikan, seseorang tunduk dan menyerah secara mutlak kepada pemikiran dan keyakinan nenek moyang mereka. Ini merupakan salah satu hijab terbesar yang menghalangi manusia untuk bisa menyingkap kebenaran.
c) Kecintaan kepada salaf. Pandangan mengkultuskan para ulama dan orang-orang besar terdahulu, menuntun manusia untuk bertaklid kepada mereka secara mutlak dan bersandar kepada pemikiran-pemikirannya. Ketundukan yang seperti ini merupakan pendorong bagi manusia untuk menyimpang dari kebenaran. Allah tidak menjadikan akal mereka sebagai hujjah bagi kita, melainkan justru akal seluruh manusia sebagai hujjah baginya. Penghormatan kita kepada mereka tidak melarang kita untuk mendiskusikan dan mengkaji pemikiran-pemikiran mereka, supaya kita tidak termasuk ke dalam kelompok orang yang dikatakan oleh Allah SWT, "Dan mereka berkata, 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.'" (QS.al-Ahzab: 67)
d) Salah satu faktor lain yang mendorong manusia jatuh pada kesalahan ialah ketergesa-gesaan. Ketergesa-gesaan ini buah dari senang kepada kemudahan. Dengan tanpa mau bersusah payah dirinya di dalam pembahasan dan penyelidikan, ia ingin mengeluarkan hukum sedini mungkin. Barangsiapa yang menginginkan kebenaran maka dia harus memaksa dirinya untuk bekerja keras di dalam melakukan pembahasan.


Dan begitu juga catatan-catatan ilmiah lainnya yang mau tidak mau harus diletakkan oleh seorang pembahas di hadapan kedua matanya sebelum mulai melakukan pembahasan. Ini pun harus disertai dengan penerimaan total manakala kebenaran itu muncul. Di samping juga memohon pertolongan kepada Allah SWT supaya Dia menerangi hati Anda dengan cahaya kebenaran. "Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebenaran itu kebenaran dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah kebatilan itu kebatilan dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk menjauhinya." (Hadis)●

BAB II

Dan Tersingkaplah Kebohongan

Hadis yang menyatakan "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin sepeninggalku, dan peganglah erat-erat serta gigitlah dengan gigi gerahammu" dan hadis yang menyatakan "Sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunahku", keduanya bagi saya merupakan dalil terkuat yang saya gunakan ketika saya cenderung kepada pemikiran Wahabi. Saya hafal betul kedua hadis tersebut sering diulang-ulang oleh para ulama mereka di dalam buku-buku dan ceramah-ceramahnya, tidak terlintas di dalam benak saya untuk memeriksa referensi aslinya. Bagi saya kedua hadis itu sebagai sesuatu yang pasti dan tidak perlu diragukan lagi. Karena kedua hadis itu merupakan dasar utama bangunan pemikiran Ahlus Sunnah, lebih khusus lagi pemikiran Wahabi yang dibangun kokoh di atas dasar kedua hadis ini. Tidak terlintas sedikit pun di dalam benak saya untuk meragukan kesahihan kedua hadis tersebut. Hadis ini pula yang menjadi landasan titik tolak bergabungnya saya ke dalam mazhab Ahlus Sunnah. Oleh Karenanya, keraguan terhadap hadis tersebut merupakan keraguan akan keanggotan saya ke dalam mazhab Ahlus Sunnah.
Pemikiran ini bukanlah merupakan produk jaman sekarang atau produk pemikiran Ahlus Sunnah, melainkan telah dirancang sejak masa silam dengan tujuan untuk menyembunyikan kebenaran dan menghadapi jalan Ahlul Bait, memerankan Islam dengan bentuknya yang paling indah. Namun sangat disayangkan, kebanyakkan mazhab pemikiran berdiri di atas reruntuhan perancang yang jahat itu. Mereka menganut pemikiran-pemikirannya sedemikian rupa, sehingga seolah-olah sebagai sesuatu yang turun dari Allah. Mereka menyebarkan dan membelanya dengan segala cara. Wahabi merupakan contoh yang jelas dari korban perancang jahat tersebut, yang telah menjerumuskan umat Islam ke dalam jurang perpecahan.
Kita akan berusaha menyingkap sedikit tipu daya dan persekongkolannya pada tiap-tiap bab buku ini.


Yang perlu menjadi perhatian kita dari perancang di atas, di dalam masalah ini, ialah bahwa kedua hadis di atas adalah merupakan langkah pertama untuk menyelewengkan agama, merubah perjalanan risalah dan menjauhkan kaum Muslimin dari hadis Rasulullah saw, "Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang sangat berharga, yang jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku", yang merupakan hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah dan Syi'ah, namun tangan-tangan jahil telah berusaha menyembunyikannya dari pandangan manusia, dan sebagai gantinya mereka menyebarkan hadis "Kitab Allah dan sunahku" dan hadis "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin...." yang kelak akan tersingkap ke-dhaifan-nya.


Saya terkejut manakala mendengar pertama kali hadis "... Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku". Saya takut ... dan berharap hadis itu tidak sahih, karena dia akan meruntuhkan bangunan pemikiran agama saya, dan bahkan lebih jauh lagi akan merobohkan tiang penyangga Ahlus Sunnah. Namun, angin bertiup tidak sebagaimana yang diinginkan perahu .... dan yang terjadi justru sebaliknya manakala saya memeriksa kedua hadis di atas ke dalam referensi-referensi aslinya, saya menemukan bahwa hadis ".. Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku ..." termasuk hadis sahih yang tidak dapat seorang pun meragukannya. Berbeda dengan hadis "... Kitab Allah dan sunahku ..", yang tidak lebih hanya merupakan hadis ahad yang marfu' atau mursal. Melihat itu hati saya menjadi terpukul. Dari sinilah awal mula saya melakukan pembahasan. Setelah itu mulailah terkumpul beberapa petunjuk satu demi satu, sehingga pada akhirnya tersingkaplah kebenaran dengan sejelas-jelasnya. Di sini kita akan buktikan ke-dhaif-an hadis "Kamu harus berpegang kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin .." dan hadis ".. Kitab Allah dan sunahku ..", serta sekaligus kesahihan hadis ".. Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku ..", yang merupakan peluru pertama yang mengenai jantung pemikiran Ahlus Sunnah.



Hadis "Kamu Harus Berpegang Teguh Kepada Sunahku Dan Sunah Para Khulafa` Rasyidin" Merupakan Kebohongan Yang Nyata
"Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin sepeniggalku, dan peganglah erat-erat serta gigitlah dengan gigi gerahammu."
Orang yang melihat hadis ini untuk pertama kali dia akan mengira hadis ini merupakan hujjah yang kokoh dan petunjuk yang jelas akan kewajiban mengikuti mazhab para Khulafa` Rasyidin. Yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dan tidak mungkin membawanya ke arti lain, kecuali dengan melakukan takwil yang didasari ta'assub. Dari sini tampak sekali kehebatan tipuan dan kelihaian para pemalsu. Di dalamnya mereka menetapkan kebenaran mazhab Ahlus Sunnah —madrasah Khulafa` Rasyidin— dihadapan madzhab Syi'ah —madrasah Ahlul Bait. Dari sini kita dapat menjelaskan bahwa pertumbuhan madrasah-madrasah pemikiran Ahlus Sunnah adalah di dalam rangka menentang mazhab Ahlul Bait. Karena madrasah-madrasah tersebut berdiri di atas dasar hadis ini dan hadis-hadis lain yang sepertinya.

