Tuesday, July 19, 2011

KEBENARAN YANG HILANG BAB III-BAB VI

BAB III
Hadis "Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait" di dalam Referensi-Referensi Ahlus Sunnah
Pada pembahasan yang lalu, telah jelas bagi Anda tentang kelemahan hadis "berpegang kepada sunah", yang dianggap sebagai pilar utama bagi tegak berdirinya bangunan mazhab Ahlus Sunnah. Inilah yang menyebabkan kenapa para ulama mereka sedemikian bersungguh-sungguh menyembunyikan riwayat "Kitab Allah dan 'itrahku", dan menyebarkan hadis "Kitab Allah dan sunahku", sehingga melekat ke dalam benak masyarakat sedemikian rupa, sampai derajat manakala saya menyebutkan hadis "'itrah" kepada jamaah mana pun juga tampak keheranan pada wajah-wajah mereka.
Oleh karena itu, pada pasal ini saya ingin —supaya sempurna hujjah— membuktikan hadis "'itrah" dari kitab-kitab Ahlus Sunnah dengan seluruh jalannya, dan inilah rinciannya:
SANAD HADIS
Jumlah Perawi Dari Kalangan Sahabat
Hadis ini telah mencapai derajat mutawatir dari sekumpulan sahabat, dan inilah sebagian nama-nama mereka:
1. Zaid bin Arqam.
2. Abu sa'id al-Khudri.
3. Jabir bin Abdullah.
4. Hudzaifah bin Usaid.
5. Khuzaimah bin Tsabit.
6. Zaid bin Tsabit.
7. Suhail bin Sa'ad.
8. Dhumair bin al-Asadi,
9. 'Amir bin Abi Laila (al-Ghifari).
10. Abdurrahman bin 'Auf.
11. Abdullah bin Abbas.
12. Abdullah bin Umar.
13. 'Uday bin Hatim.
14. 'Uqbah bin 'Amir.
15. Ali bin Abi Thalib.
16. Abu Dzar al-Ghifari.
17. Abu Rafi'.
18. Abu Syarih al-Khaza'i.
19. Abu Qamah al-Anshari.
20. Abu Hurairah.
21. Abu Hatsim bin Taihan.
22. Ummu Salamah.
23. Ummu Hani binti Abi Thalib.
24. Dan banyak lagi laki-laki dari kalangan Quraisy.
Jumlah Perawi Dari Kalangan Thabi'in
Penukilan hadis ini juga telah mencapai tingkatan mutawatir pada jaman tabi'in, dan inilah sebagian dari para tabi'in yang menukil hadis "Kitab Allah dan 'itrahku":
1. Abu Thufail 'Amir bin Watsilah.
2. 'Athiyyah bin Sa'id al-'Ufi.
3. Huns bin Mu'tamar.
4. Harits al-Hamadani
5. Hubaib bin Abi Tsabit.
6. Ali bin Rabi'ah.
7. Qashim bin Hisan.
8. Hushain bin Sabrah.
9. 'Amr bin Muslim.
10. Abu Dhuha Muslim bin Shubaih.
11. YahyabinJu'dah.
12. Ashbagh bin Nabatah.
13. Abdullahbin Abirafi'.
14. Muthalib bin Abdullah bin Hanthab.
15. Abdurrahman bin Abi sa'id.
16. Umar bin Ali bin Abi Thalib.
17. Fathimah binti Ali bin Abi Thalib.
18. Hasan bin Hasan bin bin Ali bin Abi Thalib.
19. Ali Zainal Abidin bin Husain, dan yang lainnya.
Jumlah Para Perawi Hadis Ini Pada Tiap-Tiap Abad
Adapun orang yang meriwayatkan hadis ini sesudah jaman sahabat dan tabi'in, dari kalangan ulama umat, para penghafal hadis dan para imam terkenal selama berabad-abad, bukanlah suatu jumlah yang dapat kami sebutkan nama dan riwayat mereka satu persatu. Sekelompok para ulama dan peneliti telah menghitung jumlah mereka, dan untuk lebih rincinya silahkan Anda merujuk kepada kitab 'Abagat al-Anwar, juz pertama dan kedua.
Pada kesempatan ini saya mencukupkan diri dengan hanya menyebutkan jumlah mereka pada setiap tingkatan masa, dari abad kedua hingga abad keempat belas
• Abad kedua: Jumlah perawi sebanyak 36 orang.
• Abad ketiga: Jumlah perawi sebanyak 69 orang.
• Abad keempat: Jumlah perawi sebanyak 38 orang.
• Abad kelima: Jumlah perawi sebanyak 21 orang.
• Abad keenam: Jumlah perawi sebanyak 27 orang.
• Abad ketujuh: Jumlah perawi sebanyak 21 orang.
• Abad kedelapan: Jumlah perawi sebanyak 24 orang.
• Abad kesembilan: Jumlah perawi seabanyak 13 orang.
• Abad kesepuluh: Jumlah perawi sebanyak 20 orang.
• Abad kesebelas: Jumlah perawi sebanyak 11 orang.
• Abad kedua belas: Jumlah perawi sebanyak 18 orang.
• Abad ketiga belas: Jumlah perawi sebanyak 12 orang.
• Abad keempat belas: Jumlah perawi sebanyak 13 orang.
Dengan begitu jumlah para perawi hadis dari abad ketiga hingga abad keempat belas semuanya berjumlah 323 orang. Perhatikanlah ini!
@@@@
HADIS "KITAB DAN 'ITRAH" DI DALAM KITAB-KITAB HADIS
Adapun mengenai kitab-kitab hadis yang meriwayatkan hadis ini jumlahnya banyak sekali. Kami akan menyebutkan sebagian darinya:
1. Sahih Muslim, juz 4, halaman 123, terbitan Dar al-Ma'arif Beirut - Lebanon.
Muslim meriwayatkan di dalam kitab sahihnya, "Telah berkata kepada kami Muhammad bin Bakkar bin at-Tarian, "Telah berkata kepada kami Hisan (yaitu Ibnu Ibrahim), dari Sa'id (yaitu Ibnu Masruq), dari Yazid bin Hayan yang berkata, 'Kami masuk kepada Zaid bin Arqam dan berkata, 'Anda telah melihat kebajikan. Anda telah bersahabat dengan Rasulullah saw dan telah salat di belakangnya. Anda telah menjumpai banyak kebaikan, ya Zaid (bin Arqam). Katakanlah kepada kami, ya Zaid (bin Arqam), apa yang Anda telah dengar dari Rasulullah saw.' Zaid (bin Arqam) berkata, 'Wahai anak saudaraku, demi Allah, telah lanjut usiaku, telah berlalu masaku dan aku telah lupa sebagian yang pernah aku ingat ketika bersama Rasulullah. Oleh karena itu, apa yang aku katakan kepadamu terimalah, dan apa yang aku tidak katakan kepadamu janganlah kamu membebaniku dengannya.' Kemudian Zaid bin Arqam berkata,
'Pada suatu hari Rasulullah saw berdiri di tengah-tengah kami menyampaikan khutbah di telaga yang bernama "Khum", yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada-Nya serta memberi nasihat dan peringatan Rasulullah saw berkata,
'Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka aku pun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah Kitab Allah, yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk, dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dia berada di atas kesesatan.' Kemudian Rasulullah saw melanjutkan sabdanya, 'Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku.' Kemudian kami bertanya kepadanya (Zaid bin Arqam), 'Siapakah Ahlul Baitnya, apakah istri-istrinya?' Zaid bin Arqam menjawab, 'Demi Allah, seorang wanita akan bersama suaminya untuk suatu masa tertentu. Kemudian jika suaminya menceraikannya maka dia akan kembali kepada ayah dan kaumnya. Adapun Ahlul Bait Rasulullah adalah keturunan Rasulullah saw yang mereka diharamkan menerima sedekah sepenggal beliau. " Muslim juga meriwayatkan:
Dari Zuhair bin Harb dan Syuja' bin Mukhallad, semuanya dari Ibnu 'Uliyyah. Zuhair berkata, "Telah berkata kepada kami Ismail bin Ibrahim, 'Telah berkata kepada kami Abu Hayan, 'Telah berkata kepada kami Yazid bin Hayan yang berkata, 'Saya pergi...' dan kemudian dia menyebutkan hadis di atas."
Muslim meriwayatkan dari Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata, "Telah berkata kepada kami Muhammad bin Fudhail, 'Telah berkata kepada kami Ishaq bin Ibrahim, 'Telah memberitahukan kepada kami Jarir', keduanya dari Abi Hayyan .... kemudian dia menyebutkan hadis."
Seluruh riwayat Muslim kembali kepada Abi Hayyan bin Sa'id at-Tamimi. Adz-Dzahabi telah berkomentar tentangnya,
"Yahya bin Sa'id bin Hayyaan Abu Hayyan at-Tamimi adalah seorang pejuang yang diagungkan dan dipercaya. Ahmad bin Abdullah al-'Ajali berkata tentangnya, 'Dia seorang yang dapat dipercaya, saleh dan unggul sebagai pemilik sunah."[42]
Adz-Dzahabi juga berkata di dalam kitab al- 'lbar, jilid 1, halaman 205, "Di dalamnya terdapat Yahya bin Sa'id at-Tamimi, Mawla Tim ar-Rabbab al-Kufi. Dia itu seorang yang dapat dipercaya dan Imam pemilik sunah. Asy-Sya'bi dan yang lainnya meriwayatkan darinya.
Yafi'i berkata, "Di dalamnya terdapat Yahya bin Sa'id at-Tamimi al-Kufi. Dia itu seorang yang dapat dipercaya dan Imam pemilik sunah."[43]
Al-'Asqalani berkata, "Abu Hayyan at-Tamimi al-Kufi adalah seorang yang dapat dipercaya, salah seorang ahli ibadah yang enam, dan wafat pada tahun 45 Hijrah."[44]
Dan komentar-komentar para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil lainnya tentang Abu Hayyan at-Tamimi.
Sebagaimana diketahui dengan jelas bahwa hadis ini diriwayatkan di dalam Sahih Muslim, dan ini menunjukkan akan kesasihannya, dikarenakan kaum Muslimin sepakat untuk mensahihkan selurah hadis yang diriwayatkannya.
Muslim sendiri dengan tegas telah mengatakan bahwa seluruh hadis yang terdapat di dalam Kitab Sahihnya telah disepakati kesahih-annya. Apalagi dalam pandangannya sudah tentu sahih. Hafidz as-Suyuthi telah berkata, "Muslim berkata, 'Tidak semua yang sahih saya letakkan di sini, melainkan saya hanya meletakkan yang telah disepakati kesahihannya.'" Sebagaimana tertulis di dalam kitab at-Tadrin ar-Rawi.
An-Nawawi berkata di dalam biografi Muslim, "Muslim telah menyusun banyak kitab di dalam ilmu hadis, dan salah satunya adalah kitab sahih ini, yang telah Allah SWT anugrahkan kepada kaum Muslimin."[45]
Dan komentar-komentar yang lainnya yang tidak mungkin disebutkan seluruhnya.
2. Riwayat hadis pada al-Imam al-Hafidz Abi 'Abdillah al-Hakim an-Naisaburi, di dalam kitab mustadraknya atas Bukhari dan Muslim, jilid 3, halaman 22, kitab Ma'rifah as-Shahabah, terbitan Dar al-Ma'rifah Beirut – Lebanon.
- Abu 'Awanah meriwayatkan hadis ini dari al-A'masy Tsana Habib bin Abi Tsabit, dari Abi Laila, dari Zaid bin Arqam yang berkata, "Tatkala Rasulullah saw kembali dari haji wada' dan singgah di Ghadir Khum, Rasulullah saw menyuruh para sahabatnya bernaung di bawah pepohonan. Kemudian Rasulullah saw bersabda, 'Aku hampir dipanggil oleh Allah SWT, maka aku harus memenuhi panggilannya. Sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara yang amat berharga, yang mana yang satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku. Maka perhatikanlah bagaimana sikapmu terhadap keduanya, karena sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga datang menemuiku di telaga.' Kemudian Rasulullah melanjutkan sabdanya, 'Sesungguhnya Allah Azza Wajalla adalah pemimpinku, dan aku adalah pemimpin setiap orang Mukmin', lalu Rasulullah saw mengangkat tangan Ali seraya berkata, 'Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya."' Dengan demikian, Rasulullah saw menekankan bahwa yang pertama dari Ahlul Bait dan sekaligus pemimpin mereka yang wajib diikuti ialah Ali as.
Sebagaimana juga diriwayatkan dari dari Hassan bin Ibrahim al-Kirmani Tsana Muhammad bin Salma bin Kuhail, dari ayahnya, dari Abi Thufail, dari Ibnu Watsilah yang berkata bahwa dirinya mendengar Zaid bin Arqam berkata... (dan dia menyebutkan hadis sebagaimana yang di atas), hanya saja dia menambahkan, 'Kemudian Rasulullah saw bersabda, Tidakkah kamu tahu bahwa aku lebih berhak atas orang-orang Mukmin dibandingkan diri mereka sendiri' sebanyak tiga kali. Mereka menjawab, 'Ya.' Rasulullah saw bersabda lagi, 'Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya.'"
- Al-Hakim juga meriwayatkannya melalui dua jalan yang lain; dan supaya tidak terlalu panjang saya cukupkan dengan hanya mem-buktikan dua jalan.
Dan di antara bukti yang menunjukkan kesahihan dan kemutawatiran hadis ini ialah bahwa al-Hakim telah meriwayatkannya dan telah menetapkan kesahihannya berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.
3. Riwayat hadis pada Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, jilid 3, halaman 14, 17, 26 dan 59, terbitan Dar Shadir Beirut - Lebanon.
Telah berkata kepada kami Abdullah, 'Telah berkata kepada kami Abi Tsana Abu an-Nadzar Tsana Muhammad, yaitu Ibnu Abi Thalhah, dari al-A'masy, dari 'Athiyyah al-'Ufi, dari Abi Sa'id al-Khudri, dari Rasulullah saw yang berkata, "Aku merasa segera akan dipanggil (oleh Allah) dan aku akan memenuhi panggilan itu. Aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yaitu Kitab Allah Azza Wajalla dan 'itrahku (kerabatku). Kitab Allah, tali penghubung antara langit dan bumi; dan 'itrahku, Ahlul Baitku. Dan sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui telah berkata kepadaku bahwa keduanya tidak akan berpisah sehingga berjumpa kembali denganku di telaga. Oleh karena itu, perhatikanlah bagaimana kamu memperlakukan keduanya itu."
Imam Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan, "Telah berkata kepada kami Abdullah, 'Telah berkata kepada kami Tsana bin Namir Tsana Abdullah, yaitu Ibnu Abi Sulaiman, dari 'Athiyyah, dari Abi Sa'id al-Khudri yang berkata, 'Rasulullah saw telah bersabda, 'Aku telah tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang mana salah satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali penghubung antara langit dan bumi, dan 'itrah Ahlul Baitku, Ketahuilah, sesungguhnya keduanya tidak akan pernah ber-pisah sehingga datang menemuiku di telaga.'" Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkannya dari berbagai jalan, selain jalan-jalan yang di atas.
4. Riwayat hadis dari Turmudzi, jilid 5, halaman 662 - 663, terbitan Dar Ihya at-Turats al-'Arabi.
Telah berkata kepada kami Ali bin Mundzir al-Kufi, "Telah berkata kepada kami Muhammad bin Fudhail, 'Telah berkata kepada kami al-A'masy, dari 'Athiyyah, dari Abi Sa'id dan al-A'masy, dari Habib bin Abi Tsabit, dari Zaid bin Arqam yang berkata, 'Rasulullah saw telah bersabda, 'Sesungguhnya aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yang mana yang satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali penghubung antara langit dan bumi, dan 'itrah Ahlul Baitku. Keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga datang menemuiku di telaga. Maka perhatikanlah bagaimana kamu memperlakukan keduanya."'
5. Sebagaimana juga 'Allamah 'Alauddin Ali al-Muttaqi bin Hisam ad-Din al-Hindi, yang wafat pada tahun 975 H, meriwayatkan hadis ini di dalam kitabnya Kanz al-'Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al- Af'al, juz pertama, bab kedua (bab berpegang teguh kepada Al- Qur'an dan sunah), halaman 172, terbitan Muassasah ar-Risalah Beirut, cetakan kelima, tahun 1985, yaitu hadis nomer 810, 871, 872 dan 873.
Jika kita berlama-lama di dalam bab ini, untuk menyebutkan seluruh kitab yang meriwayatkan hadis ini, niscaya akan memakan waktu yang lama dan dibutuhkan kitab tersendiri. Sebagai contoh, di sini kami hanya akan menyebutkan sekumpulan para hafidz dan ulama yang meriwayatkan hadis ini. Adapun untuk lebih rincinya lagi silahkan Anda merujuk ke dalam kitab Ihqaq al-Haq, karya Asadullah al-Tusturi, jilid 9, halaman 311. Sebagian dari mereka itu ialah:
1. Al-Hafidz ath-Thabrani, yang wafat tahun 340 H, di dalam kitabnya al-Mu 'jam ash-Shaghir.
2. 'Allamah Muhibbuddin ath-Thabari, di dalam kitabnya Dzakha'ir al-'Uqba.
3. 'Allamah asy-Syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Abi Bakar al-Himwani, di dalam kitabnya Fara'id as-Sirnthain.
4. Ibnu Sa'ad, di dalam kitabnya ath-Thabaqat al-Kubra.
5. Al-Hafidz as-Suyuthi, di dalam kitabnya Ihya al-Mayyit.
6. Al-Hafidz al-'Asqalani, di dalam kitabnya al-Mawahib al- Ladunniyyah.
7. Al-Hafidz Nuruddin al-Haitsami, di dalam kitabnya Majma' az-zawa'id.
8. 'Allamah an-Nabhani, di dalam kitabnya al-Anwar al- Muhammadiyyah.
9. Allamah ad-Darimi, di dalam sunannya.
10. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali al-Baihaqi, di dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra.
11. 'Allamah al-Baghawi, di dalam kitabnya Mashabih as-Sunnah.
12. Al-Hafidz Abu al-Fida bin Katsir ad-Dimasyqi, di dalam kitabnya Tafsir al-Qur'an.
13. Kitab Jami' al-Atsir, karya Ibnu Atsir.
14. Muhaddis terkenal, Ahmad bin Hajar al-Haitsami al-Maliki, yang wafat pada tahun 914 Hijrah, di dalam kitabnya ash- Shawa'ig al-Muhriqah fi ar-Radd 'ala Ahlil Bida' wa az- Zanadiqah, cetakan kedua, tahun 1965, Perpustakaan Kairo.
