|
Sep 6, '08 11:56 PM
for everyone |
Ya Allah,
Janganlah Engkau putuskan dariku kebaikan-
Mu, ampunan-Mu, dan kasih sayang-Mu.
Wahai Zat, yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu
Wahai Tuhanku, anugrahkan kepadaku hati yang khusyu dan keyakinan yang tulus
Jangan Kau buat aku lupa untuk berzikir kepada-Mu
Jangan Kau biarkan aku dikuasai oleh selain-Mu
Jadilah Engkau sahabat pada saat-saat kesepianku
Jadilah Engkau benteng pada saat-saat ketakutanku
Selamatkan aku dari segala bencana dan kesalahan
Lindungilah aku dari segala ketergelinciran
Jagalah aku dari datangnya ancaman
Palingkanlah dari diriku pedihnya azab-Mu
dan muliakanlah aku dengan memelihara
kitab suci-Mu yang mulia
dan bereskanlah bagiku agamaku, duniaku, dan akhiratku
Semoga shalawat dan salam disampaikan kepada Muhammad saw
dan keluarganya yang suci.
Janganlah Engkau putuskan dariku kebaikan-
Mu, ampunan-Mu, dan kasih sayang-Mu.
Wahai Zat, yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu
Wahai Tuhanku, anugrahkan kepadaku hati yang khusyu dan keyakinan yang tulus
Jangan Kau buat aku lupa untuk berzikir kepada-Mu
Jangan Kau biarkan aku dikuasai oleh selain-Mu
Jadilah Engkau sahabat pada saat-saat kesepianku
Jadilah Engkau benteng pada saat-saat ketakutanku
Selamatkan aku dari segala bencana dan kesalahan
Lindungilah aku dari segala ketergelinciran
Jagalah aku dari datangnya ancaman
Palingkanlah dari diriku pedihnya azab-Mu
dan muliakanlah aku dengan memelihara
kitab suci-Mu yang mulia
dan bereskanlah bagiku agamaku, duniaku, dan akhiratku
Semoga shalawat dan salam disampaikan kepada Muhammad saw
dan keluarganya yang suci.
Doa di atas adalah salah satu dari kumpulan doa
yang disampaikan oleh Imam Ali kw. Saya mengambilnya dari sebuah buku berjudul
Ad’iyatul Imam Ali, doa-doa Imam Ali. Salah satu kelebihan mazhab Ahlul Bait
dibandingkan dengan mazhab-mazhab yang lain adalah perbendaharaan doa-nya.
Selain panjang, doa-doa Ahlul Bait disusun dengan bahasa yang sangat indah.
Karena itu, seharusnya para pengikut Ahlul Bait paling tidak hapal satu dari
doa-doa yang panjang itu. Kita dapat mengambil salah satu dari doa itu dan
menjadikannya sebagai wirid kita.
Kita telah mengenal doa-doa dari
Imam Ali Zainal Abidin yang disebut dengan Shahîfah Sajjâdiyah. Kemudian kita
kenal juga doa-doa dari Imam Ja’far Al-Shadiq yang dikenal dengan nama Shahîfah
Sâdiqiyyah. Ada pula doa-doa dari Sayyidah Fathimah as yang disebut dengan
Shahîfah Al-Zahra. Doa yang akan dibahas kali ini saya ambil dari Shahîfah
‘Alâwiyah, kumpulan doa Imam Ali kw.
Karena doa ini panjang, saya akan membahas beberapa
bagian dari doa ini saja. Inilah awal dari doa tersebut: Ya Allah, janganlah
Engkau putuskan dariku kebaikan-Mu, ampunan-Mu, dan kasih sayang-Mu. Wahai Zat
yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu.
Sepanjang hari kita memperoleh kebaikan Allah terus
menerus. Kesehatan, misalnya. Bila kita sakit, itu artinya kebaikan Allah yang
berupa kesehatan itu terputus. Kita mulai doa ini dengan rasa takut akan
diambil-nya karunia Allah dari kita. Allah tidak pernah mengambil seluruh
anugrah-Nya. Dia hanya memutuskan sebagian saja kebaikannya sebagai peringatan
kepada kita.
