16 February 2009
Oleh :
Dr. Jalaluddin Rahmat
Dalam
Al-Quran, Allah berfirman,’Qulid’ulläha,awidurrahmänaayyama tad’uw, falahul
as-mäul husnä. Berdoalah kamu dengan memanggil nama Allah, atau memanggil
Al-Rahman. Karena bagiNya ada nama-nama yang baik.’ (QS. AI-Isra 110) Dari
memperhatikan nama-nama Allah yang terdapat dalam Al-Quran, kita mengenal dua
wajah Allah. Wajah yang pertama, kita sebut dengan wajah jalal-Nya; yakni
nama-nama Allah yang menunjukkan kebesaran-Nya, keagungan-Nya,
kemahaperkasaan-Nya, ketidak-dapat-terbantahan-Nya, dan kekuatanNya untuk
memaksa kita. Ada nama-nama dalam Al-Quran yang menunjukkan bahwa Tuhan itu
sangat berat dalam mengadzab. Misalnya syadidul’iqäb, atau Yang sangat berat
siksaan-Nya. Tuhan juga adalah Al-Muntaqim, Sang Pernbalas Dendam. Semua nama
itu membuat kita takut kepada-Nya.
Nama-nama
yang membangkitkan rasa takut kepada-Nya dalam diri kita, dalam tasawuf disebut
sebagai dimensi jaläliyah dari asma Allah swt. Menurut para sufi, dimensi
jalähyah berkaitan dengan zat Allah. Kalau kita berbicara Allah sebagai satu
zat, maka hubungan kita dengan Allah adalah hubungan yang jauh. Allah adalah
zat yang tidak bisa kita bayangkan. Betapa pun kita mencoba untuk membayangkan
Allah, Dia tetap berada di luar apa yang kita bayangkan. Karena itu, dalam
Al-Quran sering disebut: subhänallahi ta’äla ‘ammä yasifün, Mahasuci Allah
Ta’ala dari apa yang mereka sifatkan dan mereka bayangkan.
Seorang
ulama pernah berkata, sekiranya kita melakukan shalat, lalu kita ingin shalat
secara khusyuk dan kita membayangkan Allah dengan bayangan kita, maka kita
telah melakukan suatu kemusyrikan. Kita menyembah bayangan kita tentang Allah sedangkan
Dia Mahasuci dari apa pun yang kita bayangkan, subhänallahi ta’äla ‘ammä
yasifün (QS. AI-Shafaat 159).
Kalau
kita membayangkan Allah dari segi zat-Nya, maka yang harus kita lakukan adalah
tanzih, atau pembersihan. Kita membersihkan diri dari segala bayangan apa pun
tentang Allah. Karena Allah tidak bisa kita bayangkan. Laisa ka mitslihi
syaiun, tiada yang semisal Dia sedikit pun. (QS. Al-Syura 1 1) Wa lam yakun
lahu kufuwan ahad, Dia tidak menyerupai siapa pun. (QS. AI-Ikhlas 4) Jadi,
sikap kita terhadap Allah dari segi zatnya adalah membersihkan Allah dari
segala yang kita sifatkan.
Para
filsuf menyebut Allah dari sisi jaläliyah-Nya sebagai sesuatu yang transenden,
yang melintasi ruang dan waktu. Hal itu berada di luar bayangan-bayangan kita,
Karena Allah bersifat transenden, maka kesan yang ditimbulkan dalam diri kita
adalah zat Allah yang jauh (A1-Bu’d). Sifat-sifat yang menggambarkan
jaläliyah-Nya membuat kita takut kepada-Nya, membuat kita jauh dari-Nya. Kita
ingin lari dari-Nya. Dalam dimensi jalaliyah, posisi kita terhadap Allah adalah
sebagai hamba-Nya (‘abd). Seperti ketika shalat kita nyatakan dengan ucapan:
iyyäka na’budu. Kepada-Mu kami menyembah. (QS. Al-Fatihah 5).
Wajah
Allah yang lain adalah sisi yang menunjukkan keindahan-Nya. Dimensi ini disebut
dengan dimensi jamäliyah. Sachiko Murata dalam The Tao of Islam, menerjemahkan
kata jaläl dengan His Majesty dan kata jamal dengan His Beauty. Jika jalal
berhubungan dengan zat Allah, maka jamäl berhubungan dengan sifat-sifat Allah.
Kita
tidak bisa mengenal zat-Nya karena Dia berbeda dengan kita. Oleh karena itu
Allah memperkenalkan dirinya melalui sifat-sifat-Nya. Di antara sifat-sifat
Allah yang jamäl itu adalah kasih-sayang-Nya, anugerah-Nya kenikmatan-Nya,
karunia-Nya, dan pemeliharaan-Nya.