Setelah meriwayatkan hadis tsaqalain Ibnu Hajar berkata, "Ketahuilah bahwa hadis tentang kewajiban berpegang teguh pada keduanya (Kitab Allah dan Ahlul Bait) diriwayatkan melalui berbagai jalan oleh lebih dari dua puluh orang sahabat. Jalan riwayat hadis itu telah disebutkan secara terperinci pada bab kesebelas (dari kitabnya yang bernama ash-Shawa'iq al-Muhriqah).
Di antaranya disebutkan bahwa hadis itu diucapkan Rasulullah saw di Arafah pada waktu haji wada'. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau mengucapkannya ketika sakit menjelang wafat, di hadapan para sahabat yang memenuhi kamar beliau. Riwayat lain lagi menyebutkan bahwa beliau mengucapkannya di Ghadir Khum. Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa beliau mengucapkan ucapannya itu pada saat beliau pulang dari Thaif, ketika beliau berpidato di hadapan para sahabat. Tidak dapat dikatakan bahwa riwayat-riwayat itu saling bertentangan, sebab mungkin saja Rasulullah saw sengaja mengulang-ulang pesannya itu di berbagai tempat dan situasi untuk menunjukkan betapa besar perhatian beliau terhadap Al-Qur'an dan Ahlul Bait yang suci. Pada sebuah riwayat yang berasal dari Thabrani, dari Ibnu Umar yang berkata bahwa perkataan terakhir yang diucapkan oleh Rasulullah ialah, 'Berbuat baiklah kamu terhadap Ahlul Baitku.' Sementara pada riwayat lain yang berasal dari Thabrani dan Abi Syeikh disebutkan, 'Allah SWT mempunyai tiga kehormatan. Barangsiapa yang menjaga ketiganya maka Allah akan menjaga agama dan dunianya, dan barangsiapa yang tidak menjaga ketiganya maka Allah tidak akan menjaga dunia dan akhiratnya. Saya bertanya, 'Apa ketiganya itu?' Rasulullah saw menjawab, 'Kehormatan Islam, kehormatanku dan kehormatan kerabatku.' Pada riwayat Bukhari yang berasal dari ash-Shiddiq dikatakan, 'Wahai manusia, apakah Muhammad mencintai Ahlul Baitnya? Artinya, jagalah Rasulullah dengan menjaga Ahlul Baitnya dan dengan tidak menyakitinya. Ibnu Sa'ad dan Mala meriwayatkan di dalam sirahnya bahwa Rasulullah saw telah bersabda, 'Saya berpesan kepadamu untuk berbuat baik kepada Ahlul Baitku. Karena sesungguhnya besok aku akan memusuhimu tentang perihal mereka. Barang siapa yang aku menjadi musuhnya maka aku akan memusuhinya, dan barangsiapa yang aku musuhi maka dia akan masuk ke dalam neraka.' Juga disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, 'Barangsiapa yang menjagaku pada Ahlul Baitku maka berarti dia telah mengambil perjanjian di sisi Allah.' Ibnu Sa'ad dan Mala meriwayatkan: Yang pertama, hadis yang berbunyi, 'Aku dan Ahlul Baitku adalah sebuah pohon di surga, yang dahan-dahannya menjulur sampai ke dunia, maka barangsiapa yang hendak mengambil jalan menuju Allah maka dia harus berpegang teguh kepada Ahlul Baitku.' Adapun yang kedua adalah hadis yang berbunyi, 'Pada setiap generasi umatku terdapat manusia-manusia adil dari kalangan Ahlul Baitku, yang menyingkirkan dari agama ini segala bentuk penyimpangan orang-orang yang sesat, pemalsuan orang-orang yang batil, dan petakwilan orang-orang yang bodoh.' Adapun riwayat yang kedua ialah hadis yang berbunyi, 'lngatlah, sesungguhnya pemimpin-pemimpin kamu adalah utusan kamu kepada Allah, maka oleh karena itu perhatikanlah siapa yang kamu jadikan utusan ...' Kemudian mereka berkata, 'Rasulullah saw menamakan keduanya dengan nama ats-Tsaqalain dikarenakan ats-tsaql ialah segala sesuatu yang berharga, mulia dan terjaga; dan ke-duanya memang demikian. Karena keduanya adalah tambang ilmu-ilmu agama, hikmah dan hukum syariat. Oleh karena itu, Rasulullah saw menganjurkan untuk mengikuti mereka, berpegang teguh kepada mereka dan belajar dari mereka. Rasulullah saw bersabda, 'Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan hikmah Ahlul Bait di tengah-tengah kita.’ Ada pendapat yang mengatakan bahwa keduanya dinamakan dengan ats-Tsaqlain adalah dikarenakan beratnya bobot kewajiban menjaga hak-hak mereka ..."
Apakah Anda telah menjaga semua ini, wahai Ibnu Hajar, menjaga Rasulullah saw di dalam Ahlul Baitnya, mengikuti mereka dan mengambil agama dari mereka?!
Atau sebaliknya, apakah Anda hanya mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada di hati Anda?! "Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan."
Sungguh benar Imam Ja'far ash-Shadiq as manakala mengatakan, "Mereka mengklaim mencintai kami namun pada saat yang sama mereka melakukan pembangkangan terhadap kami." Ibnu Hajar dan orang-orang yang sepertinya, mereka mengklaim mencintai dan mengikuti Ahlul Bait, namun pada saat yang sama mereka mengambil agama mereka dari orang-orang yang telah menzalimi Ahlul Bait. Dan Ibnu Hajar sendiri, tatkala membuktikan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait dan mengakui kewajiban berpegang teguh kepada mereka, namun pada saat yang sama dia menyerang Syi'ah di dalam kitabnya ash-Shawa'iq, memasukkan mereka ke dalam kelompok yang sesat, dan mencaci maki mereka dengan seburuk-buruknya cacian.
Lantas, apa dosa mereka, wahai Ibnu Hajar?! Apakah hanya karena mereka mengikuti Ahlul Bait dan mengambil agama dari kalangan mereka.
KERAGU-RAGUAN TERHADAP HADIS TSAQALAIN
Di dalam kitabnya yang berjudul al-'llal al-Mutanahiyah fi al-Ahadits al-Wahiyah Ibnu al-Jauzi mencela hadits ats-tsaqalain. Dia mengatakan, setelah sebelumnya mengutip hadis ini, "Hadis ini tidak sahih. Adapun 'Athiyyah telah didhaifkan oleh Ahmad, Yahya dan selain dari mereka berdua. Adapun tentang Abdullah al-Quddus, Yahya telah mengatakan bahwa dia itu bukan apa-apa dan dia itu seorang rafidhi yang jahat. Sedang mengenai Abdullah bin Dahir, Ahmad dan Yahya telah mengatakan bahwa dia itu bukan apa-apa dan bukan termasuk manusia yang terdapat kebaikan dalam dirinya."
Menolak Keragu-Raguan.
1. Sanad hadis tsaqalain tidah hanya terbatas pada sanad ini saja. Hadis tsaqalain telah diriwayatkan melalui berbagai jalan, sebagaimana yang telah dijelaskan.
2. Muslim telah meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui banyak jalan. Dan, tidak diragukan bahwa riwayat Muslim, meski pun hanya melalui satu jalan sudah cukup untuk membuktikan kesahihannya, dan ini merupakan sesuatu yang tidak diperselisihkan di kalangan Ahlus Sunnah.
3. Demikian juga Turmudzi telah meriwayatkannya di dalam sahihnya melalui banyak jalan: Dari Jabir, dari Zaid bin Arqam, dari Abu Dzar, dari Abu Sa'id dan dari Khudzaifah.
4. Perkataan Ibnu al-Jauzi sendiri di dalam kitabnya al-Mawdhu'at, jilid 1, halaman 99 yang berbunyi,
"Manakala Anda melihat sebuah hadis yang tidak terdapat di dalam diwan-diwan Islam (al-Muwaththa, Musnad Ahmad, Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Turmudzi dan sebagainya) maka periksalah. Jika hadis ini mempunyai bandingan di dalam kitab-kitab sahih dan hasan maka tetapkanlah urusannya." Dengan demikian berarti dia telah menentang dirinya sendiri, karena hadis ini telah diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadis yang dinamakannya sebagai diwan-diwan Islam.
5. Sesungguhnya perkataan Ibnu al-Jauzi yang berkenaan dengan 'Athiyyah itu tertolak disebabkan penguatan yang diberikan oleh Ibnu Sa'ad terhadapnya. Ibnu Hajar al-'Asqalani telah berkata, "Ibnu Sa'ad telah berkata, "Athiyyah pergi bersama Ibnu al- Asy'ats, lalu Hajjaj menulis surat kepada Muhammad bin Qasim untuk memerintahkan 'Athiyyah agar mencaci maki Ali, dan jika dia tidak melakukannya maka cambuklah dia sebanyak empat ratus kali dan cukurlah janggutnya. Muhammad bin Qasim pun memanggilnya, namun 'Athiyyah tidak mau mencaci maki Ali, maka dijatuhkanlah ketetapan Hajaj kepadanya. Kemudian 'Athiyyah pergi ke Khurasan, dan dia terus tinggal di sana hingga Umar bin Hubairah memerintah Irak. 'Athiyyah tetap terus tinggal di Khurasan hingga meninggal pada tahun seratus sepuluh hijrah. Insya Allah, dia se- orang yang dapat dipercaya, dan dia mempunyai hadis-hadis yang layak.”[46] Padahal diketahui bahwa Ibnu Sa'ad adalah termasuk seorang nawasib yang memusuhi Ahlul Bait. Tingkat permusuhannya ter-hadap Ahlul Bait sampai sedemikian rupa sehingga Imam Ja'far ash-Shadiq as mendhaifkannya. Maka penguatan yang diberikannya kepada 'Athiyyah cukup menjadi hujjah atas musuh.
6. Sesungguhnya 'Athiyyah termasuk orangnya Ahmad bin Hanbal, dan Ahmad bin Hanbal tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang dapat dipercaya (ats-tsiqah), sebagaimana yang sudah diketahui. Ahmad telah meriwayatkan banyak riwayat darinya, sehingga penisbahan pendhaifan 'Athiyyah kepada Ahmad adalah sebuah kebohongan yang nyata. Taqi as-Sabaki telah mengatakan, "Ahmad —semoga Allah merahmatinya— tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang dapat dipercaya (ats-tsiqah). Musuh (maksudnya Ibnu Taimiyyah) telah berterus terang tentang hal itu di dalam kitab yang dikarangnya untuk menjawab al-Bakri, setelah sepuluh kitab lainnya. Ibnu Taimiyyah berkata, 'Sesungguhnya para ulama hadis yang mempercayai ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil ada dua kelompok. Sebagian dari mereka tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang dapat dipercaya dalam pandangan mereka, seperti Malik, Ahmad bin Hanbal dan lainnya.'"[47]
7. Penguatan yang diberilan oleh cucu Ibnu Jauzi kepada 'Athiyyah. Cucu Ibnu Jauzi dengan tegas memberikan penguatan terhadap 'Athiyyah dan menolak pendhaifannya.
8. Adapun usaha Ibnu Jauzi menisbahkan pendhaifan 'Athiyyah kepada Yahya bin Mu'in itu tertolak, didasarkan kepada penukilan a-Dawri dari Ibnu Mu'in yang mengatakan bahwa 'Athiyyah ada- lah seorang yang saleh. Al-Hafidz Ibnu Hajar telah berkata tentang biografi 'Athiyyah, "Ad-Dawri telah berkata dari Ibnu Mu'in bahwa 'Athiyyah adalah seorang yang saleh."[48] Dengan begitu, gugurlah apa yang telah dinisbahan Ibnu Jauzi kepada Yahya Mu'in.
Sesuatu yang menunjukkan kebodohan Ibnu Jauzi akan hadis tsaqalain ialah dia mengira bahwa dengan semata-mata mendhaifkan 'Athiyyah berarti dia telah mendhaifkan hadis tsaqalain, padahal sudah diketahui dengan jelas bahwa penguatan atau pendhaifan 'Athiyyah sama sekali tidak mencemarkan hadis tsaqalain. Karena hadis yang telah diriwayatkan oleh 'Athiyyah dari Abi Sa'id juga telah diriwayatkan dari Abi Sa'id oleh Abu Thufail, yang termasuk ke dalam kategori sahabat. Dan jika kita melangkah lebih jauh lagi dari itu niscaya kita akan menemukan bahwa kesahihan hadis tsaqalain tidak bergantung kepada riwayat Abi Sa'id, baik yang melalui jalan 'Athiyyah maupun yang melalui jalan Abu Thufail. Jika seandainya kita menerima ke-dhaifan riwayat Abi Sa'id dengan semua jalannya, maka yang demikian itu tidak membahayakan sedikit pun terhadap hadis ini, disebabkan banyaknya riwayat dan jalan lain yang dimilikinya.
Jawaban Kepada Ibnu Jauzi Atas Pendhaifannya Terhadap Ibnu Abdul Quddus
1. Adapun celaannya terhadap Abdullah bin Abdul Quddus tertolak dengan penguatan yang diberikan oleh al-Hafidz Muhammad bin Isa terhadap Abdullah bin Abdul Quddus. Al-Hafidz Muhammad bin Isa berkata tentang biografi Abdullah bin Abdul Quddus, "Ibnu 'Uday telah menceritakan dari Muhammad bin Isa yang mengatakan, 'Dia (Abdullah bin Abdul Quddus) itu dapat dipercaya."'[49]
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani berkata, "Telah diceritakan bahwa Muhammad bin Isa telah berkata, 'Dia itu dapat dipercaya.'"[50]
Adapun tentang Muhammad bin Isa, al-Hafidz adz-Dzahabi telah berkata, "Abu Hatim telah berkata, 'Dia seorang yang dapat dipecaya. Saya belum pernah melihat dari kalangan muhaddis yang lebih menguasai bab-bab hadis melebihi dia.' Abu Dawud telah berkata, 'Dia seorang yang dapat dipercaya.'"
2. Muhammad bin Hayan memasukkan Abdullah bin Abdul Quddus ke dalam kelompok orang yang dapat dipercaya. Ibnu Hajar telah berkata tentang biografi Abdullah bin Abdul Quddus, "Ibnu Hayan telah memasukkannya ke dalam kelompok orang yang dapat di- percaya."[51]
3. Al-Haitsami telah menukil di dalam kitabnya Majma' az-Zawa'id, "Bukhari dan Ibnu Hayan telah menguatkannya."
4. Al-Hafidz al-'Asqalani telah berkata tentang biografinya, "Dia, pada dasarnya adalah seorang yang amat jujur, hanya saja dia me- riwayatkan dari kaum-kaum yang dhaif."[52]
Kritikan Bukhari terhadap Ibnu Abdul Quddus, setelah sebelumnya dia menguatkannya, bahwa dia meriwayatkan dari orang-orang yang lemah tidaklah tertuju kepada hadis ini. Karena Ibnu Abdul Quddus meriwayatkan hadis tsaqalain —yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi— dari al-A'masy, dan dia adalah seorang yang dapat dipercaya.
5. Abdulah bin Abdul Quddus adalah termasuk orangnya Bukhari di dalam kitab sahihnya, di dalam bab at-Ta'liqat. Sebagaimana juga disebutkan di dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, jilid 5, halaman 303; dan juga kitab Tagrib at-Tahdzib, jilid 1, halaman 430. Kelulusan yang diberikan oleh Bukhari kepadanya, meskipun itu terdapat di dalam bab at-Ta'liqat merupakan bukti penguatan Bukhari terhadapnya.
Ibnu Hajar al-'Asqalani, di dalam memberikan jawaban terhadap tuduhan yang dilontarkan kepada orang-orang Bukhari berkata di dalam mukaddimah Fath al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari, "Sebelum menyelami masalah ini, hendaknya setiap orang yang sadar mengetahui bahwa kelulusan yang diberikan oleh pemilik kitab sahih ini —yaitu Bukhari— kepada perawi mana saja, menuntut keadilan perawi tersebut dalam pandangan Bukhari, kebenaran rekamannya dan ketidaklalaiannya. Apalagi mayoritas para imam menamakan kedua kitab ini sebagai dua kitab sahih. Makna ini tidak berlaku bagi orang yang tidak diluluskan di dalam kedua kitab sahih ini."
6. Abdullah bin Abdul Quddus termasuk orangnya Turmudzi.
7. Pencemaran terhadap Abdullah bin Abdul Quddus juga tidak membahayakan hadis ini. Bahkan sekali pun dengan riwayat al-A'masy dari 'Athiyyah, dari Abi Sa'id, disebabkan tidak hanya Abdullah bin Abdul Quddus sendiri yang meriwayatkan hadis ini dari al- A'masy. Hadis ini juga telah diriwayatkan dari al-A'masy oleh Muhammad bin Thalhah bin al-Musharrih al-Yami dan Muhammad bin Fudhail bin Ghazwan adh-Dhibbi di dalam Musnad Ahmad dan Turmudzi, sebagaimana yang telah dijelaskan kepada Anda. Dan ini merapakan bukti kebenaran riwayat ini. Sebagaimana juga al- A'masy tidak hanya meriwayatkan hadis ini dari 'Athiyyah, dia juga meriwayatkan hadis ini dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman Masiri al-Ghazrami dan Abi Israil Ismail bin Khalifah al-'Abasi, sebagaimana disebutkan di dalam Musnad Ahmad, dan juga dari Harun bin Sa'ad al-'Ajali dan Katsir bin Ismail at-Timi, sebagaimana terdapat di dalam Mu'jam ath-Thabrani.
Adapun Pendhaifan Ibnu Jauzi Terhadap Abdullah bin Dahir:
1. Ini bertentangan dengan kaidah-kaidah ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil. Karena tuduhan samar tidak dapat diterima dari siapa pun.
2. Tidak ada sebab yang rasional untuk menuduhnya di dalam riwayat ini, selain karena periwayatannya tentang keutamaan-keutamaan Amirul Mukminin. Sebagaimana dikatakan oleh adz-Dzahabi, "Ibnu 'Adi berkata, 'Kebanyakan riwayat yang diriwayatkannya berkenaan dengan keutamaan-keutamaan Ali, dan dia menjadi tertuduh karena hal itu.'"[53] Sungguh, pendhaifannya karena sebab ini tidak dapat diterima.