Sungguh sangat bodoh jika seorang Ahlus Sunnah berhujjah kepada orang Syi'ah dengan hadis ini. Itu dikarenakan hadis ini hanya ada di kalangan Ahlus Sunnah, sehingga mereka tidak bisa memaksa orang Syi'ah dengan hadis yang tidak mereka riwayatkan di dalam kitab-kitab referensi mereka.
Namun, disebabkan saya seorang pembahas dari kalangan Ahlus Sunnah maka mau tidak mau saya harus bertitik tolak dari kitab-kitab referensi Ahlus Sunnah, sehingga dapat menjadi pegangan bagi saya; dan ini yang menjadi acuan saya di dalam melakukan pembahasan. Kita harus bersandar kepada acuan ini di dalam berdialog dan berargumentasi. Karena sebuah argumentasi tidak dapat dikatakan argumentasi kecuali jika mengikat pihak lawan, sehingga menjadi hujjah baginya. Dan ini yang tidak disadari oleh kebanyakkan ulama Ahlus Sunnah manakala mereka berhujjah kepada orang-orang Syi'ah. Misalnya, mereka berhujjah dengan menggunakan hadis ini, sementara orang Syi'ah berhujjah dengan menggunakan hadis ".. Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku .." Perbedaan di antara kedua hujjah ini sangat besar sekali. Karena hadis "sunahku" hanya ada di dalam kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah sementara hadis "'itrah Ahlul Baitku" dapat ditemukan di dalam kitab-kitab hadis kedua kelompok.

REFERENSI-REFERENSI HADIS

Sesungguhnya kesulitan pertama yang dihadapi hadis "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin ..." ialah Bukhari Muslim membuangnya dan tidak meriwayatkannya. Dan ini berarti kekurangan di dalam derajat kesahihannya. Karena sesahih-sahihnya hadis adalah hadis-hadis yang diriwayatkan oleh dua orang Syeikh, yaitu Bukhari dan Muslim. Kemudian yang diriwayatkan oleh Bukhari saja. Lalu yang diriwayatkan oleh Muslim saja. Kemudian yang memenuhi syarat keduanya. Kemudian yang memenuhi syarat Bukhari saja. Dan kemudian yang memenuhi syarat Muslim saja. Keutamaan-keutaman ini tidak terdapat di dalam hadis di atas.

Hadis di atas terdapat di dalam Sunan Abu Dawud, Sunan Turmudzi dan Sunan ibnu Majah.
Para perawi hadis ini selurahnya tidak lolos dari kelemahan dan tuduhan dalam pandangan para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil. Orang yang meneliti biografi mereka dapat melihat hal ini dengan jelas. Pada kesempatan ini saya tidak bisa mendiskusikan seluruh para perawi hadis ini seorang demi seorang, dengan berbagai macam jalannya, dan dengan menukil pandangan para ulama ilmu al-Jarh wa at-ta'dil tentang mereka. Melainkan saya akan mencukupkan dengan hanya mendhaifkan seorang atau dua orang perawi dari musnad setiap riwayat. Itu sudah cukup digunakan untuk mendhaifkan riwayat tersebut, se-bagaimana yang disepakati oleh para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil. Karena, bisa saja perawi yang dhaif ini sendiri yang telah membuat riwayat ini.

Riwayat Turmudzi

Turmudzi telah meriwayatkan hadis ini dari Bughyah bin Walid. Dan, inilah pandangan para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil tentang Bughyah bin Walid: Ibnu Jauzi berkata tentangnya di dalam sebuah perkataan, "Sungguh kami ingat bahwa Bughyah telah meriwayatkan dari orang-orang yang majhul dan orang-orang lemah. Mungkin saja dia tidak menyebutkan mereka dan tidak menyebutkan orang-orang yang meriwayatkan baginya."[6]
Ibnu Hiban berkata, "Tidak bisa berhujjah dengan Bughyah."[7] Ibnu Hiban juga berkata, "Bughyah seorang penipu. Dia meriwayatkan dari orang-orang yang lemah, dan para sahabatnya tidak meluruskan perkataannya dan membuang orang-orang yang lemah dari mereka."[8]
Abu Ishaq al-Jaujazani berkata, "Semoga Allah merahmati Bughyah, dia tidak peduli jika dia menemukan khurafat pada orang tempat dia mengambil hadis."[9]
Dan ucapan-ucapan lainnya dari para huffadz dan ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil. Dan apa yang telah kita sebutkan itu sudah cukup.

Sanad Hadis Pada Abu Dawud

Walid bin Muslim meriwayatkan hadis dari Tsaur an-Nashibi. Sebagaimana kata Ibnu Hajar al-'Asqolani, "Kakeknya telah terbunuh pada hari Muawiyah terserang penyakit sampar. Adapun Tsaur, jika nama Ali disebut dihadapannya dia mengatakan, "Saya tidak menyukai laki-laki yang telah membunuh kakek saya."[10]
Adapun berkenaan dengan Walid, adz-Dzahabi berkata, "Abu Mushir mengatakan Abu Walid seorang penipu, dan mungkin dia telah menyembunyikan cacat para pendusta."[11]
Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata "Ayah saya ditanya tentangnya (tentang Walid), dia menjawab, 'Dia seorang yang suka mengangkat-angkat."[12]
Dan begitu juga perkataan-perkataan yang lainnya. Itu sudah cukup untuk mendhaifkan riwayatnya.

Sanad Hadis Pada Ibnu Majah.

Diriwayatkan melalui tiga jalan:
- Pada jalan hadis pertama terdapat Abdullah bin 'Ala. Adz-Dzahabi berkata tentangnya, "Ibnu Hazm berkata, 'Yahya dan yang lainnya telah mendaifkannya.'[13] Dia telah meriwayatkan hadis dari Yahya, dan Yahya adalah seorang yang majhul dalam pandangan Ibnu Qaththan."[14]
- Adapun pada jalan yang kedua terdapat Ismail bin Basyir bin Manshur. Dia itu seorang pengikut aliran Qadariyyah di dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib.[15]
Adapun pada jalan ketiga disisi ibnu majah adalah sebagai berikut: Hadis diriwayatkan dari Tsaur —seorang nashibi— Abdul Malik bin Shabbah. Di dalam kitab Mizan al-I'tidal disebutkan, "Dia dituduh mencuri hadis."[16]
Di samping itu, hadis tersebut sebagai hadis ahad. Seluruh riwayatnya kembali kepada seorang sahabat, Urbadh bin Sariyah. Hadis ahad tidak bisa digunakan sebagai hujjah, disamping Urbadh termasuk pengikut dan agen Muawiyah.