Dalam doa tersebut, kita menyeru Tuhan yang kasih
sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Seperti juga disebutkan dalam Doa Kumail,
Allah adalah Sarî’ar ridhâ, Yang paling cepat rida-Nya. Tuhan murka melihat
kemak-siatan kita, tetapi dia lebih cepat rida akan kita. Dalam sebuah hadis
Qudsi, Allah swt berfirman, “Aku sudah marah melihat kemaksiatan penduduk bumi
ini. Aku akan hancurkan bumi ini. Tapi aku melihat masih ada bayi-bayi yang
menetek kepada susu ibunya. Aku masih melihat orang-orang tua yang sujud dan
ruku kepadaku. Berhentilah kemurkaanku.”
Kasih sayang Tuhan meliputi segala sesuatu. Karena
itu di dalam mazhab Ahlul Bait, kita tidak boleh bersandar sepenuhnya kepada
amal kita. Amal-amal kita tidak akan cukup untuk memperoleh kasih sayang Allah
swt. Amal yang kita lakukan terlalu sedikit. Maksiat kita mungkin jumlahnya
jauh lebih besar. Kita harus bersandar pada ampunan Allah. Amal kita ini,
selain sedikit jumlahnya dan rendah kualitasnya, juga digerogoti oleh
keburukan-keburukan kita.
Karena sedikitnya amal-amal manusia dibandingkan
kemaksiatannya, ketika meng-hadapi orang yang meninggal, kita tidak dianjurkan
untuk berdoa, “Ya Allah, berilah balasan yang setimpal dengan amal
perbuatan-nya.” Melainkan kita dianjurkan berdoa, “Ya Allah, jenazah yang
terbujur di hadapan-Mu ini adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu juga. Dia sudah
datang menemui-Mu dan Engkaulah yang paling baik ditemuinya. Jika dia orang
yang banyak berbuat baik, lipat gandakan pahala kebaikannya. Dan jika dia orang
yang pernah berbuat salah, maafkanlah segala kesalahannya.”
Selanjutnya dalam doa Imam Ali kw di atas
disebutkan: Wahai Tuhanku, anugrahkan kepadaku hati yang khusyu dan keyakinan
yang tulus. Kita meminta kepada Allah agar dikaruniai hati yang khusyu.
Kata khusyu berasal dari kata khasya’a yang artinya
takut. Seperti disebutkan dalam ayat Al-Quran: Wujûhun yaumaizin khâsyi’ah.
Wajah-wajah pada hari itu ketakutan. (QS. Al-Ghasyiyah 2) Khâsyi’an berarti
hati yang dipenuhi rasa takut; takut akan Allah swt dan takut bila masa
hidupnya takkan sempat untuk mengumpulkan bekal buat hari akhir.
Dalam kitab Ihyâ Ulumuddîn, Imam Ghazali menurunkan
kisah-kisah tentang orang yang khusyu. Di antaranya adalah tentang kekhusyuan
Imam Ali Zainal Abidin as. Diriwayatkan ketika Imam berwudlu hendak salat,
tubuhnya selalu bergetar. Orang-orang bertanya, “Mengapa tubuhmu bergetar
seperti itu?” Imam menjawab, “Engkau tidak tahu di hadapan siapa sebentar lagi
aku akan berdiri.” Hatinya dipenuhi rasa takut luar biasa karena ia akan menemui
Allah swt di dalam salatnya. Wajahnya menjadi pucat pasi dan hatinya berguncang
keras.
Dalam kitab Futûhatul Makiyyah, karya Ibnu Arabi,
juga diceritakan kisah-kisah tentang orang yang khusyu. Salah satunya adalah
kisah tentang seorang pemuda belia yang mempelajari tasawuf kepada gurunya.