3. Dan yang lebih mengherankan dari Ibnu al-Jauzi ialah dia berusaha sedemikian rupa untuk mendhaifkan hadis ini dengan cara memasukkan Abdullah bin Dahir ke dalam sanad hadis ini, padahal dengan jelas diketahui bahwa Abdullah bin Dahir sama sekali tidak termasuk ke dalam sanad hadis ini. Silahkan rujuk kepada riwayat- riwayat yang telah disebutkan dan juga riwayat-riwayat yang belum kami sebutkan, apakah Anda mendapati Abdullah bin Dahir di dalam sanad hadis ini?! Dan saya tidak memahami hal ini selain dari permusuhan kepada Ahlul Bait dan usaha-usaha untuk menghapus hak-hak mereka. Akan tetapi Allah enggan akan hal itu kecuali Dia menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang yang kafir tidak suka.
4. Cucu Ibnu al-Jauzi, setelah menyebutkan hadis tsaqalain dari Musnad Ahmad bin Hambal dia mengatakan, "Jika dikatakan, 'Kakek Anda telah mengatakan di dalam kitab al-Wahiyah, '.... (lalu dia menyebutkan perkataan Ibnu al-Jauzi di dalam mendhaifkan hadis ini, sebagaimana yang telah disebutkan)', maka saya katakan, 'Hadis yang kami riwayatkan telah disahkan oleh Ahmad di dalam al-Fadhail, dan tidak ada seorang pun di dalam sanadnya yang didhaifkan oleh kakek saya. Abu Dawud juga telah mensahkannya di dalam sunannya, dan begitu juga Turmudzi dan mayoritas kalangan muhaddis. Razin juga telah menyebutkannya di dalam kitab al-Jam' Baina ash-Shabah. Sungguh mengherankan bagaimana mungkin hadis yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam sahihnya dari Zaid bin Arqam dapat tersembunyi dari kakek saya.'"[54] Apa yang dikatakan oleh cucu Ibnu al-Jauzi tidak lain merupakan pembenaran bagi Ibnu al-Jauzi. Karena jika tidak maka tentu Ibnu al-Jauzi tidak lalai akan hadis yang dapat disaksikan di dalam referensi-referensi kaum Muslimin ini, dengan banyaknya ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya, namun dia ingin menipu dan membuat makar maka Allah pun membuat makar terhadapnya dan menggagalkan urusannya.
Kritikan Ibnu Taimiyyah.
Adapun kritikan Ibnu Taimiyyah terhadap hadis tsaqalain di dalam kitabnya Minhaj as-Sunnah lebih lemah untuk kita diskusikan, namun dengan maksud untuk memaparkannya kita akan tetap menyebutkan pemikiran yang kosong ini, yang tidak mengekspresikan apa-apa kecuali kesalah-pahaman. Ketika Ibnu Taimiyyah tidak mampu mendhaifkan hadis tsaqalain dari sisi sanad, sebagaimana kebiasaannya di dalam mendhaifkan setiap hadis yang berbicara tentang keutaman Ahlul Bait, dia menggunakan cara lain yang tidak kita temukan pada yang lain selain dia. Dia mengatakan, hadis ini tidak menunjukkan kepada wajibnya berpegang teguh kepada Ahlul Bait melainkan hanya menunjukan kepada wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur'an saja.
Manusia berakal mana yang menarik kesimpulan dan pemahaman yang seperti ini dari nas yang sedemikian jelas ini?! Zahir hadis memastikan dan menekankan wajibnya berpegang teguh kepada keduanya, yaitu al-Kitab dan al-'Itrah. Karena jika tidak maka apa artinya tsaqalain (dua benda yang sangat berharga)? (Aku tinggalkan padamu dua benda yang sangat berharga). Apa artinya sabda Rasulullah saw yang berbunyi, "Jika kamu berpegang teguh kepada keduanya"?! Akan tetapi kefanatikan telah membutakan hati, dan Ibnu Taimiyyah pun berargumentasi atas hal itu dengan sebuah hadis yang terdapat di dalam sahih Muslim yang berasal dari Jabir, dan kemudian dia melemparkan seluruh hadis yang lain ke dinding atau berpura-pura lalai darinya, meski pun hadis-hadis tersebut banyak riwayatnya dan banyak jalannya. Yaitu sebuah hadis yang dengan jelas tampak cacat bagi orang yang teliti apabila dibandingkan dengan hadis-hadis lain yang ada di dalam bab ini. Hadis yang dijadikan argumentasi oleh Ibnu Taimiyyah ialah, "Aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sesudahnya, yaitu Kitab Allah."
Hadis ini jelas-jelas cacat dan menyimpang. Karena hadis Jabir sendiri terdapat di dalam riwayat Turmudzi, dimana di dalamnya terdapat perintah yang jelas akan wajibnya berpegang teguh kepada Ahlul Bait. Adapun bunyi nas hadis yang terdapat di dalam riwayat Turmudzi ialah, "Wahai manusia, sesungguhnya aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan 'ltrah Ahlul Baitku."
Kritikan Ibnu Taimiyyah itu sendiri juga mengenai dirinya. Karena dia mengatakan wajibnya berpegang teguh kepada al-Kitab dan sunah. Tentunya perintah yang datang dari Rasulullah saw itu satu, apakah kewajiban berpegang teguh kepada al-Kitab saja atau kewajiban berpegang teguh kepada al-Kitab dan sunah. Ketika Ibnu Taimiyyah memilih kewajiban berpegang teguh kepada al-Qur'an saja, maka tentunya kewajiban berpegang teguh kepada sunah menjadi gugur. Ini jelas bertentangan dengan pendapat Ibnu Taimiyyah sendiri, sebagaimana tampakjelas dari mazhabnya—yaitu Ahlus Sunnah, sebagaimanajuga dia menamakan kitab tempat dia menyebutkan hadis ini dengan nama Minhaj as-Sunnah, dan tidak dengan nama Minhaj al-Qur'an.
Jika menurut keyakinannya bahwa hadis yang disebutkannya ini tidak membatalkan hadis berpegang teguh kepada al-kitab dan sunah maka tentunya hadis ini pun tidak membatalkan hadis yang mengatakan wajibnya berpegang teguh kepada al-kitab dan 'ltrah Ahlul Bait.
Ibnu Taimiyyah tidak berhenti sampai disini, dia mengatakan tentang hadis "... dan 'ltrah Ahlul Baitku. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah hingga menemuiku di telaga", "Sesungguhnya hadis ini diriwayatkan oleh Turmudzi. Dan, Ahmad telah ditanya tentang hadis ini, serta tidak hanya seorang dari ahli ilmu yang mendhaifkan hadis ini. Mereka mengatakan bahwa hadis ini tidak sahih."
Adapun jawaban terhadap Ibnu Taimiyyah, Anda dapat merasakan dari perkataan Ibnu Taimiyyah bahwa nas hadis ini tidak diriwayatkan kecuali oleh Turmudzi, padahal sebagaimana sudah Anda ketahui bahwa hadis ini telah diriwayatkan tidak hanya oleh seorang dari kalangan ulama Ahlus Sunnah dan para hafidz mereka.
Lantas, apa yang dia maksud dengan mengatakan hadis ini diriwayatkan oleh Turmudzi?!
Apakah dia ingin mengatakan riwayat Turmudzi menunjukkan kedhaifan hadis ini?!
Siapa yang telah bertanya kepada Ahmad?! Dan apa jawaban Ahmadkepadanya?!
Di mana perkataan ini dapat ditemukan?!
Bukankah Ahmad sendiri telah meriwayatkan dan menguatkan hadis ini?!
Dan siapa yang mendhaifkan hadis ini, sehingga Ibnu Taimiyyah mengatakan tidak hanya seorang?! Kenapa dia tidak menyebutkan nama-nama mereka?!
Dan banyak lagi pertanyaan lainnya yang dapat ditujukan kepada Ibnu Taimiyyah. Jika dia dapat memberikan jawaban yang kuat tentu kita akan menerima kritikannya terhadap hadis ini. Namun, kita tidak mungkin menerima pembicaraannya yang rancu dan samar.
Namun, inilah kebiasaan Ibnu Taimiyyah, dia bersedia menyesatkan umat dan menutupi kebenaran.
Inilah keragu-raguan yang paling tampak di dalam bab ini, dan menurut pengkajian saya, saya tidak melihat adanya orang yang mencela hadis tsaqalain, yang telah tertetapkan secara mutawatir dan telah diakui kesahihannya oleh para ulama umat, dari kalangan huffadz dan muhaddis. Tidak ada yang berani mencela hadis tsaqalain ini kecuali orang yang mempunyai hati yang jahat yang dipenuhi dengan ke-bencian kepada Ahlul Bait.
Setelah terbukti dengan jelas kesahihan hadis ini bagi kita, maka kita wajib menyingkap penunjukkan maknanya, untuk kemudian berpegang teguh kepadanya.
PENUNJUKKAN HADIS TSAQALAIN TERHADAP KEIMAMAHAN AHLUL BAIT
Penunjukkan makna hadis tsaqalain terhadap keimamahan Ahlul Bait adalah sesuatu yang amat jelas bagi setiap orang yang adil. Karena makna hadis tsaqalain menunjukkan kepada wajibnya mengikuti mereka di dalam masalah-masalah keyakinan, hukum dan pendapat, dan tidak menentang mereka baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Karena amal perbuatan apa pun yang melenceng dari kerangka mereka maka dianggap telah keluar dari Al-Qur'an, dan tentunya juga telah keluar dari agama. Dengan demikian, mereka adalah ukuran yang teliti, yang dengannya dapat diketahui jalan yang benar. Karena sesungguhnya tidak ada petunjuk kecuali melalui jalan mereka dan tidak ada kesesatan kecuali dengan menentang mereka. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan, "jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat". Karena yang dimaksud berpegang teguh kepada Al-Qur'an ialah mengamalkan apa yang ada di dalamnya, yaitu menuruti perintahnya dan menjauhi laranganya. Demikian juga halnya dengan berpegang teguh kepada 'ltrah Ahlul Bait. Karena jawab syarat tidak akan dapat terlaksana kecuali dengan terlaksananya yang disyaratkan (al-masyruth) terlebih dahulu. Dhamir (kata ganti) "bihima" kembali kepada al-Kitab dan 'ltrah. Saya kira tidak ada seorang pun dari orang Arab, yang mempunyai pemahaman sedikit tentang bahasa, yang menentang hal ini. Dengan demikian, maka mengikuti Ahlul Bait sepeninggal Rasulullah saw adalah sesuatu yang wajib, sebagaimana juga mengikuti Al-Qur'an adalah sesuatu yang wajib, terlepas dari siapa yang dimaksud dengan Ahlul Bait itu. Karena hal ini merupakan pembahasan berikutnya. Yang penting di sini ialah kita membuktikan bahwa perintah dan larangan serta ikutan adalah milik Ahlul Bait. Adapun pembahasan mengenai siapa mereka, berada di luar konteks pembahasan hadis ini. Sebagaimana para ulama ilmu ushul mengatakan, "Sesungguhnya proposisi tidak menetapkan maudhu-nya"', maka tentu Ahlul Bait adalah para khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Sabda Rasulullah yang berbunyi "Aku tinggalkan padamu...." adalah merupakan nas yang jelas bahwa Rasulullah saw menjadikan mereka sebagai khalifah sepeninggal beliau, dan berpesan kepada umat untuk mengikuti mereka. Rasulullah saw menekankan hal ini dengan sabdanya "Maka perhatikanlah bagaimana kamu memperlakukan keduanya sepeninggalku". Kekhilafahan Al-Qur'an sudah jelas, sementara kekhilafahan Ahlul Bait tidak dapat terjadi kecuali dengan keimamahan mereka.
Oleh karena itu, Kitab Allah dan 'ltrah Rasulullah saw adalah merupakan sebab yang menyampaikan manusia kepada keridaan Allah. Karena mereka adalah tali Allah yang kita telah telah diperintahkan oleh Allah untuk berpegang teguh kepadanya, "Dan berpegang teguh lah kamu kepada tali Allah." (QS. Ali 'lmran: 103)
Ayat ini bersifat umum di dalam menentukan apa dan siapa tali Allah yang dimaksud. Sesuatu yang dengan jelas dapat disimpulkan dari ayat ini ialah wajibnya berpegang teguh kepada tali Allah; lalu kemudian datang sunah dengan membawa hadis tsaqalain dan hadis-hadis lainnya, yang menjelaskan bahwa tali yang kita diwajibkan berpegang teguh kepadanya ialah Kitab Allah dan Rasulullah saw.
Sekelompok para mufassir telah mengatakan yang demikian itu. Ibnu Hajar telah menyebut nama-nama mereka di dalam kitabnya ash-Shawa'iq, di dalam bab "Apa-Apa Yang Diturunkan Dari Al-Qur'an Tentang Ahlul Bait". Silahkan Anda merujuknya!
Al-Qanduzi menyebutkannya di dalam kitabnya Yanabi' al-Mawaddah. Dia berkata tentang firman Allah SWT yang berbunyi "Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali Allah", "Tsa'labi telah mengeluarkan dari Aban bin Taghlab, dari Ja'far ash-Shadiq as yang berkata, 'Kami inilah tali Allah yang telah Allah katakan di dalam firman-Nya 'Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali Allah danjanganlah berpecah-belah.'" Penulis kitab al-Manaqib juga mengeluarkan dari Sa'id bin Jabir, dari Ibnu Abbas yang berkata, "Kami pernah duduk di sisi Rasulullah saw, lalu datang seorang orang Arab yang berkata, 'Ya Rasulullah, saya dengar Anda berkata, 'Berpegang teguhlah kamu kepada tali Allah', lalu apa yang dimaksud tali Allah yang kita diwajibkan berpegang teguh kepadanya?' Rasulullah saw memukulkan tangannya ke tangan Ali seraya berkata, 'Berpegang teguhlah kepada ini, dia lah tali Allah yang kokoh itu.'"[55]
Adapun sabda Rasulullah saw yang berbunyi "Keduanya tidak akan pernah berpisah hingga menemui aku di telaga", menunjukkan kepada beberapa arti berikut:
Pertama, menetapkan kemaksuman mereka. Karena keseiringan mereka dengan Kitab Allah yang sama sekali tidak ada sedikit pun kebatilan di dalamnya, menunjukkan pengetahuan mereka tentang apa yang ada di dalam Kitab Allah dan bahwa mereka tidak akan menyalahinya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Jelas, munculnya penentangan dalam bentuk apa pun dari mereka terhadap Kitab Allah, baik disengaja maupun tidak disengaja, itu berarti keterpisahan mereka dari Kitab Allah. Padahal, secara tegas hadis mengatakan keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga menjumpai Rasulullah saw di telaga. Karena jika tidak demikian, maka itu berarti menuduh Rasulullah saw berbohong. Pemahaman ini juga dikuatkan oleh dalil-dalil Al-Qur'an dan sunah. Kita akan tunda pembahasan ini pada tempatnya.
Kedua, sesungguhnya kata lan menunjukkan arti pelanggengan (ta'bidiyyah). Yaitu berarti bahwa berpegang teguh kepada keduanya akan mencegah manusia dari kesesatan untuk selamanya, dan itu tidak dapat terjadi kecuali dengan berpegang teguh kepada keduanya secara bersama-sama, tidak hanya kepada salah satunya saja. Sabda Rasulullah saw di dalam riwayat Thabrani yang berbunyi "Janganlah kamu mendahului mereka karena kamu akan celaka, janganlah kamu tertinggal dari mereka karena kamu akan binasa, dan janganlah kamu mengajari mereka karena sesungguhnya mereka lebih mengetahui dari kamu" memperkuat makna ini.
Ketiga, keberadaan 'ltrah di sisi Kitab Allah akan tetap berlangsung hingga datangnya hari kiamat, dan tidak ada satu pun masa yang kosong dari mereka. Ibnu Hajar telah mendekatkan makna ini di dalam kitabnya ash-Shawa'iq, "Di dalam hadis-hadis yang menganjurkan untuk berpegang teguh kepada Ahlul Bait, terdapat isyarat yang mengatakan tidak akan terputusnya kelayakan untuk berpegang teguh kepada mereka hingga hari kiamat. Demikian juga halnya dengan Kitab Allah. Oleh karena itu, mereka adalah para pelindung bagi penduduk bumi, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti. Hadis yang berbunyi 'Pada setiap generasi dari umatku akan ada orang-orang yang adil dari Ahlul Baitku', memberikan kesaksian akan hal ini. Kemudian, orang yang paling berhak untuk diikuti dari kalangan mereka, yang merupakan imam mereka ialah Ali bin Abi Thalib —karramallah wajhah, dikarenakan keluasan ilmunya dan ketelitian hasil-hasil istinbathnya.[56]
Keempat, kata ini juga menunjukkan kelebihan mereka dan pengetahuan mereka terhadap rincian syariat; dan itu dikarenakan keseiringan mereka dengan Kitab Allah yang tidak mengabaikan hal-hal yang kecil apalagi hal-hal yang besar. Sebagaimana Rasulullah saw telah bersabda, "Janganlah kamu mengajari mereka karena mereka lebih tahu darimu."
Ringkasnya, mau tidak mau harus ada seorang dari kalangan Ahlul Bait pada setiap jaman hingga datangnya hari kiamat, yang ucapan dan perbuatannya tidak menyalahi Al-Qur'an, sehingga tidak berpisah darinya. Dan arti dari "tidak berpisah dari Al-Qur'an secara perkataan maupun perbuatan" ialah berarti dia maksum dari segi perkataan dan perbuatan, sehingga wajib diikuti karena merupakan pelindung dari kesesatan.
Tidak ada yang mengatakan arti yang seperti ini kecuali Syi'ah, di mana mereka mengatakan wajibnya adanya imam dari kalangan Ahlul Bait pada setiap jaman, yang terjaga dari segala kesalahan, yang kita wajib mengenal dan mengikutinya. Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak mengenal Imam jaman-nya maka dia mati sebagaimana matinya orang jahiliyyah." Makna yang demikian ditunjukkan oleh firman Allah SWT yang berbunyi, "Dan pada hari di saat Kami memanggil setiap manusia dengan Imam mereka." •
BAB IV
Siapa Ahlul Bait Itu?
Pembahasan ini termasuk sejelas-jelasnya pembahsan. Karena tidak ada seorang pun manusia yang pura-pura tidak mengenal Ahlul Bait kecuali mereka para penentang yang tidak menemukan jalan keluar dari dalil-dalil yang pasti tentang wajibnya mengikuti mereka, lalu mereka pun berlindung kepada keragu-raguan tentang siapa yang dimaksud dengan Ahlul Bait itu. Inilah yang dapat saya saksikan dari berbagai diskusi yang saya lakukan dengan teman-teman. Ketika salah seorang mereka tidak menemukan jalan untuk menghindar dari keharusan mengikuti Ahlul Bait, dengan serta-merta dia melontarkan berbagai pertanyaan yang meragukan,
Siapa Ahlul Bait itu?
