7 March 2009
Oleh:
Jalaluddin Rakhmat
Ada
banyak nama untuk bulan Ramadhan. Nabi Muhammad SAW menyebutnya Bulan
Keberkahan, Bulan Kesabaran, Bulan Ampunan, dan Bulan Berbagi (Syahr
al-Muwasat). Pada bulan ini orang kaya bukan saja harus berbagi kekayaan dengan
orang miskin, ia juga harus ikut berempati dengan penderitaan mereka. Orang
beruntung harus berbagi kebahagiaan dengan orang yang malang.
Perintah
untuk berbagi ini diingatkan dengan doa yang harus dibaca setiap selesai shalat
wajib:
Ya Allah, masukkan kebahagiaan
kepada para penghuni kubur
Ya Allah, kayakanlah semua orang yang miskin
Ya Allah, kenyangkan semua orang yang lapar
Ya Allah, beri pakaian semua orang yang telanjang
Ya Allah, tunaikan utang semua orang yang berutang
Ya Allah, lepaskan derita semua orang yang menderita
Ya Allah, kembalikan semua orang yang terasing
Ya Allah, bebaskan semua orang yang terpenjara
Ya Allah, sembuhkan semua orang yang sakit
Ya Allah, kayakanlah semua orang yang miskin
Ya Allah, kenyangkan semua orang yang lapar
Ya Allah, beri pakaian semua orang yang telanjang
Ya Allah, tunaikan utang semua orang yang berutang
Ya Allah, lepaskan derita semua orang yang menderita
Ya Allah, kembalikan semua orang yang terasing
Ya Allah, bebaskan semua orang yang terpenjara
Ya Allah, sembuhkan semua orang yang sakit
Bersamaan
dengan doa yang mereka lantunkan, semua Muslim harus menjadi tangan-tangan
Tuhan untuk memenuhi doa itu. “Puasa itu hanya untuk Aku,” kata Tuhan. Puasa
dipersembahkan hanya untuk Tuhan. Tidak ada persembahan yang paling agung
selain perkhidmatan kepada makhluk-Nya. Mencintai Tuhan hanya dapat dilakukan
dengan mencintai sesama manusia. Karena itu, amal yang paling dicintai Tuhan
pada Bulan Berbagi bukanlah ibadah ritual yang bersifat individual, tetapi
ibadah sosial yang membagikan kebahagiaan kepada orang banyak.
Mencintai
Tuhan dengan mencintai manusia digambarkan Leigh Hunt, penyair Inggris, dalam
kisah seorang sufi, Abou Ben Adhem, yakni Abou Ben Adhem (semoga kabilahnya
bertambah) satu malam terbangun dari mimpinya yang indah. Dan ia lihat, di
ruangan dalam cahaya terang rembulan, yang gemerlap ceria seperti bunga lili
yang sedang merekah, seorang malaikat menulis pada kitab emas. Ketenteraman
jiwa membuat Abou berani berkata kepada sang Sosok di kamarnya, “Apa yang
sedang kamu tulis?”
Bayangan
terang itu mengangkat kepalanya dan dengan pandangan yang lembut dan manis ia
berkata, “Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan.” “Adakah namaku di situ?” kata
Abou. “Tidak. Tidak ada,” jawab malaikat. Abou berkata dengan suara lebih
rendah, tapi tetap ceria, “Kalau begitu aku bermohon, tuliskan aku sebagai
orang yang mencintai sesama manusia.” Malaikat menulis dan menghilang.
Pada
malam berikutnya ia datang lagi dengan cahaya yang menyilaukan dan
memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Aduhai! Nama Abou Ben
Adhem di atas semua nama.
Menolong mereka berarti menolong Aku
Abou Ben
Adhem mungkin lahir di negara yang sekarang ini disebut Afganistan. Ia tidak
begitu dikenal dibandingkan dengan teman senegaranya, Jalaluddin Balkhi (alias
Rumi). Tetapi, keduanya menekankan pentingnya kecintaan kepada Tuhan sebagai
hakikat keberagamaan.
Bagi
kita semua, Rumi mendendangkan lagu ini:
Marilah
kita jatuh cinta lagi/ Dan sebarkan debu emas ke seluruh penjuru Bumi/ Marilah
kita menjadi musim semi baru/ Dan merasakan tiupan lembut dalam wewangian
surgawi/ Marilah kita busanai bumi dalam kehijauan/ Dan seperti getah pohon
yang muda/ Biarkan berkat dari dalam mengaliri kita/ Marilah kita ukir permata
dari hati kita yang membatu/ Dan pancarkan cahayanya untuk menyinari jalan
cinta/ Lirikan cinta sejernih kristal dan kita diberkati karena cahayanya.