Pada suatu pagi, pemuda itu menemui gurunya dalam keadaan pucat pasi. Anak muda
itu berkata, “Semalam, aku khatamkan Al-Quran dalam salat malamku.” Gurunya
berkata, “Bagus. Kalau begitu, aku sarankan nanti malam bacalah Al-Quran dan
hadirkan seakan-akan aku berada di hadapanmu dan men-dengarkan bacaanmu.” Esok
harinya, pemuda itu mengeluh, “Ya Ustadz, tadi malam saya tidak sanggup
menyelesaikan Al-Quran lebih dari setengahnya.” Gurunya menjawab, “Kalau
begitu, nanti malam bacalah Al-Quran dan hadirkan di hadapanmu para sahabat
Nabi yang mendengarkan Al-Quran itu langsung dari Rasulullah saw.” Keesokan
harinya, pemuda itu berkata, “Ya Ustadz, semalam aku tak bisa menyelesaikan
sepertiga dari Al-Quran itu.” “Nanti malam,” kata gurunya, “bacalah Al-Quran
dengan menghadirkan Rasulullah saw di hadapanmu, yang kepadanya Al-Quran itu
turun.” Esok paginya pemuda itu bercerita, “Tadi malam aku hanya bisa
menyelesaikan Al-Quran itu satu juz saja. Itu pun dengan susah payah.” Sang guru
kembali berkata, “Nanti malam, bacalah Al-Quran itu dengan meng-hadirkan
Jibril, yang diutus Tuhan untuk menyampaikan Al-Quran kepada Rasulullah saw.”
Esoknya, pemuda itu bercerita bahwa ia tak sanggup menyelesaikan satu juz
Al-Quran. Gurunya lalu berkata, “Nanti bila engkau membaca Al-Quran, hadirkan
Allah swt di hadapanmu. Karena sebetulnya yang men-dengarkan bacaan Al-Quran
itu adalah Allah swt. Dialah yang menurunkan bacaan itu kepadamu.” Esok
harinya, pemuda itu jatuh sakit. Ketika gurunya bertanya, “Apa yang terjadi?”
Anak muda itu menjawab, “Aku tak bisa menyelesaikan hatta Al-Fatihah sekalipun.
Ketika hendak kuucapkan iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în, lidahku tak sanggup.
Karena aku tahu hatiku tengah berdusta. Dalam mulut, kuucapkan: Tuhan, kepadamu
aku beribadat, tapi dalam hatiku aku tahu aku sering memperhatikan selain Dia.
Ucapan itu tidak mau keluar dari lidahku. Sampai terbit fajar, aku tak bisa
menyelesaikan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. ” Tiga hari kemudian, anak
muda itu meninggal dunia.
Sebetulnya yang diceritakan guru itu kepada
muridnya adalah cara memperoleh hati yang khusyu. Hati yang khusyu adalah hati
yang sanggup menghadirkan Allah swt di hadapan kita. Hal itu membutuhkan
riyadhah-riyadhah terlebih dahulu. Sekarang kita paham mengapa dalam tarekat,
kita harus menghadir-kan guru di dalam doa-doa kita. Hal itu sebenarnya adalah
suatu latihan. Sulit bagi kita untuk menghadirkan Allah swt sekaligus, kita
mulai dengan menghadirkan guru kita terlebih dahulu.
Kekhusyuan sering kali datang ketika kita
digoncangkan kesulitan hidup. Penderitaan itu bagus karena membuat hati kita
lebih khusyu dalam beribadah kepada Allah swt. Orang yang jarang menderita akan
sulit memperoleh kekhusyuan. Kesenangan membuat hati kita keras seperti batu.
Salah satu indikator kekhusyuan adalah tangisan.
Walaupun tidak semua yang menangis itu karena khusyu. Anak-anak, misalnya,
menangis bukan karena khusyu, melainkan karena dijewer oleh orang tuanya. Kita
pun boleh menangis dengan tangisan karena jeweran. Tuhan ‘menjewer’ kita dengan
penderitaan hidup. Kita lalu menangis, kita adukan penderitaan kita kepada
Allah swt. Pada perkembangannya, tangisan itu lalu berproses; dari tangisan
anak kecil menjadi tangisan karena kekhusyuan.
