Wednesday, August 3, 2011

Syiah Menyeleweng Dari Ahli Sunnah wal Jamaah Sebab Sujud di atas Tanah



Barangkali manifestasi peribadatan, ketundukan, dan penghinaan diri makhluk kepada Penciptanya adalah sujud. Dengan sujud, seorang Mukmin meneguhkan peribadatannya kepada Allah swr. Dari sini diketahui bahwa Pencipta Yang Maha Agung menetapkan bagi hamba-Nya penghinaan diri dan ketaatan ini. Maka Dia melimpahkan luthf dan kebaikan-Nya kepada orang yang bersujud. Oleh karena itu, di dalam beberapa hadis diriwayatkan, “Keadaan paling dekat antara hamba kepada Allah adalah ketika sujud."

Di antara praktik-praktik ibadah, solat merupakan mikraj yang dengannya dibedakan antara orang Mukrnin dan orang kafir, dan sujud merupakan salah satu rukunnya. Tidak ada manifestasi penghinaan diri kepada Allah yang lebih jelas daripada sujud di atas tanah, pasir, kerikil, dan batu. Sebab, penghinaan diri dengan cara itu lebih jelas dan lebih nyata daripada sujud di atas tikar, apalagi sujud di atas pakaian yang bagus, permadani yang empuk, emas, dan perak. Walaupun semua itu merupakan sujud, tetapi peribadatan hanya terwujud pada bagian pertama di atas, tidak terwujud pada bagian kedua.

Mazhab Syi'ah Imamiyah mengharuskan sujud di atas tanah baik di rumah maupun sedang dalam perjalanan. Tidak ada yang dapat menggantikan tanah kecuali segala yang tumbuh darinya seperti tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu), dengan syarat tidak untuk dimakan dan tidak digunakan sebagai pakaian. Mereka tidak memandang sahih bersujud di atas selain dari itu berdasarkan sunah mutawatir dari Nabi saw, ahlulbaitnya, dan para sahabatnya. Akan tampak dalam pembahasan ini bahwa keharusan bersujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya merupakan sunah yang dipraktikkan di kalangan sahabat. Sedangkan menggantinya dengan sesuatu yang lain hanya diada-adakan pada masa-masa terakhir ini. Untuk menjelaskan hal ini, berikut ini kami ketengahkan beberapa pembahasan sebagai pendahuluan.
 
1.      Perbedaan pendapat para fukaha tentang syarat-syarat benda yang layak Digunakan Untuk Tumpuan Sujud.
Kaum Muslim telah sepakat tentang wajibnya bersujud dalam solat, dua kali pada setiap rakaat. Mereka juga tidak berselisih pendapat tentang kepada siapa sujud itu ditujukan. Yaitu, kepada Allah swt yang kepada-Nya bersujud semua yang ada di langit dan bumi baik dengan suka rela maupun secara terpaksa. (Sebagai isyarat terhadap firman Allah swt: Hanya kepada Allah bersujud segala apa yang ada di langil dan di bumi, baik dengan sukarela maupun kamw terpaksa, (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waklu pagi dan pelang hari (QS ar-Ra.d [13]: 15).

Syiar setiap Muslim adalah firman Allah swt, Jangan bersujud kepada matahari dan jangan pula kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya. " (QS. Fushshilat [41]: 37)

Mereka hanya berselisih pendapat dalam menetapkan syarat- syarat bagi layaknya benda-benda yang menjadi tumpuan sujud, yakni tempat orang bersujud menempelkan dahinya. Mazhab Syi.ah Imamiyah mensyaratkan tumpuan sujud itu berupa tanah atau benda-benda yang tumbuh darinya yang tidak biasa dimakan dan digunakan untuk pakaian-seperti tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu) dan sebagainya. Sedangkan mazhab- mazhab lain menentangnya. Berikut ini kami kutipkan untuk Anda pendapat-pendapat mereka.

Syekh ath-Thusi (Seorang ulama Syi.ah abad ke-5 H., penulis kitab al-Tashanifwa al-Mu'allafat yang lahir pada tatiun 460 H, murid Syekh a1-Mufid (336-413 H) dan Sayid asy- Syadrifal-Murtadha (355-436 H)), yang menjelaskan pendapat-pendapat para fukaha-mengatakan, “Tidak boleh bersujud kecuali pada tanah atau yang tumbuh darinya yang tidak biasa dimakan dan dijadikan pakaian tidak boleh pada kapas atau jerami, misalnya dan boleh memilih di antara benda-benda tersebut”

Serriua fukaha menentang pendapatnya dalarn hal itu. Mereka membolehkan bersujud di atas kapas, jerami, gandum, wol, dan sebagainya. Mereka mengatakan, ‘Tidak boleh bersujud di atas sesuatu yang biasa dipakai, seperti serban, ujung jubah, dan lengan baju”

