Sunday, October 9, 2011

Nikah Mut’ah Sama dengan Zina?



Ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah (haji tamattu’ .red) dan nikah mut’ah”. Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua?
—————————————————-

Nikah Mut’ah Sama dengan Zina?

Oleh:Muchtar Luthfi

Sudah menjadi kesepakatan segenap kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah. Disebutkan bahwa Rasul (saww) pernah membolehkan pernikahan jenis tersebut, akan tetapi lantas terjadi perbedaan pendapat diantara para pengikut Islam adakah Rasul sampai akhir hayat beliau tetap membolehkan pernikahan itu ataukah tidak? Sebagian dari mereka mengatakan bahwa sebelum pulangnya Rasul (saww) ke rahmatullah beliau telah melarang pernikahan tersebut atau dengan istilah yang sering dipakai hukum dibolehkannya nikah mut’ah telah mansukh (terhapus). Sebagian lagi mengatakan bahwa sampai akhir hayat beliaupun beliau tidak pernah melarangnya, akan tetapi seorang yang bernama Umar bin Khatab lah yang kemudian melarangnya sewaktu ia menjabat kekhalifahan.

Dari dua pendapat diatas dalam tulisan ini akan di bahas manakah dari pendapat tersebut yang lebih dekat pada kenyataan? Apakah nikah mut’ah telah dimansukh oleh Rasul atau tidak? Kalaulah tidak lantas apakah wewenang dan dasar yang dipakai oleh Umar untuk mengharamkannya? Adakah ia melakukan berdasarkan konsep ijtihad? Sedang Imam Ali (as) –sebagai khalifah keempat ahlissunnah- tidak pernah mengharamkannya? Bolehkah dalam Islam melakukan ijtihad walau bertentangan dengan ayat atau riwayat yang sebagai sumber utama syariat Islam? Kalaulah kita terima bahwa nikah jenis itu haram karena ijtihad Umar kenapa mut’ah haji (haji tamattu’) yang juga diharamkan oleh Umar tetap dianggap halal oleh seluruh kaum muslimin? Bukankah kalau kita menerima ijtihad Umar tentang pelarangan nikah mut’ah berarti juga harus menerima pelarangannya atas mut’ah haji? Lantas apakah alasan ahlissunnah menerima pelarangan nikah mut’ah sedang mut’ah haji tetap mereka halalkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa kita munculkan dari permasalahan-permasalahan mut’ah yang sering dipakai sebagai bahan untuk melumatkan mazhab Syi’ah karena hanya Syi’ahlah (imamiah itsna asyariah) yang sampai sekarang ini masih tetap menganggapnya halal.

Yang perlu diingat oleh pembaca yang budiman adalah bahwa kita disini dalam rangka mencari kebenaran akan konsep hukum mut’ah dan lepas dari permasalahan praktis dari hal tersebut, oleh karenanya dalam membahas haruslah didasari oleh argumen dari teks agama ataupun akal dan bukan bersandar pada emosional maupun fanatisme golongan.

Argumentasi dari Kitab-kitab Standar Ahlissunnah akan Pembolehan Nikah Mut’ah

Sebagaimana yang telah singgung diatas bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan oleh Allah (swt) sebagaimana yang telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum muslimin, hal ini sesuai dengan ayat yang berbunyi:

“dan (diharamkan atas kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki, (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, maka (istri-istri) yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Qs; An-Nisaa’:24)

Jelas sekali bahwa ayat tersebut berkenaan denga nikah mut’ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para perawi hadis dari sahabat-sahabat Rasul seperti: Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Habib bin Abi Tsabit, Said bin Jubair, Jabir bin Abullah al-Anshari (ra) dst.

Pendapat beberapa ulama’ tafsir dan hadis ahlussunnah

Adapun dari para penulis hadis dan penafsir dari ahlussunnah kita sebutkan saja secara ringkas:

1. Imam Ahmad bin Hambal dalam “Musnad Ahmad” jilid:4 hal:436.

2. Abu Ja’far Thabari dalam “Tafsir at-Thabari” jilid:5 hal:9.

3. Abu Bakar Jasshas dalam “Ahkamul-Qur’an” jilid:2 hal:178.

4. Abu bakar Baihaqi dalam “as-Sunan-al-Qubra” jilid:7 hal:205.

5. Mahmud bin Umar Zamakhsari dalam “Tafsir al-Kassyaf” jil:1 hal:360.

6. Fakhruddin ar-Razi dalam “Mafatih al-Ghaib” jil:3 hal:267.

7. dst.

Pendapat beberapa Sahabat (Salaf Saleh) dan Tabi’in

Beberapa ungkapan para sahabat Rasul dan para tabi’in (yang hidup setelah zaman para sahabat) sebagai contoh pribadi-pribadi yang mengingkari akan pelarangan (pengharaman) mut’ah:

Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diungkapakan oleh Thabari dalam kitab tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana Imam Ali bersabda: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.
Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan pemerkosaan sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?

Abdullah bin Umar bin Khatab (putera khalifah kedua), sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya (lihat: jil:2 hal:95) dimana Abdullah berkata ketika ditanya tentang nikah mut’ah: “Demi Allah, sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati orang berzina ataupun serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul bersabda: “sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan pembohong besar sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah yang layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang yang memutar balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?

Abdullah bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas…”(Qs Al-Ma’idah:87)

Cobalah renungkan makna ayat dan riwayat diatas lantas hubungkanlah antara penghalalan ataupun pengharaman nikah mut’ah! Manakah dari dua hukum tersebut yang sesuai dengan syariat Allah yang dibawa oleh Rasul?

Imran bin Hashin, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:6 hal:27 kitab tafsir; dalam menafsirkan ayat: faman tamatta’a bil-umrati ilal-hajji (Qs Al-Baqarah)), dimana Imran berkata: “Diturunkan ayat mut’ah dalam kitabullah (Al-Qur’an) kemudian kita melakukannya di zaman Rasul, sedang tidak ada ayat lagi yang turun dan mengharamkannya, juga Rasul tidak pernah melarangnya sampai beliau wafat”. Riwayat seperti diatas juga dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitan musnadnya.

Dua riwayat ini menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang menghapus (nasikh) penghalalan mut’ah dan juga sebagai bukti mahwa mut’ah sampai akhir hayat Rasul beliau tidak mengharamkannya.