Bukankah istri-istri Rasulullah saw termasuk Ahlul Baitnya?! Bukankah Rasulullah saw telah bersabda, "Salman dari kalangan kami Ahlul Bait"?!
Bahkan, bukankah Abu Jahal juga termasuk keluarga Rasulullah saw?!
Tidak ada yang mereka inginkan dari seluruh pertanyaan ini kecuali keinginan untuk mengingkari kenyataan hadis Tsaqalain, yang merupakan salah satu hadis yang menunjukkan kepada keimamahan Ahlul Bait, mereka menduga bahwa dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan ini, mereka dapat membungkam akalnya dan membungkam seruan nuraninya. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan perkiraan mereka, dan hujjah tetap tegak berdiri meskipun dia mengingkari atau pun tidak mengingkari.
Saya pernah mengatakan kepada sebagian mereka manakala mereka melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, "Kenapa Anda menginginkan segala sesuatunya tersedia dengan tanpa susah-payah?! Sesungguhnya pikiran-pikiran yang sudah dikemas tidak memberikan faidah. Saya mampu memberikan jawaban, namun Anda pun mampu menolak dan mengingkari jawaban saya, karena Anda tidak merasakan pahitnya melakukan pembahasan dan tidak menanggung kesulitan untuk bisa memberikan jawaban. Apakah hanya saya yang diwajibkan untuk menjawab? Apakah Rasulullah saw telah memerintahkan kepada saya secara khusus untuk berpegang teguh kepada Ahlul Bait?! Tidak, kita semua diwajibkan untuk menjawab pertanyaan ini. Karena telah tegak hujjah atas kita akan wajibnya mengikuti Ahlul Bait dan mengambil agama dari mereka, sehingga kita wajib mengenal mereka dan untuk kemudian mengikuti mereka."
Pada kesempatan ini pun saya tidak akan memperluas argumentasi dan dalil, melainkan saya cukup mengemukakan beberapa petunjuk yang jelas, dan bagi siapa yang menginginkan keterangan yang lebih maka dia sendiri yang harus memperdalamnya.
Ahlul Bait Di Dalam Ayat Tathhir
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya." (QS. al-Ahzab: 33)
Sesungguhnya turunnya ayat ini kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain adalah termasuk perkara yang amat jelas bagi mereka yang mengkaji kitab-kitab hadis dan tafsir. Dalam hal ini Ibnu Hajar berkata, "Sesungguhnya mayoritas para mufassir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali, Fatimah, Hasan dan Husain."[57] Ayat ini, disebabkan penunjukkannya yang jelas terhadap kemaksuman Ahlul Bait, tidak sejalan kecuali dengan mereka. Ini dikarenakan apa yang telah kita jelaskan, yaitu bahwa mereka itu adalah pusaka umat ini dan para pemimpin sepeninggal Rasulullah saw. Oleh karena itu, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk mengikuti mereka. Arti kemaksuman juga dengan jelas dapat disaksikan dari ayat ini, bagi mereka yang mempunyai hati dan mau mendengarkan. Hal itu dikarenakan mustahil tidak terlaksananya maksud jika yang mempunyai maksud itu adalah Allah SWT; dan huruf al-hashr (pembatasan) yaitu kata “innama” menunjukkan kepada arti ini. Yang menjadi fokus perhatian kita di dalam pembahasan ini ialah membuktikan bahwa ayat ini khusus turun kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.
Hadis Al-Kisa`` Menentukan Siapa Yang Dimaksud Dengan Ahlul Bait
Argumentasi terdekat dan terjelas yang berkenaan dengan penafsiran ayat ini ialah sebuah hadis yang dikenal di kalangan para ahli hadis dengan sebutan hadis al-Kisa``, yang tingkat kesahihan dan kemutawatirannya tidak kalah dari hadis Tsaqalain.
1. Al-Hakim telah meriwayatkan di dalam kitabnya al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain fi al-Hadis:
"Dari Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib yang berkata, 'Ketika Rasulullah saw memandang ke arah rahmat yang turun, Rasulullah saw berkata, 'Panggilkan untukku, panggilkan untukku.' Shafiyyah bertanya, 'Siapa, ya Rasulullah?!' Rasulullah menjawab, 'Ahlul Baitku, yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.' Maka mereka pun dihadirkan ke hadapan Rasulullah, lalu Rasulullah saw meletakkan pakaiannya ke atas mereka, kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berkata, 'Ya Allah, mereka inilah keluargaku (maka sampaikanlah salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad).' Lalu Allah SWT menurunkan ayat 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. '"[58]
Al-Hakim berkata, "Hadis ini sahih sanadnya."
2. Al-Hakim meriwayatkan hadis serupa dari Ummu Salamah yang berkata, "Di rumah saya turun ayat yang berbunyi 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya'. Lalu Rasulullah saw mengirim Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, dan kemudian berkata, 'Mereka inilah Ahlul Baitku.'"[59] Kemudian, al-Hakim berkata, "Hadis ini sahih menurut syarat Bukhari." Di tempat lain al-Hakim juga meriwayatkan hadis ini dari Watsilah, dan kemudian berkata, "Hadis ini sahih menurut syarat mereka berdua."
3. Muslim meriwayatkan hadis ini di dalam kitab sahihnya dari Aisyah yang berkata, "Rasulullah saw pergi ke luar rumah pagi-pagi sekali dengan mengenakan pakaian (yang tidak dijahit dan) bergambar. Lalu Hasan bin Ali datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu Husain datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu datang Fatimah, dan Rasulullah saw pun memasukkannya ke dalam pakaiannya; berikutnya Ali juga datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; kemudian Rasulullah saw berkata, "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya."[60]
Berita ini dapat ditemukan di dalam banyak riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab sahih, kitab-kitab hadis dan kitab-kitab tafsir.[61] Hadis al-Kisa` termasuk hadis yang sahih dan mutawatir, yang tidak ada seorang pun yang mendhaifkannya, baik dari kalangan terdahulu maupun kalangan terkemudian. Sungguh akan banyak memakan waktu jika kita menyebutkan seluruh riwayat ini. Saya menghitung ada dua puluh tujuh riwayat yang kesemuanya sahih.
Di antara riwayat yang paling jelas di dalam bab ini —di dalam menentukan siapa Ahlul Bait— ialah riwayat yang dinukil oleh as-Suyuthi di dalam kitab tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, yang berasal dari Ibnu Mardawaih, dari Ummu Salamah yang berkata, "Di rumahku turun ayat 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.' Saat itu di rumahku ada tujuh orang yaitu Jibril, Mikail, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, sementara aku berada di pintu rumah. Kemudian saya berkata, 'Ya Rasulullah, tidakkah aku termasuk Ahlul Bait?!' Rasulullah saw menjawab, 'Sesungguhnya engkau berada pada kebajikan, dan sesungguhnya engkau termasuk istri Rasulullah saw.'"[62]
Pada riwayat al-Hakim di dalam kitab Mustadraknya disebutkan, Ummu Salamah bertanya, "Ya Rasulullah, saya tidak termasuk Ahlul Bait?" Rasulullah saw menjawab, "Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan, mereka itulah Ahlul Baitku. Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku yang lebih berhak."[63]
Pada riwayat Ahmad disebutkan, "Saya mengangkat pakaian penutup untuk masuk bersama mereka namun Rasulullah saw menarik tangan saya sambil berkata, 'Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan.'"[64] Ini cukup membuktikan bahwa yang dimaksud Ahlul Bait ialah mereka Ashabul Kisa, sehingga dengan demikian mereka itu adalah padanan al-Qur'an, yang kita telah diperintahkan oleh Rasulullah saw — di dalam hadis Tsaqalain — untuk berpegang teguh kepada mereka.
Orang yang mengatakan bahwa 'itrah itu artinya keluarga, sehingga mengubah makna, perkataannya itu tidak dapat diterima. Karena tidak ada seorang pun dari para pakar bahasa yang mengatakan demikian. Ibnu Mandzur menukil di dalam kitabnya Lisan al-'Arab, "Sesungguhnya 'itrah Rasulullah saw adalah keturunan Fatimah ra. Ini adalah perkataan Ibnu Sayyidah. Al-Azhari berkata, 'Di dalam hadis Zaid bin Tsabit yang berkata, 'Rasulullah saw bersabda, '... lalu dia menyebut hadis Tsaqalain' . Maka di sini Rasulullah menjadikan 'itrahnya sebagai Ahlul Bait.' Abu Ubaid dan yang lainnya berkata, "Itrah seorang laki-laki adalah kerabatnya.' Ibnu Atsir berkata, "Itrah seorang laki-laki lebih khusus dari kaum kerabatnya.' Ibnu A'rabi berkata, "Itrah seorang laki-laki ialah anak dan keturunannya yang berasal dari tulang sulbinya.' Ibnu A'rabi melanjutkan perkataannya, 'Maka 'itrah Rasulullah saw adalah keturunan Fatimah."[65] Dari makna-makna ini menjadi jelas bahwa yang dimaksud Ahlul Bait bukan mutlak kaum kerabat, melainkan kaum kerabat yang paling khusus. Oleh karena itu, di dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa tatkala Zaid bin Arqam ditanya, siapa yang dimaksud dengan Ahlul Bait Rasulullah? Apakah istri-istrinya?
Zaid bin Arqam menjawab, "Tidak, demi Allah. Sesungguhnya seorang wanita tidak selamanya bersama suaminya, karena jika dia ditalak maka dia akan kembali kepada ayah dan kaumnya. Adapun yang dimaksud Ahlul Bait Rasulullah saw ialah keluarga nasabnya, yang diharamkan sedekah atas mereka sepeninggalnya (Rasulullah saw)."
Menjadi anggota Ahlul Bait tidak pernah diklaim oleh seorang pun dari kaum kerabat Rasulullah saw, dan begitu juga oleh istri-istrinya. Karena jika tidak, maka tentunya sejarah akan menceritakan hal itu kepada kita. Tidak ada di dalam sejarah dan juga di dalam hadis yang menyebutkan bahwa istri Rasulullah saw berhujjah dengan ayat ini. Sebaliknya dengan Ahlul Bait. Inilah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, "Sesungguhnya Allah Azza Wajalla mengutamakan kami Ahlul Bait. Bagaimana tidak demikian padahal Allah SWT telah berfirman di dalam Kitab-Nya, 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.' Allah SWT telah mensucikan kami dari berbagai kotoran, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Maka kami berada di atas jalan kebenaran."
Putranya al-Hasan as berkata, "Wahai manusia, barangsiapa yang mengenalku maka sungguh dia telah mengenalku, dan barangsiapa yang tidak mengenalku maka inilah aku Hasan putra Ali. Akulah anak seorang laki-laki pemberi kabar gembira dan peringatan, penyeru kepada Allah dengan ijin-Nya, dan pelita yang bercahaya. Saya termasuk Ahlul Bait yang mana Jibril turun naik kepada mereka. Saya termasuk Ahlul Bait yang telah Allah hilangkan dosa dari mereka dan telah Allah sucikan mereka sesuci-sucinya." Pada kesempatan yang lain al-Hasan berkata, "Wahai manusia, dengarkanlah. Kamu mempunyai hati dan telinga, maka perhatikanlah. Sesungguhnya kami ini adalah Ahlul Bait yang telah Allah muliakan dengan Islam, dan Allah telah memilih kami, maka Dia pun menghilangkan dosa dari kami dan mensucikan kami sesuci-sucinya."
Adapun argumentasi Ibnu Katsir tentang keharusan memasukkan istri-istri Rasulullah saw tidaklah dapat diterima, karena kehujjahan zhuhur bersandar kepada kesatuan ucapan. Sebagaimana di ketahui bahwa ucapan telah berubah dari bentuk ta'nits pada ayat-ayat sebelumnya kepada bentuk tadzkir pada ayat ini. Jika yang di maksud dari ayat ini adalah istri-istri Rasulullah saw maka tentunya ucapan ayat berbunyi "Innama Yuridullah Liyudzhiba 'Ankunnar Rijsa Ahlal Bait wa Yuthahhirakunna Tathhira ", karena ayat-ayat tersebut khusus untuk istri-istri Rasulullah saw. Oleh karena itu, Allah SWT memulai firmannya setelah ayat ini, "Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah...." (QS. al-Ahzab: 34)
Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa ayat Tathhir turun kepada istri-istri Rasulullah saw selain dari Ikrimah dan Muqatil. Ikrimah mengatakan, "Barangsiapa yang menginginkan keluarganya maka sesungguhnya ayat ini turun kepada istri-istri Nabi saw."[66] Perkataan Ikrimah ini tidak dapat diterima, disebabkan bertentangan dengan riwayat-riwayat sahih yang dengan jelas mengatakan bahwa Ahlul Bait itu ialah para ashabul kisa, sebagaimana yang telah dijelaskan.
Kedua, apa yang telah memicu emosi Ikrimah sehingga dia berteriak-teriak di pasar menantang mubahalah?
Apakah karena kecintaan kepada istri-istri Nabi saw atau karena kebencian kepada para Ashabul Kisa`?! Dan kenapa dia mengajak ber-mubahalah jika ayat itu tidak diragukan turun kepada istri-istri Nabi saw?! Atau apakah karena pendapat umum yang berkembang mengatakan bahwa ayat itu turun kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain?! Dan memang demikian. Ini dapat dilihat dari perkataannya, "Yang benar bukanlah sebagaimana pendapat Anda semua, melainkan ayat ini turun hanya kepada istri-istri Nabi saw."[67] Ini artinya bahwa di kalangan para tabi'in ayat ini jelas turun kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain as.
Kita juga tidak mungkin bisa menerima Ikrimah sebagai saksi dan penengah dalam masalah ini, disebabkan dia sudah sangat dikenal amat memusuhi Ali. Dia termasuk kelompok Khawarij yang memerangi Ali, maka tentunya dia akan mengatakan bahwa ayat ini turun kepada istri-istri Nabi saw. Karena jika dia mengakui bahwa ayat ini turun kepada Ali maka berarti dia telah menghancurkan mazhabnya sendiri dan telah merobohkan pilar-pilar keyakinan yang mendorong dirinya dan para sahabatnya untuk keluar memerangi Ali as. Di samping sudah sangat terkenalnya kebohongan Ikrimah atas Ibnu Abbas, sehingga Ibnu al-Musayyab sampai mengatakan kepada budaknya, "Jangan kamu berbohong atasku sebagaimana Ikrimah telah berbohong atas Ibnu Abbas." Di dalam kitab Mizan al-I'tidal disebutkan bahwa Ibnu Ummar pun mengatakan yang sama kepada budaknya yang bernama Nafi'.
Ali bin Abdullah bin Abbas telah berusaha mencegah Ikrimah dari perbuatan berdusta kepada ayahnya. Salah satu cara yang dilakukannya ialah dengan cara menggantung Ikrimah ke atas dinding supaya dia tidak berdusta lagi atas ayahnya. Abdullah bin Abi Harits berkata, "Saya menemui Ibnu Abdullah bin Abbas, dan saya mendapati Ikrimah tengah diikat di atas pintu dinding. Kemudian saya berkata kepadanya, 'Beginikah kamu memperlakukan budakmu?' Ibnu Abdullah bin Abbas menjawab, 'Dia telah berdusta atas ayahku.'"[68]
Adapun Muqatil, dia tidak kalah dari Ikrimah di dalam permusuhannya terhadap Amirul Mukminin dan reputasi kebohongannya, sehingga an-Nasa'i memasukkannya ke dalam kelompok pembohong terkenal pembuat hadis.[69]
Al-Juzajani di dalam kitab Mizan adz-Dzahab berkata di dalam biografi Muqatil, "Muqatil adalah seorang pembohong yang berani."[70]
Muqatil pernah berkata kepada Mahdi al-'Abbasi, "Jika Anda mau, saya bisa membuat hadis-hadis tentang keutamaan Abbas." Namun Mahdi al-'Abbasi menjawab, "Saya tidak perlu itu."[71]
Kita tidak mungkin mengambil perkataan dari orang-orang seperti mereka. Karena perbuatan yang demikian adalah tidak lain bersumber dari kesombongan dan kebodohan. Karena hadis-hadis sahih yang mutawatir bertentangan dengannya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Dan ini selain dari riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa setelah turunnya ayat ini Rasulullah saw mendatangi pintu Ali bin Abi Thalib setiap waktu salat selama sembilan bulan berturut-turut dengan mengatakan, "Salam, rahmat Allah dan keberkahan atasmu, wahai Ahlul Bait. 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hal Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-suci-nya."' Itu dilakukan oleh Rasulullah saw sebanyak lima kali dalam sehari.[72]
Di dalam Sahih Turmudzi, Musnad Ahmad, Musnad ath-Thayalisi, Mustadrak al-Hakim 'ala ash-Shahihain, Usud al-Ghabah, tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan as-Suyuthi disebutkan bahwa Rasulullah saw mendatangi pintu rumah Fatimah selama enam bulan setiap kali keluar hendak melaksanakan salat Subuh dengan berseru, "Salat, wahai Ahlul Bait. 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.'"[73] Dan riwayat-riwayat lainnya yang serupa yang berkenaan dengan bab ini.
Dengan keterangan-keterangan ini menjadi jelas bagi kita bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait ialah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.
Dan tidak ada tempat bagi siapa pun untuk mengingkarinya. Karena orang yang meragukan hal ini adalah tidak ubahnya seperti orang yang meragukan matahari di siang hari yang cerah.
AHLUL BAIT DIDALAM AYAT MUBAHALAH
Sesungguhnya pertarungan antara front kebenaraan dengan front kebatilan di medan peperangan adalah perkara yang sulit, namun jauh lebih sulit lagi jika dilakukan di medan mihrab. Yaitu manakala masing-masing orang membuka dirinya di hadapan Zat Yang Maha Mengetahui hal-hal yang gaib, dan menjadikan-Nya sebagai hakim di antara mereka. Pada keadaan ini tidak akan menang orang yang di dalam hatinya terdapat keraguan.