Seperti itu pula pendapat asy-Syafi’i. Pendapat mereka didasarkan pada riwayat dari ‘Ali as, Ibn ‘Umar, ‘Ubadah bin ash-Shamit, Malik, dan Ahmad bin Hanbal.
Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya mengatakan, “Apabila bersujud di atas benda yang biasa dipakai, seperti baju yang dikenakannya, hal itu sudah memadai”

Jika bersujud di atas sesuatu yang terpisah dari dirinya, seperti membentangkan tangan lalu bersujud di atasnya, hal itu pun sudah memadai tetapi makruh. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri.(Al-Khiltif, kitab ash-shalat, hal. 357-358, masalah no.112-113.)

Allamah ai-Hilli4--sambil menjelaskan pendapat para fukaha tentang benda untuk tumpuan sujud-mengatakan, “Tidak boleh bersujud di atas sesuatu selain tanah dan yang tumbuh darinya tidak boleh pada kulit dan wol, misalnya-menurut ijma para ulama kami. Sedangkan kebanyakan fukaha membolehkannya”

Dalam hal itu, para ulama Syiah sejalan dengan para imam mereka yang merupakan sandingan dan pasangan Alkitab dalam hadis tsaqalain. Di sini, kami merasa cukup dengan menyebutkan beberapa hadis yang diriwayatkan yang berkenaan dengan masalah tersebut:
Ash-Shaduq meriwayatkan hadis melalui sanadnya dari Hisyam bin al-Hakam bahwa ia berkata kepada Abu. Abdi"ah as, “Beritahukanlah kepadaku benda-benda yang boleh dijadikan tumpuan sujud dan yang tidak boleh dijadikan untuk itu.” Abu. Abdillah as menjawab, “Sujud itu tidak boleh dilakukan selain pada tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya kecuali yang biasa dimakan atau dijadikan pakaian” la bertanya lagi, “Demi yang diriku menjadi tebusan Anda, apa sebab demikian?” Abu Abdillah as menjawab, “Karena sujud adalah merendahankan diri kepada Allah Azza wa Jalla. Tidak sepatutnya sujud dilakukan pada sesuatu yang biasa dimakan dan dijadikan pakaian karena pencinta dunia adalah budak dari apa yang dimakan dan dipakainya. Sedangkan orang yang bersujud adalah sedang beribadat kepada Allah. Azza wa Jalla. Tidak sepantasnya ia meletakkan dahinya di atas sesuatu yang djsembah oleh para pencinta dunia yang tertipu oleh tipuannya”

Tidaklah heran kalau para ulama Syi'ah mengharuskan sujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya yang tidak biasa dimakan dan digunakan untuk pakaian karena mengikuti para imam mereka. Sebab, hadis-hadis yang diriwayatkan di kalangan Ahlusunah telah menguatkan pandangan mereka. Akan tampak hal itu dalam hadis-hadis dari mereka. Dari situ akan tampak jelas bahwa yang disunahkan adalah bersujud di atas tanah. Kemudian diberikan keringanan untuk bersujud di atas tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu). Keringanan untuk bersujud di atas benda selain itu tidak diberikan, bahkan dilarang, sebagai- mana yang akan dijelaskan berikut ini.

Seorang ahli hadis, an-Nuri, meriwayatkan hadis dalam al-Mustadrak dari para pemuka Islam dari Ja 'far bin Muhammad dari bapaknya, dari moyangnya dari ‘Ali as bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tanah itu baik bagimu.Darinya kalian bertayamum, di atasnya kamu solat dalam kehidupan di dunia ini, dan ia menjadi tempat tinggalmu ketika mati. Yang demikian itu adalah kenikmatan dari Allah. Bagi-Nya segala pujian. Benda yang paling baik untuk dijadikan tumpuan sujud orang yang solat adalah tanah yang bersih."

Juga diriwayatkan dari Ja'far bin Muhammad as bahwa ia berkata, “Hendaklah orang yang mengerjakan solat menempelkan dahinya pada tanah ketika bersujud dan melumuri wajahnya dengan debu karena hal itu termasuk penghinaan diri kepada Allah." (Mustadrak al-Wasa’il ,juz 4, termasuk bab-bab Mayasjudu 'alayh. Barangkali hadis ini keluar pada awal-awal hijrah. Ketika itu kaum Muslim hanya bersujud di atas tanah. Tidak ada pertentangan antara hadis tersebut dan hadis lain yang menyebutkan adanya keringanan bersujud pada apa yang tumbuh di atas tanah.

