10 05 2012
Oleh JALALUDDIN RAKHMAT
HARI itu para pembesar Quraisy mengadakan sidang umum. Mereka memperbincangkan berkembangnya gerakan baru yang diasaskan Muhammad. Ada dua pilihan. To shoot it out atau to talk it out. Membasmi gerakan itu sampai habis atau mengajaknya bicara sampai tuntas. Pilihan kedua yang diambil.
Untuk
itu serombongan Quraisy menemui Nabi saw. Beliau sedang berada di masjid. Utbah
bin Rabi’ah anggota Dar al-Nadwah (parlemen) yang paling pandai berbicara,
berkata : “Wahai kemenakanku! Aku memandangmu sebagai orang yang terpandang dan
termulia diantara kami. Tiba-tiba engkau datang kepada kami membawa paham baru
yang tidak pernah dibawa oleh siapapun sebelum engkau. Kauresahkan masyarakat,
kautimbulkan perpecahan, kaucela agama kami. Kami khawatir suatu kali
terjadilah peperangan diantara kita hingga kita semua binasa.
Apa sebetulnya yang kau kehendaki. Jika kauinginkan harta, akan kami kumpulkan kekayaan dan engkau menjadi orang terkaya diantara kami. Jika kau inginkan kemuliaan, akan kami muliakan engkau sehingga engkau menjadi orang yang paling mulia. Kami tidak akan memutuskan sesuatu tanpa meminta pertimbanganmu. Atau, jika ada penyakit yang mengganggumu, yang tidak dapat kauatasi, akan kami curahkan semua perbendaharaan kami sehingga kami dapatkan obat untuk menyembuhkanmu. Atau mungkin kauinginkan kekuasaan, kami jadikan kamu penguasa kami semua.”
Nabi saw
mendengarkan dengan sabar. Tidak sekalipun beliau memotong pembicaraannya.
ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, “Sudah selesaikah ya Abal Walid?” Sudah,
kata Utbah. Nabi membalas ucapan Utbah dengan membaca surat Fushilat: “Ha mim.
Diturunkan al-Qur’an dari Dia yang Mahakasih Mahasayang. sebuah kitab, yang
ayat-ayatnya dijelaskan. Qur’an dalam bahasa Arab untuk kaum yang berilmu…..”
Nabi saw terus membaca. ketika sampai ayat sajdah, ia bersujud.
Sementara
itu Utbah duduk mendengarkan sampai Nabi menyelesaikan bacaannya. kemudian, ia
berdiri. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Kaumnya berkata, “Lihat,
Utbah datang membawa wajah yang lain.”
Utbah
duduk di tengah-tengah mereka. Perlahan-lahan ia berbicara, “Wahai kaum
Quraisy, aku sudah berbicara seperti yang kalian perintahkan. Setelah aku
berbicara, ia menjawabku dengan suatu pembicaraan. Demi Allah, kedua telingaku
belum pernah mendengar ucapan seperti itu. Aku tidak tahu apa yang
diucapkannya. Wahai kaum Quraisy! Patuhi aku hari ini. kelak boleh kalian
membantahku. Biarkan laki-laki itu bicara. Tinggalkan dia. Demi Allah, ia tidak
akan berhenti dari gerakannya. Jika ia menang, kemuliannya adalah kemulianmu
juga.”
Orang-orang
Quraisy berteriak, “Celaka kamu, hai Abul Walid. Kamu sudah mengikuti
Muhammad”. Orang Quraisy ternyata tidak mengikuti nasihat Utbah (Hayat
al-Shahabah 1:37-40; Tafsir al-durr al-Mansur 7:309, Tafsir Ibn Katsir 4:90,
Tafsir Mizan 17:371). Mereka memilih logika kekuatan, dan bukan kekuatan
logika.
Peristiwa
itu sudah lewat ratusan tahun yang lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi Saw
dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal
akhlak Nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Yang menakjubkan kita adalah
perilaku kita sekarang. Bahkan oleh Utbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau
mendengarkan Nabi saw. dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara.
Jangankan mendengarkan pendapat kaum kafir. Kita bahkan tidak mau mendengarkan
pendapat saudara kita sesama muslim. Seperti pembesar-pembesar Quraisy, kita
lebih sering memilih shoot it out! []
JALALUDDIN
RAKHMAT, Ketua Dewan Syura IJABI
No comments:
Post a Comment