8 03 2011
Saya sering bicara tentang Islam di banyak gereja. Lalu banyak orang yang bertanya, sejak kapan Islam mengajarkan pluralisme? Kalau dalam Katolik baru dimulai sejak John Paul II atau Paus Johanes Palus II. Saya lalu katakan, pluralisme ada sejak zaman Rasulullah.
Seorang pluralis adalah orang yang mengakui adanya banyak jalan menuju Tuhan. Lewat jalan yang beragam itu, masing-masing pemudik disemangati oleh etos bermusabaqah dalam kebajikan. Rahmat Tuhan yang tak terbataslah yang nantinya akan menentukan mana yang terbaik di antara para pemudik itu, tanpa memandang perbedaan agama dan golongannya. Demikian perbincangan Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), Kamis (28/9) lalu, dengan Jalaluddin Rakhmat, intelektual Islam-Syiah yang meluncurkan buku Islam dan Pluralisme, pertengahan September lalu.
Kang Jalal, apa yang mendorong Anda menulis buku Islam dan Pluralisme yang diluncukan pertengahan September lalu di Universitas Paramadina?
Saya ingin memberi tunjangan atau support teologis dengan rujukan Alqur’an langsung untuk membenarkan pluralisme. Sebab, kalau bicara soal Islam, rujukan utama kita adalah Alqur’an. Karena itu, bab pertama buku itu bicara soal ayat-ayat Alqur’an tentang pluralisme. Jadi buku ini ingin memberi argumentasi keislaman tentang pluralisme dan seakan-akan menjadi sebuah jawaban terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kalau MUI mengatakan pluralisme haram, pleace tunjukkan dalilnya dari Alqur’an dan hadits. Kalau saya yang mendukung pluralisme ditanya dalil bisa dibenarkankannya pluralisme dalam Islam, nah buku inilah jawabannya.
Saya jadi ingat buku Gamal Al-Banna Doktrin Pluralisme dalam Alqur’an yang (terjemahan dari Arab). Di situ antara lain ditegaskan al-i`tirâf biwahdaniyatilLâh yaqtadlî al-i’tirâf bita`addudiyyati ghairihi (pengakuan akan keesaan Tuhan mensyaratkan pengakuan akan kebhinekaan lainnya). Apakan proposisi seperti itu bisa dibenarkan?
Salah satu buku yang banyak saya kutip juga untuk penulisan buku ini termasuk buku Gamal Al-Banna itu. Menurut saya, buku Al-Banna itu sangat menarik. Pertama, karena posisi Al-Banna yang mendukung pluralisme memang menarik bagi kita. Sebab, dia pernah juga menjadi seorang fundamentalis. Dia pernah masuk penjara dan bekerja untuk pembenahan instalasi listrik bersama tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimun lainnya di Mesir.
Saya kira, Gamal Al-Banna pasti punya hubungan kekeluargaan dengan Hasan Al-Banna (Gamal memang adik bungsu Hassan Al-Banna, pendiri kelompok Ikhwanul Muslimin, Red). Kita tahulah bahwa Hassan Al-Banna adalah idolanya kaum fundamentalis. Dan adiknya ini pernah pula masuk penjara demi mempertahankan fundamentalismenya. Nah yang menarik bagi saya, dalam posisi yang sangat fundamentalis itu, kita masih menemukan dalam dirinya pandangan-pandangan yang sangat pluralistik. Dia hafal Alquran dan memberi argumennya dari Alquranul karim sendiri.
Saya akan beri contoh tentang pandangan Al-Banna yang saya kutip juga dalam buku saya. Dia mengatakan, Thomas Alva Edison itu pasti akan masuk surga. Sebab, berkat temuannya jutaan umat manusia dapat diterangi dan kita menikmati kenyamanan-kenyamanan hidup seperti kulkas dan AC. Itu semua berkat jasa Alva Edison. Orang-orang fundamentalis di sekelilingnya menyangkal, ”Tak mungkin si Thomas masuk surga. Dia kan kafir?!”
Dengan mengutip Alqur’an, Al-Banna menjawab: “Sekiranya manusia punya wewenang untuk mengelola perbendaraan kasih sayang Tuhannya (khazâinna rahmati Robbi), pastilah mereka akan menahannya untuk kelompoknya saja.” Lalu diujung ayat itu dikatakan, ”Sesungguhnya manusia itu memang bahil (kaana qatûrâ).”Karena bakhil, surga pun akan mereka tahan dan kavling-kavling untuk kelompok mereka saja. Bagi orang Islam, surga hanya diperuntukkan bagi orang Islam. Dan bagi orang Kristen, mungkin ia hanya untuk orang Kristen. Masing-masing mereka menahan perbendaraan kasih sayang Tuhannya; enggan berbagi-bagi. Nah, ketika membicarakan pluralisme, saya selalu teringat akan ayat itu: Tuhan tidak ingin membatasi rahmat-Nya hanya untuk kelompok tertentu saja.
