Monday, June 18, 2012

DOA MEMPEROLEH HATI YANG KHUSYU [oleh KH. Jalaluddin Rakhmat]


Sep 6, '08 11:56 PM
for everyone


Ya Allah,
Janganlah Engkau putuskan dariku kebaikan-
Mu, ampunan-Mu, dan kasih sayang-Mu.
Wahai Zat, yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu
Wahai Tuhanku, anugrahkan kepadaku hati yang khusyu dan keyakinan yang tulus
Jangan Kau buat aku lupa untuk berzikir kepada-Mu
Jangan Kau biarkan aku dikuasai oleh selain-Mu
Jadilah Engkau sahabat pada saat-saat kesepianku
Jadilah Engkau benteng pada saat-saat ketakutanku
Selamatkan aku dari segala bencana dan kesalahan
Lindungilah aku dari segala ketergelinciran
Jagalah aku dari datangnya ancaman
Palingkanlah dari diriku pedihnya azab-Mu
dan muliakanlah aku dengan memelihara
kitab suci-Mu yang mulia
dan bereskanlah bagiku agamaku, duniaku, dan akhiratku
Semoga shalawat dan salam disampaikan kepada Muhammad saw
dan keluarganya yang suci. 

Doa di atas adalah salah satu dari kumpulan doa yang disampaikan oleh Imam Ali kw. Saya mengambilnya dari sebuah buku berjudul Ad’iyatul Imam Ali, doa-doa Imam Ali. Salah satu kelebihan mazhab Ahlul Bait dibandingkan dengan mazhab-mazhab yang lain adalah perbendaharaan doa-nya. Selain panjang, doa-doa Ahlul Bait disusun dengan bahasa yang sangat indah. Karena itu, seharusnya para pengikut Ahlul Bait paling tidak hapal satu dari doa-doa yang panjang itu. Kita dapat mengambil salah satu dari doa itu dan menjadikannya sebagai wirid kita.

Kita telah mengenal doa-doa dari Imam Ali Zainal Abidin yang disebut dengan Shahîfah Sajjâdiyah. Kemudian kita kenal juga doa-doa dari Imam Ja’far Al-Shadiq yang dikenal dengan nama Shahîfah Sâdiqiyyah. Ada pula doa-doa dari Sayyidah Fathimah as yang disebut dengan Shahîfah Al-Zahra. Doa yang akan dibahas kali ini saya ambil dari Shahîfah ‘Alâwiyah, kumpulan doa Imam Ali kw. 

Karena doa ini panjang, saya akan membahas beberapa bagian dari doa ini saja. Inilah awal dari doa tersebut: Ya Allah, janganlah Engkau putuskan dariku kebaikan-Mu, ampunan-Mu, dan kasih sayang-Mu. Wahai Zat yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu.

Sepanjang hari kita memperoleh kebaikan Allah terus menerus. Kesehatan, misalnya. Bila kita sakit, itu artinya kebaikan Allah yang berupa kesehatan itu terputus. Kita mulai doa ini dengan rasa takut akan diambil-nya karunia Allah dari kita. Allah tidak pernah mengambil seluruh anugrah-Nya. Dia hanya memutuskan sebagian saja kebaikannya sebagai peringatan kepada kita. 

Dalam doa tersebut, kita menyeru Tuhan yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Seperti juga disebutkan dalam Doa Kumail, Allah adalah Sarî’ar ridhâ, Yang paling cepat rida-Nya. Tuhan murka melihat kemak-siatan kita, tetapi dia lebih cepat rida akan kita. Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah swt berfirman, “Aku sudah marah melihat kemaksiatan penduduk bumi ini. Aku akan hancurkan bumi ini. Tapi aku melihat masih ada bayi-bayi yang menetek kepada susu ibunya. Aku masih melihat orang-orang tua yang sujud dan ruku kepadaku. Berhentilah kemurkaanku.”

Kasih sayang Tuhan meliputi segala sesuatu. Karena itu di dalam mazhab Ahlul Bait, kita tidak boleh bersandar sepenuhnya kepada amal kita. Amal-amal kita tidak akan cukup untuk memperoleh kasih sayang Allah swt. Amal yang kita lakukan terlalu sedikit. Maksiat kita mungkin jumlahnya jauh lebih besar. Kita harus bersandar pada ampunan Allah. Amal kita ini, selain sedikit jumlahnya dan rendah kualitasnya, juga digerogoti oleh keburukan-keburukan kita. 