Penderitaan itu berguna untuk melembutkan hati
kita. Seperti bunyi salah satu puisi Rumi:
Bunga-bunga
mawar di taman takkan pernah merekah
Sebelum langit menurunkan air matanya
Bayi-bayi itu takkan pernah diberi susu
Sebelum mereka menangis terlebih dahulu
Maka menangislah kamu
Supaya Sang Perawat Agung datang memberikan padamu
Limpahan susu kasih sayang-Nya.
Sebelum langit menurunkan air matanya
Bayi-bayi itu takkan pernah diberi susu
Sebelum mereka menangis terlebih dahulu
Maka menangislah kamu
Supaya Sang Perawat Agung datang memberikan padamu
Limpahan susu kasih sayang-Nya.
Menderita dan menangis itu perlu. Itulah sebabnya
mengapa kaum muslimin sekarang di seluruh dunia, seperti di Aceh, Ambon,
Kosovo, dan Chechnya, sedang menderita. Derita itu dimaksudkan supaya mereka
bisa meraih lagi kekhusyuan yang hilang. []
Suatu hari Rasulullah saw masuk ke rumah Sayyidah
Fathimah as. Ketika itu, Fathimah sudah berbaring untuk tidur. Rasulullah saw
lalu berkata, “Wahai Fathimah, lâ tanâmi. Janganlah engkau tidur sebelum engkau
lakukan empat hal; mengkhatam Al-Quran, memperoleh syafaat dari para nabi,
membuat hati kaum mukminin dan mukminat senang dan rida kepadamu, serta
melakukan haji dan umrah.”
Fathimah bertanya, “Bagaimana mungkin aku melakukan
itu semua sebelum tidur?” Rasulullah saw menjawab, “Sebelum tidur, bacalah oleh
kamu Qul huwallâhu ahad tiga kali. Itu sama nilainya dengan mengkhatam
Al-Quran.” Yang dimaksud dengan Qul huwallâhu ahad adalah seluruh surat
Al-Ikhlas, bukan ayat pertamanya saja. Dalam banyak hadis, seringkali suatu
surat disebut dengan ayat pertamanya. Misalnya surat Al-Insyirah yang sering
disebut dengan surat Alam nasyrah.
Rasulullah saw melanjutkan ucapan-nya, “Kemudian
supaya engkau mendapat syafaat dariku dan para nabi sebelumku, baca-lah
shalawat: Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad wa ‘alâ âli Muhammad, kamâ shalayta
‘alâ Ibrâhim wa ‘alâ âli Ibrâhim. Allâhumma bârik ‘alâ Muhammad wa ‘alâ âli
Muhammad, kamâ bârakta ‘alâ Ibrâhim wa ‘alâ âli Ibrâhim fil ‘âlamina innaka
hamîdun majîd.
“Kemudian supaya kamu memperoleh rasa rida dari
kaum mukminin dan mukminat, supaya kamu disenangi oleh mereka, dan supaya kamu
juga rida kepada mereka, bacalah istighfar bagi dirimu, orang tuamu, dan
seluruh kaum mukminin dan mukminat.”
Tidak disebutkan dalam hadis itu istighfar seperti
apa yang harus dibaca. Yang jelas, dalam istighfar itu kita mohonkan ampunan
bagi orang-orang lain selain diri kita sendiri. Untuk apa kita memohon ampunan
bagi orang lain? Agar kita tidur dengan membawa hati yang bersih, tidak membawa
kebencian atau kejengkelan kepada sesama kaum muslimin. Kita mohonkan ampunan
kepada Allah untuk semua orang yang pernah berbuat salah terhadap kita. Hal itu
tentu saja tidak mudah. Sulit bagi kita untuk memaafkan orang yang pernah
menyakiti hati kita. Bila kita tidur dengan menyimpan dendam, tanpa memaafkan
orang lain, kita akan tidur dengan membawa penyakit hati. Bahkan mungkin kita
tak akan bisa tidur. Sekalipun kita tidur, tidur kita akan memberikan mimpi
buruk bagi kita. Penyakit hati itu akan tumbuh dan berkembang ketika kita
tidur. Dari penyakit hati itulah lahir penyakit-penyakit jiwa dan
penyakit-penyakit fisik. Orang yang stress harus membiasakan diri memohonkan
ampunan kepada Allah untuk orang-orang yang membuatnya stress sebelum ia
beranjak tidur.