Ibn Abi Nadhrah, sebagaimana yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya (lihat: jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8), dimana Ibn abi nadhrah berkata: “Dahulu Ibn abbas memerintahkan (baca:menghalalkan) nikah mut’ah sedang Ibn zubair melarangnya kemudia peristiwa tersebut sampai pada telinga Jabir bin Abdullah al-Anshori (ra) lantas dia berkata: “Akulah orang yang mendapatkan hadis tersebut, dahulu kita melakukan mut’ah bersama Rasulullah akan tetapi setelah Umar berkuasa lantas ia mengumumkan bahwa; “Dahulu Allah menghalalkan buat Rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendakinya, maka umat pun menyempurnakan haji dan umrah mereka, juga melakukan pernikahan dengan wanita-wanita tersebut, jika terdapat seseorang menikahi seorang wanita untuk jangka wanita tertentu niscaya akan kurajam ia dengan batu”.

Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya (lihat: jil:1 hal:52). Dikatakan bahwa Abi Nadhrah berkata: “Aku berkata kepada Jabir bin Abdullah Anshari (ra), sesungguhnya Ibn zubair melarang nikah mut’ah sedangkan Ibn Abbas membolehkannya”. Kemudian ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah dan nikah mut’ah”.

Dua riwayat diatas dengan jelas sekali menyebutkan bahwa pertama orang yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bukan Rasul ataupun turun ayat yang berfungsi sebagai penghapus hukum mut’ah sebagaimana yang dikatakan sebagian orang yang tidak mengetahui tentang isi kandungan yang terdapat dalam buku-buku standar mereka sendiri.

Sebagai tambahan kami nukilkan pendapat Fakhrur Razi dalam tafsir al-Kabir, ketika menafsirkan ayat 24 surat an-Nisa. Ar-Razi mengutip ucapan Umar (“ Dua jenis mut’ah yang berlaku di masa rasulullah, yang kini ku larang dan pelakunya akan kuhukum, adalah mutah haji dan mut’ah wanita” ) dalam menetapkan pengharaman nikah mut’ah. Begitu juga tokoh besar dari kamu Asy,ariyah, Imam al-Qausyaji dalam kitab Syarh At-Tajrid, dalam pengharamannya mut’ah adalah ucapan Umar (ucapan Umar: Tiga perkara yang pernah berlaku di zaman Rasulullah, kini kularang, kuharamkan dan kuhukum pelakuknya adalah mut’ah wanita dan mutah haji serta seruan (azan): hayya ‘ala khayr al-‘amal (marilah mengerjakan sebaik-baik amal)). Qusyaji membela tindakan Umar ini, menyatakan bahwa semata-mata takwil atau ijtihad Umar.

Abdullah ibn Abbas, sebagaimana yang dinukil oleh al-Jasshas dalam Ahkamul-Qu’an (jil:2 hal:179), Ibn Rusyd dalam bidayatul mujtahid (jil:2 hal:58), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (jil:2 hal:249), al-Qurtubi dalam tafsirnya (jil:5 hal:130), suyuti dalam tafsirnya (jil:2 hal:140) dikatakan bahwa Ibn Abbas berkata: “semoga Allah merahmati Umar, bukanlah mut’ah kecuali merupakan rahmat dari Allah bagi umat Muhammad (saww) jikalau ia (Umar) tidak melarang mut’ah tersebut niscaya tiada orang yang menghendaki berbuat zina kecuali ia bisa terobati”

Riwayat yang dikemukakan oleh Ibn Khalqan dalam kitab Wafayaatul-A’yaan jil:6 hal:149-150, durrul mantsur jil:2 hal:140, kanzul ummal jil:8 hal:293, tarikh tabari jil:5 hal:32, tarikh Ibn khalkan jil:2 hal:359, tajul-arus jil:10 hal:200. Dan masih banyak lagi riwayat dalam kitab-kitab lainnya, .

Untuk mempersingkat tulisan singkat ini kita cukupkan hanya dengan menyebutkan riwayat-riwayat diatas. Untuk melengkapinya akan kita sebutkan beberapa permasalahan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak paham akan maksud dari hikmah Ilahi tentang penghalalan nikah mut’ah dan kita berusaha untuk menjawabnya secara ringkas.

Soal: Salah satu fungsi pernikahan adalah untuk membina keluarga dan menghasilkan keturunan dan itu hanya bisa terwujud dalam nikah da’im (baca:nikah biasa), sedang nikah mut’ah tujuannya hanya sekedar sebagai pelampiasan nafsu belaka.

Jawab: Jelas sekali bahwa pertanyaan diatas menunjukkan akan adanya percampuran paham antara hukum obyek dengan fungsi/hikmah pernikahan. Yang ia sampaikan tadi adalah berkisar tentang hikmah pernikahan bukan hukum pernikahan. Karena kita tahu bahwa Islam mengatakan bahwa sah saja orang menikah walaupun dengan tidak memiliki tujuan untuk hal yang telah disebutkan diatas, sebagaimana orang lelaki yang sengaja mengawini wanita yang mandul atau wanita tua sehingga tidak terlintas sama sekali dibenaknya untuk mendapat anak dari wanita tersebut ataupun lelaki yang mengawini seorang wanita dengan nikah daim akan tetapi hanya untuk beberapa saat saja-taruhlah dua bulan saja- setelah itu ia talak wanita tersebut. Dua contoh pernikahan tersebut jelas tidak seorang ulama pun yang mengatakan bahwa itu batil hukumnya sebagaimana yang disampaikan oleh penulis tafsir “Al-Manaar” dimana ia mengatakan: “pelarangan para ulama’ terdahulu maupun yang sekarang akan nikah mut’ah mengharuskan juga pelarangan akan nikah dengan niat mentalak (istrinya setelah beberapa saat) walaupun para ahli fiqih sepakat bahwa akad nikah dikatakan sah walaupun ada niatan suami untuk menikahinya hanya untuk saat tertentu saja sedang niat tersebut tidak diungkapkannya saat akat nikah, sedang penyembunyian niat tersebut merupakan salah satu jenis penipuan sehingga hal itu lebih layak untuk dihukumi batil jika syarat niat tadi diungkapkan sewaktu akad dilangsungkan” (Tafsir al-Manaar jil:5 hal:17).

Dari sini kita akan heran melihat orang yang menganggap bahwa mut’ah hanya berfungsi sebagai sarana pelampiasan nafsu belaka dan bukankah dalam nikah da’im pun bisa saja orang berniat untuk pelampiasan nafsu saja, niatan itu semua kembali kepada pribadi masing-masing bukan dari jenis pernikahannya.

Soal: Nikah mut’ah menjadikan wanita tidak dapat menjaga kehormatan dirinya karena ia bisa berganti-ganti pasangan kapanpun ia mau, padahal Islam sangat menekankan penjagaan kehormatan terkhusus bagi para wanita.

