5 09 2011
Jalaluddin Rakhmat
“Dan ibadah haji ke Rumah itu wajib bagi manusia karena Allah (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan kesana” ( Ali Imran 96). Apakah ukuran mampu itu? Para sahabat Nabi SAW. Menyebutkan dua: ada bekal dan kendaraan. Tetapi Al-Dhahak, ulama besar yang pernah berguru kepada sahabat, hanya mensyaratkan tubuh yang sehat dan tenaga. Bila perlu, berangkatlah ke Baitullah walaupun berjalan kaki.
Sepanjang sejarah bekal dan kendaraan tidak menjadi keharusan. Ribuan muslim dari Afrika, Yaman, dan Negara-negara Timur-Tengah lainnya berangkat ke Mekah dengan berjalan kaki. Mereka tidur disekitar Masjidilharam, hanya dinaungi langit Hijaz yang tak berwarna. Burung-burung merpati melompat-lompat di samping kepala mereka. Rambut mereka berdebu, dan pakaian mereka lusuh. Tetapi barangkali merekalah yang menurut sebuah hadits di seru Tuhan pada hari Arafah, “ Hamba-hambaku datang kepadaku dengan rambut kusut dan pakaian lusuh dari sudut-sudut negeri yang jauh. Berangkatlah, wahai, hamba-hambaku, dengan ampunan-KU atasmu.” Mereka berseedia berangkat tanpa bekal yang cukup dan siap menderita untuk memperoleh ampunan Allah.
Di Indonesia, banyak orang beruntung naik haji juga tanpa mempersiapkan bekal. Mereka diberi bekal dan tidak menderita. Ada lima jenis haji dalam kelompok ini. Jenis pertama adalah orang yang beruntung naik haji karena ditunjuk pemerintah untuk menjadi anggota tim pembimbing haji atau petugas yang melayani kepentingan jemaah. Orang – orang yang tidak kebagian jatah biasanya menyebut mereka itu “haji nurdin kosasih”- nutur dinas ongkos dikasih. Jenis kedua sebut saja haji getter. Mirip vote getter dalam pemilu. Mereka adalah tokoh umat Islam yang dipilih oleh perusahan ONH plus untuk menarik “konsumen” (Resminya, untuk menyertai dan membimbing jemaah) . jenis ketiga adalah “ haji bonus”. Mereka dapat naik haji karena memenangkan perlombaan (misalnya juara MTQ ) atau hadiah perusahaan atau bank. Jenis keempat adalah haji “rekanan”. Anda memegang jabatan yang basah. Rekan Anda telah mendapat fasilitas yang menguntungkan dari Anda. Ia menyampaikan terima kasihnya dengan memberi Anda bekal naik haji- kalau perlu, berikut keluarga Anda. Jenis yang terakhir adalah yang paling beruntung- “ haji bisnis”. Mereka adalah penyelenggara bisnis haji. Mereka berangkat ke Mekah, melakukan ibadah haji, dan memperoleh keuntungan. Mereka sudah jelas mendapatkan fiddunya hasanah dan mudah- mudahan fil akhirati hasanah juga.
Apakah mereka termasuk kategori orang –orang yang mampu? Tentu saja. Kemampuan sekarang harus didefinisikan kembali. Anda sudah mampu bila Anda dapat sampai ke Tanah Suci dengan cara apa saja yang halal. Manakah yang mabrur-yang mempersiapkan bekal atau yang diberi bekal? Yang berjalan kaki atau berkendaraan, yang mendapat ratusan juta dari pembebasan tanah atau yang menabung puluhan tahun, yang memanfaatkan peluang sebagai TKI (TKW) di Arab Saudi atau yang datang ke sana dengan penerbangan regular dari mancanegara, yang tinggal di hotel Aziz Khogeer yang megah atau yang berdesakan di kamar rumah-rumah kumuh di Syi’b Ali?
Mabrurnya haji tak diukur dari cara memperoleh bekal, tidak dari tempat tinggal, tidak juga dari tingkat kepayahan. Haji adalah perjalanan rohani dari rumah-rumah yang selama ini mengungkung mereka menuju Rumah Tuhan. Haji yang mabrur adalah haji yang berhaasil mencampakkan sifat- sifat hewaniah dan menyerap sifat-sifat robaniah( ketuhanan). Ketika Abu Bashir terpesona mendengarkan gemuruh zikir orang-orang tawaf, Imam ja’far As- Shadiq mengusap wajahnya. Ia terkejut karena ia kemudian menyaksikan banyak sekali binatang di sekitar Baitullah. Ia sadar bahwa zikir saja tidak cukup untuk mabrur. Diperlukan trasformasi spiritual.
Kepada Asy-Syibli yang baru kembali dari menunaikan ibadah haji, Imam Zainal Abidin – sufi besar dari keluarga Nabi bertanya, “Ketika engkau sampai di miqat dan menanggal pakaian berjahit, apakah engkau berniat meniggalkan pakaian kemaksiatan dan mulai mengenakan busana ketaatan? Apakah engkau tanggalkan riya (suka pamer), kemunafikan, dan Syubhat? Ketika engkau berihram apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan Allah SWT? Ketika engkau menuju Mekah apakah engkau berniat untuk berjalan menuju Allah dan ketika engkau memasuki Masjidil Haram apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak akan menggunjingkan sesama umat Islam? Ketika engkau sa’i apakah engkau merasa sedang lari menuju Tuhan diantara cemas dan harap? Ketika engkau wukuf di Arafah adakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan yang kau sembunyikan dalam hatimu? Ketika engkau berangkat ke Mina apakah engkau bertekad untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidahmu, tanganmu dan hatimu? Dan ketika engkau melempar Jumrah, Apakah engkau berniat memerangi iblis dalam sisa hidupmu? “ Ketika untuk semua pertanyaan itu Asy- Syibli menjawab tidak, Imam Zainal Abidin mengeluh, “ Ah… engkau belum ke miqat, belum ihram, belum tawaf, belum sa’i, belum wukuf, dan belum sampai ke Mina.” Asy- Syibli menangis. Pada tahun berikutnya ia berniat merevisi manasik hajinya.
Dalam manasik keluarga Nabi, yang menjadi persoalan bukan lagi kemampuan untuk mendapat bekal dan kendaraan tetapi kesanggupan meninggalkan rumah-rumah kita yang kotor supaya bisa beristirahat di Rumah Allah yang suci. Bila berhasil, Anda Mabrur.[]
Dalam manasik keluarga Nabi, yang menjadi persoalan bukan lagi kemampuan untuk mendapat bekal dan kendaraan tetapi kesanggupan meninggalkan rumah-rumah kita yang kotor supaya bisa beristirahat di Rumah Allah yang suci. Bila berhasil, Anda Mabrur.[]
No comments:
Post a Comment