Tuesday, October 11, 2011

Bertengkar Itu Jelek!

7 04 2009
Oleh JALALUDDIN RAKHMAT
Tahun 1970, Ismail menjadi pemuda Muhammadiyah. Selama seminggu, dia dilatih secara intensif di Darul Arqam –wadah pengkaderan Muhammadiyah. Dia mempelajari paham agama dalam Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, dan Khittah Muhammadiyah. Dia pulang dengan membawa himpunan keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah –yang berisi fatwa-fatwa resmi yang harus diamalkan anggota Muhammadiyah. Segera setelah kembali ke kampungnya, dia aktif memperjuangkan paham Muhammadiyah. Dia merasa sangat berbahagia ketika masjid jami’ di kampungnya menurunkan beduk dan menghilangkan azan awal pada hari Jum’at. Sebagai kader Muhammadiyah, dia berhasil mengembalikan umat kepada Al-Quran dan Hadits.

Lima belas tahun kemudian, Ismail masih menjadi pemuda Muhammadiyah. Tetapi kini dia bekerja sama dengan tokoh-tokoh NU dan bahkan bergabung dengan salah satu tarikat yang dahulu di-bid’ahkannya. Dia mengelola LSM yang membantu ekonomi lemah. Jamaahnya tak lagi mempersoalkan kemuhammadiyahannya.

Rupanya banyak orang seperti Ismail, berasal dari NU, Persis, Al-Irsyad, dll. Pada saat sebagian anggota Muhammadiyah mulai mengamalkan qunut, sebagian NU meninggalkannya. Dahulu NU menyebut dirinya Ahlu Sunnah wal Jamaah, sedangkan Muhammadiyah dan kawan-kawan sebagai kaum wahabi. Sekarang Muhammadiyah dan kawan-kawan menyatakan diri sebagai Ahlu-Sunnah wal Jamaah; sementara NU menjadi lebih liberal dari Wahabi. Kini, khususnya pada kalangan anak-anak muda, ikhtilaf mazhab tidak lagi menjadi fokus perhatian. Buat mereka, tantangan yang dihadapi umat Islam jauh lebih besar daripada perbedaan dalam cara-cara beribadat.

Lebih dari itu, sekarang orang menyadari bahwa perbedaan mazhab fiqih itu seringkali dibesar-besarkan untuk kepentingan politik. Kesadaran bahwa konflik mazhab itu lahir dari kepentingan politik adalah sebuah sejarah. Bukankah dua mazhab awal—Sunni dan Syiah—muncul karena perbedaan visi politik? Terakhir, orang-orang yang aktif menyebarkan isu Sunnah-Syiah di Indonesia sejak perang Irak-Iran, tampak limbung setelah Irak menyerang Kuwait.

Dalam suatu pengajian di Paramadina, Jakarta, disimpulkan bahwa mazhab-mazhab fiqih yang berkembang sejalan dengan perkembangan sistem politik. Kesadaran inilah tampaknya mengubah Ismail belakangan ini.

Orang-orang seperti Ismail ingin mengikuti tradisi sahabat Ibnu Mas’ud. Ibnu Mas’ud kecewa betul ketika mendengar Khalifah Utsman shalat Zhuhur dan Ashar sebanyak masing-masing empat rakaat di Mina. Utsman ra dianggap telah meninggalkan sunnah Rasulullah saw. Tetapi, ketika Ibnu Mas’ud shalat berjamaah di Mina di belakang Utsman ra, ia shalat seperti shalatnya Utsman. Ketika orang mempertanyakan hal itu, Ibnu Mas’ud berkata, “Bertengkar itu semuanya jelek!” (Hadist Riwayat Abu Dawud).
(www.mediaislam.net)

No comments:

Post a Comment