Jawab: Justru dalam nikah mut’ah sama seperti nikah da’im dimana bukan hanya wanita yang ditekankan untuk menjaga kehormatannya tapi bagi silelaki pun diharuskan untuk menjaga hal tersebut, karena legalitas pernikahan tersebut sudah ditetapkan dalam syariat maka dengan cara inilah mereka menjaga kehormatan mereka dan tidak menjerumuskan diri mereka keperzinaan. Dalam Islam ada tiga alternatif dalam menangani gejolak nafsu birahi:Nikah da’im, Nikah mut’ah dengan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan meredam nafsu dengan puasa misalnya.

Sekarang jika seseorang tidak mampu melaksanakan nikah da’im dengan berbagai alasan seperti karena masalah ekonomi, studi ataupun yang lainnya, dan untuk meredam nafsu dengan puasa misalnya iapun tidak mampu atau gejolaknya muncul diwaktu malam yang tidak memungkinkan untuk puasa, maka alternatif terakhir dengan nikah mut’ah tadi. Inilah yang diajarkan Islam kepada pengikutnya karena kita tahu bahwa Islam adalah agama terakhir, syariatnya pun adalah syariat terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir maka ia harus selalu up to date dan universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia yang mampu menjawab apapun kemungkinan yang bakal terjadi, dan ia merupakan agama yang bijaksana dimana salah satu ciri hal yang bijak adalah disaat ia melarang sesuatu maka ia harus memberi jalan keluarnya. Lantas jika seseorang tidak dapat melakukan nikah da’im ataupun meredam nafsunya lantas apa yang harus ia lakukan, sementara Islam melarang penyimpangan seksual jenis apapun? Atau jika ada seorang pemuda ingin mengenal seorang wanita lebih dekat untuk nanti menjadikannya seorang istri dalam masa pendekatan itu –karena boleh jadi gagal karena tidak ada kecocokan- hubungan apakah yang harus ia lakukan sehingga ia dapat berbicara dengan wanita tersebut berdua-duaan sedang Islam melarang berpacaran tanpa ada ikatan pernikahan?

Dan banyak lagi contoh lain yang Islam sebagai agama terakhir dan sebagai agama yang bijak dituntut untuk mampu menjawab tantangan tersebut, jika mut’ah diharamkan lantas kira-kira jalan keluar manakah yang akan diberikan oleh si pengharam mut’ah tadi? Oleh karenanya jangan heran jika Imam Ali (as) mengeluarkan statemen seperti diatas ( Imam Ali: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”).

Kesalahan besar yang selama ini banyak terdapat pada benak kaum muslimin adalah mereka sering mengidentikkan nikah mut’ah dengan hubungan seksual padahal tidak mesti semacam itu –sebagaimana nikah da’im dengan anak dibawah usia yang diperbolehkan oleh para ahli fiqih semuanya- bisa saja siwanita mensyarati untuk tidak melakukan hal tersebut dalam akad nya sehingga mut’ah hanya sebagai sarana untuk menghilangkan dosa -semasa berkenalan untuk nantinya menikah daim- dengan adanya ikatan pernikahan diantara mereka.

Soal: Adanya beberapa sumber dari ahlussunnah yang menunjukkan adanya pelarangan mut’ah walaupun dari sisi waktu dan tempat pelarangannya berbeda-beda sehingga menjadi argumen bahwa ayat mut’ah (an-Nisaa:23) sudah terhapus dengan riwayat-riwayat itu, seperti:

  1. Dibolehkannya mut’ah lantas dilarang pada seusai perang Khaibar.
  2. Dibolehkannya nikah mut’ah lantas dilarang pada saat Fathul-Makkah.
  3. Hanya dibolehkan pada saat peristiwa Awthas saja.
  4. Diperbolehkan pada saat umrah qadha’ saja.

Jawab: Kita bisa katakan bahwa:

1- Ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda itu menunjukkan tidak adanya kesepakatan akan pelarangannya karena perbedaan riwayat menunjukkan bahwa riwayat itu tunggal sifatnya (khabar wahid) dan riwayat jenis itu tidak bisa dijadikan sandaran sebagai penghapus hukum yang ada dalam Al-Qur’an, oleh karenanya Imran bin Hashin mengatakan tidak ada riwayat ataupun ayat yang menghapus hukum mut’ah (lihat kembali riwayat Imran diatas).

2- Khalifah kedua sebagai pengharam mut’ah pun tidak menyandaran ijtihadnya –kalaulah itu bisa disebut ijtihad- kepada ayat ataupun riwayat karena memang tidak ada riwayat yang menghapus hukum mut’ah tersebut sehingga dari sinilah menyebabkan banyak sahabat yang menentang keputusan Umar dalam pengharaman mut’ah. Kalau ada ayat atau riwayat yang mengharamkan nikah Mut’ah, kenapa Umar menyandarkan pelarangannya pada diri sendiri? Bukankah dengan menyandarkan pada ayat dan riwayat dari Rasul maka pendapatnya akan lebih kuat?

Soal: Diperbolehkannya melakukan nikah mut’ah adalah sebagaimana diperbolehkannya memakan daging babi yaitu pada saat-saat tertentu saja (dharurat) karena mut’ah sama hukumnya seperti zina yaitu haram, maka sebagaimana haramnya babi dalam saat-saat tertentu halal maka pada saat-saat tertentupun mut’ah halal juga hukumnya.

Jawab: Jelas penyamaan antara diperbolehkannya makan daging babi disaat dharurat berbeda dengan mut’ah, salah satu perbedaannya adalah:

Hukum dharurat hanya pada hal-hal yang mengakibatkan kelangsungan hidup (jiwa) terancam oleh karenanya diperbolehkan makan daging babi sebatas untuk menyambung hidup saja sehingga dilarang untuk makan secara berlebihan, adapun mut’ah apakah ia sama seperti daging babi sehingga jika seseorang tidak mut’ah lantas ia terancam kelangsungan hidupnya?

Kalaupun –walaupun alasan ini tidak dapat diterima- mut’ah bisa disamakan sama seperti daging babi yaitu terkenai hukum dharurat, lantas kenapa banyak sahabat yang melakukan mut’ah saat itu padahal gairah seksual tidak mesti muncul bersamaan sebagaimana rasa lapar?

Kalau dikatakan hukum dharurat itu ada, seharusnya hukum setelah hilang nya dharurat, kembali ke hukum awal nya (haram), akan tetapi yang kita dapati bahwa rasulullah tidak mengharamkan sampai akhir hayatnya. Sehingga tidak benar penghalalan hukum mutah itu dikarenakan dharurat.

Penutup

Dari sini jelaslah bahwa nikah mut’ah diperbolehkan oleh syariat Islam –yang bersumber dari ayat dan hadis shohih- dimana sepakat kaum muslimin bahwa sumber syariat hanyalah Allah semata sebagaimana ayat yang berbunyi: “keputusan menetapkan suatu hukum hanyalah hak Allah”(Qs Yusuf:67). Sedang Rasul diutus untuk menjelaskannya oleh karenanya apa yang diungkapkan oleh beliau merupakan apa yang sudah disetujui oleh Allah. Rasul bersabda:“dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”(Qs An-Najm:3-4). Oleh karenanya:“apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”(Qs Al-Hasyr:7).