Asy-Sya'rani berkata, “Yang dimaksud dengan ketundukan adalah dengan kepala termasuk wajah yang merupakan anggota tubuh paling mulia untuk bersentuhan dengan tanah, baik dengan dahi maupun hidung. Bahkan, rnenurut rmereka, dengan hidung adalah lebih utama karena hidung sering dijadikan alat untuk menyombongkan diri. Apabila ia menempelkan hidungnya pada tanah, seakan-akan ia keluar dari kesombongan yang terdapat pada dirinya di hadapan Allah SWT. Karena, Hadhirat Ilahi haram dimasuki oleh orang yang pada dirinya terdapat sifat sombong walau - pun sebesar atom. Hadhrat Ilahi itu adalah surga yang agung. Nabi saw bersabda, 'Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong walaupun sebesar atom.” (AI-Yawtiqit wa al-Jawlihir fi 'Aqa.id al-Akabirkarya 'Abdul Wahhab bin Ahmad bin 'Ali al-Anshari al-Mishri yang lebih dikenal dengan panggilan asy-Sya'rani (tennasuk ulama abad ke-10). 1/164, cet. pertama.)

Imam al-Maghribi al-Maliki ar-Rudani mengutip hadis marfu, dari Ibn 'Abbas: "Barangsiapa yang tidak melekatkan hidungnya bersama dahinya pada tanah ketika bersujud, tidak sah solat- nya." (Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman al-Maghribi (wafat tahun 1049), Jam' al-Fawa.id minJami' al-Ushiil dan Majma' az-Zawa.id, 1/214. no.1515.)
 
2.      Perbedaan antara ”sujud kepadanya" dan "sujud di atasnya".
Banyak orang mengatakan bahwa sujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya adalah bid'ah. Mereka juga mengatakan bahwa batu tempat sujud adalah berhala. Mereka tidak bisa membedakan antara “sujud kepadanya" (masjud lahu) dan "sujud di atasnya" (masjud 'alayh). Mereka mengira bahwa batu yang diletakkan di hadapan orang yang sedang solat adalah berhala yang disembah orang itu dengan melekatkan dahi di atasnya. Akan tetapi, tidaklah heran kalau Syi'ah tidak mempedulikan paham yang menyimpang itu yang tidak bisa membedakan di antara kedua hal tersebut. Mereka mengartikan masjud 'alayh dengan masjud lahu. Perbuatan seorang monoteis dianalogikan kepada perbuatan seorang politeis, karena keserupaan hal-hal yalng tampak secara lahiriah. Mereka berhujah dengan rupa dan bentuk yang tampak. Padahal yang menjadi ukuran adalah hal-hal yang batin dan tersembunyi. Berhala bagi kaum paganis (penyembah berhala) adalah sesembahan dan yang disujudi. Mereka meletakkannya di hadapan mereka, serta rukuk dan bersujud kepadanya.

Akan tetapi seorang monoteis ingin mengerjakan solat dalam menampakkan peribadatan hingga akhir urutannya adalah untuk menundukkan diri kepada Allah dan bersujud kepada-Nya. la meletakkan dahi dan wajahnya di atas tanah, batu, kerikil, dan pasir: Hal itu merupakan manifestasi persamaan dirinya dengan benda-benda tersebut sambil berkata, "Aku dari tanah, dan Dia adalah Tuhan segala tuhan."
 
Orang yang bersujud di atas tanah (turbah) tidak beribadat kepada tanah itu. Melainkan, ia menghinakan diri kepada Tuhan-nya dengan bersujud di atas tanah itu. Orang yang memandang sebaliknya adalah orang yang dungu yang akan meragukan semua orang yang solat dan menganggap mereka sebagai musyrik. Maka barangsiapa yang bersujud di atas permadani, kain, dan sebagainya juga harus dipandang sebagai menyembah benda-benda tersebut Sungguh mengherankan.

3.      Sunah tentang sujud pada zaman Rasulullah saw dan sesudahnya.
Nabi saw dan para sahabatnya biasa bersujud di atas tanah selama jangka waktu yang tidak sebentar. Mereka menanggung derita akibat panas yang luar biasa, tanah berdebu, dan lumpur selama bertahun-tahun. Pada waktu itu, tidak ada seorang pun yang bersujud di atas pakaian dan lipatan serban, bahkan tidak pula di atas tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu) Yang dapat mereka lakukan untuk menghilangkan panas itu dari dahi hanyalah dengan mendinginkan kerikil dengan telapak tangan mereka. Kemudian mereka bersujud di atasnya. Sebagian mereka telah mengadu kepada Rasulullah saw karena panas yang luar biasa. Tetapi beliau tidak memberikan jawaban. Sebab, beliau tidak dapat mengubah perintah Allah nienurut pendapatnya sendiri. Sehingga kemudian diberikan keringanan untuk bersujud di atas tikar kecil dan tikar yang terbuat dari daun kurma. Maka dalam hal itu ada keleluasaan bagi kaum Muslim, namun dalam lingkup terbatas: Berdasarkan uraian di atas, pada masa itu berlaku dua fase pada kaum Muslim, sebagai berikut:

1. Kaum Muslim diwajibkan bersujud di atas tanah dengan berbagai jenisnya berupa debu, pasir, kerikil, dan lumpur. Dalam hal itu tidak ada keringanan untuk bersujud di atas benda lain.