Karena sedikitnya amal-amal manusia dibandingkan kemaksiatannya, ketika meng-hadapi orang yang meninggal, kita tidak dianjurkan untuk berdoa, “Ya Allah, berilah balasan yang setimpal dengan amal perbuatan-nya.” Melainkan kita dianjurkan berdoa, “Ya Allah, jenazah yang terbujur di hadapan-Mu ini adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu juga. Dia sudah datang menemui-Mu dan Engkaulah yang paling baik ditemuinya. Jika dia orang yang banyak berbuat baik, lipat gandakan pahala kebaikannya. Dan jika dia orang yang pernah berbuat salah, maafkanlah segala kesalahannya.”

Selanjutnya dalam doa Imam Ali kw di atas disebutkan: Wahai Tuhanku, anugrahkan kepadaku hati yang khusyu dan keyakinan yang tulus. Kita meminta kepada Allah agar dikaruniai hati yang khusyu.

Kata khusyu berasal dari kata khasya’a yang artinya takut. Seperti disebutkan dalam ayat Al-Quran: Wujûhun yaumaizin khâsyi’ah. Wajah-wajah pada hari itu ketakutan. (QS. Al-Ghasyiyah 2) Khâsyi’an berarti hati yang dipenuhi rasa takut; takut akan Allah swt dan takut bila masa hidupnya takkan sempat untuk mengumpulkan bekal buat hari akhir. 

Dalam kitab Ihyâ Ulumuddîn, Imam Ghazali menurunkan kisah-kisah tentang orang yang khusyu. Di antaranya adalah tentang kekhusyuan Imam Ali Zainal Abidin as. Diriwayatkan ketika Imam berwudlu hendak salat, tubuhnya selalu bergetar. Orang-orang bertanya, “Mengapa tubuhmu bergetar seperti itu?” Imam menjawab, “Engkau tidak tahu di hadapan siapa sebentar lagi aku akan berdiri.” Hatinya dipenuhi rasa takut luar biasa karena ia akan menemui Allah swt di dalam salatnya. Wajahnya menjadi pucat pasi dan hatinya berguncang keras.

Dalam kitab Futûhatul Makiyyah, karya Ibnu Arabi, juga diceritakan kisah-kisah tentang orang yang khusyu. Salah satunya adalah kisah tentang seorang pemuda belia yang mempelajari tasawuf kepada gurunya. Pada suatu pagi, pemuda itu menemui gurunya dalam keadaan pucat pasi. Anak muda itu berkata, “Semalam, aku khatamkan Al-Quran dalam salat malamku.” Gurunya berkata, “Bagus. Kalau begitu, aku sarankan nanti malam bacalah Al-Quran dan hadirkan seakan-akan aku berada di hadapanmu dan men-dengarkan bacaanmu.” Esok harinya, pemuda itu mengeluh, “Ya Ustadz, tadi malam saya tidak sanggup menyelesaikan Al-Quran lebih dari setengahnya.” Gurunya menjawab, “Kalau begitu, nanti malam bacalah Al-Quran dan hadirkan di hadapanmu para sahabat Nabi yang mendengarkan Al-Quran itu langsung dari Rasulullah saw.” Keesokan harinya, pemuda itu berkata, “Ya Ustadz, semalam aku tak bisa menyelesaikan sepertiga dari Al-Quran itu.” “Nanti malam,” kata gurunya, “bacalah Al-Quran dengan menghadirkan Rasulullah saw di hadapanmu, yang kepadanya Al-Quran itu turun.” Esok paginya pemuda itu bercerita, “Tadi malam aku hanya bisa menyelesaikan Al-Quran itu satu juz saja. Itu pun dengan susah payah.” Sang guru kembali berkata, “Nanti malam, bacalah Al-Quran itu dengan meng-hadirkan Jibril, yang diutus Tuhan untuk menyampaikan Al-Quran kepada Rasulullah saw.” Esoknya, pemuda itu bercerita bahwa ia tak sanggup menyelesaikan satu juz Al-Quran. Gurunya lalu berkata, “Nanti bila engkau membaca Al-Quran, hadirkan Allah swt di hadapanmu. Karena sebetulnya yang men-dengarkan bacaan Al-Quran itu adalah Allah swt. Dialah yang menurunkan bacaan itu kepadamu.” Esok harinya, pemuda itu jatuh sakit. Ketika gurunya bertanya, “Apa yang terjadi?” Anak muda itu menjawab, “Aku tak bisa menyelesaikan hatta Al-Fatihah sekalipun. Ketika hendak kuucapkan iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în, lidahku tak sanggup. Karena aku tahu hatiku tengah berdusta. Dalam mulut, kuucapkan: Tuhan, kepadamu aku beribadat, tapi dalam hatiku aku tahu aku sering memperhatikan selain Dia. Ucapan itu tidak mau keluar dari lidahku. Sampai terbit fajar, aku tak bisa menyelesaikan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. ” Tiga hari kemudian, anak muda itu meninggal dunia.

