10 03 2012
Dulu ada
pelarangan terhadap Darul Arqam, dan sekarang muncul usaha untuk memeriksa
ajaran di Pesantren Zaytun Indramayu. Terlepas dari itu, bagaimana kita
menyikapi perbedaan-perbedaan pemahaman dalam suatu ajaran?
JALALUDDIN
RAKHMAT: Saya sendiri beranggapan, biarlah orang-orang Islam mengembangkan
pendapat mereka sendiri dan tidak seorang pun di antara kita yang berhak
menghakimi suatu kebenaran. Dan perlu diingat, sesuatu yang bisa kita lakukan
dalam agama hanyalah mendekati (to aproximate) kebenaran dengan cara kita
sendiri. Jadi ketika kita mencoba menghakimi suatu kelompok seperti Pesantren
Zaytun, yang perlu dipertanyakan adalah: “Dari mana kriteria penyimpang itu?”
Bukankah itu dari kriteria yang kita bikin?
Merasa Diri Paling Benar
Munculnya
dualisme pendapat resmi dan tidak resmi yang mengakibatkan pendapat resmi
dianjurkan dan yang tidak resmi disingkirkan memang terjadi pada semua agama.
Tapi yang ingin saya tanyakan secara spesifik, kenapa itu terjadi dalam agama
Islam?
JALALUDDIN
RAKHMAT: Pertanyaan “mengapa” itu, mungkin butuh jawaban panjang. Namun saya
mencoba mencari jawaban yang pendek. Saya kira, ini berkaitan dengan sebuah
sikap yang oleh Nabi selalu ditegur. Yaitu, sikap merasa diri yang paling
benar. Karena merasa paling benar, maka pendapat-pendapat yang bertentangan
dengannya dianggap salah. Karena salah, secara agama harus dihancurkan. Istilah
agama menyebut kesalahan itu bâthil. Sementara, doktrin agama menyebutkan
adanya pertarungan antara haq dengan bâthil seperti disinyalir Alquran: “Wa qul
jâ’a al-haq wa zahaqa al-bhâtil inna al-bhâtil kâna zahûqa” (dan katakanlah:
“kebenaran telah datang, dan kebatilan akan sirna. Sesungguhnya kebatilan itu
akan (selalu) sirna –red). Ironisnya, tidak jarang yang dianggap benar adalah
pendapat pribadi dia. Pendapat dia dianggap satu-satunya kebenaran.
Kemarin
saya sempat berbincang dengan Pak Alwi Shihab. Katanya, salah satu penyebab
terjadinya legalisme dalam Islam adalah kecenderungan untuk mengangkat pendapat
kita yang sangat manusiawi menjadi sangat Ilahi. Sebetulnya, terkadang yang ada
hanya pendapat kita tentang Alquran dan hadits, tapi lantas kita malah
berpendapat itulah Alquran dan hadits sebenar-benarnya. Kalau orang seperti ini
–misalnya—berbeda pendapat dengan saya, maka saya diklaim bertentangan dengan Alquran
dan hadits. Padahal tak jarang itu hanya pendapat mereka tentang Alquran dan
hadits. Kasusnya sama seperti pendapat orang yang menganggap perlunya
mendirikan negara berdasar syariat Islam. Di situ, syariat dianggap sangat
divine (sangat Ilahi). Padahal, yang kita sebut syariat mungkin sembilan puluh
persen sangat manusiawi. Artinya, syariat adalah pemahaman kita tentang syariat
itu sendiri.
Sebagai
contoh, saya pernah berdebat tentang syariat Islam di Makassar. Pada waktu itu,
saya berhadapan dengan “orang-orang salih” yang berusaha menerapkan syariat
Islam. Ketika saya bertanya: “Syariat Islam yang mana yang akan Anda terapkan
di sini?” Sebab, syariat Islam itu sangat bergantung pada mazhab Anda: apakah
syariat Islam ala Taliban, ala PAS di Malaysia, ala NAD di Aceh, Arab Saudi
atau Iran? Jadi, penafsiran tentang itu berbeda-beda. Di situ, saya hanya ingin
menyadarkan, bahwa apa yang kita sebut syariat, kebanyakan lebih manusia
ketimbang yang ilahi. Malangnya, terkadang yang manusiawi itu sudah dianggap
ilahi. Bila suatu pendapat sudah kita anggap sakral, maka setiap orang yang
bertentangan dengan kita akan kita hancurkan karena dianggap bagian kebatilan.
Yang Tidak Resmi Dianggap Menyimpang
Saya
kira, sejarah seperti itu berulang terus sampai sekarang. Kalau kita tanyakan
hal ini secara kritis, maka soal yang muncul adalah: “Mengapa pada level
doktrinal, Islam menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, tapi pada fakta
sejarah terjadi skandal-skandal seperti itu?”
JALALUDDIN
RAKHMAT: Saya kira, itu terjadi juga pada agama lainnya. Kalau kita meniru
doktrinnya, kita akan menemukan kebebasan berpendapat. Tapi setelah agama itu
terlembagakan (institutionalized), mulai ada hierarki dan doktrin-doktrin yang
dianggap resmi dan yang tidak resmi. Yang tidak resmi kemudian dianggap
menyimpang dan tidak punya hak untuk tetap hidup bersama doktrin yang resmi.