2. Kaum Muslim diberi keringanan untuk bersujud di atas (benda yang terbuat dari) sesuatu yang tumbuh di atas tanah, seperti kerikil, tikar bambu, dan tikar daun kurma. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan keringanan kepada mereka dan menghilangkan kesulitan mereka. Tidak ada fase lain yang memberikan keleluasaan kepada kaum Muslim lebih dari itu, sebagaimana yang diklaim sebagian orang. Berikut ini penjelasannya:
 
Fase Pertama: Sujud di Atas Tanah
 
Dua kelompok meriwayatkan hadis dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda,

”Bagiku tanah dijadikan tempat untuk bersujud dan suci." (Shahih al-Bukhari. 1/91. kitab at-Tayammum. hadis no- 2 dan Sunan al- Baihaqi, 2/433, bab Aynamti adTakatka ash-shaltit fa shalli fa huwa masjid. Hadis ini diriwayatkan pula oleh para penulis kitab-kitab Shahih dan Sunan yang lain.)

Yang dipahami dari hadis di atas, bahwa setiap bagian dari tanah adalah tempat sujud dan suci untuk dijadikan tempat bersujud dan untuk bertayamum. Berdasarkan hal tersebut, tanah dimaksudkan untuk dua hal, yaitu untuk tempat sujud dan untuk bertayamum.

Yang menafsirkan riwayat tersebut, bahwa ibadah dan sujud kepada Allah swr itu tidak dikhususkan pada suatu tempat tertentu, melainkan seluruh tanah (bumi) adalah tempat bersujud (masjid) bagi kaum Muslim, berbeda dengan umat lain yang mengkhususkan peribadatan hanya di gereja dan sinagoge, tidak menyimpang dari apa yang telah kami sebutkan. Karena, jika tanah itu secara mutlak merupakan tempat sujud bagi orang yang mengerjakan solat maka lazimnya seluruh tanah itu layak untuk dijadikan tempat ibadah. Tidak disebutkan makna keharusan dalam ungkapan kami di atas yang menunjukkan penyebutan kata “suci" (thuhuran) setelah kata “tempat sujud" (masjadan) dan menjadikan keduanya sebagai objek (maful) dari kata kerja ju'ilat (dijadikan). Kesimpulannya, penjelasan sifat tanah, yaitu bahwa tanah itu adalah tempat untuk bersujud dan bahwa tanah itu suci. Inilah dipahami al-Jashshash. la berkata, "Yang menjadikan tanah itu tempat bersujud adalah juga yang menjadikan tanah itu suci.

Masih ada beberapa orang penafsir hadis selain ia yang berpendapat sama dengannya.
 
Mendinginkan Kerikil untuk Tempat Sujud
1. Dari Jabir bin. Abdullah al-Anshori: “Saya pernah solat Zuhur bersama Nabi saw. Lalu saya mengambil segenggam kerikil. Saya menggenggamnya, dan membolak-balikkannya pada telapak tangan yang lain hingga kerikil itu menjadi dingin. Kemudian saya meletakkannya pada dahi dan bersujud di atasnya. Hal itu saya lakukan karena hari sangat panas.”
 
Al-Baihaqi memberi komentar terhadap hadis itu dengan katanya: Syekh itu berkata, "Kalau boleh bersujud pada pakaian yang dikenakan, tentu hal itu lebih mudah dilakukan daripada mendinginkan kerikil dengan telapak tangan, lalu meletakkannya untuk tempat sujud."

Kami mengatakan: Kalau bersujud di atas pakaian secara mutlak, baik yang dikenakan maupun yang tidak dikenakan itu dibolehkan, tentu hal itu lebih mudah dilakukan daripada mendinginkan kerikil. Selain itu, lebih mudah menggunakan sapu tangan dan sejenisnya untuk tempat bersujud.

2. Anas meriwayatkan: Pernah kami bersama Rasulullah saw pada hari yang sangat panas. Lalu salah seorang di antara kami mengambil segenggam kerikil. la mendinginkannya dan meletakkannya untuk tempat sujud.