Apa yang Anda maksud dengan pluralisme ketika menulis buku itu?
Isme itu adalah sebuah paham. Ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme, di dalam dunia akademis sebetulnya masih bagian dari religious studies atau pendekatan yang sekular untuk memahami gejala-gejala keberagamaan. Pluralisme itu bisa berupa paham tapi bisa juga disebut orientasi keberagamaan. Kita memang harus bisa membedakan pluralisme dan pluralitas. Pluralistas adalah kenyataan sosial ketika kita menyaksikan adanya masyarakat yang plural atau majemuk. Tapi pluralisme adalah sebuah paham dalam religious studies.
Banyak orang menyangka pluralisme itu punya definisi macam-macam. Sebenarnya tidak! Di dalam dunia akademis, sudah ada kesepakatan dan batasan-batasan dalam defenisinya. Misalnya, ada penegasan bahwa pluralisme itu bukanlah sinkretisme. Pluralisme juga bukan menganggap semua agama sama. Bukan pula menganggap semua benar. Biasanya, pluralisme dibicarakan dalam tiga bagian atau dalam posisi berhadapan dengan dua posisi lainnya, yaitu ekslusivisme dan inklusivisme.
Jadi, ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme, menjawab satu pertanyaan mendasar di dalam studi keagamaan. Yaitu, siapakah yang akan selamat di akhirat nanti? Atau siapa yang kelak akan masuk surga?
Karena itu, kalau bicara soal pluralisme, pleace pembicaraan itu dipahami dalam konteks siapa yang akan selamat di akhirat nanti saja. Bagi kaum ekslusivis, hanya golongan dan agama mereka saja yang akan selamat. Menurut kaum inklusivis, yang masuk surga hanya orang Islam dan orang-orang lain yang berakhlak islami. Tapi bagi mereka, Islam tetap sebagai kriteria pertama. Nah, kaum pluralis berpendapat bahwa orang yang selamat adalah siapa saja, apapun agamanya, selama memberi kontribusi yang baik bagi kemanusiaan di dunia ini.
Itu kan pertanyaan metafisis. Yang penting bagi kehidupan sosial kan hanya implikasi atau dampak sosial masing-masing pandangan. Apa pentingnya perspektif pluralis di dalam kehidupan sosial kita?
Dalam masyarakat yang sangat pluralistik, atau ketika kita berhadapan dengan keragaman dalam teologi, kepercayaan, dan keyakinan, hanya pluralisme yang dapat diharapkan akan memberi ruang bagi toleransi. Tapi banyak sekali orang yang menolak pluralisme. Seorang kiai NU di Jawa Timur pernah mengatakan, “Sudahlah, kita tak usah mengurus apakah orang masuk surga atau tidak. Itu bukan urusan kita. Serahkan saja urusannya ke pada Tuhan!” Beliau lupa, jawaban tentang siapa yang akan masuk surga itu akan sangat mempengaruhi kita dalam memandang agama lain, dan itu akan menjadi bingkai untuk memahami ajaran-ajaran agama lainnya.
Ketika saya berpendapat bahwa semua orang, apapun agamanya, asalkan beramal saleh, akan masuk surga, apa yang akan terjadi pada diri saya setelah itu? Saya tentu tidak akan menilai orang lain dari label-label keagamaannya. Saya jadi tak peduli apakah dia Katolik, Kristen, atau Hindu. Kalau berakhlak mulia, beramal saleh, saya akan berikan segala kemuliaan kepadanya.
Tapi bagi orang Islam yang berpandangan ekslusif, hanya orang Islam saja yang akan masuk surga. Orang lain tak akan. Apa yang akan tumbuh dari sikap demikian tak lain hanya prasangka-prasangka sosial. Nanti, kalau ada orang Kristiani yang membantu orang Islam, kita langsung curiga. Bahkan, akan ada dampak etis yang sangat fatal kalau kita merasa hanya orang Islam saja yang kelak masuk surga. Ketika kita melihat perilaku kita jauh lebih buruk dari perilaku orang beragama lain, kita akan selalu mencari justifikasi (pembenaran) untuk kekurangan kita. Kita katakan, ”mereka berbuat baik, tapi pasti tetap masuk neraka.”