Dalam hadis itu tidak dicontohkan istighfar macam
apa yang harus kita baca. Tapi ada satu istighfar yang telah dicontohkan oleh
orang tua-orang tua kita di kampung. Biasanya setelah salat maghrib, mereka
membaca: “Astaghfirullâhal azhîm lî wa lî wâlidayya wa lî ashâbil huqûqi
wajibâti ‘alayya wal masyâikhina wal ikhwâninâ wa li jamî’il muslimîna wal
muslimât wal mukminîna wal mukminât, al ahyâiminhum wal amwât. Ya Allah, aku
mohon-kan ampunan pada-Mu bagi diriku dan kedua orang tuaku, bagi semua keluarga
yang menjadi kewajiban bagiku untuk mengurus mereka. Ampuni juga guru-guru
kami, saudara-saudara kami, muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, baik
yang masih hidup maupun yang telah wafat.”
Bila kita amalkan istighfar itu sebelum tidur,
paling tidak kita telah meminta ampun untuk orang tua kita. Istighfar kita,
insya Allah, akan membuat orang tua kita di alam Barzah senang kepada
kita. Istighfar itu pun akan menghibur mereka dalam perjalanan mereka di alam
Barzah. Ma
Nasihat terakhir dari Rasulullah saw kepada
Fathimah adalah, “Sebelum tidur, hendaknya kamu lakukan haji dan umrah.”
Bagaimana caranya? Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang membaca subhânallâh wal
hamdulillâh wa lâ ilâha ilallâh huwallâhu akbar, ia dinilai sama dengan orang
yang melakukan haji dan umrah.”
Menurut Rasulullah saw, barangsiapa yang membaca
wirid itu lalu tertidur pulas, kemudian dia bangun kembali, Allah meng-hitung
waktu tidurnya sebagai waktu berzikir sehingga orang itu dianggap sebagai orang
yang berzikir terus menerus. Tidurnya bukanlah tidur ghaflah, tidur kelalaian,
tapi tidur dalam keadaan berzikir. Sebetulnya, bila sebelum tidur kita membaca
zikir, tubuh kita akan tertidur tapi ruh kita akan terus berzikir. Sekiranya
orang itu terbangun di tengah tidurnya, niscaya dari mulut orang itu akan
keluar zikir asma Allah. []
Alkisah, Maulana Jalaluddin Rumi sedang berkumpul
bersama para pengikutnya. Tiba-tiba seorang pria lusuh datang dan bergabung di
majelis itu. Dari pakaiannya yang kotor dan kumuh, terlihat bahwa ia berasal
dari perkampungan miskin. Lelaki itu tak pernah berada di majelis Rumi
sebelumnya, tapi ia menunjukkan perhatian yang besar kepada ucapan-ucapan
Maulana. Maulana lalu bertanya apakah lelaki itu mempunyai pertanyaan yang
hendak ia ajukan.
“Tuanku, aku telah dengar banyak hal yang
membingungkan tentang istilah syaikh, murid, ‘asyiq, dan muhib. Dapatkah kau
jelas-kan makna istilah-istilah itu?” lelaki itu bertanya.
“Baiklah,” Maulana berkata, “duduklah engkau di
sana dan bila telah tiba waktunya, atas izin Allah, aku akan mencoba
menjawab-nya.”Pembicaraan di majelis itu pun dilanjutkan. Tiba-tiba Maulana
berhenti dan berkata kepada salah seorang pengikutnya, “Anakku, kita mempunyai harta
di Spanyol. Maukah kau pergi ke sana dan membawanya kemari?”
Tentu saja pada masa itu, pada abad ketiga belas
Masehi, perjalanan ke Spanyol adalah perjalanan yang amat berat dan penuh
bahaya. Darwisy pengikut Rumi itu menjawab, “Tuan, aku tak tahu di mana Spanyol
itu berada. Bagaimana aku bisa menemukan jalanku ke sana?”