Mungkin saja seseorang merupakan petempur yang gagah di medan peperangan, dan oleh karena itu kita mendapati Rasulullah saw menyeru kepada setiap orang yang mampu memanggul senjata, meski pun dia seorang munafik, untuk berjihad menghadapi orang-orang kafir. Namun, ketika bentuk pertarungan telah berubah dari bentuk peperangan ke dalam bentuk mubahalah dengan orang-orang Nasrani, Rasulullah saw tidak memanggil seorang pun dari para sahabatnya untuk ikut terjun ke dalam bentuk pertarungan yang baru ini. Karena pada pertarungan yang semacam ini tidak akan ada yang bisa maju kecuali orang yang mempunyai hati yang lurus dan telah disucikan dari segala macam dosa dan kotoran. Mereka itulah manusia-manusia pilihan. Orang-orang yang semacam itu tidak banyak jumlahnya di tengah-tengah manusia. Jumlah mereka sedikit, namun mereka adalah sebaik-baiknya penduduk bumi.
Siapakah orang-orang yang terpilih itu?
Ketika Rasulullah saw berdebat dengan cara yang paling baik dengan para pendeta Nasrani, Rasulullah saw tidak mendapati dari mereka kecuali kekufuran, pengingkaran dan pembangkangan, dan tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain dari bermubahalah. Yaitu dengan cara masing-masing dari mereka memanggil orang-orang mereka, dan kemudian menjadikan laknat Allah menimpa orang-orang yang dusta. Pada saat itulah datang perintah dari Allah SWT,
"Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah kepadanya, 'Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri-diri kami dan diri-diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.'" (QS. Ali 'lmran: 61)
Ketika para pendeta menerima tantangan Rasulullah saw ini, sehingga akan menjadi peperangan penentu di antara mereka, maka para pendeta mengumpulkan orang-orang khusus mereka untuk bersiap-siap menghadapi hari yang telah ditentukan. Ketika telah tiba hari yang ditentukan maka berkumpullah sekelompok besar dari kalangan kaum Nasrani. Mereka maju dengan keyakinan bahwa Rasulullah saw akan keluar menghadapi mereka dengan sekumpulan besar para sahabatnya, sementara istri-istrinya di belakang dia. Namun, Rasulullah saw maju dengan langkah pasti bersama bintang kecil dari Ahlul Bait, yaitu Hasan di sebelah kanannya dan Husain di sebelah kirinya, sementara Ali dan Fatimah di belakangnya. Ketika orang-orang Nasrani melihat wajah-wajah yang bercahaya ini, mereka gemetar ketakutan. Maka mereka semua pun menoleh ke arah Uskup, pemimpin mereka seraya bertanya,
"Wahai Abu Harits, bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?"
Uskup itu menjawab, "Saya melihat wajah-wajah yang jika salah seorang dari mereka memohon kepada Allah supaya gunung dihilangkan dari tempatnya, maka Allah akan menghilangkan gunung itu."
Bertambahlah ketercengangan mereka. Ketika Uskup merasakan yang demikian itu dari mereka, maka dia pun berkata, "Tidakkah engkau melihat Muhammad sedang mengangkat kedua tangannya sambil menunggu terkabulnya doanya. Demi al-Masih, jika dia menggerakkan mulutnya dengan satu kata saja, maka kita tidak akan bisa kembali kepada keluarga dan harta kita."[74]
Akhirnya mereka memutuskan untuk segera pulang dan meninggalkan arena mubahalah. Mereka rela walau pun harus menanggung kehinaan dan memberikan jizyah (denda).
Dengan mereka yang lima Rasulullah saw mampu mengalahkan orang-orang Nasrani dan menjadikan mereka kecil. Rasulullah saw bersabda, "Demi Dzat yang diriku berada di dalam genggamannya, sesungguhnya azab tengah bergantung di atas kepala para penduduk Najran. Kalaulah tidak ada ampunan-Nya niscaya mereka telah diubah menjadi kera dan babi, dan dinyalakan atas mereka lembah menjadi lautan api, serta Allah binasakan perkampungan Najran dan seluruh para penghuninya, bahkan burung-burung yang berada di pepohonan sekali pun."
Namun, kenapa Rasulullah saw menghadirkan mereka yang lima saja, dan tidak menghadirkan para sahabat dan istri-istrinya?
Pertanyaan itu dapat dijawab dengan satu kalimat, yaitu bahwa Ahlul Bait adalah seutama-utamanya makhluk setelah Rasulullah, dan manusia-manusia yang paling suci. Sifat-sifat yang telah Allah SWT tetapkan bagi Ahlul Bait di dalam ayat Tathhir ini tidak diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, di dalam menerapkan ayat ini kita mendapati bagaimana Rasulullah menarik perhatian umat kepada kedudukan Ahlul Bait. Rasulullah menafsirkan firman Allah yang berbunyi "abna'ana" (anak-anak kami) dengan Hasan dan Husain, "nisa'ana" (istri-istri kami) dengan Sayyidah Fatimah az-Zahra as, dan "anfusana" (diri-diri kami) dengan Ali as. Itu dikarenakan imam Ali tidak masuk ke dalam kategori istri-istri dan tidak termasuk ke dalam kategori anak-anak, melainkan hanya masuk ke dalam kata "diri-diri kami". Karena ungkapan "anfusana" (diri-diri kami) akan menjadi buruk jika seruan itu hanya ditujukan kepada diri Rasulullah saw saja.
Bagaimana mungkin Rasulullah saw memanggil dirinya?! Ini diperkuat dengan hadis Rasulullah saw yang berbunyi, "Aku dan Ali berasal dari pohon yang sama, sedangkan seluruh manusia yang lain berasal dari pohon yang bermacam-macam."
Jika Imam Ali adalah diri Rasulullah saw sendiri, maka Imam Ali memiliki apa yang dimiliki oleh Rasulullah saw, berupa kepemimpinan atas kaum Muslimin, kecuali satu kedudukan yaitu kedudukan kenabian. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah saw di dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, "Wahai Ali, kedudukan engkau di sisiku tidak ubahnya sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku."[75]
Sesungguhnya argumentasi kita dengan ayat ini bukan untuk menjelaskan peristiwa mubahalah, melainkan semata-mata dalam rangka menjelaskan siapakah Ahlul Bait itu. Dan alhamdulillah, tidak ada perbedaan pendapat bahwa ayat ini turun kepada Ashabul Kisa`. Terdapat banyak riwayat dan hadis di dalam masalah ini. Muslim dan Turmudzi telah meriwayatkan di dalam bab keutamaan-keutamaan Ali:
Dari Sa'ad bin Abi Waqash yang berkata, "Ketika ayat ini turun, 'Katakanlah, 'Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu...' Rasulullah saw memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Lalu Rasulullah saw berkata, 'Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku."'[76]
BAB V
Kepemimpinan Ali di dalam Al-Qur'an Al-Karim
Bahasan Pemutus
Setelah saya selesai dari pembahasan yang pertama, yang telah membebani pikiran dan jiwa saya, dan menjadikan diri saya hidup dalam suasana bertarung dengan hati nurani, di satu sisi, dan dengan teman-teman dan dosen saya di kampus, di sisi yang lain, akhirnya saya cukup puas untuk bisa meragukan matahari namun tidak bisa meragukannya. Kesimpulan dari pembahasan saya, sebagaimana yang telah saya jelaskan ialah wajibnya mengikuti Ahlul Bait dan meng-ambil agama dari mereka. Inilah kepuasan pertama saya setelah berjalan beberapa waktu. Namun saya belum mampu menentukan sikap dan memilih mazhab saya meski pun hati nurani saya mendesak saya untuk mengikuti mazhab Syi'ah, dan meski pun keluarga dan teman-teman saya telah menyebut saya orang Syi'ah. Banyak dari mereka yang memanggil saya sebagai orang Syi'ah, dan bahkan sebagian dari mereka memanggil saya sebagai pengikut Khomeini! Padahal saat itu saya belum menentukan sikap saya. Saya tidak ragu dengan apa yang telah saya capai, namun hawa nafsu yang senantiasa menyuruh kepada keburukan ini selalu menahan saya dan meniupkan keragu-raguan kepada diri saya:
Bagaimana Anda dapat meninggalkan agama yang telah Anda dapati pada orang-orang tua Anda?!
Apa yang dapat Anda perbuat bersama kelompok yang jauh berbeda dengan keyakinan-keyakinan Anda?!
Anda ini siapa, sehingga sampai ke sini?! Apakah Anda melupakan ulama-ulama besar?! Dan bahkan mayoritas kaum Muslimin?!
Dan, beribu-ribu pertanyaan dan keragu-raguan lainnya yang kebanyakannya tidak mampu mengalahkan dan menghentikan saya, namun terkadang mampu merusak pikiran dan nurani saya. Demikian seterusnya, terjadi tarik ulur, sehingga menimbulkan keresahan dan kegelisahan pada diri saya. Tidak ada tempat pelarian, tidak ada teman dan tidak ada orang dekat tempat mencurahkan keluh kesah hati.
Maka mulailah saya mencari buku-buku yang membantah Syi'ah, mudah-mudahan dapat membebaskan saya dari keadaan yang sedang saya alami dan dapat menjelaskan hakikat-hakikat yang mungkin luput dari pandangan saya. Orang-orang Wahabi mencukupi saya dengan mengumpulkan buku-buku. Imam salat jamaah di mesjid desa kami mendatangkan seluruh buku yang saya minta.
Setelah mempelajari buku-buku itu justru semakin bertambah keresahan dan kegelisahan saya, dan saya tidak mendapati di dalamnya apa yang saya inginkan. Karena buku-buku itu kosong dari objektifitas dan dialog-dialog yang logis. Seluruh isinya hanya berisi caci maki, pelaknatan, sumpah serapah dan kebohongan. Pada awalnya, buku-buku itu dapat menciptakan hijab bagi saya, namun setelah pengaruh propagandanya dilepas maka tampak di hadapan saya buku-buku itu lebih rapuh dibandingkan sarang laba-laba.
Setelah itu saya pun bertekad untuk meneruskan pengkajian saya, meski pun saya telah merasa cukup dengan apa yang telah saya capai pada pengkajian pertama, untuk membendung bujukan-bujukan diri saya, dan sekaligus untuk melihat kebenaran dengan lebih jelas. Maka pilihan saya jatuh kepada pembahasan mengenai dalil-dalil kepemimpinan Imam Ali as dan nas-nas yang menunjukkan keimamahannya. Di dalam benak saya terdapat sekumpulan dalil yang dapat memenuhi tujuan ini, meski pun itu hanya cukup bagi orang yang mempunyai akal yang bersih dan hati yang jernih. Namun, saya menginginkan sebuah pembahasan pemutus, antara apakah saya akan menjadi seorang Ahlus Sunnah yang meyakini kekhilafahan Abu bakar, Umar dan Usman, atau akan menjadi seorang Syi'ah yang meyakini keimamahan Imam Ali as.
Setelah melakukan pembahasan, tiba-tiba saya mendapati diri saya tidak mampu —bahkan hingga sekarang— mengumpulkan, menghitung dan mempelajari seluruh dalil, baik yang naqli maupun yang akli, yang mengatakan dengan jelas akan keimamahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, dengan jelas di dalam penunjukkannya dan sebagiannya lagi memerlukan mukaddimah yang panjang.
Apa yang saya tulis di dalam pasal ini adalah merupakan cuplikan-cuplikan ringkas, dan itu dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keringkasan dan mendorong pembahasan. Menurut keyakinan saya, itu sudah cukup setelah ditambah penjelasan dan penjabaran.
A. Firman Allah SWT yang berbunyi,
"Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang yang beriman yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam keadaan ruku." (QS. al-Maidah: 54)
Bentuk Argumentasi Dari Ayat Ini
Ayat ini akan menjadi jelas berbicara tentang kepemimpinan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as jika terbukti bahwa yang dimaksud dari firman Allah SWT "Orang yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam keadaan ruku" adalah Imam Ali as, dan juga jika terbukti bahwa yang dimaksud dengan kata "wali" di sini ialah berarti orang yang lebih berhak mengatur.
Referensi-Referensi Yang Membuktikan Ayat Ini Turun Kepada Imam Ali as.
Telah sampai tingkatan mutawatir riwayat-riwayat kedua belah pihak yang mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah saw khusus berkenaan dengan Imam Ali as yang mensedekahkan cincinnya tatkala dalam keadaan ruku. Berita ini telah diriwayatkan oleh sekumpulan besar para sahabat. Di antaranya ialah:
1. Abu Dzar al-Ghifari. Sekumpulan para huffadz telah meriwayatkan berita ini darinya, seperti,
a. Abu Ishaq Ahmad bin Ibrahim ats-Tsa'labi di dalam kitab tafsir al-Kasyfwa al-bayan 'an Tafsir al-Qur'an.
b. Al-Hafidz al-Kabk al-Hakim al-Hiskani di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 177, terbitan Beirut.
c.  Cucu Ibnu Jauzi, di dalam kitab at-Tadzkirah, halaman 18.
d. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani, di dalam kitab al-Kaff asy-Syaf, halaman 56.
e. Dan yang lainnya dari kalangan para huffadz dan muhaddis.
2. Miqdad bin Aswad. Al-Hafidz al-Hiskani meriwayatkan darinya di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 171, terbitan Beirut.
3. Abu Rafi' al-Qibthi, budak Rasulullah saw. Sekumpulan orang- orang berilmu meriwayatkan darinya, seperti,
a. Al-Hafidz Ibnu Mardawaih, di dalam kitab al-Fadha'il.
b. Al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi, di dalam kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur.
c. Muhaddis al-Muttaqi al-Hindi, di dalam kitab Kanz al-'Ummal, jilid 1, halaman 305 dan seterusnya.
4. Ammar bin Yasir. Orang-orang yang telah mengeluarkan riwayat ini darinya ialah,
a. Muhaddis Kabir ath-Thabrani, di dalam kitab Mu'jamah al- Awsath.
b. Al-Hafidz Abu Bakar bin Mardawaih, di dalam kitab al-Fadha'il.
c. Al-Hafidz al-Hiskani, di dalam kitab Syawahid at-Tanzil.
d. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani, di dalam kitab al-Kaff asy-Syaf, halaman 56, dari ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaih.
5. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Adapun orang-orang yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah,
a. Al-Hakim an-Naisaburi, al-Hafidz al-Kabir, di dalam kitab Ma'rifah 'Ulum al-Haditz, halaman 102, terbitan Mesir, tahun 1937.
b. Al-Hafidz Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i, di dalam kitab al-Managib, halaman 311.
c. Al-Hafidz al-Hanafi al-Khawarizmi di dalam kitab al-Manaqib, halaman 187.
d. Al-Hafidz Ibnu 'Asakir ad-Dimasyqi (Tarikh Dimasyq), jilid 2, halaman 409.
e. Al-Hafidz Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, di dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid 7, halaman 357.
f.  Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani, di dalam kitab al-Kaff asy-Syaf fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, halaman 56, terbitan Mesir.
g. Muhaddis al-Muttaqi al-Hindi, di dalam kitab Kanz al- 'Ummal, jilid 15, halaman 146, bab keutamaan Ali as.
6. Amr bin Ash. Adapun orang-orang yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah al-Hafidz Akhthab Khawarijmi al-Hafidz Abu al- Muayyad, di dalam kitab al-Manaqib, halaman 128.
7. Abdullah bin Salam. Adapun yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah Muhibuddin ath-Thabari, di dalam kitab Dzakha'ir al-'Ugba, halaman 201; dan kitab ar-Riyadh an-Nadhirah, jilid 2, halaman 227.
8. Abdullah bin Abbas. Adapun yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah,
a. Ahmad bin Yahya al-Baladzari, di dalam kitab Ansab al-Asyraf, jilid 2, halaman 150, terbitan Beirut, diperiksa oleh Mahmudi.
b. Al-Wahidi, di dalam kitab Asbab an-Nuzul, halaman 192, cetakan pertama, tahun 1389, diperiksa oleh Sayyid Ahmad ash-Shamad.
c. Al-Hakim al-Hiskani, di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 18.
d. Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i, di dalam kitab al-Manaqib, halaman 314, diperiksa oleh Mahmudi.
e. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, di dalam kitab al-Kaff asy-Syaf fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, cetakan Mesir.
f.  Jalaluddin as-Suyuthi.
9. Jabir bin Abdullah al-Anshari. Di antara orang-orang yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah Al-Hakim al-Hiskani, di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 174.
lO. Anas bin Malik, pembantu Rasulullah saw. Adapun orang yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah,
a.  Al-Hafidz al-Hiskani, di dalam kitab asy-Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 145.
b.  Muhaddis al-Kabir al-Hamawi al-Juwaini al-Khurasani, di dalam kitab Fara'idh as-Simthain, jilid 1, halaman 187.
Dari riwayat yang banyak ini kita memilih riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, sebuah riwayat yang panjang yang dikeluarkan oleh al-Hakim al-Hiskani dengan sanadnya di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 177, terbitan Beirut.
Abu Dzar berkata, "Wahai manusia, barangsiapa yang mengenalku maka berarti dia telah mengenalku, dan barangsiapa yang tidak mengenalku maka inilah aku Jundub bin Janadah al-Badri Abu Dzar al-Ghifari. Aku telah mendengar Rasulullah saw dengan kedua telingaku ini, dan jika tidak maka tulilah kedua telingaku ini. Aku telah menyaksikan beliau dengan kedua mataku ini, dan jika tidak maka butalah kedua matakku ini. Yaitu Rasulullah saw telah bersabda, 'Ali adalah pemimpin kelompok orang-orang yang lurus. Pejuang yang memerangi kaum yang kafir. Jayalah siapa yang membantunya. Hinalah siapa yang menelantarkan dukungan baginya.' Suatu hari aku salat Zhuhur bersama Rasulullah saw, lalu masuklah ke dalam mesjid seorang peminta-minta, namun tidak ada seorang pun yang memberi kepadanya. Kemudian peminta-minta itu mengangkat tangannya ke langit seraya berkata, 'Ya Allah, saksikanlah, aku meminta-minta di mesjid Rasulullah saw namun tidak seorang pun yang memberi sesuatu kepadaku.' Pada saat itu Ali sedang salat dalam keadaan ruku, lalu dia memberi isyarat dengan jari manis tangan kanannya yang bercincin. Pengemis itu lalu menghampirinya dan menarik cincin itu dari jari Ali. Rasulullah saw menyaksikan hal itu, dan setelah menyelesaikan salatnya Rasulullah saw mengangkat kepalanya ke langit seraya berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya Musa telah memohon kepadamu. Dia berkata, 'Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku: Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami dapat banyak bertasbih kepada-Mu dan banyak mengingat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui keadaan kami.'
Maka Engkau telah wahyukan kepadanya 'Kami teguhkan lenganmu dengan saudaramu.'
Dan aku ini, Ya Allah, adalah hamba dan Nabi-Mu. Lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku: Ali, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku ...'"