Adapun ucapan para sahabat jika sesuai dengan firman Allah atau ungkapan Rasul maka bisa juga dikategorikan sebagai teks agama, akan tetapi jika tidak maka hal itu telah keluar dari apa yang telah tercantum dari ayat-ayat diatas tadi karena mereka manusia biasa seperti kita yang juga bisa salah sehingga tidak bisa dijadikan rujukan dalam menangani masalah syariat secara independen (mustaqil) tanpa tolok ukur kebenaran yang lain. Karena jika tidak, apa mungkin akan kita jadikan tolok ukur sedang kita dapati banyak pendapat mereka yang saling paradoksal sebagaimana yang kita saksikan tadi, bukankah dalam situasi perbedaan pendapat semacam itu kita diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya;“kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”(Qs An-Nisaa’:59)

Bukanlah Allah dan Rasulnya tetap menghalalkan nikah mut’ah? Sewaktu sumber syariat adalah Al-Qur’an dan Hadis shohih lantas apakah diperbolehkan orang berijtihad –yang lantas hasilnya-hasilnya dianggap sebagai syariat- akan tetapi bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul yang sebagai sumber syariat?, bukankah dalam Al-Qur’an telah ditetapkan bahwa; “dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata”(Qs al-Ahzab:36)

Apakah pemberian ketetapan lain yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul tersebut tidak dikategorikan sebagai bid’ah -yang berarti mengada-adakan hukum syariat- dimana dalam riwayat disebutkan bahwa semua jenis bid’ah adalah sesat – “kullu bid’atin dholalah” -sehingga tidak ada lagi lubang untuk membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan yang buruk? Lantas apakah konsekwensi bagi orang ahli bid’ah yang berarti ahli kesesatan yang dalam riwayat tentang bid’ah juga telah disebutkan “wakullu dhalalatin finnaar”? Kemudian apakah kita akan terus mengikuti ahli bid’ah dengan mengharamkan nikah mut’ah? Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua? Dan masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab oleh saudara-saudara ahlussunnah yang berkisar tentang mut’ah. Renungkanlah dan bacalah saudara-saudaraku.[islamalternatif]

Tanggapan ke “Nikah Mut’ah Sama dengan Zina?”

 Soal: Bagaimana dengan hadits shohih yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib ra ini:
“Dari Ali bin Abi Thalib berkata: Sesungguhnya Rasululloh Saw melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar jinak pada Perang Khaibar” (HR. Bukhari 5115, Muslim 1407).
Jika diperhatikan, hadits ini dengan sendirinya menggugurkan pernyataan Ali bin Abi Thalib ra diatas yang berbunyi:
“Jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar nescaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.
Jika kita hanya melihat dua pernyataan diatas (sekali lagi hanya melihat dua pernyataan diatas), yang nota bene sama-sama sanadnya pada Ali bin Abi Thalib ra, maka terdapat keanehan dan kontradiksi. Tidak mungkin kedua pernyataan tersebut benar kerana kontradiksi isinya, yang satu mengharamkan yang lain mendukung mut’ah.
Jadi manakah yang benar? silahkan dinilai sendiri:
Pernyataan pertama mempunyai derajat hadits shahih (Bukhari & Muslim) sedangkan pernyataan kedua bukan hadits kerana bertentangan dengan banyak hadis lain dan keterangan ahli tafsir.

Mengenai Surah An-Nisaa: 24;
Kata “istamta’a bih” sama sekali tidak merujuk kepada kata “mut’ah”, kerana kedua kata itu sangat berbeda arti: istamta’a bih berarti menikmati, mendapat kesenangan dari …, (diambil dari Aqrab Al Mawrid).
Kata mut’ah lebih diartikan sebagai pernikahan sementara, sehingga terjemahan dari “istamta’a bih” tidak ada sangkut pautnya dengan kata “mut’ah”.
Wallahu ‘alam.

Jawab:
Anda benar bahwa ada beberapa hadis yang menyatakan hal itu dalam kitab Ahlusunah. Tetapi kita juga harus melihat bahwa ada hadis-hadis lain (dalam kitab yang sama-sama shohihnya yaitu yang diriwayatkan dari Ibn Abi Nadhrah yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya jil:4 hal:130 bab: Nikah Mut’ah hadis ke:8) yang menyatakan bahwa Rasul hingga akhir hayat beliau tidak pernah mengharamkannya, bahkan khalifah kedualah yang mengharamkannya… dan terbukti bahwa para ulama Ahlusunah tidak ada kesepakatan pendapat tentang bilakah mut’ah diharamkan, yang jelas, pendapat-pendapat mereka masing-masing memakai dalil hadis yang berbeda-beda…

Adapun mengenai Surat an-Nisa tentang ayat mut’ah itu, kita tidak dapat mengarang-ngarang penafsirannya dan terbukti bahwa ayat itu turun untuk mut’ah. Silahkan anda melihat kembali beberapa kitab tafsir Ahlusunah sendiri -spt: Tafsir al-Kabir karya Fakhrur Razi, Durrul Mantsur karya as-Suyuthi, Fathul Qadir karya as-Syaukani, Ruhul Ma’ani karya al-Alusi, Tafsir al-Quranul Karim karya Ibnu Katsir…dsb- yang menyatakan bahwa ayat itu (an-Nisaa: 24) turun untuk nikah mut’ah, walaupun kembali mereka menyatakan bahwa ayat itu lantas dihapus (mansukh)…dihapus dengan apa? Itulah yang menjadi masalah…apakah mungkin hadis (yang tidak terjaga oleh Allah) akan dapat menghapus ayat al-Quran (yang dijaga oleh Allah)? Apakah mungkin sebuah ayat akan dapat dihapus oleh statemen sahabat? Silahkan anda renungkan…!?

Nikah Mut’ah: Kajian lanjut
Berhubung dengan isu hangat yaitu Nikah Mut’ah yang dikaitkan dengan zina, pendapat ini menimbulkan kemusykilan yang amat sangat. Ini kerana menyamakan Nikah Mut’ah dengan zina membawa maksud seolah-olah Nabi Muhammad SAW pernah menghalalkan zina dalam keadaan-keadaan darurat seperti perang Khaibar dan pembukaan kota Mekah. Pendapat ini tidak boleh diterima kerana perzinaan memang telah diharamkan sejak awal Islam dan tidak ada rukhsah (kelonggaran) dalam isu zina. 