Hal yang
menarik, dalam Al-Quran, jumlah asma Allah yang menunjukkan dimensi jamäliyah
lebih banyak dari jumlah asma Allah yang menunjukkan sisi jalähyah. Menurut
sebagian sufi, hal ini menunjukkan bahwa kasih sayang Allah itu jauh lebih
besar daripada kemurkaannya. Allah itu lebih cepat rida-Nya daripada murka-Nya.
Jika
dalam dimensi jaläliyah, kita harus membersihkan diri kita dari segala bayangan
tentang Allah, maka dalam dimensi jamäliyah, kita harus melakukan apa yang
disebut dengan tasybih. Tasybih artinya kita harus meniru Allah, menyerupai-Nya
dalam sifat-sifat-Nya yang indah itu. Dalam ilmu Tasawuf dikenal istilah
AI-Takhalluq bi khulüqillah, berakhlak dengan akhlak Allah. Kita mencoba
menyerap sifat-sifat Allah itu di dalam diri kita.
Dalam
perwujudan jamäl, Allah tidak dirasakan jauh karena Dia seperti kita.
Peribahasa Inggris berbunyi like begets like, yang serupa itu akan saling
rnenarik satu sama lain. Ilmu psikologi modern juga mengenal teon. bahwa
manusia akan tertarik kepada orang-orang di sekitarnya bila di antara mereka
terdapat kesamaan. Hal itu kemudian dijadikan kiat dalam teknik ilmu jiwa: Bila
kita menginginkan agar orang suka pada kita, maka usahakan untuk menunjukkan
kesamaan kita dengannya.
Dalam
perwujudan jaläl, Allah berada jauh dari kita sehingga perasaan yang timbul
dalam hati kita terhadap Dia adalah perasaan khauf (takut). Adapun dalam
perwujudan jamäl, Allah berada dekat dengan kita sebagai akibat dari keserupaan
kita dengan-Nya. Perasaan yang timbul di hati kita adalah perasaan mahabbah
(cinta). Mahabbah ditunjukkan dalam anugerah Allah, kasih sayang, karunia,
ampunan, dan pahala-Nya.
Menurut
Sachiko Murata, dalam penciptaan manusia Allah menunjuk kepada sifat
jamäliyah-Nya. Seperti dalam surat Al-Rahman, ‘Al-Rahmän, ‘allamal Qur’än,
khalaqal insän. Dialah sang Maha Pengasih, yang mengajarkan Al-Quran, yang
menciptakan insan.’ (QS. Al-Rahrnan 1-3). Al-Rahman adalah asma Allah yang
menggambarkan keindahanNya. Jadi, penciptaan manusia itu lahir dari sifat
jamäliyah Tuhan, dari kasih sayang-Nya.
Karena
itulah ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia tidak berkata kepada para malaikat
itu “Aku akan ciptakan seorang hamba di muka bumi ini.’ Tapi Tuhan berfirman,
‘Inni jä’ilun fil ardhi khalifäh. Aku akan jadikan di bumi seorang khalifah.’
(QS. AI-Baqarah 30).
Posisi
kita terhadap Allah dalam dimensi jamäliyah bukan lagi posisi seorang hamba
tapi posisi seorang khalifah.
Murata
mengatakan bahwa di antara seluruh hamba-hamba Tuhan yang Ia ciptakan di alam
semesta, yang Tuhan berikan jubah kehormatan adalah manusia. Jubah kehormatan
itu adalah kekhalifahan manusia. Manusia memikul amanat yang besar untuk
menjadi ‘wakil Tuhan’ di bumi. Di antara seluruh makhluk-Nya, Tuhan melihat
manusia sebagai satu-satunya makhluk yang berhak mengenakan jubah kehormatan
sebagai khalifah Tuhan.
Para
malaikat lalu menanyakan kelayakan manusia untuk memakai jubah kehormatan ini.
Yang mereka persoalkan adalah akhlak manusia, bukan komponen-komponen yang
membentuk rnanusia. Malaikat bertanya, ‘Ataj’alu fihä may yufsidu fihä wa
yasyfikud dimä. Wa nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqadissulak. Akankah Engkau
jadikan di bumi seorang khalifah yang nanti akan berbuat kerusakan dan
menumpahkan darah Padahal kami selalu bertasbih kepadaMu dan mensucikan-Mu.
Seakan-akan para malaikat berkata bahwa yang paling layak menjadi khalifah
adalah mereka karena kebiasaan mereka untuk mensucikan Tuhan. Tetapi Allah
berfir-man, ‘Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ (lihat QS. AI-Baqarah
30).