“Ya Tuhan, engkau benar. Saat ini, perjalanan
seperti itu hampir tak mungkin dilakukan. Sudahlah, tak apa-apa.” Rumi
melanjutkan lagi pembicaraannya. Tapi sejenak kemudian ia berpaling ke salah
seorang pengikutnya dan berkata lagi, “Anakku, kita memiliki warisan di
Spanyol. Maukah kau pergi ke sana dan mengambilnya?”
“Guru,” sang darwisy menjawab, “bukankah Anda telah
mengatakan bahwa hal itu hampir tak mungkin?”
“Oh, kau benar. Di masa ini, hal seperti itu akan
luar biasa sulit. Maafkan aku.” Akhirnya, setelah beberapa saat, Maulana
menoleh ke arah orang kampung itu dan berkata, “Maukah kau pergi dan
mengambilnya?”
Pria miskin itu hanya berkata singkat, “Baiklah.”
Ia bangkit dan meminta izin untuk berangkat. Ia berpikir, “Maulana adalah orang
hebat. Ia pasti punya alasan yang kuat untuk menyuruhku melakukan hal seperti
ini.”
Dan pergilah ia menuju Spanyol. Tak lama setelah ia
berjalan, datanglah seorang penunggang kuda dan menawarkan tumpang-an ke arah
pelabuhan. Di pelabuhan, lelaki itu menemukan sebuah kapal yang akan bertolak
ke Spanyol. Ia bekerja sebagai anak buah di kapal itu. Akhirnya, tibalah ia di
Spanyol, ia berkelana ke berbagai kota dan suatu hari, ia bertemu dengan
seseorang yang terlihat amat gembira.
“Terima kasih Tuhan,” orang itu berkata, “akhirnya
sampai juga kau ke sini. Aku telah menantimu.”Terkejut, pria miskin itu
bertanya, “Mengapa?”
“Lho, bukankah kau orang yang dikirim Maulana untuk
mengambil harta? Ayo ikut aku ke rumah sekarang.”
Di rumahnya, orang asing itu menge-luarkan dua peti
emas milik Maulana dan memberikan beberapa keping uang untuk perjalanan pulang,
tapi ia juga mengundang sang pria miskin untuk istirahat beberapa hari di
kotanya sebelum kembali.
Keheranan, pria miskin kembali bertanya, “Aku
mohon, dapatkah kau jelaskan padaku apa yang telah terjadi?”
“Beberapa tahun yang lalu, aku adalah seorang
kapten kapal.” orang asing itu memulai kisahnya. “Suatu hari, kapalku dihantam
badai yang ganas. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kapal ini
agar tak tenggelam, tapi kelihatannya usaha itu sia-sia. Hampir putus asa, aku
berdoa. Tiba-tiba aku ingat seorang suci yang tinggal di Anatolia. Ialah
kekasih Tuhan yang mampu memberikan pertolongan kepada siapa saja yang
meminta-nya. Meski aku tak mengenalnya secara dekat, aku memanggilnya di lubuk
hatiku. Segera setelah itu, badai mereda. Lautan kembali tenang. Aku mengangkat
kepalaku dengan lega. Di atas tiang kapal, aku melihat seseorang berserban
hijau yang berputar-putar dengan agung di atas kepalaku. Aku tak perlu
bertanya, aku sudah tahu dialah orang suci yang kupanggil. Aku tak tahu apa
yang harus aku persembahkan sebagai rasa terima kasihku, aku lalu
menjanjikannya emas-emas ini. Sejak saat itu, aku menjaga harta ini untuknya.
Semalam, aku bermimpi bertemu dengannya. Ia memperlihatkan dirimu kepadaku dan
menyuruhku memberikan emas itu padamu. Pagi ini, ketika aku keluar rumah, kau
adalah orang pertama yang kutemui.”
