5 09 2011
Oleh Jalaluddin Rakhmat
Pada tahu keenam hijrah, Nabi Muhammad SAW. Bermaksud melakukan ibadah haji. Jamaah haji yang pertama ini berhenti di hudaibiyah untuk memulai ihram. Mekkah masih dikuasai kaum musyrik. Walupun Nabi menegaskan kedatangannya hanya untuk berhaji, berat bagi mereka untuk menyaksikan seorang warga yang pernah diusir datang dengan segala kebesaran. Mereka memandang, haji Nabi bukan sekadar ritual tapi politis.
Melihat permusuhan yang diperlihatkan orang Mekkah, Nabi mengadakan taklimat kilat. Para sahabat bersumpah setia untuk membela Nabi. Suatu komitmen politik yang penting. Sumpah setia ini dikenal sebagai baiat Ridhwan. Ketegangan antara kedua belah pihak berakhir ketika Rasul Allah membuat perjanjian hudaibiyah.
Setahun kemudan, sesuai dengan perjanjian itu, Nabi sekali lagi datang untuk melakukan umrah. Penduduk mekkah menyingkir ke bukit-bukit sambil mengintip, apa yang bakal dilakukan umat islam. Setelah perjalanan jauh, tentu saja para sahabat memasuki Mekkah dalam keadaan lelah. Tetapi, Nabi menyuruh sahabat tawaf sambil berlari. Ketika sa’I, diantara kedua titik yang ditandai dengan tiang hijau yang dahulu kelihatan jelas oleh “penonton” dari balik bukit, para sahabat disuruh berlari juga. Nabi ingin menunjukkan kekuatan umat islam. Semacam “show of force” . Setahun setelah itu, Rasulullah dan pengikutnya memang berhasil menaklukkan Mekkah tanpa perlawanan yang berarti. Apa yang dilakukannya pada umrah al-Qadha, telah berdampak politik yang besar.
Setahun kemudan, sesuai dengan perjanjian itu, Nabi sekali lagi datang untuk melakukan umrah. Penduduk mekkah menyingkir ke bukit-bukit sambil mengintip, apa yang bakal dilakukan umat islam. Setelah perjalanan jauh, tentu saja para sahabat memasuki Mekkah dalam keadaan lelah. Tetapi, Nabi menyuruh sahabat tawaf sambil berlari. Ketika sa’I, diantara kedua titik yang ditandai dengan tiang hijau yang dahulu kelihatan jelas oleh “penonton” dari balik bukit, para sahabat disuruh berlari juga. Nabi ingin menunjukkan kekuatan umat islam. Semacam “show of force” . Setahun setelah itu, Rasulullah dan pengikutnya memang berhasil menaklukkan Mekkah tanpa perlawanan yang berarti. Apa yang dilakukannya pada umrah al-Qadha, telah berdampak politik yang besar.
Pada tahun 10H, Nabi Muhammad SAW melakukan ibadah haji akbar. Karena haji ini haji yang terakhir, ahli sejarah menyebutnya haji wada. Di Arafah, Nabi berkhotbah juga khotbah perpisahan. Apa yang dikatakan Nabi dalam khotbah itu? Sama sekali tidak berkenaan dengan ibadah ritual. Nabi memulai khotbahnya dengan menekankan kewajiban menghormati darah dan kehormatan seseorang. Sekarang, kita menyebutnya masalah hak asai manusia. Nabi meminta perhatian jamaah haji pada system ekonomi jahiliyah yang tidak adil yang diwujudkan pada praktek riba. Nabi juga berbicara tentang hak-hak wanita dan berpesan pada kaum mukmin untuk melindungi dan menghormati mereka. jadi, khotbah Nabi berkenaan dengan persoalan politik, ekonomi, dan sosial.
