Friday, June 15, 2012

Imamah: Antara Teologi dan Politik



Oleh: Jalaluddin Rakhmat
Alim Syiah itu berkata, “Secara singkat, Abu Bakar itu lebih utama dan lebih cerdas dari Rasulullah saw.” Orang yang hadir takjub mendengar itu dan berkata, “Mengapa engkau berkata seperti ini?”
———————————-
Diriwayatkan ada seorang alim Syiah melewati kelompok Ahlus Sunnah. Mereka meminta agar alim Syiah itu bermalam di rumah mereka. Ia menyatakan kesediaannya dengan syarat tidak terjadi diskusi mazhab. Usai makan malam, berkatalah salah seorang ulama Ahlus Sunnah, “Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar?” Ia menjawab, “Abu Bakar adalah muslim yang utama, salat, saum, haji, bersedekah, dan menyertai Nabi saw.” Kata alim Sunni, “Bagus, teruskan.” Alim Syiah itu berkata, “Secara singkat, Abu Bakar itu lebih utama dan lebih cerdas dari Rasulullah saw.” Orang yang hadir takjub mendengar itu dan berkata, “Mengapa engkau berkata seperti ini?” Orang Syiah itu berkata, “Rasulullah saw memerintah kaum muslimin selama 23 tahun tetapi ia tidak pernah memikirkan wajibnya dan pentingnya mengangkat khalifah. Abu Bakar hanya memerintah kurang dari tiga tahun tetapi ia mengerti dan memahami pentingnya seorang khalifah. Dengan begitu, niscaya Abu Bakar lebih cerdas dari Nabi saw.”

Dengan kisah ini, Ayatullah Al-Uzhma Montazeri menyimpulkan dan menyederhanakan konsep imamah dalam pandangan Syiah. Berbeda dengan Ahlus Sunnah yang menganggap bahwa Nabi saw menyerahkan kepemimpinan umat kepada pilihan kaum Muslimin, Syiah percaya bahwa Rasulullah saw mengangkat khalifah sesudahnya. Montazeri menulis, “Tidak mungkin Abu Bakar yang mengangkat khalifah (istakhlafa) lebih mengerti kemaslahatan kaum muslimin, lebih santun dan lebih sayang kepada mereka ketimbang Rasulullah saw; padahal tentang diri Rasulullah saw Al-Quran berkata – sangat ingin kamu memperoleh kebahagiaan, sangat santun dan sangat sayang kepada kaum mukmin. Tidak mungkin Nabi saw mengabaikan urusan yang menjadi dasar tegaknya sistem pemerintahan, kekuatan serta kekuasaan muslimin.”

Setelah itu, Montazeri mengutip pendapat para sahabat lainnya tentang pentingnya istikhlaf. Ketika khalifah Umar bin Khathab berada dalam keadaan kritis setelah ditusuk oleh pembunuhnya, anaknya, Abdullah bin Umar, berkata kepadanya: “Aku mendengar orang-orang mengucapkan perkataan yang sangat berat aku sampaikan kepadamu. Mereka menyatakan bahwa engkau tidak akan mengangkat khalifah. Jika engkau punya penggembala unta atau kambing, lalu ia meninggalkan ternaknya, apakah menurutmu ia sudah melalaikan tugasnya? Menggembalakan manusia lebih berat lagi dari itu.” Ibnu Umar berkata: “Ayahku menyetujui pembicaraanku.”

Bagaimana mungkin Rasulullah tidak memperhatikan urusan yang sangat penting ini padahal Ibnu Umar memperhatikannya dan ayahnya menyetujuinya? Aisyah pernah berkata kepada Abdullah bin Umar: “Anakku, sampaikan kepada Umar salamku. Katakan kepadanya: Jangan biarkan umat Muhammad tanpa pemimpin. Angkatlah khalifah atas mereka. Jangan telantarkan mereka setelahmu karena aku takut fitnah menimpa mereka.” Aisyah mengetahui bahaya fitnah itu, tapi Rasulullah tidak?

