March 9, 2007 Irfan Permana
Leave a comment Go to comments
Oleh:
Jalaluddin Rakhmat
Alim
Syiah itu berkata, “Secara singkat, Abu Bakar itu lebih utama dan lebih cerdas
dari Rasulullah saw.” Orang yang hadir takjub mendengar itu dan berkata,
“Mengapa engkau berkata seperti ini?”
———————————-
Diriwayatkan ada seorang alim Syiah melewati kelompok Ahlus Sunnah. Mereka meminta agar alim Syiah itu bermalam di rumah mereka. Ia menyatakan kesediaannya dengan syarat tidak terjadi diskusi mazhab. Usai makan malam, berkatalah salah seorang ulama Ahlus Sunnah, “Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar?” Ia menjawab, “Abu Bakar adalah muslim yang utama, salat, saum, haji, bersedekah, dan menyertai Nabi saw.” Kata alim Sunni, “Bagus, teruskan.” Alim Syiah itu berkata, “Secara singkat, Abu Bakar itu lebih utama dan lebih cerdas dari Rasulullah saw.” Orang yang hadir takjub mendengar itu dan berkata, “Mengapa engkau berkata seperti ini?” Orang Syiah itu berkata, “Rasulullah saw memerintah kaum muslimin selama 23 tahun tetapi ia tidak pernah memikirkan wajibnya dan pentingnya mengangkat khalifah. Abu Bakar hanya memerintah kurang dari tiga tahun tetapi ia mengerti dan memahami pentingnya seorang khalifah. Dengan begitu, niscaya Abu Bakar lebih cerdas dari Nabi saw.”
Diriwayatkan ada seorang alim Syiah melewati kelompok Ahlus Sunnah. Mereka meminta agar alim Syiah itu bermalam di rumah mereka. Ia menyatakan kesediaannya dengan syarat tidak terjadi diskusi mazhab. Usai makan malam, berkatalah salah seorang ulama Ahlus Sunnah, “Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar?” Ia menjawab, “Abu Bakar adalah muslim yang utama, salat, saum, haji, bersedekah, dan menyertai Nabi saw.” Kata alim Sunni, “Bagus, teruskan.” Alim Syiah itu berkata, “Secara singkat, Abu Bakar itu lebih utama dan lebih cerdas dari Rasulullah saw.” Orang yang hadir takjub mendengar itu dan berkata, “Mengapa engkau berkata seperti ini?” Orang Syiah itu berkata, “Rasulullah saw memerintah kaum muslimin selama 23 tahun tetapi ia tidak pernah memikirkan wajibnya dan pentingnya mengangkat khalifah. Abu Bakar hanya memerintah kurang dari tiga tahun tetapi ia mengerti dan memahami pentingnya seorang khalifah. Dengan begitu, niscaya Abu Bakar lebih cerdas dari Nabi saw.”
Dengan
kisah ini, Ayatullah Al-Uzhma Montazeri menyimpulkan dan menyederhanakan konsep
imamah dalam pandangan Syiah. Berbeda dengan Ahlus Sunnah yang menganggap bahwa
Nabi saw menyerahkan kepemimpinan umat kepada pilihan kaum Muslimin, Syiah
percaya bahwa Rasulullah saw mengangkat khalifah sesudahnya. Montazeri menulis,
“Tidak mungkin Abu Bakar yang mengangkat khalifah (istakhlafa) lebih
mengerti kemaslahatan kaum muslimin, lebih santun dan lebih sayang kepada
mereka ketimbang Rasulullah saw; padahal tentang diri Rasulullah saw Al-Quran
berkata – sangat ingin kamu memperoleh kebahagiaan, sangat santun dan sangat
sayang kepada kaum mukmin. Tidak mungkin Nabi saw mengabaikan urusan yang
menjadi dasar tegaknya sistem pemerintahan, kekuatan serta kekuasaan muslimin.”
Setelah
itu, Montazeri mengutip pendapat para sahabat lainnya tentang pentingnya istikhlaf.
Ketika khalifah Umar bin Khathab berada dalam keadaan kritis setelah ditusuk
oleh pembunuhnya, anaknya, Abdullah bin Umar, berkata kepadanya: “Aku mendengar
orang-orang mengucapkan perkataan yang sangat berat aku sampaikan kepadamu.
Mereka menyatakan bahwa engkau tidak akan mengangkat khalifah. Jika engkau
punya penggembala unta atau kambing, lalu ia meninggalkan ternaknya, apakah
menurutmu ia sudah melalaikan tugasnya? Menggembalakan manusia lebih berat lagi
dari itu.” Ibnu Umar berkata: “Ayahku menyetujui pembicaraanku.”