Sejarah menunjukkan bahwa Abdullah bin Abbas diriwayatkan pernah membolehan Nikah Mut’ah tetapi kemudian menarik balik fatwanya di zaman selepas zaman Nabi Muhammad SAW. Kalau mut’ah telah diharamkan pada zaman Nabi SAW apakah mungkin Abdullah bin Abbas membolehkannya? 

Sekiranya beliau tidak tahu [mungkinkah beliau tidak tahu?] tentang hukum haramnya mut’ah apakah mungkin beliau berani menghalalkannya pada waktu itu? 

Fatwa Abdullah bin Abbas juga menimbulkan tanda tanya kerana tidak mungkin beliau berani membolehkan zina [mut’ah] dalam keadaan darurat seperti makan bangkai, darah dan daging babi kerana zina [mut’ah] tidak ada rukhsah sama sekali walaupun seseorang itu akan mati jika tidak melakukan jimak. Sebaliknya Abdullah menyandarkan pengharaman mut’ah kepada Umar al-Khattab seperti tercatat dalam tafsir al-Qurtubi meriwayatkan Abdullah bin Abbas berkata, “Sekiranya Umar tidak mengharamkan mut’ah nescaya tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar jahat” (Lihat tafsiran surah al-Nisa: 24).

Begitu juga pengakuan sahabat Nabi SAW yaitu Jabir bin Abdullah dalam riwayat Sohih Muslim, “Kami para sahabat di zaman Nabi SAW dan di zaman Abu Bakar melakukan mut’ah dengan segenggam korma dan tepung sebagai maharnya, kemudian Umar mengharamkannya kerana (peristiwa) Amr bin Khuraits”. 

Jelaslah mut’ah telah diamalkan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW selepas zaman Rasulullah SAW wafat. Oleh itu, hadith-hadith yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan mut’ah nikah sebelum baginda wafat adalah hadith-hadith dhaif.  

            Dua riwayat yang dianggap kuat oleh ulama Ahlul Sunnah yaitu riwayat yang mengatakan nikah mut’ah telah dihapuskan pada saat Perang Khaibar dan pembukaan kota Mekah sebenarnya hadith-hadith yang dhaif. Riwayat yang mengaitkan pengharaman mut’ah nikah pada ketika Perang Khaibar lemah kerana seperti menurut Ibn al-Qayyim ketika itu di Khaibar tidak terdapat wanita-wanita muslimah yang dapat dikawini. Wanita-wanita Yahudi (Ahlul Kitab) ketika itu belum ada izin untuk dikawini. Izin untuk mengahwini Ahlul Kitab seperti tersebut dalam Surah al-Maidah terjadi selepas Perang Khaibar. Tambahan pula kaum muslimin tidak berminat untuk mengawini wanita Yahudi ketika itu kerana mereka adalah musuh mereka. 

Riwayat kedua diriwayatkan oleh Sabirah yang menjelaskan bahwa nikah mut’ah diharamkan saat dibukanya kota Mekah (Sahih Muslim bab Nikah Mut’ah) hanya diriwayatkan oleh Sabirah dan keluarganya saja tetapi kenapa para sahabat yang lain tidak meriwayatkannya seperti Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud? 

Sekiranya kita menerima pengharaman nikah mut’ah di Khaibar, ini bermakna mut’ah telah diharamkan di Khaibar dan kemudian diharuskan pada peristiwa pembukaan Mekah dan kemudian diharamkan sekali lagi. Ada pendapat mengatakan nikah mut’ah telah dihalalkan 7 kali dan diharamkan 7 kali sehingga timbul pula golongan yang berpendapat mut’ah nikah telah diharamkan secara bertahap seperti pengharaman arak dalam al-Qur’an tetapi mereka lupa bahwa tidak ada ayat Qur’an yang menyebutkan pengharaman mut’ah secara bertahap seperti itu. Ini hanyalah dugaan semata-mata

Yang jelas nikah mut’ah dihalalkan dalam al-Qur’an surah al-Nisa:24 dan ayat ini tidak pernah dimansuhkan sama sekali. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imran bin Hushain:  “Setelah turunnya ayat mut’ah, tidak ada ayat lain yang menghapuskan ayat itu. Kemudian Rasulullah SAW pernah memerintahkan kita untuk melakukan perkara itu dan kita melakukannya semasa beliau masih hidup. Dan pada saat beliau meninggal, kita tidak pernah mendengar adanya larangan dari beliau SAW tetapi kemudian ada seseorang yang berpendapat menurut kehendaknya sendiri”.  

Orang yang dimaksudkan ialah Khalifah Umar. Walau bagaimanapun, Bukhari telah memasukkan hadith ini dalam bab Haji Tamattu’ (sepatutnya Bab Nikah Mut’ah).

Pendapat Khalifah Ali adalah jelas tentang harusnya nikah muta’ah dan pengharaman mut’ah dinisbahkan kepada Umar seperti yang diriwayatkan dalam tafsir al-Tabari: “Kalau bukan kerana Umar melarang nikah mut’ah maka tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka”. Sanadnya sahih. Justeru itu, Abdullah bin Abbas telah memasukkan tafsiran (Ila Ajalin Mussama) selepas ayat 24 Surah al-Nisa bagi menjelaskan maksud ayat tersebut adalah ayat mut’ah (Lihat juga Syed Sabiq, Fiqh Sunnah bab Nikah mut’ah). 

Pengakuan Umar yang menisbahkan pengharaman mut’ah kepada dirinya sendiri bukan kepada Nabi SAW cukup jelas bahawa nikah mut’ah halal pada zaman Nabi SAW seperti yang tercatat dalam Sunan Baihaqi, “Dua jenis mut’ah yang dihalalkan di zaman Nabi SAW, kini aku haramkan sekarang dan aku akan dera siapa yang melakukan kedua jenis mut’ah tersebut. Pertama nikah mut’ah dan kedua haji tamattu”.

Perlulah diingatkan bahwa keharusan nikah mut’ah yang diamalkan bukan bermaksud semua orang wajib melakukan nikah mut’ah seperti juga kehalalan kawin empat bukan bermaksud semua orang wajib kawin empat. Penyelewengan yang berlaku pada amalan nikah mut’ah dan kawin empat bukan disebabkan hukum Allah SWT itu lemah tetapi disebabkan oleh kejahilan seseorang itu dan kelemahan akhlaknya sebagai seorang Islam. Persoalannya jika nikah mut’ah sama dengan zina, apakah bentuk mut’ah yang diamalkan oleh para sahabat pada zaman Nabi Muhammad SAW dan zaman khalifah Abu Bakar? [catatan: Nikah muta’ah memang tidak sama dengan zina].