Kenyatan Sejarah Dan Hadis Ahlus Sunnah.
Adapun kenyataan sejarah juga mendustakan hadis ini. Sejarah menyebutkan bahwa sunah yang suci belum ditulis pada masa Rasulullah saw, dan bahkan di sana terdapat hadis-hadis yang berasal dari saluran Ahlus Sunnah yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw melarang penulisan hadis. Seperti perkataan Rasulullah saw,
"Janganlah kamu menulis sesuatu dariku. Barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur'an maka hendaknya dia menghapusnya." Sebagaimana yang terdapat di dalam Sunan ad-Darimi[17] dan Musnad Ahmad.
Di dalam sebuah riwayat disebutkan, "Mereka meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menulis hadis beliau, namun Rasulullah saw tidak mengizinkan mereka." Dan riwayat-riwayat lainnya secara jelas melarang penulisan hadis yang berasal dari Rasulullah saw. Semua itu tidak lain merupakan upaya perancang untuk mencegah tersebarnya hadis Rasulullah saw, supaya kebenaran tidak kelihatan. Mereka tidak berhenti sampai di sini, Umar telah berijtihad secara gamblang untuk menghapus hadis. Urwah bin Zubair telah meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ingin menulis sunah, lalu dia bermusyawarah tentang hal itu dengan para sahabat. Para sahabat memberi isyarat supaya dia menuliskannya. Maka mulailah Umar beristkharah kepada Allah tentang hal itu selama sebulan. Kemudian, pada suatu hari Allah menetapkan hatinya, lalu dia berkata,
"Tadinya saya bermaksud ingin menulis sunah, namun kemudian saya ingat satu kaum sebelum kamu yang menulis kitab-kitab dan menekuni pekerjaan itu lalu mereka meninggalkan Kitab Allah. Demi Allah, saya tidak akan mengenakan sesuatu apapun kepada Kitab Allah untuk selama-lamanya."[18]
Dari Yahya bin Ju'dah disebutkan bahwa Umar bin Khattab hendak menuliskan sunah, kemudian tampak baginya untuk tidak menuliskannya, maka dia pun mengumumkan di kota-kota, barangsiapa yang mempunyai sesuatu (hadis) di sisinya maka hendaknya dia menghapusnya.[19]
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa setiap kali Khalifah Umar bin Khattab mengirim seorang hakim atau gubernur ke sebuah negeri dia memberikan pesan, dan salah satu dari pesannya ialah, "Ringkaskan Al-Qur'an, sedikitkan riwayat dari Muhammad, maka aku menyertaimu”.[20]
Sejarah telah mencatat bahwa Khalifah Umar bin Khattab telah berkata kepada Abu Dzar, Abdullah bin Mas'ud dan Abu Darda, "Hadis apa ini yang engkau sebarkan dari Muhammad?!"[21]
Juga disebutkan bahwa Umar bin Khattab mengumpulkan hadis dari seseorang, mereka mengira Umar bin Khattab hendak memeriksa dan meluruskannya sehingga tidak ada perselisihan di dalamnya, maka merekapun membawa tulisan-tulisan hadis mereka, lalu Umar mem-bakarnya seraya berkata, "Kebohongan sebagaimana kebohongan Ahlul Kitab." Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Khatib dari al-Qasim di dalam kitab Tagyid al-'Ilm.
Adapun alasan yang disebutkan oleh Umar bin Khattab untuk menyita sunah adalah alasan yang tidak dapat diterima oleh seorang yang bodoh sekali pun, apalagi oleh seorang yang berilmu. Karena hal itu bertentangan dengan Al-Qur'an, ruh agama, dan akal. Bagaimana dia dapat mengatakan "Ringkaskan Al-Qur'an dan sedikitkan riwayat", padahal Al-Qur'an sendiri mengatakan bahwa kehujjahannya berdiri dengan sunah. Karena sunah adalah penjelas, pen-takhsis, pen-taqyid dan lain sebagainya. Allah SWT telah berfirman, "Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan."
Bagaimana Rasulullah saw menerangkan Al-Qur'an?! Bukankah dengan sunah?! Allah SWT telah berfirman, "Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. "
Apa manfaat wahyu jika kita diperintahkan untuk menyembunyikan dan membakarnya. Adapun sunah yang mereka gunakan sebagai hujjah akan wajibnya mengikuti sunah, telah mengalami serangkaian silsilah persekongkolan. Persekongkolan ini dimulai sejak jaman Abu Bakar di mana dia membakar lima ratus hadis yang ditulis pada masa Rasulullah saw di jaman kekhilafahannya.[22] Aisyah berkata, "Ayah saya mengumpulkan lima ratus hadis Rasulullah saw, lalu dia tidur dengan keadaan berguling-guling (tidak tenang). Pada saat bangun pagi dia berkata, 'Wahai anak perempuanku, kemarikan hadis-hadis yang ada padamu.' Maka saya pun membawakannya, dan lalu dia membakarnya. Kemudian Ayah saya berkata, 'Saya takut saya mati sementara hadis-hadis ini masih berada di sisimu.'"[23]
Umar bin Khattab telah memerintahkan kepada seluruh penjuru negeri pada masa kekhilafahannya, bahwa barang siapa telah menulis sebuah hadis maka dia harus menghapusnya.[24]
Utsman pun melakukan hal yang sama. Karena dia telah memberi tanda tangan untuk meneruskan jalan yang telah ditempuh oleh Syeikhain, yaitu Abu Bakar dan Umar. Usman berkata di atas mimbar, "Tidak boleh seorang pun meriwayatkan sebuah hadis yang belum pernah didengar pada masa Abu Bakar dan Umar."[25]
Kemudian sepeninggalnya jalan tersebut diteruskan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah bin Abi Sufyan berkata, "Wahai manusia, sedikitkan riwayat dari Rasulullah saw, dan jika kamu menyampaikan hadis maka sampaikanlah hadis sebagaimana yang telah disampaikan pada masa Umar."[26]
Dengan begitu, perbuatan menghentikan penulisan hadis menjadi sebuah sunah yang diikuti, dan perbuatan menulis hadis dihitung sebagai sebuah kemunkaran.
Propaganda yang menyesatkan yang dilakukan oleh para penguasa dalam masalah penulisan hadis ini tidak lain bertujuan untuk menutupi keutamaan-keutamaan Ahlul Bait. Mungkin alasan ini tidak bisa diterima oleh banyak orang, namun inilah kenyataan yang ditemukan oleh para peneliti sejarah. Lalu setelah itu, sunah yang mana yang telah diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk diikuti?!
Apakah sunah yang telah dihapus oleh Umar atau sunah yang telah dibakar oleh Abu Bakar?!
Lalu apa yang harus diperbuat oleh orang yang hendak berpegang kepada sunah sepeninggal Rasulullah saw?!
Sebagai contoh, seseorang hidup bersama para sahabat. Lalu untuk mengetahui sebuah sunnah Rasulullah saw, apakah dia harus mencari semua sahabat yang tersebar di berbagai negeri, yang mana sebagian dari mereka ada yang menjadi gubernur dan komandan?!
Apakah dia harus menemui mereka semua untuk menanyakan sebuah hukum yang ingin dia ketahui, atau apakah cukup dengan hanya merujuk kepada para sahabat yang ada, namun yang demikian tentunya tidak mencukupi, karena terdapat kemungkinan adanya pembatal (nasikh), pengkhusus (mukhashshish) dan pembatas (muqayyid) sunnah tersebut, dengan hadirnya seorang atau dua orang sahabat yang tidak ada di kota yang bersangkutan? Dan kehujjahan sunah —sebagaimana kata Ibnu Hazm— tidak dapat tegak berdiri kecuali dengan mereka.
Jika yang demikian ini sulit bagi orang yang bertemu dengan para sahabat, padahal jumlah mereka sedikit, maka apa lagi setelah kekuasan Islam bertambah luas dan telah banyak negeri yang ditaklukkan, sementara semakin banyak pertanyaan yang muncul tentang berbagai kejadian.
Dengan apa mereka bisa menjawab?!
Begitulah banyak hadis dan hukum yang hilang, dan ini memang merupakan tujuan dari persekongkolan yang mereka lakukan. Umar bin Khattab dengan lantang mengatakkan hal itu pada masa Rasulullah saw, ketika Rasulullah saw bersabda pada saat hendak meninggal dunia,
"Ambilkan aku tulang pundak dan tinta, supaya aku tuliskan sebuah tulisan yang kamu tidak akan sesat selama-lamanya sesudahnya." Lalu Umar berkata, "Sesungguhnya dia sedang mengigau, cukup bagi kita Kitab Allah saja."[27]
Tujuan yang melatarbelakangi pelarangan mendatangkan tulang pundak dan tinta bagi Rasulullah saw yang hendak menuliskan sebuah tulisan yang akan mencegah mereka dari kesesatan adalah tujuan yang sama dengan yang melatarbelakangi pelarangan pengumpulan dan penulisan hadis.
Bagaimana bisa mereka meriwayatkan hadis "Berpegang teguhlah kepada sunahku" sementara para sahabat dan khalifah tidak berpegang kepadanya, dan bahkan dengan lantang mereka mengatakan sesuatu yang lain dari itu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh adz-Dzahabi di dalam kitab Tadzkirah al-Huffadz. Adz-Dzahabi berkata, "Sesungguhnya Abu Bakar Shiddiq mengumpulkan manusia sepeninggal wafatnya Nabi mereka. Lalu Abu Bakar berkata kepada mereka, 'Sesungguhnya kamu menyampaikan hadis-hadis Rasulullah saw namun kamu berselisih tentangnya, dan orang-orang sepeninggalmu akan lebih keras perselisihannya, maka oleh karena itu janganlah kamu menyampaikan satu hadis pun dari Rasulullah saw. Dan jika ada orang bertanya kepadamu maka katakanlah, di antara kita terdapat Kitab Allah, maka halalkan lah apa yang dihalalkannya danharamkan lah apa yang diharamkannya."[28]
"Sesungguhnya yang normal ialah tidak ditetapkannya sesuatu yang belum tersusun dan terbukukan sebagai sumber penetapan hukum bagi umat, kecuali jika terdapat penanggung jawab yang menjadi rujukan tentangnya."[29]
Umat Islam sepakat bahwa sunah Nabi belum dibukukan pada masa Rasulullah saw dan pada masa para khalifah, dan sunah tidak dibukukan kecuali setelah satu abad setengah dari wafatnya Raslullah saw. Lantas dengan alasan apa mereka mengatakan, "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku ..."