Bagaimana
mungkin Rasulullah tidak memperhatikan urusan yang sangat penting ini padahal
Ibnu Umar memperhatikannya dan ayahnya menyetujuinya? Aisyah pernah berkata
kepada Abdullah bin Umar: “Anakku, sampaikan kepada Umar salamku. Katakan
kepadanya: Jangan biarkan umat Muhammad tanpa pemimpin. Angkatlah khalifah atas
mereka. Jangan telantarkan mereka setelahmu karena aku takut fitnah menimpa
mereka.” Aisyah mengetahui bahaya fitnah itu, tapi Rasulullah tidak?
Montazeri
menulis: “Kami ingin menegaskan bahwa Nabi yang mulia diutus Tuhan kepada
seluruh umat manusia, dijadikan rahmat bagi alam semesta serta penutup segala
nabi. Ia diutus dengan membawa petunjuk agama yang benar agar agama ini
mengungguli semua agama ini walaupun benci orang-orang musyrik. Itulah semua
yang dibicarakan oleh Al-Quran. Nabi saw telah menghabiskan usianya yang mulia
dengan mengerahkan segala kekuatannya dan kekuatan keluarga dan sahabatnya
untuk menyebarluaskan Islam. Demi dakwah itu, ia mengorbankan dirinya dan
mempersembahkan di jalan itu ratusan para syuhada dari kaum muslimin yang
baik-baik. Ia tidak pernah melalaikan urusan dakwah ini satu saat pun pada
seluruh hidupnya. Ia memberikan perhatian pada dakwah dan bimbingannya sampai
kepada masalah-masalah kecil dengan perhatian yang sepenuh-penuhnya.
“Walaupun
begitu, Rasulullah saw menyadari bahwa Islam belum meliputi seluruh Hijaz,
apalagi seluruh negeri. Sedangkan kekuasaan kafir di Iran, Romawi, dan
lain-lain berdiri di hadapan penyebaran Islam. Tidak mudah menolak tantangan
itu kecuali dengan kekuatan kekuasaan dan kepemimpinan yang kokoh.
“Nabi
saw mengenal akhlak orang Arab dengan kefanatikan mereka terhadap kabilah dan
keluarganya. Ia juga tahu adanya kaum munafik yang bergerak untuk mencuri
peluang. Ia tahu tentang kecintaan mereka pada dunia dan bahwa kecintaan kepada
dunia dan kedudukan itu adalah sumber segala kesalahan. Ia tahu bahwa
kemurtadan dari agama adalah sesuatu yang perlu dikuatirkan. Padahal Allah swt
berfirman: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah
berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah bila ia meninggal atau
terbunuh, kamu akan murtad meninggalkan agamamu? (QS. Ali Imran; 144).
“Rasulullah
saw bersabda: “Akan didatangkan orang-orang dari antara umatku kemudian diseret
ke sebelah kiri. Aku berkata: Tuhanku, mereka sahabat-sahabatku. Kemudian
dikatakan: Engkau tidak tahu apa yang mereka ada-adakan sesudahmu. Maka aku
berkata seperti perkataan hamba yang salih: Aku menjadi saksi atas mereka
selama aku bersama mereka. Bila Engkau mematikan aku, Engkaulah yang mengawasi
mereka. (QS. Al-Maidah; 117). Kemudian dikatakan lagi: Mereka itu tidak
henti-hentinya murtad meninggalkan agamanya setelah kamu meninggalkan mereka.
(Al-Bukhari 3: 137, Tafsir Surat Al-Maidah; Sunan Al-Turmudzi 5: 4, Tafsir
Surat al-Anbiya)”.
Seperti
Montazeri, Sayyid Baqir Shadr mengemukakan argumentasi yang sama. Nabi saw
adalah pemimpin sebuah gerakan revolusioner yang mengubah dunia. Sebagai
pemimpin sebuah gerakan, bagaimanakah sikap Nabi saw terhadap masa depan Islam
sepeninggalnya? Ketika menjawab pertanyaan “Kaifa wulida al-tasyayyu?”
Shadr menyebutkan tiga kemungkinan sikap Nabi saw. Kemungkinan pertama, ia
tidak menghiraukan masa depan dakwah Islamiyah. Ia menyerahkan sepenuhnya
kepada apa yang terjadi pada masa depan. Sebutlah, ini sikap negatif terhadap
masa depan. Kemungkinan kedua, Nabi saw memikirkan masa depan Islam dan
menyerahkan sepenuhnya kepemimpinan Islam pada para sahabatnya melalui
musyawarah di antara mereka. Sebutlah ini sikap positif pada masa depan dakwah.