Jubah
kekhalifahan adalah amanah. Dalam Al-Quran disebutkan ketika amanah itu
diberikan kepada langit, bumi, dan bukit-bukit, mereka sernua bergetar
ketakutan rnenolak amanat itu. Kernudian manusialah yang menerimanya. Mengapa
manusia dipilih sebagai khalifah dibandingkan makhluk-makhluk lain? Karena pada
manusialah dua wajah rnanusia itu bisa bergabung.
Menurut
IbnArabi, sernua makhluk itu hanya membawa satu saja dari dua sifat Allah swt.
Halilintar, misalnya, hanya membawa dalam dirinya sifat jaläliyah Tuhan saja.
Hujan hanya membawa sifat jamäliyah saja. Tapi pada diri manusia ada potensi
untuk menggabungkan kedua dimensi itu. Karena manusia bukan saja khalifah tapi
ia juga seorang abdi.
Dalam.posisinya
sebagai hamba, manusia sama seperti makhluk-makhluk Allah yang lain. Pada
posisinya sebagai khalifah, ia menonjol dibandingkan makhluk-makhluk yang lain.
manusia memiliki berbagai keistimewaan.
Dalam
ilmu-ilmu bantu Islam, yang mengambil wajah Allah dari segi jaläliyah, adalah
ilmu fikih. Pada ilmu fikih, Tuhan muncul dalam sosok seorang hakim dengan palu
di tangannya; jika Anda lakukan ini Anda masuk surga dan jika tidak, Anda masuk
neraka. Tuhan mempunyai dua tangan. Pada satu tangan, Ia simpan surga dan pada
tangan yang lain, Ia simpan neraka. Tuhan menjadi hakim yang sangat adil.
Para
sufi sering mengatakan bahwa yang mereka takutkan dari Tuhan itu adalah
keadilan-Nya. Dalam salah satu doa yang dianjurkan untuk dibaca setiap hari
Ahad, disebutkan: Dengan nama Allah yang tidak aku harapkan kecuali karunia-Nya
dan tidak aku takutkan kecuali keadilan-Nya. (lihat Shahifah Sajjädiyah, Doa
Hari Ahad.) Anugerah Allah adalah sisi jamäliyah dan keadilan Allah adalah sisi
jalähyah.
Satu
ketika seorang cucu Rasulullah saw, Imam Ali Zainal Abidin as, bertemu dengan
Hasan Al-Bashri, seorang tabiin murid Imam Ali kw. Mereka berdiskusi. Hasan
Al-Bashri mengatakan, `Jika kita melihat apa yang dilakukan manusia sehari-hari
sekarang ini, tampaknya tidak bakal ada seorang pun di antara manusia yang
masuk surga.” Maksud Hasan Al-Bashri, bila kita perhatikan hadis-hadis,
sepertinya semua manusia akan masuk neraka.
Misalnya
ada hadis yang menyatakan tidak akan pernah masuk surga seseorang yang dalam
hatinya ada rasa takabur walaupun sebesar debu. Dan takabur di hati kita lebih
dari sebesar debu, takabur kita sebesar gunung. Padahal sebesar debu saja sudah
diharamkan masuk surga. Ada pula hadis Nabi yang menyatakan barangsiapa yang
usianya lebih dari empat puluh tahun, lalu kebaikannya tidak lebih besar dari
keburukannya, maka setan akan menciumnya di antara dua alisnya. Di dalam idiom
bahasa Arab, mencium di antara dua alis itu adalah ungkapan kasih sayang. Jadi,
barangsiapa yang sudah berusia empat puluh tahun sementara kebaikannya tidak
lebih besar dari keburukannya, hendaknya ia bersiap-siap untuk kedudukannya di
neraka.
Bila
kita simak hadis-hadis itu, rasanya kita sernua akan masuk neraka.
Lalu
Imam Ali Zainal Abidin berkata kepada Hasan Al-Bashri, ‘Kalau kita perhatikan
kasih sayang Allah swt, tampaknya tidak ada seorang pun yang masuk neraka.’
Dari sini dapat kita lihat bahwa Ali Zainal Abidin berada pada dataran
jamäliyah Allah swt sementara Hasan AI-Bashri berada pada dataran jaläliyah
Allah swt.