Hadis Lain
Bunyi nasnya: "Aku tinggalkan dua perkara padamu yang jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan sunah Nabi-Nya."
Hadis ini lebih lemah lagi untuk bisa didiskusikan. Adapun hal-hal yang dapat kita katakan mengenai hadis ini, di samping hal-hal yang telah disebutkan pada hadis sebelumnya ialah,
1. Hadis ini tidak diriwayatkan oleh para penulis kitab sahih yang enam dikalangan Ahlus Sunnah, dan ini sudah cukup untuk mendhaifkannya. Bagaimana bisa mereka berpegang kepada sebuah hadis yang sama sekali tidak ada di dalam kitab-kitab sahih dan musnad mereka. Seseorang yang memperhatikan bagaimana hadis ini diperlakukan dikalangan Ahlus Sunnah, sepertinya dia akan merasa yakin bahwa hadis ini telah diriwayatkan oleh kitab-kitab sahih, terutama sahih Bukhari dan sahih Muslim; padahal kenyataannya hadis ini sama sekali tidak terdapat di dalam kitab-kitab sahih dan musnad.
2. Sesungguhnya sumber-sumber pertama yang menyebutkan hadis ini ialah kitab al-Muwaththa Imam Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan ash-Shawa'iq Ibnu Hajar, dan saya tidak menemukan kitab lain yang meriwayatkan hadis ini. Kitab-kitab ini telah menukil kedua hadis ini secara bersama-sama, kecuali kitab al-Muwaththa.
3. Riwayat hadis ini mursal di dalam kitab ash-Shawa'iq, dan terpotong sanadnya di dalam Sirah Ibnu Hisyam.[30] Ibnu Hisyam mengaku bahwa dia mengambil hadis ini dari Sirah Ibnu Ishaq, dan saya telah mencarinya di dalam Sirah Ibnu Ishaq namun saya tidak menemukannya di dalam semua cetakannya. Lantas, dari mana sebenarnya Ibnu Hisyam mengambil hadis ini....?!
4. Adapun riwayat Malik terhadap hadis ini adalah khabar marfu' yang tidak ada sanadnya. Perawi al-Muwaththa berkata, "Telah berkata Malik kepada saya bahwa telah sampai berita kepadanya sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda ... (al-hadis)."[31]
Sebagaimana Anda lihat, hadis ini tidak bersanad, maka oleh karena itu tidak boleh bersandar kepadanya. Mengapa hanya Malik yang meriwayatkan hadis ini sementara gurunya Abu Hanifah atau muridnya Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal tidak meriwayatkannya. Jika hadis ini sahih maka kenapa para Imam mazhab dan para Imam hadis berpaling darinya.
5. Al-Hakim mengeluarkan hadis ini di dalam mustadrak-nya[32] dengan dua jalur. Pada jalur pertama terdapat Zaid ad-Dailasi, dari Doimah, dari Ibnu Abbas. Kita tidak mungkin dapat menerima hadis ini karena pada sanadnya terdapat Ikrimah si pendusta.[33] Dia termasuk seorang musuh Ahlul Bait as, dan termasuk orang yang memerangi dan mengkafirkan Ali as. Adapun pada jalur yang kedua terdapat Shalih bin Musa ath-Thalhi, dari Abdul Aziz bin Rafi', dari Ibnu Shalih, dari Abu Hurairah. Hadis ini pun tidak mungkin dapat diterima, karena menurut riwayat Abu Sa’id al-Khudri hadis ini dikatakan oleh Rasulullah saw pada saat beliau terbaring hendak wafat, sementara pada waktu itu Abu Hurairah sedang berada di Bahrain karena diutus bersama 'Ala al-Hadhrami satu tahun setengah sebelum Rasulullah saw wafat. Lantas kapan Abu Hurairah mendengar Rasulullah saw yang sedang terbaring hendak wafat mengatakan hadis ini?!
6. Sunan al-Kubra Baihaqi menukil hadis ini pada juz 10, halaman 4, terbitan Dar al-Ma'rifah Bcirut - Lebanon. Dia menukil hadis "Aku tinggalkan padamu Kitab Allah dan 'ltrah Ahlul Baitku", dan kemudian menukil dua hadis mustadrak dengan nas.
7. Kitab al-Faqih al-Mutafaqqih, karya Khatib al-Baghdadi, jilid 1, halaman 94, mensahihkan hadis ini; dan kemudian Syeikh al- Anshari, anggota lembaga fatwa Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah Beirut - Lebanon memberikan komentar tentangnya. Dia menukli dua hadis: Yang pertama hadis mustadrak (dari Abi Shalih, dari Abu Hurairah). Adapun hadis baru yang dia nukilkan ialah, Saif bin Umar telah meriwayatkan kepadaku, dari Ibnu Ishaq al-Asadi, dari Shabah bin Muhammad, dari Abu Hazm, dari Abi Sa'id al-Khudri .... al-hadis. Sanad ini tidak mungkin dapat diterima berdasarkan kesaksian para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta'dil, dikarenakan adanya Saif bin Umar, yang telah disepakati kedustaan dan kebohongannya. Saya akan ketengahkan kepada Anda pandangan para ulama tentang dia.
8. Kitab al-Ilma' ila Ma'rifah Ushul ar-Riwayah wu Taqyid as-Sima', karya Qadhi 'lyadh yang hidup pada tahun 479 - 544 Hijrah, hasil tahkik Sayyid Ahmad Shaqir, cetakan pertama, penerbit Dar ar- Ra's an-Nashirah —Maktabah al-'Atiqah— Tunis, halaman 9, menukil nas hadis ini dari kitab al-Faqih al-Mutafaqqih, yang pada sanadnya terdapat Saif bin Umar.
Selain dari yang kami telah sebutkan di atas tidak ada satu buku pun lainnya yang menukil hadis "Kitab Allah dan sunahku". Dengan demikian, hadis ini tidak ditetapkan kecuali oleh tiga jalur, yaitu dari Ibnu Abbas, Abu Sa’id al-Khudri dan Abu Hurairah. Ketiga jalur ini, bersama dengan kedhaifannya, baru muncul pada pertengahan abad kelima hijrah, yaitu setelah masa Hakim. Dan tidak satu pun kitab yang lebih tua dari itu yang menyebutkan ketiga jalan ini. Ini yang pertama. Yang kedua, ketiga sahabat tersebut, yaitu Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Abu Sa'id al-Khudri telah meriwayatkan hadis "Kitab Allah dan 'ltrah Ahlul Baitku" pada abad kedua hijrah, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim. Mana di antara keduanya yang akan kita terima.[34]


Dialog Dengan Muhaddis Dan Hafidz Kota Damaskus, Abdul Qadir al-Arnauthi.
Selama saya tinggal di Syiria saya bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al-Arnauthi, salah seorang ulama Syiria. Dia mempunyai ijazah di dalam ilmu hadis.
Pertemuan ini berlangsung dengan tanpa persiapan dari saya, melainkan terjadi dengan kebetulan.