Kemungkinan ketiga, Nabi saw memikirkan masa depan Islam dan menunjuk khalifah
yang dipercayainya untuk memimpin gerakan dakwah Islamiah.
Makalah
ini akan menganalisa tiga kemungkinan sikap Nabi saw dan menunjukkan mana yang
paling mungkin. Setelah itu, kita akan mengemukakan keterangan dalam Al-Quran
dan Sunnah tentang kepemimpinan Ahlul Bait. Kita akan menutup makalah ini dengan
posisi Ahlul Bait di dalam pelaksanaan ajaran Islam.
Sikap
Negatif: Tidak Menghiraukan Masa Depan
Nabi saw
dapat bersikap begitu bila ia merasa aman dan tidak mencemaskan bahaya yang
akan mengancam gerakan Islam; atau ia tahu akan ancaman terhadap Islam, tetapi
ia tidak perlu memikirkannya, karena tugasnya hanya mengikatnya sepanjang
hidupnya saja. Keduanya sangat tidak mungkin dinisbahkan kepada Nabi saw.
Jika
kita menengok tarikh Nabi saw, kita menyaksikan berbagai ancaman pada dakwah
Islam. Ancaman pertama datang dari dalam masyarakat Islam sendiri. Nabi saw
datang untuk mengubah sebuah sistem sosial, kultural, politik, dan ekonomi yang
sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun. Dalam waktu sekitar dua puluh
dua tahun, ia meletakkan dasar-dasar sistem Islam. Waktu dua dasawarsa tidak
cukup untuk mensosialisasikan ajaran Islam ke seluruh jazirah Arabia.
Peperangan demi peperangan yang dilakukan Nabi saw menunjukkan bahwa proses
pengislaman itu tidak berlangsung mulus.
Para
sahabat Nabi saw memiliki kesempatan belajar yang bermacam-macam. Ada di antara
mereka yang “menghirup” ajaran Nabi saw sejak permulaan risalah. Mayoritas di
antara mereka hanya mengenal ajaran Islam sedikit saja. Sebagian di antara
mereka juga –seperti diperingatkan Al-Quran berkali-kali- adalah orang –orang
munafik, yang tidak henti-hentinya merongrong bangunan Islam. Untuk itu, harus
ditambahkan juga kesulitan untuk mengkomunikasikan ajaran Islam kepada
rentangan geografis yang sangat luas dan rintangan psikologis yang sangat berat.
Seperti
seorang guru, Nabi saw sudah menyampaikan seluruh kurikulum; tetapi tiba-tiba
ia harus meninggalkan kelasnya karena panggilan Mawlanya. Belum sempat
murid-muridnya mendalami pelajaran yang mereka terima. Sebagian murid yang
datang terlambat bahkan belum sempat mempelajari Islam kecuali hanya sedikit
saja.
Mungkinkah
guru yang baik akan meninggalkan murid-muridnya begitu saja? Bayangkan juga
kalau guru itu melihat bahwa lingkungan di sekitar sekolah itu sangat buruk. Di
sekitar masyarakat Islam yang masih bayi itu ada kerajaan Roma dan Persia
dengan kekuatan dan kekuasaan yang meraksasa. Di Madinah, markas kekuasaan
Islam, bukan hanya ada orang-orang munafik, tetapi juga ada Yahudi dan pengikut
agama-agama lainnya. Inilah ancaman yang kedua –ancaman eksternal.
Mungkinkah
setelah semua tantangan dan penentangan yang berat dari Yahudi dan
kabilah-kabilah musyrik, serta kekuatan-kekuatan yang memusuhi Islam, kita
membayangkan bahwa mereka semua akan merunduk dan pasrah kepada Islam dan tidak
menghalangi Islam dengan dakwahnya? Mungkinkah seorang politisi yang cerdas,
seorang pemimpin yang arif untuk mengabaikan semua peristiwa permusuhan yang
menghadang di depan dakwahnya dan tidak merencanakan program untuk memelihara
dakwah itu di masa depan?
Jika kita
mengasumsikan Nabi saw menyadari ancaman-ancaman itu, mungkinkah Nabi saw
berlepas diri dari masa depan dakwah; mungkinkah ia tidak mau memikirkan
kelanjutan dakwah ini dan tidak membuat perencanaan untuknya?