Montazeri menulis: “Kami ingin menegaskan bahwa Nabi yang mulia diutus Tuhan kepada seluruh umat manusia, dijadikan rahmat bagi alam semesta serta penutup segala nabi. Ia diutus dengan membawa petunjuk agama yang benar agar agama ini mengungguli semua agama ini walaupun benci orang-orang musyrik. Itulah semua yang dibicarakan oleh Al-Quran. Nabi saw telah menghabiskan usianya yang mulia dengan mengerahkan segala kekuatannya dan kekuatan keluarga dan sahabatnya untuk menyebarluaskan Islam. Demi dakwah itu, ia mengorbankan dirinya dan mempersembahkan di jalan itu ratusan para syuhada dari kaum muslimin yang baik-baik. Ia tidak pernah melalaikan urusan dakwah ini satu saat pun pada seluruh hidupnya. Ia memberikan perhatian pada dakwah dan bimbingannya sampai kepada masalah-masalah kecil dengan perhatian yang sepenuh-penuhnya.

“Walaupun begitu, Rasulullah saw menyadari bahwa Islam belum meliputi seluruh Hijaz, apalagi seluruh negeri. Sedangkan kekuasaan kafir di Iran, Romawi, dan lain-lain berdiri di hadapan penyebaran Islam. Tidak mudah menolak tantangan itu kecuali dengan kekuatan kekuasaan dan kepemimpinan yang kokoh.

“Nabi saw mengenal akhlak orang Arab dengan kefanatikan mereka terhadap kabilah dan keluarganya. Ia juga tahu adanya kaum munafik yang bergerak untuk mencuri peluang. Ia tahu tentang kecintaan mereka pada dunia dan bahwa kecintaan kepada dunia dan kedudukan itu adalah sumber segala kesalahan. Ia tahu bahwa kemurtadan dari agama adalah sesuatu yang perlu dikuatirkan. Padahal Allah swt berfirman: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah bila ia meninggal atau terbunuh, kamu akan murtad meninggalkan agamamu? (QS. Ali Imran; 144).

“Rasulullah saw bersabda: “Akan didatangkan orang-orang dari antara umatku kemudian diseret ke sebelah kiri. Aku berkata: Tuhanku, mereka sahabat-sahabatku. Kemudian dikatakan: Engkau tidak tahu apa yang mereka ada-adakan sesudahmu. Maka aku berkata seperti perkataan hamba yang salih: Aku menjadi saksi atas mereka selama aku bersama mereka. Bila Engkau mematikan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. (QS. Al-Maidah; 117). Kemudian dikatakan lagi: Mereka itu tidak henti-hentinya murtad meninggalkan agamanya setelah kamu meninggalkan mereka. (Al-Bukhari 3: 137, Tafsir Surat Al-Maidah; Sunan Al-Turmudzi 5: 4, Tafsir Surat al-Anbiya)”.

Seperti Montazeri, Sayyid Baqir Shadr mengemukakan argumentasi yang sama. Nabi saw adalah pemimpin sebuah gerakan revolusioner yang mengubah dunia. Sebagai pemimpin sebuah gerakan, bagaimanakah sikap Nabi saw terhadap masa depan Islam sepeninggalnya? Ketika menjawab pertanyaan “Kaifa wulida al-tasyayyu?” Shadr menyebutkan tiga kemungkinan sikap Nabi saw. Kemungkinan pertama, ia tidak menghiraukan masa depan dakwah Islamiyah. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada apa yang terjadi pada masa depan. Sebutlah, ini sikap negatif terhadap masa depan. Kemungkinan kedua, Nabi saw memikirkan masa depan Islam dan menyerahkan sepenuhnya kepemimpinan Islam pada para sahabatnya melalui musyawarah di antara mereka. Sebutlah ini sikap positif pada masa depan dakwah. Kemungkinan ketiga, Nabi saw memikirkan masa depan Islam dan menunjuk khalifah yang dipercayainya untuk memimpin gerakan dakwah Islamiah.

Makalah ini akan menganalisa tiga kemungkinan sikap Nabi saw dan menunjukkan mana yang paling mungkin. Setelah itu, kita akan mengemukakan keterangan dalam Al-Quran dan Sunnah tentang kepemimpinan Ahlul Bait. Kita akan menutup makalah ini dengan posisi Ahlul Bait di dalam pelaksanaan ajaran Islam.