Sekiranya
kita hanya berpegang pada dimensi jamäliyah Tuhan dan tidak memperhatikan sisi
jaläliyah-Nya, kita akan menjadi orang yang sangat longgar. Kita akan seenaknya
saja berbuat maksiat karena kita beranggapan toh Allah itu Maha Pengasih dan
Maha Penyayang. Kita akan melanggar berbagai aturan-Nya, karena ampunan Allah
lebih luas dari dosa-dosa kita. Hukum Tuhan tidak akan bisa ditegakkan di muka
bumi. Bila kita hanya menyerap sifat-sifat jamäliyah, ketika kita dirampok dan
dizalimi, kita akan memaafkan saja. Karena Allah pun adalah Maha Pengampun. Dan
kejahatan pun akan berkembang luar biasa di bumi ini.
Oleh
sebab itu, hal ini harus kita imbangi dengan keadilan Ilahi. Keadilan Ilahi
sangat ditakuti para sufi. Jika Allah itu adil dan mempertimbangkan semua amal
kita, maka kita semua akan masuk neraka. Jika Dia membalas kita dengan balasan
yang setimpal, celakalah kita. Jadi, keliru bila ada yang mendoakan orang yang
meninggal dunia dengan ucapan, ‘Semoga Allah memberi balasan yang setimpal.’
Dalam
salah satu doanya, Imam Ali Zainal Abidin berkata:
Ya Allah, setiap hari Engkau berkhidmat kepadaku
Seakan-akan tiada hamba yang lain selain aku
Padahal setiap hari pula para malaikat mengantarkan kemaksiatanku kepada-Mu
Seakan-akan aku punya Tuhan yang lain selain Engkau
Ya Allah, setiap hari Engkau berkhidmat kepadaku
Seakan-akan tiada hamba yang lain selain aku
Padahal setiap hari pula para malaikat mengantarkan kemaksiatanku kepada-Mu
Seakan-akan aku punya Tuhan yang lain selain Engkau
Kita
membantah Tuhan seakan-akan ada Tuhan yang lain yang bisa kita melarikan diri
kepada-Nya. Kalau kita di-PHK dari Tuhan yang ini, kita bisa pindah kepada
Tuhan yang lain. Tapi Tuhan melayani kita seakan-akan kitalah satu-satunya
hamba-Nya.
Bila
Allah membalas amal kita dengan keadilan-Nya, kita semua akan celaka. Kita
beramal saleh, tapi amalan kita yang sedikit itu banyak sekali virusnya. Virus
itu misalnya perasan riya’ (kurangnya keikhlasan) dan perasaan ‘ujub (takjub
akan kesalehan kita sendiri).
Suatu
saat, seorang sufi di antara shalat malamnya mendengarkan sebuah suara. Suara
itu berkata, ‘Ya Aba Abdillah, kalau kejelekanmu aku ungkapkan kepada manusia
yang lain, mereka akan melempari kamu dengan batu.’ Sufi itu menjawab, ‘Ya
Allah, kalau Engkau ungkapkan kasih-sayang-Mu kepada semua hamba-Mu, nanti
tidak akan ada seorang pun yang menyembah-Mu.” Lalu suara itu berkata,
`Sudahlah, diamlah kamu supaya aku juga diam.’ Dialog itu mengkombinasikan
jamäliyah dan jaläliyah Tuhan. Seorang sufi adalah seorang yang menerima
dimensi jaläliyah Allah, tetapi ia lebih menitikberatkan pada dimensi
jamäliyah-Nya.
Ilmu
fikih berkaitan dengan hukum, keadilan, dan syariat. Ia menggarisbawahi
sifat-sifat jaläliyah Tuhan. Karena itu, bila tasawuf tidak disertai dengan
fikih akan lahir kelalaian dan kecenderungan untuk berbuat maksiat. Para sufi
mengatakan: Tarekat tanpa syariat itu bätil (sesat) sedangkan syariat tanpa
tarekat itu ‘ätil (kosong, tak berisi).
Ilmu
Islam yang lain yang menekankan jaläliyah-Nya Allah Swt adalah ilmu kalam
(teologi). Para filosof Islam lebih menekankan jaläliyah Allah Swt. Dulu ketika
kita belajar sifat-sifat Allah, pelajaran yang kita peroleh itu berasal dari
ilmu kalam. Yang kita hafalkan sifat Allah itu ada dua puluh. Kedua puluh sifat
itu menunjukan perbedaan kita dengan Allah swt. Seperti wujud, qidam, baqa, dan
mukhlafatuhu lil hawaditsi, semua itu menunjukan perbedaan. Sifat yang sama
dengan kita hanya tiga yang terakhir: mendengar, melihat, dan berbicara.
Sifat-sifat yang awal itu menunjukan sifat yang berbeda dengan kita. Bahkan
ditegaskan dalam salah satu sifat-Nya, mukhalafatuhu lil hawaditsi: Allah itu
berbeda dengan makhluknya. Itu semua berasal dari ilmu kalam.”
No comments:
Post a Comment