Peristiwa-peristiwa sebelum wafatnya menolak anggapan ini. Bukankah pada
hari-hari akhir hayatnya, Nabi saw –dalam keadaan dipapah Fadhl dan Ali, dengan
kepala yang dibalut kompres- memerintahkan untuk segera memberangkatkan pasukan
Usamah. Berulangkali ia berkata: “Siapkan pasukan Usamah. Berangkatkan pasukan
Usamah. Kirim pasukan Usamah.” Bukankah pada sakitnya yang membawa
kewafatannya, ia masih memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya, “Bawakan
kepadaku kertas dan pena, akan aku tuliskan kepadamu, yang jika kamu pegang
teguh kamu tidak akan sesat selama-lamanya.” –peristiwa yang disebut Ibn Abbas
sebagai tragedi hari Kamis? Bukankah dalam khotbah-khotbah Nabi saw yang
terakhir ia mengingatkan tentang “fitnah” yang akan meliputi umat Islam seperti
gulungan awan? Tidak mungkin seorang Nabi yang disifati dengan kecerdasan
(fathanah) tidak membuat antisipasi untuk menghadapi kemelut yang sudah
diketahuinya.
Sikap
Positif: Menyerahkan Masa Depan pada Syura
Inilah
pandangan Ahlus Sunnah. Penulis Mesir, Al-Khudhari, menjelaskan asumsi kedua
ini sebagai berikut, “Tidak terdapat di dalam Al-Quran perintah yang tegas
berkenaan dengan pemilihan khalifah Rasulullah, kecuali perintah-perintah yang
bersifat umum, yang menyangkut persoalan khalifah atau lain-lainnya seperti
ketika Allah mensifatkan kaum muslimin dengan firman-Nya dan urusan mereka
dimusyawaratkan di antara mereka (QS. Al-Syura; 38). Begitu pula tidak
disebutkan di dalam sunnah penjelasan tentang sistem pemilihan khalifah,
kecuali nasihat-nasihat yang melarang ikhtilaf atau perpecahan, seakan-akan syariat
ingin menyerahkan urusan ini kepada kaum muslimin untuk diselesaikan oleh
mereka sendiri. Sekiranya urusan itu tidak seperti itu, tentulah sudah
dipersiapkan kaidah-kaidahnya, dijelaskan cara-caranya, sebagaimana telah
dijelaskan cara-cara shalat dan puasa
Untuk
menjawab pandangan Ahli Sunnah ini, Ali Abdul Karim menulis: “Bagaimana bisa
terpikirkan bahwa Rasulullah saw mengabaikan kepemimpinan politik untuk negara
Islam yang ditegakkannya, yang unsur-unsur dan tonggak-tonggaknya sudah
dikokohkannya, lalu ia tidak meletakkan dasar tertentu untuk pemilihan khalifah
seperti anggapan mereka; padahal kita tahu bahwa kepemimpinan dalam hubungannya
dengan negara seperti kepala dengan tubuh, dan seperti jantung dengan seluruh
anggota badan. Apakah Nabi membiarkan persoalan kepemimpinan negara dan tidak
berbicara tentangnya sedikitpun, dengan mengiyakan ataupun menolaknya? Apakah
Nabi membiarkannya untuk memberikan peluang kepada orang-orang yang ambisius
buat merampasnya? Atau menyerahkan kepada hawa nafsu penguasa yang akan berbuat
kerusakan di bumi? Sehingga dengan cara itu, masyarakat kembali lagi setelah
kematiannya kepada zaman Jahiliyyah dan penyembahan thagut. Setelah Nabi saw
dan sahabatnya berjuang melewati segala kepayahan dan penderitaan, setelah mereka
mempersembahkan pengorbanan yang mahal dan mulia untuk membebaskan masyarakat
dari berbagai kekejiannya? Apakah Nabi membiarkannya untuk menjadi penyebab
pertumpahan darah dan pembunuhan? Padahal beliau diutus sebagai rahmat bukan
sebagai bencana bagi alam semesta, sebagai cahaya dan petunjuk buat orang-orang
yang kebingungan dan tersesat? Sama sekali tidak. Nabi saw sudah meletakkan
bagi umatnya berdasarkan wahyu dari Tuhan Yang Mahatahu, semua tonggak dan
dasar kehidupan manusia dalam bidang-bidangnya yang luas. Nabi tidak
mengabaikan hal-hal yang kecil seperti adab makan dan minum, memakai sandal,
sampai adab pergi ke toilet. Nabi sudah menjelaskan kepada umatnya tuntunan
kehidupan yang tinggi. Puncak dari tuntunan itu berkaitan dengan kehidupan politik.