Padahal, Alquran sendiri pernah menyindir orang-orang yang berkata demikian. Berkatalah orang-orang Yahudi: ”lan tamassana an-nâr illâ ayyâman ma`dûdât (kami tidak akan tersentuh api neraka kecuali sebentar saja). Sebab, kita adalah kekasih-kekasih Allah. Demikian pandangan sebagaian orang Yahudi.” Orang Yahudi juga mengklaim laisat an-nashârâ `alâ syai’ (orang-orang Nasrani itu tidak bakal mendapat apa-apa). Orang-orang Nasrani membalas, laisat al-yahûd `alâ syai’ (orang Yahudi juga tidak akan dapat apa-apa). Tapi di ujung ayat, Alqur’an menegaskan: ”Tilka amâniyyuhum!” (itu hanya angan-angan mereka saja). ”Waman ya`mal sû’an yuzâ bih” (siapa saja yang berbuat buruk, tidak perduli apapun agamanya, ia akan tetap memperoleh balasan).
Apakah gagasan atau sikap pluralistis hanya penting bagi kelompok minoritas, mereka yang merasa tertindas, dan tidak dapat menentukan hitam-putihnya kehidupan sosial?
Kalau kita baca buku-buku karangan Karen Armstrong, kita akan tahu bahwa di saat kaum muslimin berada dalam puncak kejayaan peradabannya, justru mereka sangat percaya diri untuk menganut pluralisme. Armstrong pernah bercerita tentang sindrom martir. Di situ dia terangkan bahwa dulunya, justru orang-orang Kristen yang selalu siap-siap untuk mati sahid. Dan demi mati syahid, mereka rela mengecam Islam, memaki-maki Rasulallah, dan melakukan tindakan lainnya. Tapi waktu itu, raja-raja Islam santai-santai saja, tuh. Sebab mereka tahu, mereka ingin syahid. Mereka dibiarkan saja dan tidak dihukum mati.
Adakah perbenturan antara konsep pluralisme dengan teologi masing-masing agama yang sudah dimapankan seperti konsep tauhid dalam Islam?
Bagi saya, seorang muslim yang pluralis, pasti akan menganut prinsip tauhid. Seorang kristiani yang pluralis, pasti akan percaya bahwa Yesus adalah juru selamat semua umat manusia. Jadi pluralisme itu adalah sebuah orientasi keberagamaan. Kelompok pluralis itu akan ada di kalangan Islam, ada juga di kelompok Kristiani dan agama lain. Kalangan ekslusivis juga ada di berbagai agama dan masing-masing bisa merujuk pada kitab suci masing-masing.
Jadi pluralisme adalah sebuah paham dan paham itu berakibat pada perilaku sosial kita. Tapi pluralisme bukan juga menganggap semua agama sama saja karena dalam Alquran juga sudah dikatkan, ”walikullin ja`alna minkum syir`atan wa minhâja.” Artinya, bagi tiap-tiap agama, telah Kami tetapkan aturan hidup dan syariat masing-masing. Ditegaskan juga, ”walau syâ’alLâh laja`alakum ummatan wâhidah” (kalau Allah menghendaki, Dia akan jadikan seluruh agama itu satu saja). Artinya, Allah bisa menjadikan seluruh agama sama saja.
Jadi pluralisme adalah sebuah paham dan paham itu berakibat pada perilaku sosial kita. Tapi pluralisme bukan juga menganggap semua agama sama saja karena dalam Alquran juga sudah dikatkan, ”walikullin ja`alna minkum syir`atan wa minhâja.” Artinya, bagi tiap-tiap agama, telah Kami tetapkan aturan hidup dan syariat masing-masing. Ditegaskan juga, ”walau syâ’alLâh laja`alakum ummatan wâhidah” (kalau Allah menghendaki, Dia akan jadikan seluruh agama itu satu saja). Artinya, Allah bisa menjadikan seluruh agama sama saja.
Tapi Alqur’an menjelaskan lebih lanjut, ”walâkin liyabluwakum” (Dia ingin menguji kalian), ”bimâ âtâkum” (dengan agama yang datang kepada kalian). Karena itu, kita dianjurkan untuk ”fastabiqul khairât” (berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan), karena ”ilayya marji`ukum jamî`an” (hanya kepada-Ku seluruh agama akan berpulang). Ayat ini perlu dikomentari.
Menurut saya, hampir tak pernah terdapat kata jamî`an setelah kata marji`ukum kecuali di dalam ayat ini saja. ”Ilayya marji`ukum fa unabbiukum bimâ kuntum ta`malûn; inna ilaynâ iyâbahum, tsumma inna `alaynâh isâbahum.” Kepada-Ku juga kalian akan berpulang dan di situlah Aku akan memberitahu apa yang engkau lakukan. Semuanya akan berpulang pada Allah dan dia yang akan membuat perhitungan.
Nah, kemarin, saya dikritik Pak Adian Husaini, calon doktor dari ISTAC Malaysia itu. Katanya, pandangan bahwa hanya kepada Allah seluruhnya akan menuju itu adalah keliru. Saya tidak tanggapi statemennya itu secara serius dan menganggapnya dagelan saja.
Kalau ada beberapa ayat Alqur’an yang bisa dianggap bercorak pluralis, sejak kapan pluralisme mulai dikenal dalam Islam?
