Monday, June 18, 2012

Kang Jalal: Biarlah Orang-orang Islam Mengembangkan Pendapat Mereka



10 03 2012
Dulu ada pelarangan terhadap Darul Arqam, dan sekarang muncul usaha untuk memeriksa ajaran di Pesantren Zaytun Indramayu. Terlepas dari itu, bagaimana kita menyikapi perbedaan-perbedaan pemahaman dalam suatu ajaran?

JALALUDDIN RAKHMAT: Saya sendiri beranggapan, biarlah orang-orang Islam mengembangkan pendapat mereka sendiri dan tidak seorang pun di antara kita yang berhak menghakimi suatu kebenaran. Dan perlu diingat, sesuatu yang bisa kita lakukan dalam agama hanyalah mendekati (to aproximate) kebenaran dengan cara kita sendiri. Jadi ketika kita mencoba menghakimi suatu kelompok seperti Pesantren Zaytun, yang perlu dipertanyakan adalah: “Dari mana kriteria penyimpang itu?” Bukankah itu dari kriteria yang kita bikin?

Merasa Diri Paling Benar

Munculnya dualisme pendapat resmi dan tidak resmi yang mengakibatkan pendapat resmi dianjurkan dan yang tidak resmi disingkirkan memang terjadi pada semua agama. Tapi yang ingin saya tanyakan secara spesifik, kenapa itu terjadi dalam agama Islam?

JALALUDDIN RAKHMAT: Pertanyaan “mengapa” itu, mungkin butuh jawaban panjang. Namun saya mencoba mencari jawaban yang pendek. Saya kira, ini berkaitan dengan sebuah sikap yang oleh Nabi selalu ditegur. Yaitu, sikap merasa diri yang paling benar. Karena merasa paling benar, maka pendapat-pendapat yang bertentangan dengannya dianggap salah. Karena salah, secara agama harus dihancurkan. Istilah agama menyebut kesalahan itu bâthil. Sementara, doktrin agama menyebutkan adanya pertarungan antara haq dengan bâthil seperti disinyalir Alquran: “Wa qul jâ’a al-haq wa zahaqa al-bhâtil inna al-bhâtil kâna zahûqa” (dan katakanlah: “kebenaran telah datang, dan kebatilan akan sirna. Sesungguhnya kebatilan itu akan (selalu) sirna –red). Ironisnya, tidak jarang yang dianggap benar adalah pendapat pribadi dia. Pendapat dia dianggap satu-satunya kebenaran. 

Kemarin saya sempat berbincang dengan Pak Alwi Shihab. Katanya, salah satu penyebab terjadinya legalisme dalam Islam adalah kecenderungan untuk mengangkat pendapat kita yang sangat manusiawi menjadi sangat Ilahi. Sebetulnya, terkadang yang ada hanya pendapat kita tentang Alquran dan hadits, tapi lantas kita malah berpendapat itulah Alquran dan hadits sebenar-benarnya. Kalau orang seperti ini –misalnya—berbeda pendapat dengan saya, maka saya diklaim bertentangan dengan Alquran dan hadits. Padahal tak jarang itu hanya pendapat mereka tentang Alquran dan hadits. Kasusnya sama seperti pendapat orang yang menganggap perlunya mendirikan negara berdasar syariat Islam. Di situ, syariat dianggap sangat divine (sangat Ilahi). Padahal, yang kita sebut syariat mungkin sembilan puluh persen sangat manusiawi. Artinya, syariat adalah pemahaman kita tentang syariat itu sendiri. 

Sebagai contoh, saya pernah berdebat tentang syariat Islam di Makassar. Pada waktu itu, saya berhadapan dengan “orang-orang salih” yang berusaha menerapkan syariat Islam. Ketika saya bertanya: “Syariat Islam yang mana yang akan Anda terapkan di sini?” Sebab, syariat Islam itu sangat bergantung pada mazhab Anda: apakah syariat Islam ala Taliban, ala PAS di Malaysia, ala NAD di Aceh, Arab Saudi atau Iran? Jadi, penafsiran tentang itu berbeda-beda. Di situ, saya hanya ingin menyadarkan, bahwa apa yang kita sebut syariat, kebanyakan lebih manusia ketimbang yang ilahi. Malangnya, terkadang yang manusiawi itu sudah dianggap ilahi. Bila suatu pendapat sudah kita anggap sakral, maka setiap orang yang bertentangan dengan kita akan kita hancurkan karena dianggap bagian kebatilan.

Yang Tidak Resmi Dianggap Menyimpang


Saya kira, sejarah seperti itu berulang terus sampai sekarang. Kalau kita tanyakan hal ini secara kritis, maka soal yang muncul adalah: “Mengapa pada level doktrinal, Islam menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, tapi pada fakta sejarah terjadi skandal-skandal seperti itu?”
JALALUDDIN RAKHMAT: Saya kira, itu terjadi juga pada agama lainnya. Kalau kita meniru doktrinnya, kita akan menemukan kebebasan berpendapat. Tapi setelah agama itu terlembagakan (institutionalized), mulai ada hierarki dan doktrin-doktrin yang dianggap resmi dan yang tidak resmi. Yang tidak resmi kemudian dianggap menyimpang dan tidak punya hak untuk tetap hidup bersama doktrin yang resmi. Itu gejala yang sama di setiap agama. 

