REVOLUSI SOSIAL SANG RASUL
11 05 2012
Oleh K.H.Jalaluddin
Rakhmat
Allah
swtberfirmandalam Al-Ahzab (33): 36
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
Tidak boleh lelaki mukmin maupun perempuan mukmin kalau Allah Dan RasulNya sudah memutuskan perkaranya untuk mempunyai pilihan mereka sendiri. Dan barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka dia sudah sesat dengan kesesatan yang sejelas-jelasnya.
Rasulullah
saw punya budak yang sangat setia sejak zaman Khadijah. Namanya Zaid bin
Haritsah. Ia mengikuti Nabi saw dalam suka dan duka. Ia termasuk di antara angkatan
perintis Islam.
Dalam daftar
orang-orang pertama yang masuk Islam, Zaid ada pada nomor tiga setelah Khadijah
dan Ali. Ayahnya pernah datang ke Mekah setelah pencarian panjang selama bertahun-tahun.
Iamaumembelikembalianaknya. Nabi saw
maumemberikanZaidkepadaorangtuanyatanpatebusanapa pun.
Tapi beliau menawarkan Zaidapakah ikut ayahnya atau ikut Rasulullah
saw. Zaid memilih ikut Rasulullah saw. Bapaknyaberkata, “Engkau dahulukan perbudakan
di atas orangtuamu!”Zaid menjawab, “Aku mendahulukan Utusan Allah di
atas keluargaku, bahkan di atas diriku sendiri.”
Di
Madinah, Nabi saw menyuruh Zaid untuk berkeluarga dan menawarkan kepadanya Zainab,
seorang perempuan bangsawan dari keluarga Nabi saw.
Zaid menolak mengingat posisinya sebagai budak. Rasulullah
saw mendesaknya. Beliau berangkat sendiri kerumahZainab.
“Aku ingin menikahkankamu dengan Zaid bin Haritsah. Sungguh, aku sudah rido kepadanya,
“ kata beliau. Zainab yang menduga Rasulullah saw
melamarnya untuk diri beliau dengan ketus menjawab, “Tapi aku tidak rido, ya Rasul
Allah!Akujanda kaum ku dan keponakanmu. Aku tidak mau.”
Maka turunlah ayatini:
(tidak boleh lelaki mukmin) yakni Zaid (maupun perempuan mukmin) yakniZainab (kalau
Allah dan RasulNya sudah memutuskan perkaranya) dalam hal ini nikah
(untuk mempunyai pilihan mereka sendiri) yakni, mereka tidak boleh memilih perkara yang
bertentangan dengan apa yang telah Allah putuskan (dan barangsiapa yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, maka dia sudah sesat dengan kesesatan yang sejelas-jelasnya).
Begitumendengarayatitu,
Zainab berkata: “Akupatuhpadamu. Lakukanlahapa yang kaumau” (Tafsir al-Durr
al-Mantsûr, 6:610)
Rasulullah
saw kemudian mengawinkannya kepada Zaid, seraya berkata, “Aku nikahkan Zainab binti Jahasy kepadaZaid
bin Haritsah, budakku; aku nikahkan Dhiba’ah binti Zubayr kepada Al-Miqdad supaya
kalian tahu bahwa yang paling mulia di antara kalian di hadapan Allah adalah
yang paling bagus keislamannya” (Kanz al-‘Ummâl, hadis 313).
Di
balik perintah Nabi saw dalam kasus Zainab ada revolusi sosial yang
mungkin tidak dipahami oleh mereka pada zaman itu; revolusi yang
meruntuhkan tembok-tembok feodal. Baik Zainab maupun Zaid, baik umat Islam
terdahulu maupun kemudian, tidak punya pilihan lain di luar yang telah ditentukan
Allah dan RasulNya.
Ukuran kemuliaan bukanlah nasab atau
status sosial. Ukuran kemuliaan adalah kesalehan dan kepasrahan kepada Allah
swt. Bukankah di majlis Nabi saw, yang paling mulia adalah orang yang paling
banyak membantu sesamanya.
No comments:
Post a Comment