14 09 2010
24 November 1990
Ketika media cetak sedang ramai membicarakan kasus Monitor, saya menemui Gus Dur di kantornya. Dengan suara datar, ia mengkritik umat Islam yang mengecam Asrwendo.
“Saya baru saja mengirimkan tulisan buat EDITOR. Buat saya Arswendo memang gila, ia melakukan kesembronoan. Tetapi umat Islam juga gila, karena memprotes kasus ini dengan kasar. Jadi gila kasus ketemu kasus gila”, ujar Gus Dur sambil tertawa.
Gila, saya pikir, Gus Dur gila. Orang Gila membahas kasus gila dan gila kasus. Beberapa jam sebelumnya, saya dengan bangga membicarakan kasus ini sebagai ekspresi kekuatan politik Islam. Demonstrasi-demonstrasi itu adalah penegasan identitas Islam (halusnya, unjuk gigi).
“Bukankah dengan begitu umat Islam dapat menakut-nakuti musuh-musuhnya!”, saya menegaskan.
“Tetapi citra Islam sebagai agama pembawa rahmat, agama kebebasan, agama perdamaian menjadi rusak”, jawab Gus Dur masih dengan suara yang datar.
Ketika banyak orang kecewa dengan Gus Dur, saya tidak. Kecuali hari itu. Saya meninggalkan kantor PBNU dengan sejumlah pertanyaan. Tidak ada yang lebih menyakitkan kecuali dikecewakan oleh orang yang kita cintai.
Ketika kawan-kawan menanyakan pendapat saya tentang tulisan Gus Dur di EDITOR, saya menjawab seenaknya saja, Gus Dur itu orang yang istiqamah. Ia selalu konsisten menentang arus. Ketika kebanyakan umat sedang melakukan Islamisasi, Gus Dus mengemukakan kasus selamat siang. Ketika orang ramai mengecam Syiah, ia mengatakan (secara bergurau- menurut pengakunnya kemudian) bahwa NU secara kultural sudah syiah. Ketika banyak Kyai melihat film sebagai pembawa maksiat, Gus Dur menjadi juri festival film. Ketika di mana-mana orang “berlomba menjadi pahlawan Islam dari Arswendo” ia memilih menjadi “pahlawan Arswendo dari Islam”.
Lama setelah itu, ketika protes terhadap Arswendo sudah mereda, saya melihat kembali tulisannya. Ia benar. Islam adalah agama rahmat, kebebasan, perdamaian, dan perbaikan. Sebagai pembela Islam, kita wajib menampilkan Islam dalam citra itu. Bukankah selama ini musuh-musuh Islam menyajikan Islam sebagai agama teror kekerasan, kerusakan dan hal-hal yang bizarre. Banyak tokoh Islam menuntut kebebasan pers dan demokrasi, tetapi kini mereka, mendukung pembredelan surat kabar.
Saya tiba-tiba merasa seperti Bismar Siregar. Begitu ia mendengar kasus gila itu, ia langsung berkata, gantung dia. Tetapi waktu itu juga ia teringat akan sikap pemaaf Rasulullah SAW. Ia buru-buru istighfar. Ia menyadari, ia dikuasai emosi sehingga tidak bisa lapang dada dan sabar seperti Nabi. Boleh jadi di tengah gejolak kasus Monitor, saya terbawa emosi sehingga melupakan citra Islam sebagai agama rahmat. Gus Dur telah mengingatkan saya.
Anehnya, segera saya membaca istighfar, terbayang lagi adegan demonstrasi yang saya saksikan. Massa yang dengan khusuk menyampaikan shalawat dan salam kepada nabi tercinta. Anak kecil yang pingsan tetapi mulutnya tetap meneriakkan nama Nabi Muhammad. Ustad yang terisak-isak menangis ketika mendengar nama Nabi yang mulia diletakkan di bawah Arswendo.
Sayup-sayup dalam kenangan, saya mendengar Husein Fazlullah, Pemimpin Hizbullah Libanon: Bila kaum muslim tidak mendapatkan rasa aman – karena dihina, ditindas, dipojokkan – maka tidak boleh seorang pun memperoleh rasa aman di dunia ini. Pada saat penindasan menimpa kaum muslim, dan ketika mereka bangkit untuk menentangnya, mereka disuruh memaafkan. Mengapa kita harus menyebarkan rahmat kepada para penindas, tetapi tidak kepada orang tertindas.
Perlahan-lahan wajah Gus Dur muncul lagi. Tampaknya ada dua wajah Islam. Pertama, wajah ramah, pemaaf dan pemelihara. Inilah wajah yang dipilih Gus Dur. Kedua, wajah yang tegas, keras dan penyerang. Inilah wajah yang dipilih Husein Fazlullah. Karena baik Gus Dur maupun Fazlullah ulama, saya ingin memilih kedua-duanya. Masalahnya bukan yang mana, tetapi bilamana. (Jalaluddin Rakhmat)
Sumber: http://almunawwarah.com
No comments:
Post a Comment