3. Diriwayatkan dari Khabab bin al-Arat: Kepada Rasulullah saw kami mengadukan perihal panasnya dahi kami (ketika bersujud di atas tanah) .Tetapi beliau tidak menanggapi pengaduan kami.

Tentang makna hadis ini, Ibn al-Atsir berkata, "Ketika itu mereka mengadukan kepada Nabi saw derita yang mereka rasakan. Tetapi beliau tidak memperkenankan mereka untuk bersujud di atas ujung baju mereka."

Hadis-hadis tersebut menerangkan bahwa yang ditetapkan di dalam solat adalah berlakunya sujud di atas tanah saja. Sehingga Rasulullah saw tidak memperkenankan kaum Muslim untuk bersujud di atas pakaian yang dikenakan ataupun yang tidak dikenakan. Sekalipun Rasulullah saw bersifat pemurah dan mengasihi orang-orang Mukmin, beliau mewajibkan mereka agar melekatkan dahi mereka pada tanah walaupun mereka merasa sakit karena tanah itu sangat panas.

Yang menerangkan keharusan kaum Muslim bersujud di atas tanah dan Nabi saw terus-menerus melekatkan dahinya pada tanah itu, tidak pada pakaian yang dikenakan, seperti lipatan serban, atau yang tidak dikenakan, seperti sapu tangan dan sajadah, adalah banyak hadis yang meriwayatkan tentang perintah melekatkan tanah ( tatrib)-pada dahi.
 
Perintah Penaburan Debu (Tatrib )
1. Diriwayatkan dari Khalid al-Jahani: Nabi saw melihat Shuhaib bersujud sambil seakan-akan membersihkan debu (di atas tempat sujudnya). Maka beliau menegumya, "Lekatkanlah debu pada wajahmu, hai Shuhaib!"

2. Tampaknya Shuhaib menghindari melekatkan dahinya pada tanah dengan bersujud di atas pakaian yang dikenakan dan yang tidak dikenakan, tidak semata-mata bersujud di atas tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu) dan batu yang bersih. Bagaimanapun, hadis itu menyatakan keutamaan ber- sujud di atas tanah daripada bersujud di atas kerikil ketika hal itu dibolehkan.

3. Ummu Salamah ra meriwayatkan: Rasulullah saw melihat salah seorang budak kami yang bemama Aflah meniup tempat sujud ketika akan bersujud. Maka beliau berkata, "Hai Aflah, biarkanlah tempat itu berdebu."

4. Dalam riwayat lain disebutkan, "Hai Rabah, lekatkanlah wajahmu pada tanah."

5. Abu ShaIih meriwayatkan: Saya menemui Ummu Salamah. Lalu masuk ke rumahnya seorang anak saudaranya. la solat dua rakaat di situ. Ketika bersujud, ia meniup debu (di atas tempat sujudnya). Maka Ummu Salamah menegurnya, "Hai anak saudaraku, janganlah kamu meniup debu dari tempat sujudmu. Saya pernah mendengar Rasulullah saw berkata kepada seorang budaknya yang bemama Yasar-yang meniup debu dari tempat sujudnya, "Lekatkanlah wajahmu pada tanah karena AIlah."
 
Perintah Mengangkat Serban dari Dahi
1. Diriwayatkan bahwa apabila bersujud, Nabi saw mengangkat serbannya dari dahinya.

2. Diriwayatkan dari 'Ali Amirul Mukminin, bahwa ia.berkata, " Apabila seseorang dari kamu melaksanakan solat, hendaklah ia mengangkat serban dari dahinya." Yakni, tidak bersujud di atas lipatan serban.

3. Shalih bin Hayawan as-Siba’i meriwayatkan bahwa Rasulullah saw melihat di sampingnya seseorang sedang bersujud, sementara serban melekat pada dahinya. Maka Rasulullah saw mengangkat serban itu dari dahinya.

4. Diriwayatkan dari 'Iyadh bin' Abdullah al-Qurasyi: Rasulullah saw melihat seseorang sedang bersujud di atas lipatan serbannya. Maka beliau memberi isyarat dengan tangannya agar orang itu mengangkat serbannya sambil menunjuk pada dahinya.

Riwayat-riwayat tersebut mengungkapkan bahwa pada masa itu kaum Muslim tidak memiliki kewajiban-dalam bersujud kecuali bersujud di atas tanah. Ketika itu tidak ada keringanan apa pun selain mendinginkan kerikil. Kalau pada saat itu ada keringanan, tentu mereka melakukannya. Tetapi justru Rasulullah saw memerintahkan agar wajah dilekatkan pada tanah dan serban diangkat dari dahi.