Sikap Negatif: Tidak Menghiraukan Masa Depan
Nabi saw dapat bersikap begitu bila ia merasa aman dan tidak mencemaskan bahaya yang akan mengancam gerakan Islam; atau ia tahu akan ancaman terhadap Islam, tetapi ia tidak perlu memikirkannya, karena tugasnya hanya mengikatnya sepanjang hidupnya saja. Keduanya sangat tidak mungkin dinisbahkan kepada Nabi saw.

Jika kita menengok tarikh Nabi saw, kita menyaksikan berbagai ancaman pada dakwah Islam. Ancaman pertama datang dari dalam masyarakat Islam sendiri. Nabi saw datang untuk mengubah sebuah sistem sosial, kultural, politik, dan ekonomi yang sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun. Dalam waktu sekitar dua puluh dua tahun, ia meletakkan dasar-dasar sistem Islam. Waktu dua dasawarsa tidak cukup untuk mensosialisasikan ajaran Islam ke seluruh jazirah Arabia. Peperangan demi peperangan yang dilakukan Nabi saw menunjukkan bahwa proses pengislaman itu tidak berlangsung mulus.

Para sahabat Nabi saw memiliki kesempatan belajar yang bermacam-macam. Ada di antara mereka yang “menghirup” ajaran Nabi saw sejak permulaan risalah. Mayoritas di antara mereka hanya mengenal ajaran Islam sedikit saja. Sebagian di antara mereka juga –seperti diperingatkan Al-Quran berkali-kali- adalah orang –orang munafik, yang tidak henti-hentinya merongrong bangunan Islam. Untuk itu, harus ditambahkan juga kesulitan untuk mengkomunikasikan ajaran Islam kepada rentangan geografis yang sangat luas dan rintangan psikologis yang sangat berat.

Seperti seorang guru, Nabi saw sudah menyampaikan seluruh kurikulum; tetapi tiba-tiba ia harus meninggalkan kelasnya karena panggilan Mawlanya. Belum sempat murid-muridnya mendalami pelajaran yang mereka terima. Sebagian murid yang datang terlambat bahkan belum sempat mempelajari Islam kecuali hanya sedikit saja.

Mungkinkah guru yang baik akan meninggalkan murid-muridnya begitu saja? Bayangkan juga kalau guru itu melihat bahwa lingkungan di sekitar sekolah itu sangat buruk. Di sekitar masyarakat Islam yang masih bayi itu ada kerajaan Roma dan Persia dengan kekuatan dan kekuasaan yang meraksasa. Di Madinah, markas kekuasaan Islam, bukan hanya ada orang-orang munafik, tetapi juga ada Yahudi dan pengikut agama-agama lainnya. Inilah ancaman yang kedua –ancaman eksternal.

Mungkinkah setelah semua tantangan dan penentangan yang berat dari Yahudi dan kabilah-kabilah musyrik, serta kekuatan-kekuatan yang memusuhi Islam, kita membayangkan bahwa mereka semua akan merunduk dan pasrah kepada Islam dan tidak menghalangi Islam dengan dakwahnya? Mungkinkah seorang politisi yang cerdas, seorang pemimpin yang arif untuk mengabaikan semua peristiwa permusuhan yang menghadang di depan dakwahnya dan tidak merencanakan program untuk memelihara dakwah itu di masa depan?

Jika kita mengasumsikan Nabi saw menyadari ancaman-ancaman itu, mungkinkah Nabi saw berlepas diri dari masa depan dakwah; mungkinkah ia tidak mau memikirkan kelanjutan dakwah ini dan tidak membuat perencanaan untuknya? Peristiwa-peristiwa sebelum wafatnya menolak anggapan ini. Bukankah pada hari-hari akhir hayatnya, Nabi saw –dalam keadaan dipapah Fadhl dan Ali, dengan kepala yang dibalut kompres- memerintahkan untuk segera memberangkatkan pasukan Usamah. Berulangkali ia berkata: “Siapkan pasukan Usamah. Berangkatkan pasukan Usamah. Kirim pasukan Usamah.” Bukankah pada sakitnya yang membawa kewafatannya, ia masih memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya, “Bawakan kepadaku kertas dan pena, akan aku tuliskan kepadamu, yang jika kamu pegang teguh kamu tidak akan sesat selama-lamanya.” –peristiwa yang disebut Ibn Abbas sebagai tragedi hari Kamis? Bukankah dalam khotbah-khotbah Nabi saw yang terakhir ia mengingatkan tentang “fitnah” yang akan meliputi umat Islam seperti gulungan awan? Tidak mungkin seorang Nabi yang disifati dengan kecerdasan (fathanah) tidak membuat antisipasi untuk menghadapi kemelut yang sudah diketahuinya.