Catatan Akhir:
Nikah mut'ah adalah halal menurut Islam.
a)    Khalifah Umarlah yang mengharamkan nikah mut'ah yang telah dihalalkan pada masa Rasulullah (Saw.), khalifah Abu Bakar dan pada masa permulaan zaman khalifah Umar.
b)    Umar mempunyai kuasa veto yang boleh memansuhkan atau membatalkan hukum nikah mut'ah sekalipun ianya halal di sisi Allah dan Rasul-Nya. Al-Suyuti seorang Mujaddid Ahlil Sunnah abad ke-6 Hijrah mempercayai bahawa nikah mut'ah adalah halal, kerana pengharamannya adalah dilakukan oleh Umar dan bukan oleh Allah dan RasulNya. Kenyataan al-Suyuti adalah berdasarkan kepada al-Qur'an dan kata-kata Umar sendiri.
Sebenarnya para ulama Ahlul Sunnah sendiri telah mencatat bahawa Umarlah yang telah mengharamkan nikah mut'ah seperti berikut:
a)    Al-Baihaqi di dalam al-Sunan, V, hlm. 206, meriwayatkan kata-kata Umar, "Dua mut'ah yang dilakukan pada masa Rasulullah (Saw.) tetapi kini aku melarang kedua-duanya dan aku akan mengenakan hukuman ke atasnya, iaitu mut'ah perempuan dan mut'ah haji (Haji Tamattu’).
b)    Al-Raghib di dalam al-Mahadarat, II, hlm. 94 meriwayatkan bahwa Yahya bin Aktam berkata kepada seorang syaikh di Basrah:"Siapakah orang yang anda ikuti tentang harusnya nikah mut'ah."Dia menjawab:"Umar al-Khatab."Dia bertanya lagi,"Bagaimana sedangkan Umarlah orang yang melarangnya."Dia menjawab:"Mengikut riwayat yang sahih bahawa dia menaiki mimbar masjid dan berkata:Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah menghalalkan untuk kalian dua mut'ah tetapi aku aku mengharamkan kedua-duanya (mut'ah perempuan dan mut'ah haji). Maka kami menerima kesaksiannya tetapi kami tidak menerima pengharamannya."
c)    Daripada Jabir bin Abdullah, dia berkata: "Kami telah melakukan nikah mut'ah dengan segenggam kurma dan gandum selama beberapa hari pada masa Rasulullah dan Abu Bakar sehingga Umar melarang dan mengharamkannya dalam kes Umru bin Harith. [Muslim, Sahih, I, hlm. 395; Ibn Hajar, Fatih al-Bari, IX, hlm.41; al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-Ummal, VIII, hlm.294].
d)    Daripada Urwah bin al-Zubair, "Sesungguhnya Khaulah bt. Hakim berjumpa Umar al-Khattab dan berkata: "Sesungguhnya Rabiah bin Umaiyyah telah melakukan nikah mut'ah dengan seorang perempuan, kemudian perempuan itu mengandung, maka Umar keluar dengan marah dan berkata: "Sekiranya aku telah memberitahukan kalian mengenainya awal-awal lagi nescaya aku akan merejamnya. "Isnad hadith ini adalah tsiqah (dipercayai), dikeluarkan oleh Malik di dalam al-Muwatta', II, hlm. 30; al-Syafi'i, al-Umm, VII, hlm. 219; al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, VII, hlm. 206].
e)    Kata-kata Ali (a.s), "Sekiranya Umar tidak melarang nikah mut'ah nescaya tidak seorang pun berzina melainkan orang yang celaka. "[al-Tabari, Tafsir, V, hlm. 9; Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, III, hlm.200; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, II, hlm.140].
Kata-kata Ali (a.s) ini menolak dakwaan orang yang mengatakan bahawa Ali telah melarang nikah mut'ah kerana beliau tidak memansuhkan ayat di dalam Surah al-Nisa' (4):24.
f)     Daripada Ibn Juraij, daripada 'Ata' dia berkata:"Aku mendengar Ibn Abbas berkata: Semoga Allah merahmati Umar, mut'ah adalah rahmat Tuhan kepada umat Muhammad dan jika ia tidak dilarang (oleh Umar) nescaya seorang itu tidak perlu berzina melainkan orang yang celaka. "[al-Jassas, al-Ahkam al-Qur'an, II, hlm. 179; al-Zamakhshari, al-Fa'iq, I, hlm. 331;al-Qurtubi, Tafsir, V, hlm. 130].
Riwayat Ibn Abbas tersebut menafikan dakwaan orang yang mengatakan Ibn Abbas telah menarik balik kata-katanya mengenai mut'ah. Namun begitu, halalnya mut'ah tidak berpandu kepada pendapat Ibn Abbas tetapi berpandu kepada Surah al-Nisa (4): 24 yang tidak dimansuhkan.
Di sini disebutkan nama-nama sahabat dan tabi'in yang telah mengamalkan nikah mut'ah atau mempercayai ia adalah halal:
1.            Umran b. al-Hasin.
2.            Jabir b. Abdullah.
3.            Abdullah b. Mas'ud.
4.            Abdullah b. Umar.
5.            Muawiyah b. Abi Sufyan.
6.            Abu Said al-Khudri.
7.            Salman b. Umaiyyah bin Khalf.
8.            Ma'bad b. Umaiyyah.
9.    Al-Zubair bin al-Awwam yang mengahwini Asma' bt khalifah Abu Bakar secara mut'ah selama tiga tahun dan melahirkan dua orang anak lelaki bernama Abdullah dan Urwah.
10.         Khalid b. Muhajir.
11.         Umru b. Harith.
12.         Ubayy b. Ka'ab.
13.         Rabi'ah b. Umaiyyah.
14.         Said b. Jubair.
15.         Tawwus al-Yamani.
16.         'Ata' Abu Muhammad al-Madani.
17.         Al-Suddiy.
18.         Mujahid.
19.         Zufar b. Aus al-Madani.
20. Ibn Juraij (Imam Masjid Mekah- bermut’ah dengan 72 atau 90 orang perempuan).
21.         Ali bin Abi Talib.
22. Umar b. al-Khattab sebelum dia mengharamkannya dan diakui oleh anaknya Abdullah bin Umar.
Nama-nama tersebut adalah diambil dari buku-buku Hadith Ahlul Sunnah dan lain-lain di mana saya tidak memberi rujukan lengkap kerana kesempitan ruang, lihatlah umpamanya buku-buku sahih bab nikah mut'ah dan lain-lain.
Di sini diperturunkan pendapat-pendapat Ahlul Sunnah yang mengatakan nikah mut'ah telah dimansuhkan, kemudian, diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan kembali. Ia mempunyai 15 pendapat yang berbeza-beza seperti berikut:
  1. Nikah mut'ah diharuskan pada permulaan Islam, kemudian Rasulullah (Saw.) menegahnya di dalam Peperangan Khaibar.
  2. Ia boleh dilakukan ketika darurat di masa-masa tertentu kemudian diharamkan pada akhir tahun Haji Wida'.
  3. Ia diharuskan selama 3 hari sahaja.
  4. Diharuskan pada tahun al-Autas kemudian diharamkan.
  5. Diharuskan pada Haji Wida' kemudian ditegah semula.
  6. Diharuskan, kemudian diharamkan pada masa pembukaan Mekah.
  7. Ia harus, kemudiannya ditegah dalam Perang Tabuk.
  8. Diharuskan pada pembukaan Mekah dan diharamkan pada hari itu juga.
  9. Ia dihalalkan pada Umrah al-Qadha'.
  10.  Ia tidak pernah diharuskan di dalam Islam. Pendapat ini bertentangan dengan al-Qur'an, Sunnah Nabi (Saw.), Ahlul Baytnya dan sahabat-sahabat.
  11. Ia diharuskan kemudian dilarang pada Perang Khaibar kemudian diizin kembali pada masa pembukaan Mekah kemudian diharamkannya selepas tiga hari.
  12. Diharuskan pada permulaan Islam kemudian diharuskan pada Perang Khaibar kemudian diharuskan pada Perang Autas, kemudian diharamkan.
  13. Diharuskan pada permulaan Islam pada tahun Autas, pembukaan Mekah dan Umrah al-Qadha' dan diharamkan pada Peperangan Khaibar dan Tabuk.
  14. Ia telah diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan, kemudian dimansuhkan, kemudian diharuskan kemudian dimansuhkan.
  15. Diharuskan 7 kali, dimansuhkan 7 kali, dimansuhkan pada Peperangan Khaibar, Hunain, 'Umra al-Qadha', tahun pembukaan Mekah, tahun Autas, Peperangan Tabuk dan semasa Haji Wida'. [al-Jassas, Ahkam al-Qur'an, II, hlm. 183; Muslim, Sahih, I, hlm. 394;Ibn Hajr, Fath al-Bari, IX, hlm. 138; al-Zurqani, Syarh al-Muwatta', hlm. 24].
Lihatlah bagaimana perselisihan pendapat telah berlaku tentang nikah mut'ah di mana mereka sendiri tidak yakin bilakah ia dimansuhkan atau sebaliknya. Walau bagaimanapun, pendapat-pendapat tersebut memberi erti bahawa hukum nikah mut'ah boleh dipermainkan-mainkan kerana ia mengandungi beberapa proses pengharusan dan pengharaman, oleh itu ianya tidak mungkin dilakukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ianya telah dilakukan oleh al-Zubair bin al-Awwam dengan Asma' bt. khalifah Abu Bakar selama tiga tahun dan melahirkan duaorang anak mut'ah.