Sebetulnya yang diceritakan guru itu kepada muridnya adalah cara memperoleh hati yang khusyu. Hati yang khusyu adalah hati yang sanggup menghadirkan Allah swt di hadapan kita. Hal itu membutuhkan riyadhah-riyadhah terlebih dahulu. Sekarang kita paham mengapa dalam tarekat, kita harus menghadir-kan guru di dalam doa-doa kita. Hal itu sebenarnya adalah suatu latihan. Sulit bagi kita untuk menghadirkan Allah swt sekaligus, kita mulai dengan menghadirkan guru kita terlebih dahulu. 

Kekhusyuan sering kali datang ketika kita digoncangkan kesulitan hidup. Penderitaan itu bagus karena membuat hati kita lebih khusyu dalam beribadah kepada Allah swt. Orang yang jarang menderita akan sulit memperoleh kekhusyuan. Kesenangan membuat hati kita keras seperti batu.

Salah satu indikator kekhusyuan adalah tangisan. Walaupun tidak semua yang menangis itu karena khusyu. Anak-anak, misalnya, menangis bukan karena khusyu, melainkan karena dijewer oleh orang tuanya. Kita pun boleh menangis dengan tangisan karena jeweran. Tuhan ‘menjewer’ kita dengan penderitaan hidup. Kita lalu menangis, kita adukan penderitaan kita kepada Allah swt. Pada perkembangannya, tangisan itu lalu berproses; dari tangisan anak kecil menjadi tangisan karena kekhusyuan. 

Penderitaan itu berguna untuk melembutkan hati kita. Seperti bunyi salah satu puisi Rumi:
Bunga-bunga mawar di taman takkan pernah merekah
Sebelum langit menurunkan air matanya
Bayi-bayi itu takkan pernah diberi susu
Sebelum mereka menangis terlebih dahulu
Maka menangislah kamu
Supaya Sang Perawat Agung datang memberikan padamu
Limpahan susu kasih sayang-Nya.

Menderita dan menangis itu perlu. Itulah sebabnya mengapa kaum muslimin sekarang di seluruh dunia, seperti di Aceh, Ambon, Kosovo, dan Chechnya, sedang menderita. Derita itu dimaksudkan supaya mereka bisa meraih lagi kekhusyuan yang hilang. []

Suatu hari Rasulullah saw masuk ke rumah Sayyidah Fathimah as. Ketika itu, Fathimah sudah berbaring untuk tidur. Rasulullah saw lalu berkata, “Wahai Fathimah, lâ tanâmi. Janganlah engkau tidur sebelum engkau lakukan empat hal; mengkhatam Al-Quran, memperoleh syafaat dari para nabi, membuat hati kaum mukminin dan mukminat senang dan rida kepadamu, serta melakukan haji dan umrah.” 

Fathimah bertanya, “Bagaimana mungkin aku melakukan itu semua sebelum tidur?” Rasulullah saw menjawab, “Sebelum tidur, bacalah oleh kamu Qul huwallâhu ahad tiga kali. Itu sama nilainya dengan mengkhatam Al-Quran.” Yang dimaksud dengan Qul huwallâhu ahad adalah seluruh surat Al-Ikhlas, bukan ayat pertamanya saja. Dalam banyak hadis, seringkali suatu surat disebut dengan ayat pertamanya. Misalnya surat Al-Insyirah yang sering disebut dengan surat Alam nasyrah.

Rasulullah saw melanjutkan ucapan-nya, “Kemudian supaya engkau mendapat syafaat dariku dan para nabi sebelumku, baca-lah shalawat: Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad wa ‘alâ âli Muhammad, kamâ shalayta ‘alâ Ibrâhim wa ‘alâ âli Ibrâhim. Allâhumma bârik ‘alâ Muhammad wa ‘alâ âli Muhammad, kamâ bârakta ‘alâ Ibrâhim wa ‘alâ âli Ibrâhim fil ‘âlamina innaka hamîdun majîd.