Saya mempunyai seorang teman dari Sudan yang bernama Adil. Saya mengenalnya di kawasan Sayyidah Zainab as, dan Allah SWT telah menerangi hatinya dengan cahaya Ahlul Bait as. Teman saya ini memiliki sifat-sifat terpuji yang jarang ditemukan pada yang lainnya. Dia seorang yang berakhlak, taat beragama dan warak. Keadaan telah memaksanya untuk bekerja di sebuah ladang di kawasan yang ber-nama "Adliyyah", kurang lebih berjarak sembilan kilometer sebelah selatan kawasan Sayyidah Zainab as. Di sebelah ladang tempat dia bekerja terdapat ladang lain milik seorang laki-laki tua yang dipanggil dengan sebutan Abu Sulaiman.
Ketika tetangga ini tahu bahwa orang Sudan yang bekerja di ladang sebelahnya itu orang Syi'ah, dia datang dan berbicara kepadanya. Tetangga itu berkata,
"Wahai saudaraku, orang-orang Sudan itu orang Ahlus Sunnah yang baik, lantas dari mana kamu menjadi Syi'ah?! Apakah di keluargamu ada orang yang bermazhab Syi'ah?"
Adil menjawab, "Tidak, namun agama dan keyakinan tidak dibangun di atas dasar taklid kepada masyarakat dan keluarga."
Tetangga itu berkata, "Sesungguhnya Syi'ah menipu dan membohongi masyarakat."
Adil menjawab, "Saya tidak melihat yang demikian itu dari mereka."
Tetangga itu berkata lagi, "Benar, kami mengenal mereka dengan baik."
Adil berkata, "Wahai haji, apakah Anda percaya pada Bukhari dan Muslim dan kitab-kitab sahih yang enam?"
Tetangga itu menjawab, "Tentu."
Adil berkata lagi, "Sesungguhnya Syi'ah berargumentasi atas berbagai keyakinan yang mereka yakini dengan menggunakan sumber-sumber ini, apalagi sumber-sumber mereka."
Tetangga itu berkata, "Mereka itu berdusta. Mereka mempunyai sahih Bukhari dan Muslim yang telah diselewengkan."
Adil menjawab, "Mereka tidak mengharuskan saya dengan kitab tertentu, melainkan mereka meminta saya untuk mencarinya di perpustakaan manapun di dunia Arab."
Tetangga itu berkata, "Ini bohong, saya wajib mengembalikan Anda ke dalam Ahlus Sunnah. Karena Rasulullah saw telah bersabda, "Jika Allah memberikan petunjuk kepada seorang laki-laki dengan perantaraanmu, maka yang demikian itu lebih baik bagimu dibandingkan seluruh dunia dan isinya."
Adil berkata, "Kita ini pencari kebenaran dan petunjuk, kita akan condong bersama argumentasi ke mana pun argumentasi itu condong."
Tetangga itu berkata, "Saya akan mendatangkan kepadamu ulama terbesar di kota Damaskus. Yaitu 'Allamah Abdul Qadir ar-Arnauti, seorang ulama terpandang dan ahli hadis yang hafal Al-Qur'an. Orang-orang Syi'ah telah berusaha membujuknya dengan uang berjuta-juta supaya dia bersama mereka, namun dia menolaknya."
Teman saya Adil menyetujui rencana ini. Abu Sulaiman berkata kepadanya, "Janji kita pada hari Senin, Anda dan orang-orang Sudan lainnya yang terpengaruh pikiran Syi'ah silahkan datang." Adil datang kepada saya. Dia mengabarkan apa yang telah terjadi, dan meminta saya untuk pergi bersamanya. Dengan sangat senang saya menerima tawaran itu. Saya janji akan pergi bersamanya pada hari Senin tanggal 8 Safar 1417 Hijrah, tepat jam 12 siang.
Hari itu adalah hari yang sangat panas. Kami berkumpul di tempat yang telah dijanjikan, dan kemudian kami bertolak ke ladang bersama tiga orang Sudan lainnya. Setelah kami sampai, teman kami Adil menyambut kami di ladang yang hijau yang dipenuhi dengan berbagai pohon buah-buahan, seperti murbei, persik, apel dan buah-buahan lainnya yang tidak terdapat di negara kami, Sudan.
Setelah itu kami pun tergesa-gesa menuju ladang tetangganya yang Ahlus Sunnah itu. Tetangga itu menyambut kedatangan kami dengan kasar. Setelah beristirahat sejenak di tempat yang dikelilingi sayur-sayuran itu, saya berdiri untuk mengerjakan salat Zuhur. Pada saat saya mengerjakan salat Zuhur tibalah rombongan yang membawa Syeikh ar-Arnauthi. Ruangan bangunan telah dipenuhi oleh manusia sementara bagian luarnya telah dipenuhi oleh mobil. Kebingungan melanda wajah teman-teman saya, dikarenakan kedudukan yang sedemikian tingginya. Karena mereka tidak mengira urusan ini sedemikian besarnya. Setelah masing-masing menempati tempatnya, saya memilih tempat di sebelah Syeikh.
Setelah berlangsung acara perkenalan di antara semua, pemilik ladang berkata kepada Syeikh, "Mereka ini adalah saudara-saudara kita dari Sudan. Mereka telah terpengaruh Syi'ah di kawasaan Sayyidah Zainab. Di antara mereka ada seorang Syi'ah yang bekerja di ladang sebelah kami."
Syeikh itu bertanya, "Mana yang Syi'ah itu?"
Mereka menjawab, "Pergi ke ladangnya, dan nanti akan kembali tidak lama lagi."
Syeikh berkata, "Kalau begitu kita tunda pembicaraan kita hingga dia kembali."
Salah seorang Sudan pergi mencarinya dan kemudian membawanya ke majlis. Syeikh memanfaatkan kesempatan ini untuk membacakan banyak hadis yang dia hafal di luar kepala. Adapun tema hadis-hadis yang dibacakannya itu ialah berkenaan dengan keutamaan sebagian negeri atas sebagian negeri yang lain, khususnya yang berkenaan dengan negeri Syiria dan kota Damaskus. Tema ini telah memakan waktu sekitar setengah jam. Sebuah tema yang tidak ada faidahnya. Saya sangat heran kenapa dia tidak memanfaatkan kesempatan ini, padahal semua yang hadir telah menajamkan pikiran mereka untuk mendengarkan hadis yang dapat mereka manfaatkan di dalam agama dan dunia mereka. Kemudian dia berkata, "Sesungguhnya agama Allah tidak diambil berdasarkan nasab dan keturunan. Allah SWT telah menjadikan agamanya untuk semua manusia, lalu dengan hak apa kita mengambil agama kita dari Ahlul Bait?! Rasulullah saw telah memerintahkan kita untuk berpegang teguh kepada Kitab Allah dan sunahnya. Hadis ini adalah hadis yang sahih yang tidak ada seorang pun yang mampu mendhaifkannya, dan tidak ada jalan lain selain jalan ini." Kemudian dia menepukkan tangannya ke punggung Adil sambil berkata kepadanya, "Wahai anakku, jangan sampai perkataan Syi'ah dapat menipumu."
Saya memotong pembicaraannya dengan mengatakan, "Yang mulia Syeikh, kami adalah pencari kebenaran, dan kini perkara telah bercampur sedemikian rupa sehingga membingungkan kami. Oleh karena itu, kami datang kepada Anda supaya dapat mengambil manfaat dari Anda manakala kami mengetahui Anda seorang ulama besar, ahli hadis dan hafidz."
Syeikh itu menjawab, "Itu benar."
Saya berkata lagi, "Sudah merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi bahwa kaum Muslimin telah terbagi ke dalam beberapa golongan dan mazhab, dan masing-masing golongan mengklaim bahwa dirinyalah yang benar sementara yang lainnya salah. Apa yang harus saya lakukan sementara saya diwajibkan oleh agama Allah untuk mengetahui kebenaran di antara jalan-jalan yang saling bertentangan itu?! Apakah Allah menghendaki kita berpecah-belah atau menginginkan kita berada pada satu agama, yaitu kita menyembah Allah dengan agama yang satu?! Jika ya, lantas jaminan apa yang telah ditinggalkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kita supaya umat terjaga dari kesesatan?
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perselisihan pertama yang terjadi di antara kaum Muslimin adalah perselisihan yang terjadi secara langsung setelah Rasulullah saw wafat, padahal Rasulullah saw tidak mungkin meninggalkan umatnya tanpa ada petunjuk."