Sebenarnya pengharusan nikah mut'ah itu berasal daripada al-Qur'an, firman-Nya (Surah al-Nisa (4):24: "Maka isteri-isteri kamu yang kamu nikmati (mut'ah) di atas mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajipan." Menurut al-Zamakhsyari, ayat ini adalah Muhkamah, iaitu tidak dimansuhkan [al-Kasysyaf,I hlm. 190] iaitu nikah mut'ah adalah halal.

Al-Qurtubi menyatakan, penduduk Mekah banyak melakukan nikah mut'ah [Tafsir,V, hlm. 132]. Fakhruddin al-Razi berkata: "Mereka berselisih pendapat tentang ayat ini, sama ada ia dimansuhkan ataupun tidak, tetapi sebahagian besar berpendapat ayat ini tidak dimansuhkan dan nikah mut'ah adalah harus." [Mafatih al-Ghaib, III, hlm. 200].

 Abu Hayyan berkata: "Selepas menukilkan hadith yang mengharuskan nikah mut'ah, sekumpulan daripada Ahlul Bayt dan Tabi'in berpendapat nikah mut'ah adalah halal." Ibn Juraij (w.150H) pula berpendapat bahawa nikah mut'ah adalah harus. Imam Syafi'i menegaskan bahawa Ibn Juraij telah bernikah mut'ah dengan 72 orang perempuan, sementara al-Dhahabi pula menyatakan Ibn Juraij telah bermut'ah dengan 90 orang perempuan. [Tadhib al-Tahdhib, VI, hlm. 408].

Perhatikanlah bahawa Ibn Juraij adalah seorang daripada Tabi'in dan imam masjid Mekah, telah berkahwin secara mut'ah dengan 90 orang perempuan dan dia juga telah meriwayatkan hadith yang banyak di dalam sahih-sahih Ahlul Sunnah seperti Bukhari, Muslim dan lain-lain. Ini bererti kitab-kitab sahih tersebut telah dikotori dan ia tidak menjadi sahih lagi sekiranya orang yang melakukan nikah mut'ah itu dianggap sebagai penzina.

Ayat tersebut tidak dimansuhkan oleh Surah al-Mukminun ayat 6 dan Surah al-Ma'arij ayat 30, kerana kedua-dua ayat tersebut adalah Makkiyyah dan ayat Makkiyyah tidak boleh memansuhkan ayat Madaniyyah, begitu juga ia tidak boleh dimansuhkan dengan ayat al-Mirath (pusaka) kerana dalam nikah biasa sekalipun mirath tidak boleh berlaku jika si isteri melakukan nusyuz terhadap suaminya atau isterinya seorang kitabiyah. Sebagaimana juga ia tidak boleh dimansuhkan dengan ayat Talaq, kerana nikah mut'ah dapat ditalak (dapat dibatalkan) dengan berakhirnya masa. Ia juga tidak boleh dimansuhkan dengan hadith mengiku jumhur ulama.

Imam Zulfar berpendapat walaupun ditetapkan, tetapi ia tidak membatalkan akad nikah. Imam Malik pula mengatakan nikah mut'ah adalah harus hingga terdapatnya dalil yang memansuhkannya. Imam Muhammad al-Syaibani mengatakan nikah mut'ah adalah makruh. [al-Sarkhasi, al-Mabsut, V, hlm. 160]. Demikianlah beberapa pendapat yang menunjukkan nikah mut'ah adalah harus tetapi ia diharamkan oleh khalifah Umar al-Khattab. 