“Kemudian supaya kamu memperoleh rasa rida dari kaum mukminin dan mukminat, supaya kamu disenangi oleh mereka, dan supaya kamu juga rida kepada mereka, bacalah istighfar bagi dirimu, orang tuamu, dan seluruh kaum mukminin dan mukminat.”

Tidak disebutkan dalam hadis itu istighfar seperti apa yang harus dibaca. Yang jelas, dalam istighfar itu kita mohonkan ampunan bagi orang-orang lain selain diri kita sendiri. Untuk apa kita memohon ampunan bagi orang lain? Agar kita tidur dengan membawa hati yang bersih, tidak membawa kebencian atau kejengkelan kepada sesama kaum muslimin. Kita mohonkan ampunan kepada Allah untuk semua orang yang pernah berbuat salah terhadap kita. Hal itu tentu saja tidak mudah. Sulit bagi kita untuk memaafkan orang yang pernah menyakiti hati kita. Bila kita tidur dengan menyimpan dendam, tanpa memaafkan orang lain, kita akan tidur dengan membawa penyakit hati. Bahkan mungkin kita tak akan bisa tidur. Sekalipun kita tidur, tidur kita akan memberikan mimpi buruk bagi kita. Penyakit hati itu akan tumbuh dan berkembang ketika kita tidur. Dari penyakit hati itulah lahir penyakit-penyakit jiwa dan penyakit-penyakit fisik. Orang yang stress harus membiasakan diri memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang-orang yang membuatnya stress sebelum ia beranjak tidur. 

Dalam hadis itu tidak dicontohkan istighfar macam apa yang harus kita baca. Tapi ada satu istighfar yang telah dicontohkan oleh orang tua-orang tua kita di kampung. Biasanya setelah salat maghrib, mereka membaca: “Astaghfirullâhal azhîm lî wa lî wâlidayya wa lî ashâbil huqûqi wajibâti ‘alayya wal masyâikhina wal ikhwâninâ wa li jamî’il muslimîna wal muslimât wal mukminîna wal mukminât, al ahyâiminhum wal amwât. Ya Allah, aku mohon-kan ampunan pada-Mu bagi diriku dan kedua orang tuaku, bagi semua keluarga yang menjadi kewajiban bagiku untuk mengurus mereka. Ampuni juga guru-guru kami, saudara-saudara kami, muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.” 

Bila kita amalkan istighfar itu sebelum tidur, paling tidak kita telah meminta ampun untuk orang tua kita. Istighfar kita, insya Allah,  akan membuat orang tua kita di alam Barzah senang kepada kita. Istighfar itu pun akan menghibur mereka dalam perjalanan mereka di alam Barzah. Ma

Nasihat terakhir dari Rasulullah saw kepada Fathimah adalah, “Sebelum tidur, hendaknya kamu lakukan haji dan umrah.” Bagaimana caranya? Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang membaca subhânallâh wal hamdulillâh wa lâ ilâha ilallâh huwallâhu akbar, ia dinilai sama dengan orang yang melakukan haji dan umrah.”

Menurut Rasulullah saw, barangsiapa yang membaca wirid itu lalu tertidur pulas, kemudian dia bangun kembali, Allah meng-hitung waktu tidurnya sebagai waktu berzikir sehingga orang itu dianggap sebagai orang yang berzikir terus menerus. Tidurnya bukanlah tidur ghaflah, tidur kelalaian, tapi tidur dalam keadaan berzikir. Sebetulnya, bila sebelum tidur kita membaca zikir, tubuh kita akan tertidur tapi ruh kita akan terus berzikir. Sekiranya orang itu terbangun di tengah tidurnya, niscaya dari mulut orang itu akan keluar zikir asma Allah. []

Alkisah, Maulana Jalaluddin Rumi sedang berkumpul bersama para pengikutnya. Tiba-tiba seorang pria lusuh datang dan bergabung di majelis itu. Dari pakaiannya yang kotor dan kumuh, terlihat bahwa ia berasal dari perkampungan miskin. Lelaki itu tak pernah berada di majelis Rumi sebelumnya, tapi ia menunjukkan perhatian yang besar kepada ucapan-ucapan Maulana. Maulana lalu bertanya apakah lelaki itu mempunyai pertanyaan yang hendak ia ajukan.