Fase Kedua, Keringanan Bersujud di atas Tikar
Riwayat-riwayat tersebut terdapat dalam kitab-kitab Shahih, Musnad, dan kitab-kitab hadis lainnya. Semuanya menjelaskan kebiasaan Rasulullah saw dan para sahabatnya bersujud di atas tanah dan sebagainya. Mereka juga tidak pernah menggantinya dengan benda lain walaupun merasa berat dan harus menahan panas. Akan tetapi, terdapat juga dalil-dalil yang menjelaskan keringanan dari Nabi saw-melalui pewahyuan dari Allah swt untuk bersujud di atas setiap benda yang tumbuh di atas tanah. Dengan cara itu mereka diberi kemudahan dalam bersujud, dan menghilangkan kesusahan dari mereka karena panas (ketika cuaca sangat panas) dan dingin (ketika cuaca sangat dingin), dan jika tanah itu basah. Berikut ini saya kemukakan dalil-dalil tersebut:

1. Diriwayatkan dari Anas bin Malik: Rasulullah saw pernah solat di atas tikar kecil (khumrah).

2. Diriwayatkan dari Ibn ' Abbas: "Rasulullah saw pernah solat di atas tikar kecil." Dalam redaksi yang lain disebutkan, "Nabi saw pernah salat di atas tikar kecil.

3. Diriwayatkan dari ' Aisyah: Nabi saw pemah solat di atas tikar kecil.

4. Diriwayatkan dari Ummu Salamah: Rasulullah saw pemah solat di atas tikar kecil.

5. Diriwayatkan dari Maimunah: Rasulullah saw pernah solat di atas tikar kecil. Lalu beliau bersujud di atasnya.

6. Diriwayatkan dari Ummu Sulaim: Rasulullah saw pemah solat di atas tikar kecil.

7. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar: Rasulullah saw pemah solat di atas tikar kecil.
 
Bersujud di atas Pakaian karena Uzur
Anda telah mengetahui dua fase yang telah dibahas sebelumnya. Kalau terdapat fase ketiga, tentu hal itu adalah fase dibolehkannya bersujud di atas selain tanah dan yang tumbuh di atasnya tanpa ada uzur atau keadaan darurat. Tampaknya, keringanan ini berlaku pada masa-masa terakhir setelah berlakunya dua fase di atas. Padahal Anda tahu bahwa Nabi saw tidak menanggapi pengaduan para sahabat yang mengadukan penderitaan mereka akibat panas yang luar biasa. Beliau dan para sahabatnya terus bersujud di atas tanah dengan menahan panas dan sakit. Akan tetapi, Allah SWT memberikan keringanan untuk menghilangkan kesulitan dalam bersujud dengan membolehkan bersujud di atas pakaian bila ada uzur dan keadaan darurat. Berikut ini dalil-dalilnya.

1. Diriwayatkan dari Anas bin Malik: Ketika kami solat bersama Rasulunah saw, salah seorang di antara karmi tidak dapat melekatkan: dahinya pada tanah. Maka ia menarik bajunya, kemu- diari bersujud di atasnya.

2. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan: Kami pernah solat bersama Nabi saw. Kemudian salah seorang dari kami meletakkan “hujung bajunya (di hadapannya) karena sangat panas. Ketika ia tidak mampu melekatkan dahinya pada tanah, ia menarik bajunya itu.

3. Dalam hadis lain disebutkan: Ketika karni solat bersama Nabi saw, salah seorang dari kami meletakkan ujung bajunya pada tempat sujud karena sangat panas.
 
Riwayat-riwayat yang dikutip para penulis kitab-kitab Shahih dan Musnad ini mengungkapkan kebenaran beberapa hadis yang diriwayatkan dalam masalah ini, tentang bolehnya bersujud di atas pakaian bukan dalam keadaan darurat. Padahal, riwayat dari Anas menyatakan bahwa mereka melakukan hal itu karena darurat. Maka hal itu menjadi alasan untuk melakukan pemutlakan (dalam bersujud di atas pakaian ). Berikut ini beberapa riwayat berkenaan dengan hal itu:
1.      Abdullah bin Mahraz meriwayatkan dari Abu Hurairah: Rasulullah saw solat di atas lipatan serbannya.

Riwayat ini, walaupun bertentangan dengan hadis tentang larangan Rasulullah saw bersujud di atasnya, mencakup adanya uzur dan darurat. Hal itu telah dijelaskan oleh Syekh al-Baihaqi dalam Sunan-nya. Syekh itu berkata, "Adapun riwayat tentang larangan Nabi saw bersujud di atas lipatan serban tidak terbukti sedikit pun. Riwayat yang sahih berkenaan dengan hal itu ada1ah yang diriwayatkan al-Hasan al-Bashri dari para sahabat Nabi saw."