Inilah kepemimpinan yang dikenal dalam bahasa Al-Quran dan Sunnah sebagai
imamah dan khilafah. Karena itulah turun kabar gembira dari Tuhan Yang
mengetahui yang gaib dan yang nyata tentang penyempurnaan agama dan
kesempurnaan nikmat serta keridoan-Nya dengan Islam, seperti firman-Nya: Pada
hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku lengkapkan atas kamu nikmat-Ku
dan Aku rido Islam menjadi agamamu. (Al-Maidah: 3)
Syeikh
Ja’far Subhani memberikan bantahan pada argumentasi Ahli Sunnah sebagai
berikut:
“Sekiranya pemerintahan ditegakkan atas dasar Syura, dan sekiranya Syura adalah jalan untuk menunjuk pemimpin pemerintahan, niscaya Nabi sudah menyadarkan umat dengan sistem ini, dan memberikan penjelasan tentang batas-batas dan ketentuan-ketentuan Syura. Dengan begitu umat tidak bingung dan tidak berbeda pendapat dalam pelaksanaannya. Dengan segala urgensi Syura ini, anehnya kita tidak menemukan satu keterangan pun dalam Al-Kitab dan Sunnah yang menjelaskan pemilihan penguasa berdasarkan Syura. Kami tidak bermaksud bahwa Syari’ harus memberikan perincian Syura yang sangat luas, tetapi ada beberapa inti Syura yang tidak boleh ditinggalkan oleh Syari: siapa peserta di dalam Syura? Apakah ulama saja atau para politisi saja atau kelompok militer saja, atau campuran di antara semuanya? siapa yang memilih Ahli Syura itu? sekiranya Ahli Syura berbeda pendapat tentang seseorang, apa kriteria untuk mendahulukan satu pendapat di atas pendapat yang lain?
Kemudian
orang menyebutkan bahwa pemilihan seperti itu haruslah sesuai kesepakatan Ahl
Hall wal ‘Aqd. Tetapi ungkapan ini lebih kabur daripada yang sebelumnya. Tidak
diketahui siapa itu Ahl Hall wal ‘Aqd, apa yang mereka urai dan yang mereka
ikat? Apakah mereka itu ahli fiqih, atau pemimpin opini yang menjadi rujukan masyarakat
dalam berbagai peristiwa? Apakah diperlukan tingkat tertentu dalam fiqih dan
ilmu supaya berkualifikasi untuk menjadi Ahl Hall wal ‘Aqd, apa ukurannya?”
Jadi
sistem syura ini tidak punya landasan yang kuat dalam Al-Quran dan Sunnah. Kita
juga tidak menemukannya sebagai tradisi di antara para sahabat. Dr. Thaha
Husayn, “Sekiranya kaum muslimin mempunyai sistem yang tertulis tentang syura,
pastilah kaum muslimin mengetahuinya pada zaman Utsman, membawakannya,
menyerukannya, tanpa harus ada perpecahan dan pertentangan.” Setelah wafatnya
Nabi saw, ada dua aliran politik besar: Aliran Ahli Bait yang mempercayai
wasiat dan imamah dan aliran Sahabat yang tidak mempercayainya. Yang pertama
jelas tidak menerima syura; dan yang kedua tidak menjalankannya. Abu Bakar
hanya dipilih oleh lima orang dalam rapat singkat di Saqifah Bani Sa’idah: Umar
bin Khaththab, Abu Ubaidah al-Jarrah, Usayd bin Hudhayr, Bashir bin Sa’d dan
Salim Mawla Abu Hudzaifah. Umar diangkat melalui surat perintah Abu Bakar.
Utsman ditunjuk lewat “dewan formatur” yang terdiri Utsman, Ali, Thalhah,
Abdurrahman bin Auf, dan Sa’d bin Abi Waqqash. Tentang dewan fromatur ini Umar
pernah berkata, “Sekiranya dua orang ini –Salim mawla Abi Hudzaifah dan Abu
Ubaidah- masih sezaman denganku, aku akan percayakan urusanku ini kepada
mereka. Sekiranya Salim mawla Abi Hudzaifah masih hidup aku tidak akan
menyerahkannya pada syura.”
Sikap
Positif: Penunjukan Khalifah
Menurut
orang Syiah, karena kedua asumsi di atas sudah gugur, yang tinggal hanya asumsi
ketiga. Rasulullah saw memikirkan dan mengantisipasi kelangsungan dakwah Islam
dan karenanya mengangkat seseorang yang dipercayainya sebagai pelanjutnya.
Untuk menopang argumentasi ini, mereka mengajukan dua macam pembuktian.
Pertama, selama hidupnya, setiap kali Nabi saw meninggalkan kaumnya, ia
melakukan istikhlaf.
Kedua,
selama hidupnya, Nabi saw berulangkali menegaskan penunjukkan Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah sesudahnya itu.
(bersambung…)
No comments:
Post a Comment