Baik
Abou Ben Adhem maupun Rumi percaya bahwa kita tidak bisa mencintai Tuhan tanpa
mencintai sesama manusia. Mereka menegaskan kembali apa yang dikatakan Tuhan
kepada hamba-Nya pada hari kebangkitan: pada hari kiamat, Tuhan memanggil
hamba-hamba- Nya.
Ia
berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Aku lapar, tapi kamu tidak
memberi makan kepada-Ku.” Ia berkata kepada yang lainnya, “Aku haus, tapi kamu
tidak memberiku minum.” Ia berkata kepada hamba-Nya yang lainnya lagi, “Aku
sakit, tapi kamu tidak menjenguk-Ku. ” Ketika hamba-hamba- Nya mempertanyakan
semuanya ini, Ia menjawab, “Sungguh si fulan lapar; jika kamu memberi makan
kepadanya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan sakit; jika kamu
mengunjunginya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan haus; jika kamu
memberinya minum, kamu akan menemukan Aku bersamanya.” (Ibn Arabi sering
mengutip hadis ini dalam Al-Futuhat al-Makkiyah) .
Ketika
seorang murid baru mengikuti tarekat, syaikh-nya akan mengajarinya untuk
menjalankan tiga tahap latihan rohaniah selama tiga tahun. Ia baru diizinkan
mengikuti Jalan Tasawuf bila ia lulus melewatinya. Tahun pertama adalah latihan
berkhidmat kepada sesama manusia. Tahun kedua beribadat kepada Tuhan, dan tahun
ketiga mengawasi hatinya sendiri. Kita tidak bisa beribadat kepada Tuhan
sebelum kita berkhidmat kepada sesama manusia. Menyembah Allah adalah
berkhidmat kepada makhluk-Nya.
Abou
Said Abul Khayr terkenal sebagai sufi yang pertama kali mendirikan tarekat
sufi. Ketika salah seorang pengikutnya menceritakan seorang suci yang dapat
berjalan di atas air, ia berkata, “Sejak dahulu katak dapat melakukannya! ”
Ketika muridnya kemudian menyebut orang yang dapat terbang, ia menjawab
singkat, “Lalat dapat melakukannya lebih baik.” Muridnya bertanya, “Guru,
gerangan apakah ciri kesucian itu?” Ia menjawab, “Cara terbaik untuk mendekati
Tuhan adalah melakukan perkhidmatan sebaik-baiknya kepada sesama manusia,
memasukkan kebahagiaan ke dalam hatinya.”
Mungkin
karena perhatiannya yang sangat besar pada cinta kasih, tasawuf dianggap
mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan agama Kristen. Tor Andrae, pernah
menjadi bishop Lutheran dari Linkvping, mengungkapkan bagaimana Yesus sering
dijadikan rujukan dalam ucapan-ucapan para sufi. Mereka belajar dari Yesus
bukan saja tentang kesederhanaan hidup yang dijalankannya, tetapi juga
perhatiannya untuk menolong orang lain.
Namun,
kaum sufi bukan hanya merujuk kepada Kristus, mereka juga belajar jalan cinta
dari Musa. Seorang syaikh menyampaikan cerita berikut ini, Kaum Bani Israil
satu kali mendatangi Musa, “Wahai Musa, kami ingin mengundang Tuhan untuk
menghadiri jamuan makan kami. Bicaralah kepada Tuhan supaya Dia berkenan
menerima undangan kami.”
Dengan
marah Musa menjawab, “Tidakkah kamu tahu bahwa Tuhan tidak memerlukan makanan?”
Tetapi, ketika Musa menaiki bukit Sinai, Tuhan berkata kepadanya, “Kenapa tidak
engkau sampaikan kepada-Ku undangan itu? Hamba-hamba- Ku telah mengundang Aku.
Katakan kepada mereka, Aku akan datang pada pesta mereka Jumat petang.”