Telah diriwayatkan dari Ibn Rasyid: Saya melihat Makhul bersujud di atas serbannya. Saya bertanya, "Mengapa engkau bersujud di atas serban?" Ia menjawab, "Saya menghindari dingin yang membuat ngilu gigi-gigi saya."
2.      Dari Anas diriwayatkan: Kami solat bersama Nabi saw. Kemudian salah seorang dari kami bersujud di atas bajunya.
Dalam riwayat ini tersirat suatu uzur dengan alasan yang telah karni riwayatkan.

Dari al-Bukhari diriwayatkan: Kami solat bersama Nabi saw ketika hari sangat panas. Karena tidak dapat melekatkan wajahnya pada tanah, salah seorang dari karni membentangkan pakaiannya, lalu bersujud di atasnya.

Hadis itu dikuatkan dengan hadis yang diriwayatkan an- Nasa 'i: Apabila kami solat di belakang Nabi saw pada tengah hari, kami bersujud di atas baju kami untuk menghindari panas.

Terdapat beberapa riwayat pendek yang menyebutkan bahwa Nabi saw solat di atas tikar kulit. Sedangkan, apakah beliau bersujud di atas tikar kulit itu, tidak disebutkan.

3.      Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu'bah: Rasulullah saw salat di atas tikar daun kurma dan kulit yang telah disamak.

Riwayat ini merupakan hadis lemah karena dalam sanadnya terdapat nama Yunus bin al-Harits-tidak meyebutkan sujud. Di sini tidak dibedakan antara solat di atas kulit dan bersujud di atasnya. Barangkali saja beliau saw melekatkan dahinya pada tanah atau apa saja yang tumbuh di atasnya. Dengan asumsi adanya pembedaan itu pun, hadis tersebut tidak kuat. Selain itu, di dalamnya terkandung pengertian yang telah kami bahas pada dua hadis sebelumnya.
 
Kesimpulan Pembahasan
Orang yang memperhatikan riwayat-riwayat itu akan menemukan tanpa keraguan bahwa masalah sujud dalam solat melewati dua atau tiga fase. Pada fase pertama kewajiban bersujud di atas tanah dan tidak ada keringanan bagi kaum Muslim untuk bersujud di atas selainnya. Pada fase kedua terdapat keringanan untuk bersujud di atas sesuatu yang tumbuh di atas tanah. Di luar dua fase ini tidak ada fase lain kecuali bolehnya bersujud di atas baju karena ada uzur atau dalam keadaan darurat. Yang tampak dari beberapa riwayat tentang bolehnya bersujud di atas kulit dan sebagainya secara mutlak tersirat pengertian darurat atau tidak ada penjelasan tentang bersujud di atasnya. Melainkan yang ditunjukkan di situ hanyalah solat di atasnya.

Dari sini tampak dengan jelas bahwa apa yang dianut kaum Syi'ah adaIah yang dibawa sunah Nabi. Mereka tidak menyimpang darinya sedikit pun. Barangkali para fukaha lebih mengetahui hal itu dari orang lain. Sebab mereka adalah orang-orang yang mendapat kepercayaan mengemban risalah dan dalil-dalil syariat. Kami mengajak mereka untuk memberikan sedikit saja perhatian untuk mengikuti kebenaran dan meninggalkan bid 'ah.
 

Rahasia dalam Membawa Tanah yang Suci
Masih ada satu pertanyaan yang dikemukakan banyak saudara kita Ahlusunah tentang sebab kaum Syiah mengambil tanah yang suci dalam perjalanan (safar) dan ketika menetap di tempat, serta bersujud di atasnya, tidak di atas yang lain. Barangkali orang-orang awam-seperti telah kami sebutkan-membayangkan bahwa kaum Syiah bersujud kepada tanah itu, bukan bersujud di atasnya. Mereka menyembah batu dan tanah. Hal itu karena orang-orang yang patut dikasihani itu tidak bisa membedakan antara bersujud di atas tanah dan bersujud kepada tanah.

Apa pun masalahnya, jawaban atas pertanyaan ini sangat jelas. Sebab, menurut Syiah, dipandang baik mengambil tanah yang suci dan baik karena keyakinan akan kesuciannya, dari tanah mana dan dari belahan dunia yang mana tanah itu diambil, semua itu sama.