“Tuanku, aku telah dengar banyak hal yang membingungkan tentang istilah syaikh, murid, ‘asyiq, dan muhib. Dapatkah kau jelas-kan makna istilah-istilah itu?” lelaki itu bertanya.
“Baiklah,” Maulana berkata, “duduklah engkau di sana dan bila telah tiba waktunya, atas izin Allah, aku akan mencoba menjawab-nya.”Pembicaraan di majelis itu pun dilanjutkan. Tiba-tiba Maulana berhenti dan berkata kepada salah seorang pengikutnya, “Anakku, kita mempunyai harta di Spanyol. Maukah kau pergi ke sana dan membawanya kemari?”

Tentu saja pada masa itu, pada abad ketiga belas Masehi, perjalanan ke Spanyol adalah perjalanan yang amat berat dan penuh bahaya. Darwisy pengikut Rumi itu menjawab, “Tuan, aku tak tahu di mana Spanyol itu berada. Bagaimana aku bisa menemukan jalanku ke sana?”

“Ya Tuhan, engkau benar. Saat ini, perjalanan seperti itu hampir tak mungkin dilakukan. Sudahlah, tak apa-apa.” Rumi melanjutkan lagi pembicaraannya. Tapi sejenak kemudian ia berpaling ke salah seorang pengikutnya dan berkata lagi, “Anakku, kita memiliki warisan di Spanyol. Maukah kau pergi ke sana dan mengambilnya?”

“Guru,” sang darwisy menjawab, “bukankah Anda telah mengatakan bahwa hal itu hampir tak mungkin?”

“Oh, kau benar. Di masa ini, hal seperti itu akan luar biasa sulit. Maafkan aku.” Akhirnya, setelah beberapa saat, Maulana menoleh ke arah orang kampung itu dan berkata, “Maukah kau pergi dan mengambilnya?”

Pria miskin itu hanya berkata singkat, “Baiklah.” Ia bangkit dan meminta izin untuk berangkat. Ia berpikir, “Maulana adalah orang hebat. Ia pasti punya alasan yang kuat untuk menyuruhku melakukan hal seperti ini.”

Dan pergilah ia menuju Spanyol. Tak lama setelah ia berjalan, datanglah seorang penunggang kuda dan menawarkan tumpang-an ke arah pelabuhan. Di pelabuhan, lelaki itu menemukan sebuah kapal yang akan bertolak ke Spanyol. Ia bekerja sebagai anak buah di kapal itu. Akhirnya, tibalah ia di Spanyol, ia berkelana ke berbagai kota dan suatu hari, ia bertemu dengan seseorang yang terlihat amat gembira. 

“Terima kasih Tuhan,” orang itu berkata, “akhirnya sampai juga kau ke sini. Aku telah menantimu.”Terkejut, pria miskin itu bertanya, “Mengapa?”
“Lho, bukankah kau orang yang dikirim Maulana untuk mengambil harta? Ayo ikut aku ke rumah sekarang.”

Di rumahnya, orang asing itu menge-luarkan dua peti emas milik Maulana dan memberikan beberapa keping uang untuk perjalanan pulang, tapi ia juga mengundang sang pria miskin untuk istirahat beberapa hari di kotanya sebelum kembali.
Keheranan, pria miskin kembali bertanya, “Aku mohon, dapatkah kau jelaskan padaku apa yang telah terjadi?”

“Beberapa tahun yang lalu, aku adalah seorang kapten kapal.” orang asing itu memulai kisahnya. “Suatu hari, kapalku dihantam badai yang ganas. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kapal ini agar tak tenggelam, tapi kelihatannya usaha itu sia-sia. Hampir putus asa, aku berdoa. Tiba-tiba aku ingat seorang suci yang tinggal di Anatolia. Ialah kekasih Tuhan yang mampu memberikan pertolongan kepada siapa saja yang meminta-nya. Meski aku tak mengenalnya secara dekat, aku memanggilnya di lubuk hatiku. Segera setelah itu, badai mereda. Lautan kembali tenang. Aku mengangkat kepalaku dengan lega. Di atas tiang kapal, aku melihat seseorang berserban hijau yang berputar-putar dengan agung di atas kepalaku. Aku tak perlu bertanya, aku sudah tahu dialah orang suci yang kupanggil. Aku tak tahu apa yang harus aku persembahkan sebagai rasa terima kasihku, aku lalu menjanjikannya emas-emas ini. Sejak saat itu, aku menjaga harta ini untuknya. Semalam, aku bermimpi bertemu dengannya. Ia memperlihatkan dirimu kepadaku dan menyuruhku memberikan emas itu padamu. Pagi ini, ketika aku keluar rumah, kau adalah orang pertama yang kutemui.”