Saya sering bicara tentang Islam di banyak gereja. Lalu banyak orang yang bertanya, sejak kapan Islam mengajarkan pluralisme? Kalau dalam Katolik baru dimulai sejak John Paul II atau Paus Johanes Palus II. Saya lalu katakan, pluralisme ada sejak zaman Rasulullah. Dan menurut Karen Armstrong, ketika kaum muslimin berada dalam posisi yang kuat, mereka berwawawan sangat pluralistis. Kaum muslimin mulai berpikir dan bersikap ekslusif ketika mereka dipojokkan dan merasa dikalahkan.
Konon, di zaman Rasullah ada seorang sahabat Ansar bernama Abu Husain. Dia punya dua anak. Tiba-tiba kedua anaknya pindah agama ke Kristen karena terpengaruh pedagang dari Suriah. Lalu dia membawa kedua anaknya kehadapan Rasulullah. ”Anak saya masuk Kristen. Apa boleh saya paksa masuk Islam?” tanyanya. ”Tidak,” kata Rasulullah. Lalu dibacakanlah ayat lâ ikrâh fid dîn (tidak boleh ada paksaan dalam agama).
Kang Jalal, kalangan syariat sering khawatir akan ditinggalkannya syariat masing-masing agama kalau kita berpikiran pluralistis. Apa perlunya saya salat dan puasa Ramadan bila semua jalan menuju Allah adalah valid dalam perspektif kalangan pluralis?!
Saya jawab dengan analogi juga. Saya punya sekolah SMU plus Muthahhari. Saya katakan pada anak-anak bahwa semua anak-anak SMU plus Muthahhari berhak ikut ujian akhir, dan anak-anak sekolah lain pun berhak ikut ujian akhir. Tapi soal lulus atau tidaknya, tidak ditentukan oleh SMU plus Muthahhari. Yang memutuskan hasil akhirnya, pada prinsipnya adalah amal kita, kerja keras kita. Semua anak Muthahhari akan mengerti itu. Mereka pasti tidak akan pindah sekolah hanya untuk mendapat hasil baik dalam ujian.
Artinya, kalau semua agama beranggapan bisa beramal saleh di dalam agamanya sendiri-sendiri, itu tidak berarti kita mesti pindah-pindah agama;pagi Islam, sore Kristen. Tidak sama sekali. Itu juga tidak berarti kita perlu menjalankan ritual-ritual keagamaan yang berbeda-beda. Setiap umat Islam menjalankan syariat Islamnya, tapi tak boleh menggunakan syariat itu untuk menilai agama lain.
Jadi pola pikir seperti yang tergambar dalam pertanyaan di atas adalah sebuah kekeliruan. Kalau kita menganut Islam, kita harus menjalankan syariat Islam semampu kita. Sebab Alqur’an menyatakan bahwa setiap agama ada syariatnya masing-masing. Dan di antara bagian dari syariat Islam sebagaimana yang dirumuskan para ulama fikih adalah tidak bolehnya seorang muslimah menikah dengan laki-laki nonmuslim.
Tapi itu kan urusan syariat, bukan urusan pluralisme. Namun begitu, meski mengaku sebagai seorang pluralis, saya masih mengikut paham fikih seperti itu. Artinya, anak saya yang muslimah tidak akan saya kawinkan dengan laki-laki nonmuslim.
Tapi kalau dia punya pandangan berbeda dengan Anda dan memilih jalan hidupnya sendiri?
Saya akan beri dia kebebasan karena ada prinsip lâ ikrâh fid dîn (tidak ada paksaan dalam beragama). Komentar saya begini aja deh. Kan ada ayat Alqur’an yang berbunyi wamâ arsalnâka illâ rahmatan lil `âlamîn. Kami tidak utus engkau Muhammad kecuali untuk menebar kasih ke seluruh alam. Namun, sebelum sampai pada tahapan rahmatan lil `alamin, kayaknya kita, kaum muslimin ini, mesti melewati dua tahapan sebelumnya. Tahap pertama adalah rahmatan lil mutamadzhibin. Artinya, yang kita anggap mendapat rahmat dan akan masuk surga hanya madzhab tertentu saja seperti Ahlus Sunnah. Sementara yang lain dianggap tidak akan masuk surga.
Lebih tinggi tari tahapan itu adalah rahmatan lil muslimîn (rahmat bagi semua orang Islam saja, Red). Di sini, surga itu dianggap khusus bagi orang atau pengikut Islam. Tapi bagi saya, yang diinginkan Alquran dari kita dan nabi kita sangat sederhana: wamâ arsalanâka illâ rahmatan lil `âlamîn (menjadi rahmat bagi alam semesta). Itu penjelasan yang menurut saya sangat sederhana. []
No comments:
Post a Comment