Syeikh berkata, "Sesungguhnya jaminan yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah saw untuk mencegah umat dari perselisihan ialah sabdanya yang berbunyi, "Sesungguhnya aku tinggalkan sesuatu padamu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan sunah."
Saya berkata, "Beberapa saat yang lalu Anda menyebutkan terkadang ada sebuah hadis yang tidak ada sumbernya, artinya tidak disebut di dalam kitab-kitab hadis."
Syeikh menjawab, "Itu benar."
Saya katakan kepadanya, "Hadis ini tidak memiliki sumber di dalam kitab-kitab sahih yang enam, lantas kenapa Anda menyebutkannya, sementara Anda seorang muhaddis?"
Di sini, bangkitlah kemarahan Syeikh, lalu dia berteriak lantang, "Apa yang Anda maksud, apakah Anda ingin mendhaifkan hadis ini."
Saya merasa heran kenapa Syeikh sedemikian marah padahal saya tidak mengatakan apa-apa.
Saya berkata, "Sabar, sesungguhnya pertanyaan saya hanya satu, yaitu apakah hadis ini terdapat di dalam kitab sahih yang enam?"
Syeikh itu menjawab, "Kitab sahih itu tidak hanya enam. Kitab hadis itu banyak sekali. Hadis ini terdapat di dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik."
Saya berkata dengan menghadap kepada para hadirin, "Baik, Syeikh telah mengakui bahwa hadis ini tidak terdapat di dalam kitab-kitab sahih yang enam, dan hanya terdapat di dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik."
Dengan nada tinggi dia memotong pembicaraan saya dengan mengatakan, "Lalu, apakah kitab al-Muwaththa bukan kitab hadis?"
Saya menjawab, "Kitab al-Muwaththa kitab hadis, namun hadis 'Kitab Allah dan sunahku' adalah marfu' dengan tanpa sanad, padahal diketahui bahwa semua hadis yang terdapat di dalam kitab al-Muwaththa bersanad."
Di sini Syeikh berteriak setelah hujjahnya patah. Dia mulai memukul saya dengan tangannya dan menggerak-gerakkan tubuh saya ke kanan dan ke kiri sambil berkata, "Anda ingin mendhaifkan hadis ini, padahal Anda ini siapa sehingga hendak mendhaifkannya." Dia tidak dapat mengontrol emosinya sehingga tindak tanduknya telah keluar dari batas-batas yang wajar. Seluruh orang yang hadir merasa heran dengan gerak dan tingkah lakunya.
Saya berkata, "Ya Syeikh, di sini tempat diskusi dan dalil, dan cara ini tidak layak untuk diikuti. Saya telah duduk dengan banyak ulama Syi'ah namun saya tidak pernah melihat sama sekali cara yang seperti ini." Allah SWT berfirman, 'Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.' Setelah itu, dia sedikit reda dari kemarahannya.
Saya berkata, "Ya Syeikh, saya bertanya kepada Anda apakah riwayat Malik terhadap hadis "Kitab Allah dan sunahku" di dalam kitab al-Muwaththa itu dhaif atau sahih?!"
Dengan penuh berat hati Syeikh menjawab, "Dhaif."
Saya berkata, "Jika demikian, kenapa Anda mengatakan hadis tersebut ada di dalam kitab al-Muwaththa padahal Anda tahu hadis tersebut dhaif?"
Dengan nada tinggi Syeikh menjawab, "Sesungguhnya hadis tersebut mempunyai jalan-jalan yang lain."
Saya berkata kepada para orang-orang yang hadir, "Syeikh telah melepaskan riwayat al-Muwaththa, dan mengatakan bahwa hadis ini mempunyai jalan-jalan yang lain, maka marilah kita mendengarkan jalan-jalan itu darinya."
Di sini Syeikh merasa malu, karena sebenarnya tidak ada jalan yang sahih yang dimiliki hadis ini. Pada saat itu tiba-tiba salah seorang hadirin yang duduk berbicara, lalu Syeikh menepuk saya dan berkata sambil menunjuk kepada orang yang bicara, "Dengarkan dia." Saya tahu dia ingin lari dari pertanyaan sulit yang saya lontarkan kepadanya. Saya merasakan itu darinya, namun saya tetap bersikeras dan berkata, "Ya Syeikh, sebutkanlah kepada kami jalan-jalan lain yang dimiliki hadis ini?"
Dengan nada putus asa Syeikh menjawab, "Saya tidak hapal, dan saya akan menuliskannya untuk Anda."
Saya berkata, "Subhanallah! Anda hapal seluruh hadis-hadis ini, hadis-hadis tentang keutamaan negeri-negeri, namun tidak hapal jalan hadis terpenting yang merupakan pilar utama mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menjaga umat dari kesesatan, sebagaimana yang telah Anda katakan." Mendengar itu Syeikh terdiam seribu bahasa.
Ketika para hadirin merasakan rasa malu Syeikh, salah seorang dari mereka berkata kepada saya, "Apa yang Anda inginkan dari Syeikh, padahal Syeikh telah berjanji akan menuliskannya untuk Anda."
Saya berkata, "Saya akan coba dekatkan jalan untuk Anda. Sesungguhnya hadis ini juga terdapat di dalam kitab Sirah Ibnu Hisyam dengan tanpa sanad."
Syeikh al-Arnauthi berkata, "Sirah Ibnu Hisyam adalah kitab sejarah, bukan kitab hadis."
Saya berkata, "Kalau begitu berarti Anda mendhaifkan riwayat ini."
Syeikh al-Arnauthi menjawab, "Ya."
Saya berkata, "Anda telah membantu saya menyelesaikan diskusi ini."
Kemudian saya meneruskan perkataan saya dengan mengatakan, "Hadis ini juga terdapat di dalam kitab al-llma' karya Qadhi 'lyadh, dan kitab al-Faqih al-Mutafaqqih karya Khatib al-Bagdadi, apakah Anda mengambil riwayat-riwayat ini?"
Syeikh menjawab, “Tidak”.
Saya berkata, "Jika demikian, maka hadis "Kitab Allah dan sunahku" itu dhaif menurut kesaksian Syeikh, dan tidak ada jaminan lain di hadapan kita kecuali satu jaminan yang akan mencegah umat dari perselisihan, yaitu hadis mutawatir dari Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah dan kitab-kitab sahih yang enam selain Bukhari, yaitu sabda Rasulullah saw yang berbunyi,
"Aku meninggalkan dua perkara yang sangat berharga, yang jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali yang terbentang di antara langit dan bumi, dan 'ltrah Ahlul Baitku. Sesungguhnya Zat Yang Maha Mengetahui telah memberitahukanku bahwa keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga mendatangiku di telaga," Sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat Ahmad bin Hambal. Tidak ada alternatif lain bagi seorang Mukmin yang menginginkan Islam sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya selain dari jalan ini. Yaitu jalan Ahlul Bait yang mereka telah disucikan di dalam Al-Qur'an al-Karim dari segala dosa dan kotoran. Dan kemudian saya menyebutkan sekumpulan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait as. Tidak sebagaimana biasanya, Syeikh terdiam tidak mengatakan satu patah kata pun selama saya berbicara.
Ketika murid-murid Syeikh melihat kekalahan di wajah gurunya, mereka pun membuat kegaduhan dengan berteriak-teriak.
Saya berkata, "Sungguh merupakan dajjal, kemunafikan dan penghindaran dari kebenaran. Sampai kapan pengingkaran ini akan terus berlangsung?! Kebenaran jelas ayat-ayatnya, tampak kelihatan penjelasan-penjelasannya, dan saya telah menegakkan hujjah atas Anda bahwa tidak ada agama selain dari Kitab Allah dan 'ltrah Rasululah saw yang suci."
Syeikh diam dan tidak membantah sedikit pun apa yang saya katakan. Tiba-tiba dia berdiri sambil berkata, "Saya ingin pergi, saya punya tugas mengajar", padahal dia tahu dia diundang untuk makan siang!!
Tuan rumah memaksa dia untuk tetap tinggal, dan setelah makanan disajikan suasana majlis pun menjadi tenang, dan Syeikh tidak mengatakan sepatah kata apa pun selama menyantap makanan, padahal sebelumnya dia yang menguasai majlis dan pembicaraan.
Demikianlah nasib setiap orang yang menghindari dan menyembunyikan kebenaran. Mau tidak mau pasti akan tersingkap di hadapan orang banyak.