Orang kampung dari Anatolia itu menerima keramahan kapten kapal, teman dari sang Maulana. Mereka mulai bersahabat. Suatu sore, ketika jalan jalan di kota, orang kampung itu bertemu dengan seorang gadis yang cantik. Saking cantiknya, ia kehabisan kata-kata. Tak tahu apa yang harus dilakukan, ia kembali ke rumah kapten dan berkata bahwa ia telah jatuh cinta dengan si cantik. “Tolonglah aku men-dapatkannya,” ia memohon.
Setelah lama mencari, akhirnya mereka tahu gadis itu adalah putri seorang saudagar kaya. Karena dirinya hanyalah orang asing yang miskin, pria kampung itu sadar bahwa tipis kemungkinan baginya untuk melamar si gadis. Tapi akhirnya kapten berhati mulia memberani-kan dirinya untuk mewakili orang kampung itu pergi menemui ayah si gadis.
Ayah gadis itu berusaha menolak lamaran. Ia pun berpikir, jika ia meminta mahar yang mahal, pria kampung itu takkan sanggup memberikannya. Dan pernikahan itu pun takkan terjadi. 

Orang kampung dari Anatolia itu masih memegang harta milik Maulana. Lupa akan tugasnya semula, ia membawa harta itu ke ayah sang gadis. Saudagar itu kini tak mampu menolak lamaran. Pernikahan yang mewah disiapkan.

Setelah menikah, pada malam pertama mereka, pria kampung itu mendengar suara gaib di kegelapan, “Anakku, apakah aku mengirimmu ke tanah asing untuk menikmati semua kenikmatan ini? Tidakkah kau lupa suatu hal?” Ketakutan, pria itu teringat akan tugasnya. Ia menatap istrinya yang cantik dan berkata bahwa ia harus segera kembali.

“Sayang, aku telah berbuat kesalahan yang amat besar. Aku lupa alasan mengapa aku datang ke tempat ini dan aku telah menghilang-kan emas milik Maulana.”
“Apakah suara yang kita dengar itu suara pemilik emas?” istrinya bertanya.
“Jadi kau mendengarnya juga?” dia menjawab.

“Aku akan menemui ayahku dan meminta emas itu kembali.” Istrinya menjawab tanpa ragu.
Tanpa melupakan cintanya kepada anak gadisnya, sang ayah memberikan kembali dua peti emas itu. Bersama istrinya, pria itu kembali ke Anatolia. Perjalanannya panjang dan melelahkan. Tapi atas izin Allah, mereka kembali ke Anatolia, menjumpai Maulana Rumi.
Ia meminta istrinya menunggu di tepi jalan sementara ia masuk ke aula tempat Maulana berkumpul bersama para darwisy-nya. Diam-diam ia duduk di sudut, mengikuti majelis itu, supaya ia tak mengganggu pembicaraan-nya. Setelah beberapa saat, Maulana melihat ke arah pria itu dan berkata, “Anakku, kau ingat? Dulu kau ajukan pertanyaan, dan kini aku baru bisa menjawabnya.”

“Muhib atau seorang teman, adalah seseorang yang mencintai perjalanan menuju Allah, mencintai majelis ini, dan mencintai gurunya, meskipun dia tidak termasuk kelompok para darwisy. Dia mendukung perjalanan ini dengan apa saja yang ia punyai, dengan uangnya, hartanya, atau pun waktunya. Kapten kapal di Spanyol adalah seorang muhib.”

“Murid adalah seseorang yang ketika syaikhnya menyuruh ia melakukan sesuatu, dengan sepenuh hati ia lakukan hal itu. Meskipun perintahnya adalah: Pergi ke Spanyol! Dalam hal ini, murid itu adalah kau.”

“Asyiq atau seorang pencinta adalah ia yang tertarik kepada nyala api dan tak kuasa menolaknya. Ia tidak mengetahui kapan nyala itu berhenti membakarnya. Istrimu, dalam hal ini adalah seorang ‘asyiq.”

“Dan aku pikir, seorang syaikh adalah ia yang memikul semua tugas ini dan mengetahui bahwa Tuhanlah sebenarnya yang melakukan segalanya.” []

No comments:

Post a Comment