Abu Dzar berkata, "Demi Allah, belum sampai Rasulullah saw menyelesaikan ucapannya itu, Jibril al-Amin turun dari sisi Allah SWT. Jibril al-Amin berkata, 'Ya Muhammad, selamat, atas apa yang telah Allah anugrahkan untukmu tentang saudaramu.' Rasulullah saw bertanya, 'Apa itu, ya Jibril?'
Jibril menjawab, 'Allah SWT telah memerintahkan umatmu untuk menjadikannnya sebagai pemimpin hingga hari kiamat, dan menurunkan kepadamu,
'Sesungguhnya wali (pemimpin) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku.'"
Riwayat ini datang dengan berbagai macam redaksi, namun pada kesempatan ini kita hanya membatasi dengan riwayat ini saja, karena ini pun sudah cukup untuk menjelaskan permasalahan.
Ini merupakan keutamaan yang tidak ada seorang pun bersekutu dengan Amirul Mukminin di dalamnya. Kita tidak mendapati seorang pun di dalam sejarah yang mengklaim dirinya telah mengeluarkan zakat dalam keadaan ruku. Ini sudah merupakan hujjah yang cukup dan petunjuk yang jelas bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah Amirul Mukminin, tidak yang lainnya.
Terkadang sebagian kalangan berusaha meragukan apa yang disebutkan di dalam ayat ini, dan tentang penisbahannya kepada Amirul Mukminin, dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang tidak berdasar. Sebagai contoh, Anda mendapati al-Alusi memalingkan makna ruku kepada maknanya yang bukan zahir. Dia berkata, "Yang dimaksud dengan ruku (di dalam ayat ini) ialah khusyuk." Ini adalah sebuah upaya penakwilan yang tidak dapat diterima. Karena tidak ada petunjuk yang memalingkan makna hakiki yang zahir di dalam ayat —yaitu ruku yang mempunyai gerakan yang telah ditentukan. Pernah suatu hari saya berdiskusi dengan sekelompok teman-teman saya di kampus tentang ayat ini. Setelah saya buktikan kepada mereka bahwa ayat ini turun kepada Amirul Mukminin as, salah seorang dari mereka menyanggah,
"Jika memang terbukti ayat ini turun kepada Ali maka berarti ayat ini juga membuktikan kekurangan Ali?"
Saya bertanya kepadanya, "Bagaimana bisa begitu?"
Dia menjawab, "Karena yang demikian itu menunjukkan ketidakkhusyukannya di dalam salat. Karena jika tidak, bagaimana bisa dia mendengar perkataan peminta-minta dan kemudian menjawabnya? Karena para ahli ibadah dan orang-orang yang bertakwa tidak menyadari orang-orang yang ada di sekelilingnya pada saat mereka sedang menghadap Allah SWT."
Saya katakan, "Ucapan Anda tidak bisa diterima, berdasarkan petunjuk ayat ini sendiri. Karena salat itu untuk Allah, dan begitu pula ketundukkan dan kekhusyukan. Sementara Allah SWT telah mengabarkan kita bahwa Dia menerima salat ini, dan bahkan dengan salat ini Dia menetapkan kepemimpinan bagi pelakunya. Kedudukan pujian tampak jelas terlihat di dalam konteks ayat ini, baik yang bersedekah itu Ali atau pun yang lainnya. Jika Anda mempunyai kritikan terhadap kekhusyukan Ali, maka terlebih lagi Anda mempunyai kritikan terhadap Al-Qur'an."
Ayat ini jauh lebih kokoh dan akurat dibandingkan peragu-raguan yang dilontarkan para peragu. Ayat ini jelas menunjukkan kepada keimamahan Amirul Mukminin, dan pembuktian tentang keimamahan Amirul Mukminin adalah termasuk perkara yang amat jelas di dalam Al-Qur'an. Saya pernah mengatakan ini kepada sebagian teman, namun salah seorang dari mereka menantang,
"Coba sebutkan satu ayat yang mendukung pengakuan Anda."
Saya jawab, "Sebelum itu marilah kita coba untuk melihat apa yang telah dikatakan Rasulullah saw tentang Ali as. Bukhari telah meriwayatkan di dalam sahihnya bahwa Rasulullah saw telah berkata kepada Ali, 'Kedudukanmu di sisiku tidak ubahnya sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku.'[77]
Dari sini tampak bahwa semua yang dimiliki Harun juga dimiliki Ali as. Ali as memiliki keimamahan, kekhilafahan, kewaziran dan yang lainnya, kecuali kenabian, sebagaimana Harun."
Mereka semua marah seraya mengatakan,"Dari mana Anda dapatkan ini?! ..."
Saya katakan, "Sebentar, apa kedudukan Harun di sisi Musa? Bukankah Musa sendiri telah berkata, 'Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku: Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.'"
Mereka berkata, "Kami belum pernah mendengarnya, mungkin ayat itu tidak berbunyi demikian....!" Saya merasakan kefanatikan dan kekeraskepalaan mereka. Saya berkata dengan penuh keheranan akan keadaan mereka, "Sesungguhnya ini perkara yang jelas sekali, yang tidak ada seorang pun yang mengingkarinya."
Salah seorang dari mereka berkata, "Kenapa berbelit-belit. Ini Al-Qur'an ada di hadapan Anda... Coba tunjukkan ayat itu, jika kamu benar."
Di sini saya gemetar, karena saya lupa sama sekali di dalam surat apa dan di dalam juz berapa ayat ini terdapat. Setelah beberapa saat, saya memberanikan diri sambil mengucapkan di dalam hati "Allahumma Shalli 'ala Muhammad wa Ali Muhammad" (ya Allah, sampaikanlah salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad), lalu saya membuka Mushaf Al-Qur'an secara acak. Pandangan pertama mata saya jatuh kepada ayat, "Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku .... dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku."
Keharuan mencekik tenggorokan saya, sementara air mata mengalir di kedua pipi saya. Saya tidak bisa membacakan ayat karena sangat paniknya, lalu saya pun menyerahkan Mushaf yang terbuka sambil menunjukkan ayat yang dimaksud kepada mereka. Mereka semua tercengang karena sangat kagetnya.
Penunjukkan Ayat "Sesungguhnya Wali (pemimpin) kamu hanyalah Allah ... " Terhadap Kepemimpinan Amirul Mukminin as
Setelah terbukti pada pembahasan pertama bahwa ayat di atas turun kepada Imam Ali as, maka arti ayat di atas menjadi "Sesungguhnya wali (pemimpin) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan Ali bin Abi Thalib."
Tidak ada seorang pun yang dapat mengkritik, kenapa Allah berbicara kepada seorang individu dengan menggunakan dhamir (kata ganti) bentuk jamak?!
Karena yang demikian itu sesuatu yang dibolehkan di dalam bahasa Arab. Dengan demikian, penggunaan bentuk jamak di dalam ayat ini adalah untuk penghormatan. Banyak sekali bukti-bukti yang mendukung hal ini, seperti firman Allah SWT yang berbunyi, "Orang-orang yang mengatakan, 'Sesungguhnya Allahfakir sedangkan kami orang-orang kaya.'" Orang yang berkata di sini ialah Huyay bin Akhthab. Juga seperti firman Allah SWT yang berbunyi, "Di antara mereka ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, 'Nabi mempercayai setnua apa yang didengarnya.'"(Surat at-Taubah: 61) Ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki dari kalangan orang-orang munafik; apakah itu al-Jalas bin Sawilah, Nabtal bin al-Harts atau 'ltab bin Qusyairah. Silahkan rujuk tafsir ath-Thabari, jilid 8, halaman 198.
Setelah itu barulah pembahasan mengenai arti kata "wali".
Syi'ah berpendapat bahwa kata "wali" di dalam ayat ini adalah berarti orang yang paling berhak dalam bertindak. Sehingga kata "wali amril Muslimin" atau kata "wali amris sulthan" adalah berarti orang yang paling berhak bertindak di dalam urusan mereka.
Oleh karena itu, Syi'ah mengatakan wajibnya mengikuti Amirul Mukminin Ali as, karena dia orang yang paling berhak bertindak dalam urusan kaum Muslimin. Sesuatu yang menunjukkan kepada makna ini ialah bahwa Allah SWT telah menafikan kita memiliki "wali" selain Dia, selain Rasul-Nya dan selain "orang-orang yang beriman yang mengerjakan salat dan menunaikan zakat dalam ke-adaan ruku" dengan kata innama (hanya saja). Jika yang dimaksud dengan kata "wali" adalah penolong di dalam agama maka tentu tidak dikhususkan bagi orang-orang yang disebutkan. Karena penolong di dalam agama adalah mencakup seluruh orang-orang Mukmin. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang Mukimin laki-laki serta orang-orang Mukmin perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian mereka yang lain." Dengan demikian, maka takhshish (peng-khususan) menunjukkan kepada satu bentuk wilayah yang berbeda dari wilayah orang-orang Mukimin, di antara sebagian mereka dengan sebagian mereka yang lain. Tidak mungkin sesuatu yang dimaksud dari kata-kata "orang-orang yang beriman yang mengerjakkan salat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku " itu orang-orang Mukmin secara umum, melainkan khusus imam Ali, dengan dalil kata innama yang memberikan arti pengkhususan, sehingga menafikan orang-orang Mukmin yang lain, di samping hadis-hadis sebelumnya yang menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Sifat yang disebutkan di dalam ayat, "mereka memberi zakat dalam keadaan ruku " tidak klop pada seorang pun dan tidak ada seorang pun yang mengklaimnya selain Amirul Mukminin. Dialah yang memberi-kan zakat dalam keadaan ruku. Karena kata-kata "wahum raki'un" adalah merupakan hal bagi kata-kata "yu'tunaz zakat". Adapun ruku adalah sebuah gerakan yang khusus, sehingga usaha memalingkan ruku dari makna hakikinya adalah merupakan satu bentuk pentakwilan yang tidak berdasar. Karena, di dalam ayat di atas tidak terdapat pe-tunjuk yang memalingkan ruku dari makna hakikinya. Demikian juga, kata-kata "wahum raki'un" tidak boleh di-athaf-kan kepada kata-kata sebelumnya, karena kata salat telah disebutkan sebelumnya. Ibadah salat mencakup ruku, maka oleh karena itu penyebutan kata ruku sesudah penyebutan kata salat di sini adalah merupakan hal (keadaan pada saat sebuah perbuatan dilakukan —penerj.), di samping kesepakatan umat juga menyebutkan bahwa Ali memberikan zakat dalam keadaan ruku, sehingga dengan begitu ayat di atas dikhususkan untuk Ali. Al-Qusyaji telah menukil —di dalam kitabnya Syarih at-Tajrid— dari para mufassir yang mengatakan mereka sepakat bahwa ayat ini turun kepada Ali pada saat Ali memberi sedekah dalam keadaan ruku. Demikian juga Ibnu Syahrasyub telah menukil yang demikian di dalam kitabnya al-Fadha'il. Dia mengatakan di dalam mukaddimah kitabnya itu sebagai berikut,
"Umat sepakat bahwa ayat ini turun kepada Amirul Mukminin.[78] Dan begitu juga hadis-hadis yang mendukung pendapat ini telah mencapai derajat mutawatir. Sayyid Hasyim al-Bahrani telah menukil di dalam kitabnya Ghayah al-Muram dua puluh empat hadis dari jalan Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Ali, dan juga sembilan belas hadis dari jalan Syi'ah."
Jika ayat ini khusus kepada Amirul Mukminin maka tentu maksud dari kata "wali" di sini bukanlah wilayah dalam arti umum, yaitu penolong dan pecinta, melainkan wilayah dalam arti khusus, yaitu orang yang paling berhak dalam bertindak. 'Allamah al-Mudzaffar telah berkata tentang hal ini, "Jika yang dimaksud dengan kata wali adalah penolong, maka pembatasan penolong kepada Allah, Rasul-Nya dan Ali tidaklah dapat dibenarkan kecuali dengan melihat kepada salah satu di antara dua sisi: Yang pertama, bahwa pertolongan mereka (Allah, Rasul-Nya dan Ali) kepada orang-orang Mukmin mencakup tindakan dalam urusan mereka (orang-orang Mukmin), maka ini berarti kembali kepada makna yang dimaksud. Adapun yang kedua, bahwa pertolongan yang lain kepada orang-orang Mukmin, semuanya dinisbahkan kepada pertolongan mereka (Allah, Rasul-Nya dan Ali), maka di sini tercapai pula apa yang dimaksud. Karena itu termasuk keharusan dari pertolongan menyeluruh kepada orang-orang Mukmin."[79]
Dengan demikian, terbuktilah bahwa wilayah Allah, Rasul-Nya dan "orang-orang yang beriman" —yaitu Ali— adalah wilayah dari jenis yang sama, yaitu wilayah yang berarti "hak bertindak". Adapun dalil yang menunjukkan kepada hal ini ialah penggunaan kata yang sama bagi semua tingkatan. Karena, jika artinya tidak sama maka tentu akan menimbulkan kekaburan maksud, dan tentunya Allah SWT tidak akan mungkin menyesatkan para hamba-Nya. Karena jika Allah SWT menghendaki arti lain bagi wilayah Amirul Mukminin, tentunya lebih sesuai jika wilayah Amirul Mukminin disebutkan secara terpisah, untuk menghilangkan kesamaran. Sebagaimana yang dilakukan di dalam ayat yang lain, "Taatilah Allah dan taatilah Rasul". Di dalam ayat ini penyebutan kata "taat" diulang. Atas dasar-dasar inilah maka Amirul Mukminin layak menjadi imam orang-orang bertakwa dan pemimpin orang-orang Mukmin.
B. Ayat Tabhg, Nas Jelas Tentang Kepemimpinan
Allah SWT berfirman, "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah memeliharamu dari (gangguan) manusia."
Ayat ini turun untuk menerangkan keutamaan Amirul Mukminin as di Ghadir Khum, sebagaimana yang telah diisyaratkan di dalam hadis Zaid bin Arqam di dalam Sahih Muslim.
Pada mulanya saya berpikir cukup mengisyaratkan saja peristiwa ini, sebab sedemikian jelas bagi orang yang membaca kitab-kitab hadis dan kitab-kitab sejarah. Akan tetapi, saya teragitasi oleh seorang penulis Sudan —yaitu Insinyur Shadiq Amin— yang menyerang dan mengecam Syi'ah di surat kabar Sudan (berita terakhir). Dia mengatakan di dalam tulisannya, "Pada hakikatnya, sesungguhnya peristiwa yang diriwayatkan oleh kitab-kitab Syi'ah yang berkenaan dengan Ghadir Khum ini ..., dan demikianlah para ulama Syi'ah secara terus menerus selalu menyebut (khurafat) ini, yang terhitung sebagai pilar dasar mazhab Syi'ah ..."
Saya tidak tahu apakah ini memperlihatkan kebodohan akan sejarah atau memperlihatkan kebencian terhadap Imam Ali as dan pengingkaran terhadap keutamaan-keutamaannya?! Peristiwa ini amat jelas, sehingga memenuhi buku-buku sejarah.
Bagaimana peristiwa ini luput dari penglihatan insinyur ini?!
Yang jelas, dia tidak membebani dirinya untuk menutup kedua matanya, lalu mengambil kitab hadis atau kitab sejarah Ahlus Sunnah mana saja, dan kemudian membacanya. Jika dia tidak menemukan peristiwa itu di dalam kitab yang dibacanya maka barulah dia berhak untuk menisbahkan buku tersebut kepada kitab-kitab Syi'ah, atau menamakannya sebagai khurafat.
Al-Ghadir Dalam Referensi-Referensi Islam
Hadis al-Ghadir termasuk hadis yang paling mutawatir. Para perawinya dari kalangan sahabat mencapai seratus sepuluh orang sahabat. 'Allamah al-Amini telah menghitung mereka beserta kitab-kitab yang telah mengeluarkan riwayat-riwayatnya, di dalam kitabnya al-Ghadir, jilid 1, halaman 14 sampai halaman 61. Sangat panjang kiranya sekiranya kami menyebutkan nama-nama mereka dan buku-buku Ahlus Sunnah yang mengeluarkan hadis-hadis mereka pada kesempatan sekarang ini.
Adapun para perawainya dari kalangan tabi'in mencapai delapan puluh empat orang perawi, sebagaimana di sebutkan di dalam kitab al-Ghadir, halaman 62 sampai halaman 72. Para perawi hadis al-Ghadir tidak berhenti sampai batas ini, melainkan juga dinukil secara mutawatir pada setiap tingkatan-tingkatannya. Jumlah para perawinya dari abad kedua hingga abad keempat belas Hijrah mencapai tiga ratus enam puluh orang perawai. Di samping beribu-ribu kitab Ahlus Sunnah yang menyebutkan hadis ini.
Bagaimana begitu mudah —setelah semua ini— penulis ini mengatakan bahwa ini adalah khurafat Syi'ah. Padahal diketahui bahwa riwayat al-ghadir yang melalui jalur-jalur Syi'ah kurang dari setengahnya dari yang terdapat di dalam jalur-jalur Ahlus Sunnah.
Namun inilah kesulitan orang-orang terpelajar, mereka mengeluarkan kata-kata dengan tanpa melakukan pengkajian. Para ulama Ahlus Sunnah dan orang-orang terpercaya dari kalangan mereka, baik dari kalangan terdahulu maupun kalangan terkemudian, dengan tegas mengakui kesahihan hadis al-ghadir. Sebagai contoh di antara mereka ialah:
1. Ibnu Hajar al-'Asqalani. Dia berkata di dalam kitabnya Syarih Shahih al-Bukhari, "Adapun hadis 'Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya' telah di keluarkan oleh Turmudzi dan Nasa'i. Hadis ini banyak sekali jalannya. Ibnu 'Uqdah telah memuat jalan-jalannya di dalam kitab tersendiri, dan mayoritas sanadnya adalah sahih dan hasan."[80]
Kitab yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar ini ialah kitab al-Wilayah fi Thurug Hadits al-Ghadir, karya Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Sa'id al-Hamadani, yaitu al-Hafidz yang terkenal dengan sebutan Ibnu 'Uqdah, yang wafat pada tahun 333 Hijrah.