Di Mina, pada hari penyembelihan kurban, turun ayat “Baraah”, artinya dekrit pembebasan dari ketergantungan kepada kaum musyrik. Baraah adalah proklamasi kemerdekaan tanah suci. Di sana di bukit Mina, Ali bin Abi Thalib berdiri menyampaikan dekrit Nabi yang berisi antara lain: orang musyrik tidak boleh mendekati Baitullah, tidak boleh tawaf sambil telanjang, dan setiap perjanjian harus dipenuhi. Ali juga membacakan ayat Baraah: Dan pengumuman dari Allah dan utusan-Nya kepada manusia pada waktu haji akbar bahwa Allah berlepas diri dari kaum musyrik; begitu pulautusan-Nya..(9:3)
Tradisi ini dilanjutkan oleh para sahabat sepeninggal Nabi. Umar bin khatab memanggil Amr bin Ash – gubernur Mesir- pada musim haji dan memintanya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan anaknya. Seorang warga mesir mengadu kepada khalifah bahwa anak Amr telah menjebloskannya ke penjara. Umar menghukum anak gubernur dengan cambukan di hadapan para jamaah haji.
Waktu itu, Umar berkata, “hai Amr, mengapa engkau memperbudak manusia padahal ibunya telah melahirkannya sebagai orang merdeka.”
Utsman bin Affan pernah mengirim surat ke raja daerah kekuasaan islam. Ia mengimbau rakyat untuk mengadukan segala perilaku birokrat yang merugikan rakyat.” Bila ada yang pernah dicacimaki atau dianiaya.” Tulislah dan, “datanglah pada musim haji supaya ia dapat mengambil haknya dari aku dan dari para pejabatku.”
Mengomentari kedua khalifah itu, Dr. Baidhawi dalam Al Ibadah fi al islami menulis, “ para khalifah menyadari nilai musim haji internasional ini. Mereka jadikan haji sebagai tempat pertemuan antara mereka dan rakyat yang datang dari sudut-sudut negeri yang jauh; antara mereka dan para pejabat mereka dari berbagai daerah. Bila ada orang yang tertindas atau ingin mengadukan halnya, ia dapat menemui khalifah tanpa perantara dan tanpa penghadang. Di sanalah rakyat dapat berhadapan dengan khlifah tanpa segan atau takut. Di situ, yang dianiaya dilindungi dan hak dikembalikan walaupun hal itu harus diambil dari pejabat atau bahkan khalifah.
Menurut Al Quran, memang, ibadah haji memerintahkan “ agar mereka menyaksikan berbagai manfaat buat mereka dan berdzikir ( menyebut nama Allah) pada hari-hari yang ditentukan (Al-Haj 28) . serta para mufasir, ayat ini menyebutkan dua dimensi yaitu dimensi manfaat dan dimensi dzikir . Thabary, tafsir klasik, menyebut manfaat itu meliputi dunia dan akhirat. Syaltut. Syaikh Al- Azhar yang terkenal, meyebut dimensi-dimensi ipoleksosbud sebagai kandungan makna “manfaat”. Pada waktu hajilah kata Syaltut, bertemu para pemikir dan ilmuwan dan para ahli lainnya, inilah konferensi umat manusia yang terbesar.
Sayang, belakangan dimensi manfaat ini sudah diabaikan. Yang ditonjolkan – bahkan ditegaskan berkali kali untuk selalu diingat oleh para jamaah – adalah dimensi dzikir. Bila anda berangkat haji, niatkanlah hanya untuk ibadah haji. Bila anda pulang, pengalaman rohani sajalah yang harus anda ceritakan. Bagian pertama ayat itu seakan-akan sudah dicoret. Pedagang Indonesia dari berbagai daerah yang berjualan disekitar Masjid Al-Haram. Sekarang tidak. Dahulu, jamaah haji berbincang tentang situasi negeri mereka dan beberapa orang diantaranya pulang kenegerinya menjadi pejuang-pejuang kemerdekaan. Sekarang tidak. Bila ada juga diskusi antara para jamaah, yang didiskusikan adalah cara-cara ritual haji; tidak jarang sambil saling menyalahkan.
Untunglah itu semua terjadi pada masyarakat awam. Ketika para menteri naik haji, kita tahu mereka berbincang dengan para pejabat di Arab Saudi bukan hanya tentang haji. Ketika para pemimpin islam berkumpul di Mekkah, mereka bukan melulu merundingkan prosedur umrah dan haji.[]
No comments:
Post a Comment