Orang kampung dari Anatolia itu menerima keramahan
kapten kapal, teman dari sang Maulana. Mereka mulai bersahabat. Suatu sore,
ketika jalan jalan di kota, orang kampung itu bertemu dengan seorang gadis yang
cantik. Saking cantiknya, ia kehabisan kata-kata. Tak tahu apa yang harus
dilakukan, ia kembali ke rumah kapten dan berkata bahwa ia telah jatuh cinta
dengan si cantik. “Tolonglah aku men-dapatkannya,” ia memohon.
Setelah lama mencari, akhirnya mereka tahu gadis
itu adalah putri seorang saudagar kaya. Karena dirinya hanyalah orang asing yang
miskin, pria kampung itu sadar bahwa tipis kemungkinan baginya untuk melamar si
gadis. Tapi akhirnya kapten berhati mulia memberani-kan dirinya untuk mewakili
orang kampung itu pergi menemui ayah si gadis.
Ayah gadis itu berusaha menolak lamaran. Ia pun
berpikir, jika ia meminta mahar yang mahal, pria kampung itu takkan sanggup
memberikannya. Dan pernikahan itu pun takkan terjadi.
Orang kampung dari Anatolia itu masih memegang
harta milik Maulana. Lupa akan tugasnya semula, ia membawa harta itu ke ayah
sang gadis. Saudagar itu kini tak mampu menolak lamaran. Pernikahan yang mewah
disiapkan.
Setelah menikah, pada malam pertama mereka, pria
kampung itu mendengar suara gaib di kegelapan, “Anakku, apakah aku mengirimmu
ke tanah asing untuk menikmati semua kenikmatan ini? Tidakkah kau lupa suatu
hal?” Ketakutan, pria itu teringat akan tugasnya. Ia menatap istrinya yang
cantik dan berkata bahwa ia harus segera kembali.
“Sayang, aku telah berbuat kesalahan yang amat
besar. Aku lupa alasan mengapa aku datang ke tempat ini dan aku telah
menghilang-kan emas milik Maulana.”
“Apakah suara yang kita dengar itu suara pemilik
emas?” istrinya bertanya.
“Jadi kau mendengarnya juga?” dia menjawab.
“Aku akan menemui ayahku dan meminta emas itu
kembali.” Istrinya menjawab tanpa ragu.
Tanpa melupakan cintanya kepada anak gadisnya, sang
ayah memberikan kembali dua peti emas itu. Bersama istrinya, pria itu kembali
ke Anatolia. Perjalanannya panjang dan melelahkan. Tapi atas izin Allah, mereka
kembali ke Anatolia, menjumpai Maulana Rumi.
Ia meminta istrinya menunggu di tepi jalan
sementara ia masuk ke aula tempat Maulana berkumpul bersama para darwisy-nya.
Diam-diam ia duduk di sudut, mengikuti majelis itu, supaya ia tak mengganggu
pembicaraan-nya. Setelah beberapa saat, Maulana melihat ke arah pria itu dan
berkata, “Anakku, kau ingat? Dulu kau ajukan pertanyaan, dan kini aku baru bisa
menjawabnya.”
“Muhib atau seorang teman, adalah seseorang yang
mencintai perjalanan menuju Allah, mencintai majelis ini, dan mencintai
gurunya, meskipun dia tidak termasuk kelompok para darwisy. Dia mendukung
perjalanan ini dengan apa saja yang ia punyai, dengan uangnya, hartanya, atau
pun waktunya. Kapten kapal di Spanyol adalah seorang muhib.”
“Murid adalah seseorang yang ketika syaikhnya
menyuruh ia melakukan sesuatu, dengan sepenuh hati ia lakukan hal itu. Meskipun
perintahnya adalah: Pergi ke Spanyol! Dalam hal ini, murid itu adalah kau.”
“Asyiq atau seorang pencinta adalah ia yang
tertarik kepada nyala api dan tak kuasa menolaknya. Ia tidak mengetahui kapan
nyala itu berhenti membakarnya. Istrimu, dalam hal ini adalah seorang ‘asyiq.”
“Dan aku pikir, seorang syaikh adalah ia yang
memikul semua tugas ini dan mengetahui bahwa Tuhanlah sebenarnya yang melakukan
segalanya.” []
No comments:
Post a Comment