Ibnu Atsir banyak menukil darinya di dalam kitabnya Usud al-Ghabah, dan begitu juga Ibnu Hajar al-'Asqalani. Ibnu Hajar al-'Asqalani juga telah menyebutnya di dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, jilid 7, halaman 337, setelah menyebutkan hadis al-Ghadir. Ibnu Hajar al-'Asqalani berkata, "Abul Abbas Ibnu 'Uqdah mensahihkannya dan menaruh perhatian kepada seluruh jalan-jalannya. Dia mengeluarkannya dari hadis tujuh puluh orang sahabat atau lebih." Ibnu Taimiyyah telah mengisyaratkan penulis ini di dalam menetapkan jalan-jalan hadis al-Ghadir dengan kata-katanya, "Abul Abbas Ibnu 'Uqdah telah menulis sebuah kitab yang mengumpulkan jalan-jalannya."[81]
2. Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i. Setelah menyebutkan hadis wilayah bersama dengan sanadnya Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i berkata, "Ini adalah hadis yang sahih dari Rasulullah saw. Kurang lebih seratus orang sahabat, termasuk di antaranya sepuluh orang yang dijamin masuk surga, telah meriwayatkan hadis Ghadir Khum dari Rasulullah. Hadis ini adalah hadis yang kokoh, yang saya tidak lihat ada kekurangannya. Hadis ini mengkhususkan keutamaan ini bagi Ali, dan tidak ada seorang pun yang menyertainya."[82]
3. Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabari —penulis kitab tarikh Thabari— telah mengkhususkan sebuah kitab yang mengeluarkan hadis-hadis al-Ghadir. Penulis kitab al-'Umdah telah menyebutkan hal itu dengan mengatakan, "Ibnu Jarir ath-Thabari, penulis kitab tarikh, telah menyebutkan hadis hari al-Ghadir beserta jalan-jalannya di dalam tujuh puluh lima jalan, dan dia mengkhususkan sebuah kitab untuk itu yang dinamakannya dengan kitab al-Wilayah".[83]
Di dalam Syarah at-Tuhfah al-'Alawiyyah, karya Muhammad bin Ismail disebutkan, "Al-Hafidz adz-Dzahabi telah mengatakan di dalam kitab Tadzkirah al-Huffadz, di dalam biografi hadis 'Barang-siapa yang aku menjadi pemimpinnya', 'Muhammad bin Jarir telah menulis sebuah kitab tentangnya. Saya —adz-Dzahabi— memeriksanya, dan saya terkejut karena bagitu banyak jalannya.'"
Ibnu Katsir juga telah menyebut kitab Ibnu Jarir di dalam kitab tarikhnya, "Sungguh, saya telah melihat sebuah kitab yang terhimpun di dalamnya hadis-hadis Ghadir Khum dalam dua jilid besar."[84]
4. Al-Hafidz Abu Sa'id Mas'ud bin Nashir bin Abi Zaid as-Sajistani, yang wafat pada tahun 477 Hijrah, mensahkan hadis Ghadir Khum di dalam kitabnya ad-Dirayahfi Hadits al-Wilayah, di mana di dalam 17 juznya terhimpun jalan-jalan hadis al-Ghadir yang diriwayatkan dari 120 orang sahabat.
Di dalam kitab al-Ghadir, Al-Amini telah menyebutkan sebanyak 26 orang ulama Ahlus Sunnah terkemuka yang menulis kitab-kitab khusus yang mensahkan hadis al-Ghadir, apalagi kitab-kitab yang menyebutkan riwayatnya. Kita akhiri pembicaraan kita di sini dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Katsir tentang al-Juwaini, "Dia terkejut dan mengatakan, 'Di Bagdad saya menyaksi-kan kitab berjilid-jilid di tangan seorang redaktur, yang di dalam-nya termuat riwayat-riwayat hadis ini. Pada kitab-kitab itu tertulis: Jilid kedua puluh delapan dari jalan-jalan hadis 'Barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya', dan akan menyusul lagi jilid kedua puluh sembilan.'"[85]
Referensi-Referensi Yang Menetapkan Ayat Ini Turun Kepada Ali
Adapun berkenaan dengan turunnya ayat ini "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Danjika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah memeliharamu dari (ganguan) manusia " khusus kepada Ali, banyak sekali dari mereka yang secara terang-terangan mengakuinya. Di antaranya ialah:
1. As-Suyuthi di dalam kitab ad-Durr al-Mantsur, di dalam menafsir-kan ayat di atas, dari Ibnu Abi Khatim, Ibnu Abi Mardawaih dan Ibnu 'Asakir, dengan sanad-sanad mereka yang berasal dari Abi Sa'id yang mengatakan, "Ayat ini turun kepada Rasulullah saw di Ghadir Khum berkenaan dengan Ali." As-Suyuthi juga menukil dari Ibnu Mardawaih dengan sanad-sanadnya yang sampai kepada Ibnu Mas'ud yang berkata, "Pada masa Rasulullah saw kami membaca, 'Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu bahwa Ali adalah pemimpin orang-orang Mukmin. Dan jika kamu tidak kerjakan (apa yang diperintahkan, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah rnerneliharamu dari (gangguan) manusia.'"[86]
2. Al-Wahidi meriwayatkan di dalam kitab Asbab an-Nuzul, dari Abi Sa'id yang mengatakan, "Ayat ini turun pada hari Ghadir Khum kepada Ali."[87]
3. Al-Hafidz Abu Bakar al-Farsi telah meriwayatkan di dalam kitabnya Ma Nuzzila fi Amiril Mukminin dengan bersanad dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir Khum kepada Ali bin Abi Thalib.
4. Al-Hafidz Abu Na'im al-Isbahani, dengan sanadnya dari al-A'masy, dari 'Athiyyah yang berkata, "Ayat ini turun kepada Rasulullah saw pada hari Ghadir Khum."[88]
5. Al-Hafidz Ibnu Asakir asy-Syafi'i, dengan bersanad dari Abi Sa'id al-Khudzri yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir Khum kepada Ali bin Abi Thalib.[89]
6. Badruddin bin al-'Aini al-Hanafi. Dia mengatakan di dalam kitab 'Umdah al-Qari'fi Syarh Shahih al-Bukhari yang berkata, "Telah berkata Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin al-Husain. Artinya, 'Sampaikanlah apa yang telah diturunkan dari Tuhanmu tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib ra.' Ketika ayat ini turun Rasulullah mengangkat tangan Ali dan berkata, 'Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya.'"
Teks Khutbah
Dan puluhan orang lainnya dari mereka menetapkan bahwa ayat ini turun kepada Ali bin Abi Thalib. Dari sekian banyak riwayat-riwayat ini kita memilih riwayat al-Hafidz Abi Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari.
Ibnu Jarir ath-Thabari mengeluarkan riwayat ini beserta dengan sanadnya di dalam kitab al-Wilayahfi Thurug Ahadits al-Ghadir, yang bunyi teksnya sebagai berikut:
"Dari zaid bin Arqam yang berkata, 'Ketika Rasulullah saw sampai ke Ghadir Khum, di dalam perjalanan kembalinya dari haji wada'; ketika itu waktu dhuha, sementara cuaca sangat panas sekali, Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya untuk bernaung di pepohonan. Kemudian Rasulullah menyerukan salat berjamaah. Maka kami pun berkumpul, lalu Rasulullah saw menyampaikan sebuah khutbah yang indah. Rasulullah saw berkata, 'Sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan kepadaku ayat 'Sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, danjika kamu tidak melakukan (apa yang diperintahkan, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah menjagamu dari (gangguan) manusia.' Sesungguhnya aku telah diperintahkan oleh Allah melalui Jibril supaya berdiri di tempat keramaian ini, dan memberitahukan (bangsa) putih dan hitam bahwa Ali bin Abi Thalib adalah saudaraku, washi-ku, penggantiku dan imam sepeninggalku. Lalu aku meminta kepada Jibril supaya me-mohonkan ampunan bagiku kepada Tuhanku, karena aku tahu betapa sedikitnya orang-orang yang bertakwa dan betapa banyaknya orang-orang yang mengganggu serta mencemoohku karena seringnya aku bersama Ali dan memberikan perhatian yang lebih kepadanya, sehingga mereka menyebutku sebagai udzun (orang yang tidak teliti dan cepat percaya pada setiap berita yang didengarnya). Sehingga Allah berfirman,
'Di antara mereka ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, 'Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya.' Katakanlah, 'la mempercayai semua yang baik bagimu.'
Seandainya aku mau sebutkan nama-nama mereka niscaya akan aku sebutkan, dan seandainya aku mau tunjukkan wajah-wajah mereka niscaya akan aku tunjukkan. Namun aku berketetapan hati rnerahasiakan nama-nama mereka, dan akan terus bersikap bersahabat terhadap mereka. Namun demikian, Allah tetap mendesakkan dan tidak akan rela padaku melainkan aku sampaikan apa yang diturunkan-Nya kepadaku.
Ketahuilah —wahai manusia— sesungguhnya Allah telah menetapkan Ali sebagai wali dan imam kamu, dan telah mewajibkan kepada setiap orang darimu untuk mentaatinya. Sah keputusan hukum yang diambilnya, dan berlaku kata-katanya. Terlaknat orang yang menentangnya, dan memperoleh rahmat orang yang mempercayainya.
Dengarlah dan patuhilah, sesungguhnya Allah adalah Tuhanmu dan Ali adalah pemimpinmu. Kemudian keimamahan dan kepemimpinan (berikutnya) ada pada keturunan yang berasal dari tulang sulbinya, sehingga tiba hari kiamat.
Sesungguhnya tidak ada yang halal kecuali apa yang telah dihalalkan oleh Allah, Rasul-Nya dan mereka, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang telah diharamkan oleh Allah, Rasul-Nya dan mereka.
Tidak ada satu ilmu pun kecuali telah Allah tetapkan dan pindahkan kepada mereka. Maka oleh karena itu janganlah kamu berpaling dari-nya, dan janganlah kamu bersikap sombong dan enggan menerima kepemimpinannya. Karena dialah orang yang akan menunjukkan kepada kebenaran dan mengamalkannya. Allah tidak akan mengampuni orang-orang yang mengingkari wilayah dan kepemimpinannya, dan tidak akan pernah memaafkannya sekali-kali. Sungguh, Allah telah memastikan diri-Nya untuk melakukan itu bagi mereka yang menentang perintah-Nya dalam perkara ini, dan akan menimpakan kepadanya azab yang amat pedih selama-lamanya.
Dia adalah manusia yang paling utama setelahku. Karena kamilah kemudian Allah turunkan rezeki-Nya (kepada kamu) dan (karena kami juga maka) seluruh makhluk memperoleh kehidupan. Sungguh terkutuk orang yang menentangnya. Ucapanku ini berasal dari Jibril, dan Jibril dari Allah SWT. Karena itu hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang akan disiapkannya untuk hari esok.
Pahamilah ayat-ayat muhkamat Al-Qur'an, dan janganlah kamu ikuti (secara lahiriyyah) makna ayat-ayat mutasyabihat-nya. Tidak akan ada orang yang bisa menerangkan tafsirnya kepadamu melainkan orang yang aku pegang tangannya, yang aku naikkan dia ke sisiku dan yang aku angkat lengannya. Kini aku umumkan, 'Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya.' Perintah untuk mengangkatnya sebagai pemimpin ini adalah berasal dari Allah SWT yang telah diturunkan kepadaku. Ingatlah, sungguh aku telah tunai-kan (perintah ini). Ingatlah, sungguh aku telah sampaikan. Ingaflah, sungguh aku telah perdengarkan. Ingatlah, sungguh aku telah aku jelaskan.
Tidak diperkenankan siapa pun menyandang gelar Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang yang beriman) sepeninggalku selain dia.' Kemudian Rasulullah saw mengangkatnya tinggi-tinggi, sebegitu tingginya sehingga kakinya sejajar dengan lutut Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw berkata,
'Wahai manusia, ini adalah Ali, saudaraku dan washi-ku, pemelihara ilmuku, khalifahku bagi orang yang beriman kepadaku dan wakilku dalam menafsirkan Kitab Allah Azza Wajalla.' Pada riwayat lain disebutkan, 'Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya, perangilah orang yang memeranginya, kutuklah orang yang mengingkarinya dan murkailah orang yang mengingkari haknya.'"
Khutbah ini tidak lagi memerlukan penjelasan. Seorang yang berakal wajib merenunginya.
Khutbah ini menunjukkan dengan jelas wajibnya mengikuti Imam Ali as, dan di dalamnya terdapat jawaban yang cukup atas orang yang mengatakan bahwa maksud dari kata "wali" adalah penolong atau pecinta. Karena petunjuk-petunjuk kontekstual dan verbal mencegah pengertian itu. Sungguh tidaklah masuk akal Rasulullah saw menahan sekumpulan manusia besar ini di bawah terik matahari yang sangat panas hanya untuk mengatakan kepada mereka bahwa inilah Ali, cintai dan tolonglah dia. Orang berakal mana yang mempertimbangkan arti ini? Dengan perkataan ini berarti dia telah menuduh Rasulullah saw telah melakukan sesuatu yang sia-sia. Sebagaimana ucapan yang ter-surat juga memperkuat hal ini. Rasulullah saw bersabda, "Sesungguh-nya Ali bin Abi Thalib adalah saudaraku, washiku, khalifahku dan Imam sepeninggalku." Rasulullah juga telah bersabda, "Maka sesung-guhnya Allah telah mengangkatnya sebagai pemimpin dan Imam bagi kamu, dan telah mewajibkan ketaatan kepadanya atas setiap orang..."
Urusan kepemimpinan bukanlah urusan yang sederhana. Seluruh ajaran Islam bersandar kepadanya.
Bukankah Islam adalah ketundukkan dan kepatuhan?!
Maka orang yang tidak tunduk kepada kepemimpinan Ilahi dan tidak patuh kepada mereka di dalam seluruh perintahnya, apakah kita berhak menyebut dia sebagai seorang Muslim?!
Tentu tidak. Karena jika tidak, maka tentu terjadi tanaqudh (kontradiksi). Tindakan mengikuti kepemimpinan palsu dan tunduk kepadanya, Al-Qur'an masukkan ke dalam kategori syirik.
Allah SWT berfirman, "Mereka menjadikan orang-orang alim mereka dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah." (QS. at-Taubah: 31)
Mereka tidak menjadikan orang-orang alim mereka dan rahib-rahib mereka sebagai berhala-berhala yang disembah, melainkan rahib-rahib mereka itu menghalalkan bagi mereka apa-apa yang Allah haramkan dan mengharamkan bagi mereka apa-apa yang Allah halalkan. Demikian juga orang yang membangkang kepada kepemimpinan Ilahi, dia dianggap orang musyrik.
Orang yang merenungi ayat di atas dengan kesadaran dan mata hati niscaya akan hal itu akan terbuka baginya. Allah SWT berfirman, "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu..." Ayat ini merupakan bagian dari surat al-Maidah, yang merupakan surat Al-Qur'an terakhir, sebagaimana yang disebut-kan di dalam Mustadrak al-Hakim.
Telah disebutkan bahwa ayat ini turun di Ghadir Khum, yaitu pada saat sepulangnya Rasulullah saw dari haji wada.
Lantas, perintah Ilahi yang manakah ini, yang perbuatan tidak menyampaikannya berarti sama dengan tidak menyampaikan risalah sama sekali?!
Mau tidak mau pasti perintah Ilahi tersebut merupakan substansi dan tujuan Islam. Yaitu ketundukkan kepada kepemimpinan Ilahi dan kepatuhan kepada perintah-perintahnya. Jelas, perkara ini menciptakan ketidakrelaan dari sebagian para sahabat. Sebagian besar dari mereka menolaknya. Oleh karena itu, di dalam sebuah riwayatnya Rasulullah saw berkata kepada Jibril, yang artinya, sesungguhnya kami telah memerangi mereka selama dua puluh tiga tahun sehingga mereka mengakui kenabianku, lalu bagaimana mungkin mereka dapat menerima keimamahan Ali hanya dalam waktu sekejap. Dari sinilah kemudian datang firman Allah yang berbunyi, "Dan Allah menjaga kamu dari (gangguan) manusia."
Setelah Rasulullah menyampaikan perintah yang menyamai seluruh risalah ini, maka turunlah ayat yang berbunyi, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagi agamamu."
Banyak dari kalangan para muhaddis yang dengan tegas mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Ali. Allamah al-Amini telah menyebutkan enam belas sumber dari mereka di dalam kitabnya al-Ghadir, jilid 1, halaman 230 sampai dengan halaman 237. Dengan demikian, penyempurnaan agama dan pencukupan nikmat adalah dengan kepemimpinan Ali as. Dari sini kita dapat memberi kemungkinan kepada riwayat-riwayat yang mengatakan, sesungguhnya diterimanya amal perbuatan seorang hamba bergantung kepada penerimaannya terhadap kepemimpinan Ahlul Bait. Karena mereka adalah jalan yang telah Allah perintahkan kepada kita untuk mengikutinya. Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Aku tidak meminta upah apa pun kepadamu atas risalah yang aku sampaikan selain dari kecintaan kepada Ahlul Baitku.'" Kecintaan terhadap mereka bukan semata-mata dengan mencintai mereka, melainkan dengan menolong dan mengikuti mereka dan juga mengambil ajaran-ajaran agama dari mereka.
Di dalam sebuah hadis yang berasal dari Imam Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq as disebutkan bahwa Imam Ja'far ash-Shadiq telah berkata, "Sesungguhnya sesuatu yang pertama kali akan ditanya kepada seorang hamba tatkala dia berada di hadapan Allah SWT ialah mengenai salat yang diwajibkan, zakat yang diwajibkan, puasa yang diwajibkan, dan mengenai kepemimpinan kami Ahlul Bait. Jika dia mengakui kepemimpinan kami, lalu dia mati, maka diterima salatnya, puasanya, zakatnya dan hajinya. Dan jika dia tidak mengakui kepemimpinan kami di hadapan Allah maka Allah tidak akan menerima sedikit pun amal perbuatannya. "[90]
Dari Ali as yang berkata, "Tidak ada kebaikan di dunia kecuali bagi salah seorang di antara dua orang laki-laki. Yaitu seorang laki-laki yang bertambah kebaikannya setiap harinya, dan seorang laki-laki yang menyusul keburukannya dengan tobat. Demi Allah, kalau sekiranya seorang hamba bersujud hingga terputus lehernya niscaya Allah tetap tidak akan menerima tobatnya kecuali dia mengakui kepemimpinan kami Ahlul Bait"
Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah saw yang bersabda, "Wahai manusia, jika dlsebut keluarga Ibrahim kepadamu tampak berseri-seri wajahmu, namun jika disebut keluarga Muhanirnad kepadamu tampak seolah-olah biji-biji delima memecah di wajahmu? Demi Zat yang telah mengutusku sebagai nabi dengan kebenaran, jika salah seorang dari kamu datang pada hari kiamat dengan membawa amal perbuatan sebesar gunung Uhud namun dia tidak datang dengan membawa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib as niscaya Allah akan lemparkan dia ke dalam neraka."[91]
Dan riwayat-riwayat lainnya yang semisal dengan itu.