Itu gejala yang sama di setiap agama.
Begitu
agama dilembagakan dan ada pengawalnya, kebebasan lenyap. Bisa dijelaskan lebih
detail?
JALALUDDIN
RAKHMAT: Mungkin kita bisa melakukan beberapa analisis. Bisa analisis
psikologis, maupun sosiologis. Kita mulai dari analisis sosiologis. Agama yang
sudah dilembagakan akan berkaitan erat dengan kekuasaan. Dan –tentu
saja—kekuasaan dilegitimasi oleh suatu ideologi. Sementara, ideologi sebetulnya
merupakan pendapat yang sudah dibakukan menjadi pendapat resmi.
Khalifah Umar Memenjarakan Beberapa Sahabat
Bukankah
pelarangan itu ada motifnya, yakni khawatir bisa menyaingi Alquran?
JALALUDDIN
RAKHMAT: Itu terjadi pada masa Umar bin Khatab. Alasannya memang takut
menyaingi Alquran. Khalifah Umar bahkan memenjarakan beberapa sahabat yang
meriwayatkan hadits.
Saya
kira, ketidaksenangan akan periwayatan hadits berlanjut jauh setelah khalifah
yang empat?
JALALUDDIN
RAKHMAT: Betul, sampai zaman Thâbiîn (penerus sahabat -red) masih banyak orang
yang takut meriwayatkan hadits. Akibatnya, salah satu sumber berekspresi dan
berpendapat kaum muslim menjadi terbengkalai. Kemudian pasca wafatnya Imam Ali
atau sejak masa Muawiyyah, semua pendapat yang bertentangan dengan paham
politik Muawiyyah diberangus. Waktu itu terjadi manipulasi besar-besaran
terhadap hadits Nabi. Jadi, masa itu ada hadits Nabi yang dilarang untuk
diberitakan, dan pada waktu bersamaan, ada juga hadits yang diciptakan. Itu karena
kepentingan-kepentingan politik. Lalu siapa saja yang haditsnya bertentangan
dengan hadits penguasa dihukum.
Larangan Pengumpulan dan Periwayatan Hadits
Namun
demikian, dalam perkembangan sejarah ada beberapa skandal tentang pemberangusan
kebebasan berpendapat seperti perlakuan terhadap aliran Mu’tazilah maupun kasus
inkuisisi yang dilakukan Khalifah al-Makmun. Bagaimana menjelaskan ini?
JALALUDDIN
RAKHMAT: Ya, saya kira pemberangusan atau pembatasan kebebasan berpendapat
bahkan dimulai sejak zaman kekhalifahan Abu Bakar yang memuncak pada zaman Umar
bin Khattab.
Lalu,
mulai bebas lagi pada masa Ali bin Abi Thalib. Pada zaman Abu Bakar, dimulai
larangan periwayatan hadits. Padahal, seperti yang kita ketahui, hadits
merupakan upaya para sahabat yang sezaman dengan Nabi untuk menangkap makna
dari ucapan dan perilaku Nabi. Yang disebut Sunnah, menurut Fazlurrahman,
adalah opini yang dikembangkan para sahabat berkaitan dengan perilaku Nabi.
Mereka memberikan makna pada perilaku Nabi, dan kemudian menuliskannya. Pada
zaman khalifah Abu Bakar terjadi larangan pengumpulan dan periwayatan hadits
itu.
Landasan Kebebasan Berekspresi
Lantas apa landasan kebebasan berekspresi dalam doktrin agama?
JALALUDDIN
RAKHMAT: Secara doktrin, kita akan banyak sekali menemukan ayat-ayat Alquran
yang memberikan kebebasan kepada manusia, bahkan dalam memilih agama itu
sendiri. Ayat-ayat “faman syâ’a falyu’min, wa man syâ’a falyakfur (barangsipa
yang menghendaki bolehlah dia beriman dan barangsiapa yang menghendaki bolehlah
dia kafir).
Kalau
begitu, ada juga hak untuk tidak beragama yang dihormati oleh Islam?
JALALUDDIN
RAKHMAT: Ya, ada hak juga untuk kafir sekalipun dari ayat itu. Dan itu
dihormati oleh Islam.
Kalau
kita lihat dalam sejarah Islam, bagaimana fakta kebebasan berekspresi?
JALALUDDIN
RAKHMAT: Dalam periode Nabi Saw, kebebasan berpendapat sangat dihormati. Nabi
malah melarang orang memerangi pendapat yang berbeda. Di kalangan para sahabat
saja, terjadi perbedaan pendapat dalam memahami Sunnah Nabi. Semua itu,
berdasar fakta sejarah, diapresiasi oleh Nabi dengan arif. Dan yang paling
penting, Nabi tidak menyebutkan —misalnya— ini yang paling benar dan itu salah.
[wawancara
Ulil Abshar-Abdalla dengan Jalaluddin Rakhmat yang disiarkan Radio 68H, Kamis
13 Juni 2002]
No comments:
Post a Comment