Adapun syarat-syarat nikah mut'ah menurut Islam adalah seperti berikut:
a)    Mahar (mengikut persetujuan 2 pihak).
b)    Ajal (tempoh masa yang dipersetujui oleh 2 pihak).
c)    Akad yang mengandungi ijab dan kabul dan ianya sah dilakukan secara wakil.
d)    Perceraian selepas tamatnya tempoh masa.
e)    Iddah.
f)     Sabitnya nasab (keturunan- dibinkan kepada si bapa).
g)    Tidak sabitnya pusaka di antara suami dan isteri jika ia tidak disyaratkan.
Inilah syarat-syarat nikah mut'ah mengikut Ahlul Sunnah dan Syiah dan inilah yang telah dilakukan oleh para sahabat dan tabi'in. Adapun kata-kata bahawa ‘nikah mut'ah boleh dilakukan dengan isteri orang’ adalah satu pembohongan yang besar dan ianya menyalahi nas. Oleh itu, para Imam Ahlul Bait (a.s) dan para ulama Syiah mengharamkannya. Disebabkan ijab sebarang nikah, sama ada nikah mut'ah ataupun da'im (biasa) adalah dipihak perempuan atau wakilnya, maka perempuan tersebut atau wakilnya mestilah mengetahui bahawa 'dia' bukanlah isteri orang, jika tidak, ia tidak boleh melafazkan ijab, "aku nikahkan diriku akan dikau dengan mas kahwinnya sebanyak satu ribu ringgit selama tiga tahun." Umpamanya lelaki menjawab: "Aku terimalah nikahnya”.

Imam Baqir dan Imam Ja'far al-Sadiq (a.s) berkata bahawa pihak lelaki tidak wajib bertanya adakah si perempuan itu isteri orang atau tidak, kerana sudah pasti mengikut hukum syarak perempuan yang akan berkahwin mestilah bukan isteri orang. Jika didapati ia isteri orang maka nikah mut'ah atau nikah biasa itu adalah tidak sah. Walau bagaimanapun adalah disunatkan seorang itu bertanya keadaan perempuan itu sama ada masih isteri orang atau sebagainya.

Mengenai wali - Ahlul Sunnah tidak sependapat sama ada wali adalah wajib bagi perempuan yang ingin berkahwin. Abu Hanifah umpamanya menyatakan wali adalah tidak wajib bagi janda dan anak dara yang sudah akil baligh dengan syarat ia berkahwin dengan seorang yang sekufu dengannya. [Malik, al-Muwatta', I, hlm. 183]. Abu Yusuf dan al-Syaibani pula berpendapat wali adalah perlu tetapi bapa tidak ada hak untuk memaksa anak perempuannya melainkan ia di bawah umur. [Ibn Hazm, al-Muhalla, hlm. 145].

Imam Ja'far al-Sadiq (a.s) berpendapat wali tidak wajib dalam nikah kecuali bagi anak dara. Tetapi ia adalah digalakkan di dalam semua keadaan bagi penentuan harta dan keturunan. [al-Tusi, Tahdbib al-Ahkam, VII, hlm. 262].

Sebenarnya idea wali nikah menurut Imam Malik adalah dikaitkan dengan khalifah Umar al-Khattab yang diriwayatkan oleh Sa'id bin al-Musayyab, bahawa seorang tidak dibenarkan berkahwin tanpa kebenaran walinya atau keluarganya yang baik atau pemerintah [Sahnun, al-Mudawwannah al-Kubra, IV, hlm. 16].

Mengenai saksi di dalam nikah- Imam Ja'far al-Sadiq (a.s) tidak mewajibkan saksi di dalam nikah mut'ah atau nikah biasa, tetapi ia disunatkan berbuat demikian bagi pengurusan harta dan penentuan nasab keturunan. [al-Tusi, al-Istibsar, III, hlm. 148].

Tidak terdapat di dalam al-Qur'an ayat yang mewajibkan wali dan saksi di dalam nikah, umpamanya firman Allah dalam Surah al-Nisa (4):3; "….maka kahwinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga dan empat." Ini bererti Allah tidak mewajibkan saksi dan wali di dalam perkahwinan kerana untuk memberi kemudahan kepada umat manusia tetapi Dia mewajibkan saksi di dalam perceraian, firmanNya dalam Surah al-Talaq (65):2; "Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu."

Imam Ja'far al-Sadiq (a.s) mengatakan bahawa dua saksi di dalam talak adalah wajib. Walau bagaimanapun beliau tidak menafikan bahawa saksi dalam pernikahan adalah digalakkan, lantaran itu hadith "Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi" adalah hadith yang lemah. Itulah nikah mut'ah yang dipercayai oleh mazhab Ja'fari dan ia adalah sama seperti yang dilakukan pada zaman Nabi (Saw.) dan zaman sahabatnya. Dengan yang demikian, berdasarkan penjelasan ini, semoga ianya dapat dibezakan di antara pelacuran dan nikah mut'ah.

Kesimpulannya, nikah mut'ah adalah halal sehingga Hari Kiamat berdasarkan Surah al-Nisa (4):24. Ia adalah ayat muhkamah yang tidak dimansuhkan, hanya khalifah Umar sahaja yang memansuhkan nikah mut'ah pada masa pemerintahannya. Oleh itu, ijtihadnya adalah menyalahi nas, dengan itu kata-kata al-Suyuti bahawa khalifah Umar adalah orang yang pertama mengharamkan nikah mut'ah adalah wajar dan menepati nas. Walau bagaimanapun saya sama sekali tidak menggalakkan sesiapapun untuk melakukannya, ini adalah urusan individu.




2 comments:

  1. kalau berdasarkan Q.S 4:24 maka hukum mut'ah belum jatuh pada halal tapi MUBAH (boleh), artinya dilaksanakan atau tidak tidak berdosa dan tidak berpahala, maka saya heran kenapa ulama syiah berani mengeluarkan fatwa siapa yang bermut'ah satu kali derajatnya sama dg Husein dan siapa yang bermut'ah 4 kali derajatnya sama dengan rasullullah w.a.s, karena fatwa inilah yg menyebabkan fasrah menurut nafsu laki-laki berduit. sebab pada hakikatnya dalam praktek nikah mut'ah pihak wanita dalam pihak lemah : nikah tidak dengan wali, nikah tidak pakai saksi, suami tidak wajib beri nafkah, cerai tampa talak. kalau anak hasil pernikahan tersebut siapa yang memelihara. dari kenyataan apa beda dengan nikah anjing atau kucing?. kalau sudah hamil si pejantan tidak lagi menegok betino yang pernah dinikahi berapa minggu yg lalu. Sekarang coba cabut fatwa ulama syi'ah tersebut pasti wanita tidak mau nikah mut'ah, kecuali memang prpesi sbagai wts. Agama islam diperlukan akal maka lebih 32 kali allah bertanya apala ta'qulun? (apakah ulama syiah tak berakal). Semua komentar saya di web syi'ah sebagian besar dihapus, apah ini dihapus juga silahkan.

    ReplyDelete
  2. ust ,tanya sedikit
    ,.apa kah rasullah pernah melakukan nikah mut'ah?
    ,.benarkah sebelum nikah mut'ah di larang sama umar tidak ada yg berzina?
    ,.apa kah penulis ini sudah pernah melakukan nikah mut'ah?
    terimkasih banyak,

    ReplyDelete