Sikap Positif: Menyerahkan Masa Depan pada Syura
Inilah pandangan Ahlus Sunnah. Penulis Mesir, Al-Khudhari, menjelaskan asumsi kedua ini sebagai berikut, “Tidak terdapat di dalam Al-Quran perintah yang tegas berkenaan dengan pemilihan khalifah Rasulullah, kecuali perintah-perintah yang bersifat umum, yang menyangkut persoalan khalifah atau lain-lainnya seperti ketika Allah mensifatkan kaum muslimin dengan firman-Nya dan urusan mereka dimusyawaratkan di antara mereka (QS. Al-Syura; 38). Begitu pula tidak disebutkan di dalam sunnah penjelasan tentang sistem pemilihan khalifah, kecuali nasihat-nasihat yang melarang ikhtilaf atau perpecahan, seakan-akan syariat ingin menyerahkan urusan ini kepada kaum muslimin untuk diselesaikan oleh mereka sendiri. Sekiranya urusan itu tidak seperti itu, tentulah sudah dipersiapkan kaidah-kaidahnya, dijelaskan cara-caranya, sebagaimana telah dijelaskan cara-cara shalat dan puasa

Untuk menjawab pandangan Ahli Sunnah ini, Ali Abdul Karim menulis: “Bagaimana bisa terpikirkan bahwa Rasulullah saw mengabaikan kepemimpinan politik untuk negara Islam yang ditegakkannya, yang unsur-unsur dan tonggak-tonggaknya sudah dikokohkannya, lalu ia tidak meletakkan dasar tertentu untuk pemilihan khalifah seperti anggapan mereka; padahal kita tahu bahwa kepemimpinan dalam hubungannya dengan negara seperti kepala dengan tubuh, dan seperti jantung dengan seluruh anggota badan. Apakah Nabi membiarkan persoalan kepemimpinan negara dan tidak berbicara tentangnya sedikitpun, dengan mengiyakan ataupun menolaknya? Apakah Nabi membiarkannya untuk memberikan peluang kepada orang-orang yang ambisius buat merampasnya? Atau menyerahkan kepada hawa nafsu penguasa yang akan berbuat kerusakan di bumi? Sehingga dengan cara itu, masyarakat kembali lagi setelah kematiannya kepada zaman Jahiliyyah dan penyembahan thagut. Setelah Nabi saw dan sahabatnya berjuang melewati segala kepayahan dan penderitaan, setelah mereka mempersembahkan pengorbanan yang mahal dan mulia untuk membebaskan masyarakat dari berbagai kekejiannya? Apakah Nabi membiarkannya untuk menjadi penyebab pertumpahan darah dan pembunuhan? Padahal beliau diutus sebagai rahmat bukan sebagai bencana bagi alam semesta, sebagai cahaya dan petunjuk buat orang-orang yang kebingungan dan tersesat? Sama sekali tidak. Nabi saw sudah meletakkan bagi umatnya berdasarkan wahyu dari Tuhan Yang Mahatahu, semua tonggak dan dasar kehidupan manusia dalam bidang-bidangnya yang luas. Nabi tidak mengabaikan hal-hal yang kecil seperti adab makan dan minum, memakai sandal, sampai adab pergi ke toilet. Nabi sudah menjelaskan kepada umatnya tuntunan kehidupan yang tinggi. Puncak dari tuntunan itu berkaitan dengan kehidupan politik. Inilah kepemimpinan yang dikenal dalam bahasa Al-Quran dan Sunnah sebagai imamah dan khilafah. Karena itulah turun kabar gembira dari Tuhan Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata tentang penyempurnaan agama dan kesempurnaan nikmat serta keridoan-Nya dengan Islam, seperti firman-Nya: Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku lengkapkan atas kamu nikmat-Ku dan Aku rido Islam menjadi agamamu. (Al-Maidah: 3)