Kesulitan Ahlus Sunnah Tidak Akan Terpecahkan Dengan Kedua Hadis Ini
Jika seandainya kita membiarkan semua itu dan menerima kesahihan hadis "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin .." dan hadis ".. Kitab Allah dan sunahku.. " dengan tanpa membantah, maka yang demikian itu tidak akan bisa menyelamatkan Ahlus Sunnah dan tidak akan bisa memecahkan masalah berat yang dihadapinya. Bahkan justru segenap jalan dan kecendrungan akan mendukung dan memperkuat mazhab Ahlul Bait as (Syi'ah). Yang demikian itu dikarenakan hadis pertama yang ber-bunyi, "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin al-mahdiyyin sepeninggal."


Para Khalifah Itu Adalah Para Imam Ahlul Bait
Sesungguhnya kata "khulafa" di dalam hadis ini tidaklah dikhususkan untuk satu golongan tertentu, dan penafskan kalangan Ahlus Sunnah bahwa para khalifah itu adalah para khalifah yang empat adalah sebuah pentakwilan yang tanpa dalil. Karena pernyataan (proposisi) yang dikemukakan lebih luas dari klaim, dan bahkan bukti-bukti mengatakan sebaliknya. Yaitu bahwa yang dimaksud dengan para khalifah rasyidin ialah para Imam dua belas dari Ahlul Bait as. Disebabkan dalil-dalil dan riwayat-riwayat yang pasti yang menetapkan bahwa para khalifah rasyidin sepeninggal Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah. Al-Qanduzi al-Hanafi telah meriwayatkan di dalam kitabnya Yanabi' al-Mawaddah, "Yahya bin Hasan telah menyebutkan di dalam kitab al-'Umdah melalui dua puluh jalan bahwa para khalifah sepeninggal Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah, dan seluruhnya dari bangsa Quraisy. Dan begitu juga di dalam Sahih Bukhari melalui tiga jalan, di dalam Sahih Muslim melalui sembilan jalan, di dalam Sunan Abu Dawud melalui tigajalan, di dalam Sunan Turmudzi melalui satu jalan, dan di dalam al-Hamidi melalui tiga jalan. Di dalam Sahih Bukhari berasal dari Jabir yang mengatakan, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Akan muncul sepeninggalku dua belas orang amir', kemudian Rasulullah saw mengatakan sesuatu yang saya tidak mendengarnya. Lalu saya menanyakannya kepada ayah saya, 'Apa yang telah dikatakannya?' Ayah saya men-jawab, 'Semuanya dari bangsa Quraisy.'" Adapun di dalam Sahih Muslim berasal dari 'Amir bin Sa'ad yang berkata, "Saya menulis surat kepada Ibnu Samrah, 'Beritahukan kepada saya sesuatu yang telah Anda dengar dari Rasulullah saw.' Lalu Ibnu Samrah menulis kepada saya, 'Saya mendengar Rasulullah saw bersabda pada hari Jumat sore pada saat dirajamnya al-Aslami, 'Agama ini akan tetap tegak berdiri hingga datangnya hari kiamat dan munculnya dua belas orang khalifah yang kesemuanya berasal dari bangsa Quraisy."[35]


Setelah ini tidak ada lagi orang yang bisa berhujjah dengan hadis "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin.." dengan menerapkannya kepada para khalifah yang empat. Dikarenakan riwayat-riwayat yang mutawatir yang mencapai dua puluh jalan, yang kesemuanya dengan jelas mengatakan khalifah itu ada dua belas orang; dan kita tidak akan menemukan penafsiran bagi riwayat-riwayat ini pada dunia nyata kecuali pada para Imam mazhab Ahlul Bait yang dua belas. Dengan demikian, Syi'ah adalah satu-satunya kelompok yang merupakan personifikasi dari makna hadis-hadis ini, dikarenakan penerimaan mereka kepada kepemimpinan Imam Ali as, kemudian Imam Hasan dan Imam Husain, dan setelah itu sembilan orang Imam dari keturunan Imam Husain, sehingga jumlah mereka seluruhnya berjumlah dua belas orang Imam.


Meskipun kata "Quraisy" yang terdapat di dalam riwayat-riwayat ini bersifat mutlak dan tidak dibatasi, namun dengan riwayat-riwayat dan petunjuk-petunjuk yang lain menjadi jelas bahwa yang dimaksud adalah Ahlul Bait. Dan itu disebabkan adanya banyak riwayat yang menunjukkan kepada kepemimpinan Ahlul Bait. Insya Allah, kita akan memaparkan sebagiannya pada pembahasan-pembahasan yang akan datang.
Pada kesempatan ini saya cukupkan Anda dengan riwayat yang berbunyi, "Aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yaitu Kitab Allah dan 'ltrah Ahlul Baitku."[36]
Agama ini akan tetap tegak berdiri dengan kepemimpinan dua belas orang khalifah, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh riwayat-riwayat sebelumnya. Pada saat yang sama terdapat riwayat-riwayat yang menekankan keseiringan Ahlul Bait dengan Kitab Allah. Ini merupakan sebaik-baiknya dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan "dua belas orang khalifah" itu adalah para Imam dari kalangan Ahlul Bait.