Musa
menyampaikan sabda Tuhan itu kepada umatnya. Berhari-hari mereka sibuk
mempersiapkan pesta itu. Pada Jumat sore, seorang tua tiba dalam keadaan lelah
dari perjalanan jauh. “Saya lapar sekali,” katanya kepada Musa. “Berilah aku
makanan.” Musa berkata, “Sabarlah, Tuhan Rabbul Alamin akan datang. Ambillah
ember ini dan bawalah air ke sini. Kamu juga harus memberikan bantuan.” Orang
tua itu membawa air dan sekali lagi meminta makanan. Tapi tak seorang pun
memberikan makanan sebelum Tuhan datang. Hari makin larut, dan akhirnya
orang-orang mulai mengecam Musa yang mereka anggap telah memperdayakan mereka.
Musa
menaiki bukit Sinai dan berkata, “Tuhanku, saya sudah dipermalukan di hadapan
setiap orang karena Engkau tidak datang seperti yang Engkau janjikan.” Tuhan
menjawab, “Aku sudah datang. Aku telah menemui kamu langsung, bahkan ketika Aku
bicara kepadamu bahwa Aku lapar, kau menyuruh Aku mengambil air. Sekali lagi Aku
minta, dan sekali lagi engkau menyuruh-Ku pergi. Baik kamu maupun umatmu tidak
ada yang menyambut-Ku dengan penghormatan. “
“Tuhanku,
seorang tua memang pernah datang dan meminta makanan, tapi ia hanyalah manusia
biasa,” kata Musa.
“Aku
bersama hamba-Ku itu. Sekiranya kamu memuliakan dia, kamu memuliakan Aku juga.
Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku. Seluruh langit terlalu kecil
untuk meliputi-Ku, tetapi hanya hati hamba-Ku yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak
makan dan minum, tetapi menghormati hamba-Ku berarti menghormati Aku. Melayani
mereka berarti melayani Aku.”
Berbakti
kepada sesama manusia bukanlah kewajiban sekelompok orang. Setiap Muslim apa
pun jenis kelamin, usia, dan status sosialnya berkewajiban memperlakukan semua
orang dengan baik.
Dalam
Al-Quran juga ada perintah, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan- Nya dengan sesuatu pun. Berbaktilah kepada kedua orangtua,
karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang kehabisan bekal, dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri, yaitu orang-orang yang kikir dan menyembunyikan
karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Kami telah menyediakan
orang-orang kafir seperti itu, siksa yang menghinakan. ” (QS An Nisaa: 36-37)
Menolong Harus Tulus
Tindakan
membahagiakan orang lain disebut sebagai shadaqah. Kata ini berasal dari
“shadaqa”, yang berarti benar sejati atau tulus. Orang yang bersedekah adalah
orang yang imannya tulus. Sedekah tidak selalu berbentuk harta atau uang.
“Termasuk sedekah adalah engkau tersenyum ketika berjumpa dengan saudaramu,
atau engkau singkirkan duri dari jalanan,” kata Nabi Muhammad SAW.
Untuk
bisa menolong orang lain dengan tulus, kita memerlukan kecintaan tanpa syarat
(unconditional love) kepada semua orang. Cinta inilah yang dimasukkan sebagai
fitrah dalam hati kita. Cinta ini adalah seperseratus dari Rahmat Allah yang
dijatuhkan Tuhan di Bumi.
Alkisah,
bertahun-tahun yang lalu, seorang ibu dari salah seorang sultan dari Khilafah
Utsmaniyah membaktikan hidupnya untuk kegiatan amal saleh. Ia membangun masjid,
rumah sakit besar, dan sumur-sumur umum untuk daerah permukiman yang tidak
punya air di Istanbul , Turki.
Pada
suatu hari, ia mengawasi pembangunan rumah sakit yang dibiayai sepenuhnya dari
kekayaannya. Ia melihat ada semut kecil jatuh pada adukan beton yang masih
basah. Ia memungut semut itu dan menempatkannya pada tanah yang kering.
Tidak
lama setelah itu, ia meninggal dunia. Kepada banyak kawannya, ia muncul dalam
mimpi mereka. Ia tampak bersinar bahagia dan cantik. Kawan-kawannya bertanya,
apakah ia masuk ke surga karena sedekah-sedekah yang dilakukannya ketika masih
hidup? Ia menjawab, “Saya tidak masuk surga karena semua sumbangan yang sudah
aku berikan. Saya masuk surga karena seekor semut.”
(Renungan
ini semula berupa makalah dengan judul Die Ethik des Helfens im Islam, yang
disampaikan Jalaluddin Rakhmat pada seminar “Die Ethik des Helfens aus der Sich
verschiedener Religionen”, Basel, 8-13 September 2002).
No comments:
Post a Comment