Syeikh Ja’far Subhani memberikan bantahan pada argumentasi Ahli Sunnah sebagai berikut:

“Sekiranya pemerintahan ditegakkan atas dasar Syura, dan sekiranya Syura adalah jalan untuk menunjuk pemimpin pemerintahan, niscaya Nabi sudah menyadarkan umat dengan sistem ini, dan memberikan penjelasan tentang batas-batas dan ketentuan-ketentuan Syura. Dengan begitu umat tidak bingung dan tidak berbeda pendapat dalam pelaksanaannya. Dengan segala urgensi Syura ini, anehnya kita tidak menemukan satu keterangan pun dalam Al-Kitab dan Sunnah yang menjelaskan pemilihan penguasa berdasarkan Syura. Kami tidak bermaksud bahwa Syari’ harus memberikan perincian Syura yang sangat luas, tetapi ada beberapa inti Syura yang tidak boleh ditinggalkan oleh Syari: siapa peserta di dalam Syura? Apakah ulama saja atau para politisi saja atau kelompok militer saja, atau campuran di antara semuanya? siapa yang memilih Ahli Syura itu? sekiranya Ahli Syura berbeda pendapat tentang seseorang, apa kriteria untuk mendahulukan satu pendapat di atas pendapat yang lain?

Kemudian orang menyebutkan bahwa pemilihan seperti itu haruslah sesuai kesepakatan Ahl Hall wal ‘Aqd. Tetapi ungkapan ini lebih kabur daripada yang sebelumnya. Tidak diketahui siapa itu Ahl Hall wal ‘Aqd, apa yang mereka urai dan yang mereka ikat? Apakah mereka itu ahli fiqih, atau pemimpin opini yang menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai peristiwa? Apakah diperlukan tingkat tertentu dalam fiqih dan ilmu supaya berkualifikasi untuk menjadi Ahl Hall wal ‘Aqd, apa ukurannya?”

Jadi sistem syura ini tidak punya landasan yang kuat dalam Al-Quran dan Sunnah. Kita juga tidak menemukannya sebagai tradisi di antara para sahabat. Dr. Thaha Husayn, “Sekiranya kaum muslimin mempunyai sistem yang tertulis tentang syura, pastilah kaum muslimin mengetahuinya pada zaman Utsman, membawakannya, menyerukannya, tanpa harus ada perpecahan dan pertentangan.” Setelah wafatnya Nabi saw, ada dua aliran politik besar: Aliran Ahli Bait yang mempercayai wasiat dan imamah dan aliran Sahabat yang tidak mempercayainya. Yang pertama jelas tidak menerima syura; dan yang kedua tidak menjalankannya. Abu Bakar hanya dipilih oleh lima orang dalam rapat singkat di Saqifah Bani Sa’idah: Umar bin Khaththab, Abu Ubaidah al-Jarrah, Usayd bin Hudhayr, Bashir bin Sa’d dan Salim Mawla Abu Hudzaifah. Umar diangkat melalui surat perintah Abu Bakar. Utsman ditunjuk lewat “dewan formatur” yang terdiri Utsman, Ali, Thalhah, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’d bin Abi Waqqash. Tentang dewan fromatur ini Umar pernah berkata, “Sekiranya dua orang ini –Salim mawla Abi Hudzaifah dan Abu Ubaidah- masih sezaman denganku, aku akan percayakan urusanku ini kepada mereka. Sekiranya Salim mawla Abi Hudzaifah masih hidup aku tidak akan menyerahkannya pada syura.”

Sikap Positif: Penunjukan Khalifah
Menurut orang Syiah, karena kedua asumsi di atas sudah gugur, yang tinggal hanya asumsi ketiga. Rasulullah saw memikirkan dan mengantisipasi kelangsungan dakwah Islam dan karenanya mengangkat seseorang yang dipercayainya sebagai pelanjutnya. Untuk menopang argumentasi ini, mereka mengajukan dua macam pembuktian. Pertama, selama hidupnya, setiap kali Nabi saw meninggalkan kaumnya, ia melakukan istikhlaf.
Kedua, selama hidupnya, Nabi saw berulangkali menegaskan penunjukkan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah sesudahnya itu.
(bersambung…)

No comments:

Post a Comment