BAB VI
Musyawarah dan Kekhilafahan Islam
Pertama:
PEMBAHASAN TENTANG AYAT-AYAT MUSYAWARAH
Baik dahulu maupun sekarang kaum Muslimin berbeda pendapat di dalam cara bagaimana menentukan imam dan khalifah. Pada jaman dahulu perbedaan pendapat tersebut lebih banyak berwujud dalam tataraan kenyataan praktis dan pencrapaan lapangan dibandingkan pada tingkatan teori dan pemikiran. Adapun pada jaman sckarang perbedaan tersebut hanya terbatas pada tataran pemikiran, tidak melampaui tingkat pertengkaran ucapan dan argumentasi teoritis.
Partisipasi kita di dalam menyelesaikan pertengkaran ini ialah dengan cara kita akan mendiskusikan penunjukkan (dilalah) ayat-ayat musyawarah (syura) yang terdapat di dalam Al-Qur'an yang dijadikan sandaran oleh kalangan Ahlus Sunnah di dalam pandangan mereka. Kemudian setelah itu kita akan mengkaji musyawarah dalam tataran kenyataan praktis setelah wafatnya Rasulullah saw dan sekaligus ber-bagai peristwa yang terjadi sesudahnya.
Allah SWT berfirman,
"Maka disebabkan rahmat dan Allahlah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkaniah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS. Ali Imran: 159)
"Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Danjika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Baqarah: 233)
"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. " (QS. asy-Syura: 38)
Kalangan Ahlus Sunnah, di dalam masalah kekhilafahan bersandar kepada konsep syura. Mereka mengatakan bahwa kekhilafahan kaum Muslimin tidak dapat ditentukan kecuali melalui musyawarah. Oleh karena itu, mereka mensyahkan kekhilafahan Abu Bakar, yang terpilih melalui musyawarah di Saqifah Bani Sa'idah. Sedangkan pandangan kedua, yaitu kalangan Syi'ah, memandang bahwa masalah kekhilafahan harus ditentukan dan diangkat oleh Allah SWT, karena tidak ada jaminan terpilihnya orang yang paling layak berdasarkan pandangan pertama. Hal itu dikarenakan masalah musyawarah sangat dipengamhi dengan pengaruh-pengaruh emosi dan perasaan manusia, pandangan-pandangan pemikiran dan kejiwaan mereka dan juga afiliasi mereka kepada keyakinan, sosial dan politik tertentu. Di samping itu, musya-warah juga membutuhkan tingkat ketulusan, objektifitas dan keter-bebasan dari berbagai pengaruh yang disadari maupun yang tidak disadarl. Oleh karena itu, mereka (kalangan Syi'ah) mengatakan Rasulullah harus mempunyai wasiat yang jelas di dalam masalah kckhilafahan. Mereka mengatakan Rasulullah saw telah menetapkan khalifah dan bahkan khalifah-khalifah sepeninggalnya. Atas dasar itu, mereka meyakini kekhilafahan Ali bin Abi Thalib as, dan bahwa musyawarah yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanyalah diperuntukkan bagi beberapa tema permasalahan yang khusus berkaitan dengan pelaksanaan dan penerapan hukum, bukan berkaitan dengan penentuan hakim (pemimpin), yang merupakan kedudukan Ilahi.
Oleh karena perbedaan tersebut hanya terbatas di antara dua pandangan ini, maka kebatilan salah satunya akan membuktikan kebenaran yang lainnya, dan sebagai akibatnya membuktikan kebenaran atau kebatilan kekhilafahan khalifah, baik khalifah itu Abu Bakar dan khalifah-khalifah lain yang menggantikannya atau khalifah itu Ali dan para washi yang menggantikannya.
Kita telah membuktikan pada pasal-pasal sebelumnya, dengan tidak meninggalkan keraguan sedikit pun, akan kebenaran pandangan yang mengatakan lebih berhaknya Ahlul Bait di dalarn kekhilafahan Islam, dan bahkan merupakan hak yang khusus bagi mereka dan tidak bagi selain mereka. Namun, untuk lebih menyempurnakan faidah dan menjelaskan hakikat, mau tidak mau kita harus mcndiskusikan konsep musyawarah sebagai semata-mata sebuah konsep, dan sampai sejauh mana kelayakannya di dalam masalah pemilihan khalifah kaum Muslimin.
Kalangan pendukung konsep musyawarah, di dalam menegakkan pandangannya sangat bersandar kcpada ayat-ayat Al-Qur'an yang telah kita scbutkan pada awal pembahasan. Ayat-ayat tersebut menjadi pokok pembahasan di dalam bab ini.
Jika kita mengkaji ayat-ayat di atas niscaya akan jelas bagi kita bahwa konsep musyawarah Islam tergambar dalam dua bentuk:
1. Tema musyawarah yang hendak dimusyawarahkan adalah suatu urusan yang bersifat parsial, di dalam konteks yang sempit dan terbatas, seperti terna penyapihan anak yang masih menyusu, sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat, "Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan..." Jenis musyawarah ini tidak menjadi bahan pertengkaran, dan oleh karena itu kita tidak perlu mendiskusikannya.
2. Tema musyawarah yang hendak dimusyawarahkan adalah suatu perkara umum yang mcnjadi perhatian seluruh kaum Muslimin, Seperti mengumumkan perang terhadap musuh atau memilih khalifah kaum Muslimin.
Tidak diragukan, bahwa dalam masalah yang seperti ini kaum Muslimin harus merujuk kepada Rasulullah saw. Karena tidak lah logis sebuah musyawarah terlaksana dengan tidak ada pendapat Rasulullah saw di dalamnya. Bahkan, termasuk buruk dalam pandan-gan umum ('urf) dan pembangkangan menurut syariat jika sebuah musyawarah dilakukan dengan tanpa merujuk kepada Rasulullah saw atau orang yang menempati kedudukannya, yaitu wali amri. Allah SWT berfirman, "Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri dari mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)." (QS. an-Nisa: 83)
Jenis musyawarah ini berdasarkan ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah..." mempunyai tiga rukun:
1. Adanya orang-orang yang bermusyawarah, sehingga musyawarah terlaksana. Dan ini ditunjukkan oleh kata ganti hum (mereka) di dalam kata "wa syawirhun".
2. Adanya materi dan tema yang dimusyawarahkan, sehingga dengan itu musyawarah terlaksana.
3. Adanya pemimpin yang mengatur musyawarah, dan putusan terakhir bergantung kepada pandangannya. Ini ditunjukkan oleh kata ganti ta mukhaththab (orang kedua) pada kalimat "faidza 'azamta fatawakkal 'alallah..." Tidak diragukan, jika yang menjadi tema adalah urusan umum yang berkaitan dengan seluruh kaum Muslimin maka yang mempunyai hak memutuskan ialah wali amril Muslimin.
Tidak mungkin musyawarah yang sah dalam bentuknya yang Islami dapat terlaksana dengan tidak adanya salah satu di antara ketiga rukun di atas. Bisa saja wali aniri ada, orang yang bermusyawarah ada, namun tema musyawarah tidak ada, maka di sini musyawarah tidak terselenggara sama sekali. Oleh karena tidak ada permasalahan yang dapat mereka diskusikan dan musyawarahkan. Atau, bisa juga wali amri ada, tema musyawarah ada, namun kumpulan manusia yang akan bermusyawarah tidak ada, maka di sini berubah status dari musya-warah kepada nas atau perintah.
Atau juga, kumpulan manusia yang bermusyawarah ada, tema musyawarah ada, namun wali amri tidak ada, maka di sini musyawarah tidak berlangsung dengan bentuknya yang sah sebagaimana yang telah Allah SWT tetapkan di dalam Kitab-Nya, ketika Dia mewajibkan adanya pengawas atas musyawarah, yang menjadi tempat kembalinya urusan, Ketika masing-masing dari mereka mengeluarkan pandangannya, maka dia (wali amr) harus menjadi rujukan seluruh pandangan.
Musyawarah yang tidak sah ini tidak mungkin bisa mengeluarkan keputusan-keputusan yang sah dan mengikat seluruh kaum Muslimin. Karena musyawarah ini bertentangan dengan apa yang telah ditekankan oleh ayat bahwa pada akhirnya urusan bcrgantung kepada wali amri, "Kemudian apabila kamu telah berketetapan hati, maka bertawakallah kepada Allah."
Mungkin saja ada orang yang membantah dan berkata bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan rnereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah..." adalah khusus untuk Rasulullah, sehingga tidak mengharuskan adanya wali amri di dalam musyawarah; dan tidak ada halangan musyawarah dilaksanakan dengan tanpa adanya wali amri, berdasarkan petunjuk ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. " Karena di dalam zahir ayat tidak terdapat kata wali amri yang berketetapan hati dan bertawakal, sebagaimana yang terdapat di dalam ayat yang pertama.
Bantahan ini dapat dijawab dengan beberapa jawaban berikut:
1. Sesungguhnya seluruh yang tertelapkan bagi Rasulullah saw, seperti hak ketaatan, juga tertetapkan bagi wali amri, berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi, "Taatilah Allah, taatilah Rasul dan ulil amri dari kamu." Dengan begitu menjadi jelas bahwa jenis ketaatan kepada wali amri adalah jenis kctaatan yang sama dengan ketaatan kepada Rasulullah saw, disebabkan adanya athaf secara pasti, sebagaimana digunakannya satu kata (yaitu kata "taatilah") untuk keduanya, yaitu "Taatilah Rasul dan ulil amri dari kamu... " Jika seandainya digunakan kata "athi'u" untuk ketiga kalinya bagi ulil amri, maka barulah benar perkataan yang mengatakan di sana terdapat perbedaan di antara dua ketaatan tersebut.
2. Sesungguhnya tata cara musyawarah yang telah Allah tetapkan dalam urusan-urusan umum yang berhubungan dengan seluruh kaum Muslimin adalah satu, "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudianjika kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah." Sehingga penggunaan tata cara lain menuntut adanya dalil syariat yang menghasilkan perkara-perkara syariat, seperti kewajiban taat terhadap apa yang dihasilkan oleh musyawarah ini. Dan berargumentasi dengan ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka" untuk cara yang kedua dari musyawarah tidaklah sempurna.
Karena perkataan ini mendapat bantahan bahwa —tidak diragukan— ayat ini turun kepada Rasulullah saw. Dalam arti, ayat ini turun pada saat Rasulullah masih hidup di tengah-tengah kaum Muslimin. Akal dan agama tentunya melarang kaum Muslimin bermusyawarah tentang suatu urusan umum yang menyangkut urusan seluruh kaum Muslimin dengan tanpa kehadiran Rasulullah saw di antara niereka dan dengan tanpa merujuk kepada beliau. Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah harus berada di tengah mereka ialah, bahwa kata ganti hum (mereka) di dalam ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka " mencakup Rasulullah saw. Di samping itu, sesungguhnya konteks ayat di atas berbicara tentang sifat-sifat orang Mukmin yang menang, "Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal Dan (bagl) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi rnaaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka; dan merteka menafkahkan sebagian reieki yang Kami berikan kepada mereka." (QS. asy-Syura: 36-38)
Tidak diragukan bahwa seutama-utamanya ekstensi (mishdaq) orang-orang Mukmin adalah Rasulullah saw. Tidak diragukan bahwa Rasulullah saw adalah salah seorang dari mereka. Jika telah terbukti bahwa Rasulullah saw termasuk bagian dari musyawarah ini, maka tentu Anda tahu bahwa urusan musyawarah di dalam ayat ini kembali kepada Rasulullah saw, dan tentunya musyawarah ini tidak akan sempurna kecuali dengan ketetapan hati beliau, "Kemudian jika kamu telah berbulat hati maka bertawakallah kepada Allah."
Dengan demikian, sesungguhnya musyawarah ialah sebagaimana cara yang pertama. Seluruh yang terdapat di dalam ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka" adalah bersifat umum dan mujmal, sedangkan ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apahila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah" adalah merupakan penjelas dan perinci baginya.
Setelah saya menjelaskan ini, dengan segera saya menambahkan bahwa kita akan sampai kepada hasil yang terbatas jika kita berpendapat bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka..." ini hanya khusus untuk Rasulullah saw, dan tidak untuk ulil amri. Karena jika demikian musyawarah tidak akan bisa berlangsung kecuali dengan adanya Rasulullah. Dan jika Rasulullah saw meninggal dunia maka tidak ada musyawarah, disebabkan tidak adanya salah satu rukun dasar di dalam musyawarah, yaitu Rasulullah saw. Namun jika kita me-ngatakan ayat ini tidak hanya khusus terbatas bagi Rasulullah saw saja, maka berarti kita mengatakan ayat ini juga mencakup ulil amri, sehingga dengan begitu musyawarah tetap ada dan sah dengan syarat adanya wali amri di dalamnya. Dan wali amri memiliki hak-hak yang dimiliki oleh Rasulullah saw di dalam musyawarah, karena dia menempati tempat Rasulullah. Sehingga dengan demikian, makna "Dan urusan mereka (diselesaikan) dengan permusyawatan di antara mereka' ialah mereka tidak dapat menyimpulkan suatu urusan dengan tanpa bermusyawarah kepada Rasulullah saw, di dalam urusan-urusan agama yang mereka perlukan. Sebagaimana firman Allah SWT, "Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri dari mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri)."
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka pandangan musyawarah di dalam pengangkatan khalifah menemui jalan buntu, yang berakibat kepada batalnya pandangan tersebut. Berdasarkan pendapat pertama, yaitu yang mengatakan "Dan bermusyawarahlah dengan mereka di dalam urusan itu..." hanya khusus untuk Rasulullah saw, sebagaimana diketahui bahwa musyawarah yang diselenggarakan untuk meng-angkat khalifah pertama itu dilakukan setelah wafatnya Rasuullah saw, sehingga dengan begitu tentunya dia merupakan musyawarah yang tidak sah menurut hukum Islam dan pandangan Al-Qur'an, dan dengan begitu maka berarti seluruh keputusan yang dihasilkan darinya adalah tidak sah, yang salah satunya adalah pengangkatan khalifah pertama, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kitab-kitab sejarah dan kitab-kitab hadis tentang tata cara pengangkatannya, pada sebuah tempat yang mereka namakan dengan Saqifah Bani Sa'idah. Adz-Dzahabi telah merekam peristiwa tersebut di dalam kitab sejarahnya. Sebagaimana peristiwa ini direkam juga di dalam Sahih Bukhari, di dalam kitab al-hudud, bab merajam wanita yang mengandung hasil perbuatan zina, dengan riwayat dari Umar bin Khatab. Ibnu Jarir ath-Thabari juga merekam peristiwa ini di dalam kitab sejarahnya tatkala dia menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 11 Hijrah, di dalam jilid 2 dari kitab sejarahnya. Demikian juga Ibnu Atsir, dan Ibnu Qutaibah di dalam kitabnya Tarikh al-Khulafa, jilid 1. Dan begitu juga kitab-kitab referensi sejarah lainnya.
Adapun berdasarkan pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka... " terlaksana dengan adanya Rasulullah saw atau orang yang menempati kedudukannya, musyawarah yang sah tidak dapat terlaksana kecuali dengan adanya wali amri, dan wali amri tidak dapat diangkat kecuali dengan musyawarah yang sah, maka ini berarti terjadi dawr (berputar), dan dawr itu mustahil. Karena, tidak mungkin musyawarah yang sah dilaksanakan kecuali setelah adanya wali amri, sementara wali amri tidak mungkin ada kecuali setelah dilaksanakannya msuyawarah yang sah. Ini berarti perkara ini bergantung kepada dirinya, sehingga dengan begitu tidak akan mungkin musyawarah yang sah terlaksana untuk selamanya. Kecuali jika dikatakan bahwa di sana ada seorang wali amri yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, yang keberadaannya lebih dulu dibandingkan keberadaan musyawarah. Ini berarti penerimaan terhadap "pandangan nas", yang dikatakan oleh madrasah Ahlul Bait.
Mungkin ada orang yang mengatakan tidak wajib adanya wali amri di dalam musyawarah, melainkan cukup dengan adanya orang yang bermusyawarah. Jika Anda membantah dengan mengatakan bahwa dhamir pada kata 'azamta menunjukkan hak orang yang bermusyawarah untuk mengambil keputusan, dan ini menunjukkan bahwa dia itu wali amri di dalam musyawarah, maka bantahan ini dapat dijawab dengan mengatakan bahwa kata in 'azamta (apabila kamu berbulat hati) adalah berarti berbulat hati untuk melaksanakan hasil musyawarah.
Sesungguhnya zahir ayat di atas tidak demikian. Karena yang paling tampak dari ayat ini ialah tertetapkannya hak mengambil keputusan padanya. Dengan kata lain, sesungguhnya perkataan di atas baru dikatakan benar jika pendapat orang-orang yang bermusywarah itu satu; akan tetapi jika pendapat orang-orang yang bermusyawarah itu ber-macam-macam, bagaimana musyawarah dapat mengambil keputusan?
Jika orang itu mengatakan harus berdasarkan suara mayoritas, mana dalilnya? Justru Allah SWT sering mengecam kelompok mayorits di dalam banyak ayatnya, "... kebanyakan orang yang ada di muka bumi berusaha menyesatkan kamu." Bahkan, perkataannya ini bertentangan dengan bunyi ayat yang menyerahkan urusan pengambilan keputusan kepada satu orang yang bermusyawarah manakala terjadi perbedaan pendapat. Jika kita menerima ini, maka berarti orang itu telah keluar dari sifat orang yang bermusyawarah kepada sifat sifat seorang wali di dalam musyawarah. Bahkan, sekali pun orang-orang yang ber-musyawarah sepakat atas suatu pendapat, maka orang itu (wali amri) tetap mempunyai hak untuk menetapkan atau tidak menetapkannya.
Dari pembahasan di atas menjadi jelas bahwa pandangan musya-warah berada di antara dua jalan buntu:
1. Musyawarah dapat dilakukan dengan tanpa adanya Rasulullah saw dan ulul amri. Musyawarah yang seperti ini batal dan tidak sah. Dan pendapat yang mengatakan mungkinnya dilakukan musyawarah dengan tanpa adanya Rasulullah saw dan ulil amri memerlukan kepada dalil agama, namun tidak ada dalil agama yang menunjukkan kepada hal itu.
2. Atau, musyawarah dilakukan dengan adanya wali amri yang dijadikan sebagai rujukan. Kemungkinan ini dapat dibayangkan dalam beberapa bentuk:

No comments:

Post a Comment