Begitu agama dilembagakan dan ada pengawalnya, kebebasan lenyap. Bisa dijelaskan lebih detail?
JALALUDDIN RAKHMAT: Mungkin kita bisa melakukan beberapa analisis. Bisa analisis psikologis, maupun sosiologis. Kita mulai dari analisis sosiologis. Agama yang sudah dilembagakan akan berkaitan erat dengan kekuasaan. Dan –tentu saja—kekuasaan dilegitimasi oleh suatu ideologi. Sementara, ideologi sebetulnya merupakan pendapat yang sudah dibakukan menjadi pendapat resmi.

Khalifah Umar Memenjarakan Beberapa Sahabat

Bukankah pelarangan itu ada motifnya, yakni khawatir bisa menyaingi Alquran?
JALALUDDIN RAKHMAT: Itu terjadi pada masa Umar bin Khatab. Alasannya memang takut menyaingi Alquran. Khalifah Umar bahkan memenjarakan beberapa sahabat yang meriwayatkan hadits.
Saya kira, ketidaksenangan akan periwayatan hadits berlanjut jauh setelah khalifah yang empat?
JALALUDDIN RAKHMAT: Betul, sampai zaman Thâbiîn (penerus sahabat -red) masih banyak orang yang takut meriwayatkan hadits. Akibatnya, salah satu sumber berekspresi dan berpendapat kaum muslim menjadi terbengkalai. Kemudian pasca wafatnya Imam Ali atau sejak masa Muawiyyah, semua pendapat yang bertentangan dengan paham politik Muawiyyah diberangus. Waktu itu terjadi manipulasi besar-besaran terhadap hadits Nabi. Jadi, masa itu ada hadits Nabi yang dilarang untuk diberitakan, dan pada waktu bersamaan, ada juga hadits yang diciptakan. Itu karena kepentingan-kepentingan politik. Lalu siapa saja yang haditsnya bertentangan dengan hadits penguasa dihukum.

Larangan Pengumpulan dan Periwayatan Hadits

Namun demikian, dalam perkembangan sejarah ada beberapa skandal tentang pemberangusan kebebasan berpendapat seperti perlakuan terhadap aliran Mu’tazilah maupun kasus inkuisisi yang dilakukan Khalifah al-Makmun. Bagaimana menjelaskan ini?

JALALUDDIN RAKHMAT: Ya, saya kira pemberangusan atau pembatasan kebebasan berpendapat bahkan dimulai sejak zaman kekhalifahan Abu Bakar yang memuncak pada zaman Umar bin Khattab.
Lalu, mulai bebas lagi pada masa Ali bin Abi Thalib. Pada zaman Abu Bakar, dimulai larangan periwayatan hadits. Padahal, seperti yang kita ketahui, hadits merupakan upaya para sahabat yang sezaman dengan Nabi untuk menangkap makna dari ucapan dan perilaku Nabi. Yang disebut Sunnah, menurut Fazlurrahman, adalah opini yang dikembangkan para sahabat berkaitan dengan perilaku Nabi. Mereka memberikan makna pada perilaku Nabi, dan kemudian menuliskannya. Pada zaman khalifah Abu Bakar terjadi larangan pengumpulan dan periwayatan hadits itu.

Landasan Kebebasan Berekspresi


Lantas apa landasan kebebasan berekspresi dalam doktrin agama?
JALALUDDIN RAKHMAT: Secara doktrin, kita akan banyak sekali menemukan ayat-ayat Alquran yang memberikan kebebasan kepada manusia, bahkan dalam memilih agama itu sendiri. Ayat-ayat “faman syâ’a falyu’min, wa man syâ’a falyakfur (barangsipa yang menghendaki bolehlah dia beriman dan barangsiapa yang menghendaki bolehlah dia kafir). 

Kalau begitu, ada juga hak untuk tidak beragama yang dihormati oleh Islam?
JALALUDDIN RAKHMAT: Ya, ada hak juga untuk kafir sekalipun dari ayat itu. Dan itu dihormati oleh Islam.

Kalau kita lihat dalam sejarah Islam, bagaimana fakta kebebasan berekspresi?
JALALUDDIN RAKHMAT: Dalam periode Nabi Saw, kebebasan berpendapat sangat dihormati. Nabi malah melarang orang memerangi pendapat yang berbeda. Di kalangan para sahabat saja, terjadi perbedaan pendapat dalam memahami Sunnah Nabi. Semua itu, berdasar fakta sejarah, diapresiasi oleh Nabi dengan arif. Dan yang paling penting, Nabi tidak menyebutkan —misalnya— ini yang paling benar dan itu salah.
[wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan Jalaluddin Rakhmat yang disiarkan Radio 68H, Kamis 13 Juni 2002]

No comments:

Post a Comment