Adapun ungkapan "semuanya berasal dari Quraisy" itu tidak lain merupakan pemalsuan di dalam hadis. Ungkapan ini mereka letakkan supaya petunjuk yang jelas akan wajibnya mengikuti Ahlul Bait menjadi kabur. Karena sesungguhnya ungkapan yang benar ialah "semuanya berasal dari Bani Hasyim", namun tangan-tangan jahat senantiasa mencari keutamaan-keutamaan Ahlul Bait, untuk kemudian mereka sembunyikan semampu mereka, atau mengganti dan merubah sesuatu dari mereka yang dapat diselewengkan.[37]


Riwayat ini merupakan salah satu korban daripada pengubahan. Namun, Allah SWT menampakkan cahaya-Nya. Al-Qanduzi al-Hanafi sendiri telah menukilnya di dalam kitabnya Yanabi' al-Mawaddah. Pada mawaddah kesepuluh dari kitab Mawaddah al-Qurba, bagi Sayyid Ali al-Hamadani —semoga Allah SWT mensucikan jalannya dan mencurahkan keberkahannya kepada kita— disebut-kan, "Dari Abdul Malik bin 'Umair, dari Jabir bin Samrah yang ber-kata, 'Saya pernah bersama ayah saya berada di sisi Rasulullah saw, dan ketika itu Rasulullah saw bersabda, 'Sepeninggalku akan ada dua belas orang khalifah.' Kemudian Rasulullah saw menyamarkan suar-anya. Lalu saya bertanya kepada ayah saya, 'Perkataan apa yang disamarkan olehnya?' Ayah saya menjawab, 'Rasulullah saw berkata, 'Semua berasal dari Bani Hasyim."[38]


Bahkan Al-Qanduzi meriwayatkan banyak hadis lain yang lebih jelas dari hadis-hadis di atas. Al-Qanduzi telah meriwayat dari 'Abayah bin Rab'i, dari Jabir yang mengatakan, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Saya adalah penghulu para nabi dan Ali adalah penghulu para washi, dan sesungguhnya para washi sepeninggalku berjumlah dua belas orang. Yang pertama dari mereka adalah Ali, dan yang terakhir dari mereka adalah al-Qa'im al-Mahdi."'[39]


Setelah menyebutkan hadis-hadis ini, Al-Qanduzi al-Hanafi tidak menemukan apa-apa selain harus mengakui dan mengatakan, "Sesungguhnya hadis-hadis yang menunjukkan bahwa para khalifah sesudah Rasulullah saw sebanyak dua belas orang khalifah, telah banyak dikenal dari banyak jalan, dan dengan penjelasan jaman dan pengenalan alam dan tempat dapat diketahui bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah saw dari hadis ini ialah para Imam dua belas dari Ahlul Bait Rasulullah saw. Karena tidak mungkin kita dapat menerap-kannya pada raja-raja Bani Umayyah, dikarenakan jumlah mereka yang lebih dari dua belas orang dan dikarenakan kezaliman mereka yang amat keji, kecuali Umar bin Abdul Aziz, dan dikarenakan mereka bukan dari Bani Hasyim. Karena Rasulullah saw telah bersabda, 'Seluruhnya dari Bani Hasyim', di dalam riwayat Abdul Malik, dari Jabir. Dan begitu juga penyamaran suara yang dilakukan oleh Rasulullah saw di dalam perkataan ini, memperkuat riwayat ini. Dikarenakan mereka tidak menyambut baik kekhilafahan Bani Hasyim. Kita juga tidak bisa menerapkannya kepada raja-raja Bani 'Abbas, disebabkan jumlah mereka yang lebih banyak dibandingkan jumlah yang disebutkan, dan juga dikarenakan mereka kurang menjaga ayat "Katakanlah, 'Aku tidak meminta upah apapun kepadamu atas risalah yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku'" dan hadis Kisa`. Maka mau tidak mau hadis ini harus diterapkan kepada para Imam dua belas dari Ahlul Bait Rasulullah saw. Karena mereka adalah manusia yang paling berilmu pada jamannya, paling mulia, paling warak, paling bertakwa, paling tinggi dari sisi nasab, paling utama dari sisi kedudukan dan paling mulia di sisi Allah SWT. Ilmu mereka berasal dari bapak-bapak mereka, dan terus bersambung kepada datuk mereka Rasulullah saw.[40] Maka penerapan hadis "Kamu harus berpegang teguh pada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku" kepada para Imam Ahlul Bait jauh lebih dekat dibandingkan menerapkannya kepada para khalifah yang empat. Karena sudah jelas bahwa para khalifah sepeninggal Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah, yang kesemuanya berasal dari Bani Hasyim.


Ahlul Bait, Jalan Untuk Berpegang Kepada Al-Kitab Dan Sunnah.
Adapun hadis "Aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya sepeninggalku, yaitu Kitab Allah dan sunahku" tidak bertentangan dengan hadis "Kitab Allah dan 'ltrah Ahlul Baitku". Dua hal baru bisa dikatakan ta'arud (bertentangan) manakala pertentangan yang terjadi di antara keduanya sedemikian rupa sehingga mustahil untuk dapat dipertemukan. Padahal kedua hadis di atas dapat diper-temukan dan sama sekali tidak ada pertentangan di antara keduanya. Ibnu Hajar al-Juhdhi telah menyakinkan kita tentang mungkinnya menggabungkan kedua hadis di atas. Dia menyebutkan di dalam kitab ash-Shawa'iq-nya, "Rasulullah saw bersabda di dalam hadisnya, 'Sesungguhnya aku meninggalkan padamu dua perkara yang jika kamu mengikuti keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat. Yaitu Kitab Allah dan Ahlul Baitku.' Thabrani menambahkan tentang Ahlul Bait, 'Janganlah kamu mendahului mereka nanti kamu binasa, janganlah kamu tertinggal dari mereka nanti kamu celaka, dan janganlah kamu mengajari mereka karena sesungguhnya mereka lebih tahu dari kamu.' Pada sebuah riwayat disebutkan bahwa 'Kitab Allah dan sunahku' merupakan maksud dari hadis-hadis yang hanya dibatasi pada Kitab Allah, karena sunnah merupakan penjelas bagi Kitab Allah, sehingga penyebutan Kitab Allah saja sudah mencukupi. Alhasil, sesungguhnya anjuran jatuh kepada berpegang teguh kepada Kitab Allah, sunah-sunnah dan manusia-manusia yang mengetahui keduanya dari kalangan Ahlul Bait. Dari keterangan hadis-hadis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiga perkara tersebut akan tetap ada hingga hari kiamat."[41]


Dengan ungkapan yang lebih teliti, sesungguhnya apa yang dikatakan oleh Ibnu Hajar tersebut ingin mengatakan bahwa peritah berpegang teguh kepada sunah tidak dapat dilakukan kecuali melalui jalan para pemeliharanya, yaitu Ahlul Bait. Karena Ahlul Bait pasti lebih tahu dengan apa yang ada di dalam rumah. Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh riwayat-riwayat dan telah disaksikan oleh sejarah. Sehingga dengan demikian, sesungguhnya anjuran yang berasal dari Rasulullah saw telah jatuh pada berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Ahlul Bait; dan berpegang teguh kepada sunah sudah merupakan keharusan dari berpegang teguh kepada Ahlul Bait.•

No comments:

Post a Comment