Keharusan ini sama seperti keharusan orang yang solat untuk menyucikan tubuh, pakaian, dan tempat solatnya. Rahsia keharusan membawa tanah (turbah) adalah karena keyakinan akan kesucian setiap tanah yang didiaminya. la mengambilnya untuk digunakan sebagai tempat sujud, yang mungkin saja tidak tersedia di suatu tempat yang didatangi seorang Muslim dalam perjalanannya. Apalagi di tempat-tempat yang didatangi berbagai kelompok manusia, baik Muslim maupun bukan Muslim, baik yang berpegang pada prinsip kesucian maupun tidak. Dalam hal itu seorang Muslim dihadapkan pada ujian besar ketika hendak mengerjakan solat. Ketika itu ia tidak menemukan tempat untuk mengambil tanah suci bagi dirinya yang diyakini kesuciannya. Karenanya ia bersujud di atas turbah ketika solat sebagai sikap hati-hati agar tidak bersujud di atas kotoran atau najis yang tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah, tidak diperkenankan dalam sunah, dan tidak dapat diterima akal sehat. terutama setelah ada penegasan jelas tentang kesucian anggota badan orang yang solat dan pakaian, serta ada larangan solat di tempat-tempat seperti tempat sampah. tempat pemotongan hewan, tengah jalan, toilet, dan tempat menderum unta. Bahkan diperintahkan untuk membersihkan masjid dan memberinya wewangian.

lni merupakan kaidah yang berlaku di kalangan ulama salaf yang saleh. Tetapi sejarah lupa menukilnya. Telah diriwayatkan bahwa seorang ahli fiqih dari kalangan tabi’in, Masniq al-Ajda (wafat tahun 62 H) dalam setiap perjalanannya selalu membawa batu bata untuk bersujud di atasnya. Hadis itu pun diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam kitabnya al-Mushannf; bab “Siapa yang membawa sesuatu tempat bersujud di atas kapal laut". la meriwayatkan hadis itu melalui dua sanad, bahwa Masruq apabila bepergian dengan kapal laut selalu membawa batu bata untuk bersujud di atasnya.

Sampai di sini, jelaslah bahwa orang Syi'ah mewajibkan dirinya membawa tanah tempat sujud semata-mata untuk memudahkan seseorang dalam urusan solat, baik ketika ia sedang dalam perjalanan maupun ketika menetap, karena khawatir tidak menemukan tanah yang suci atau tikar (dari tumbuh-tumbuhan) sehingga ia tidak mendapatkan kesulitan. Ini pun sama seperti kaum Muslim menyimpan tanah yang suci untuk bertayamum.

Rahasia mengapa orang Syi'ah melazimkan dirinya untuk menyukai bersujud di atas tanah dari kuburan al-Husain adalah untuk tujuan-tujuan mulia dan maksud-maksud yang agung. Hal itu akan mengingatkan orang yang solat di atas tanah tersebut terhadap pengorbanan Imam al-Husain khususnya, serta ahlulbait dan para sahabat pilihannya dalam membela akidah dan prinsip-prinsip agama, serta menumpas kezaliman dan kerusakan.

Sujud merupakan rukun solat yang paling agung. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Keadaan hamba yang paling dekat kepada Tuhannya adalah ketika bersujud." Maka pantaslah untuk melekatkan dahi pada tanah yang disucikan oleh orang-orang yang menjadikan tubuh mereka sebagai kurban bagi kebenaran dan ruh-ruh mereka terangkat ke haribaan Allah (al-Mata' al-A lal untuk tunduk, khusyuk, merendahkan diri. Ruh-ruh mereka meremehkan keduniaan palsu dan perhiasannya yang fana. Barangkali inilah yang dimaksud bahwa bersujud di atas tanah dapat merobek tujuh tabir, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis. Dalam sujud terdapat sebuah rahasia kenaikan dan mikraj dari tanah kepada Tuhan semesta alam.

Allamah al ‘Amini berkata, “Kami mengambil segenggam tanah Karbala untuk bersujud di atasnya, sebagaimana ahli fiqih salaf, Masruq bin al-Ajda', selalu membawa batu bata yang terbuat dari tanah Madinah al-Munawwarah untuk bersujud di atasnya. Orang itu adalah murid para khalifah rasyidun, ahli fiqih Madinah, yang mengajarkan sunah, dan menghindari bid'ah. Dalam hal itu tidak ada dendam dan kezaliman, sikap yang bertentangan dengan seruan Al-Qur'an, penyimpangan dari sunnatullah dan sunah Rasul-Nya saw, atau keluar dari hukum akal.

Menjadikan tanah Karbala sebagai tempat sujud bagi kaum Syi'ah bukan fardu yang tak bisa ditawar-tawar, bukan kewajiban syariat dan agama, bukan keharusan mazhab. Sejak semula, siapa pun dari mereka tidak membedakan antara tanah tersebut dengan tanah dari bumi yang lain dalam hal boleh sujud di atasnya. Ini berbeda dengan yang selama ini diduga oleh orang-orang yang tidak mengenal mereka dan pandangan-pandangan mereka. Bagi mereka, hal itu hanyalah merupakan pandangan baik (istihsan) menurut akal, lain tidak. Itu hanya pilihan terhadap sesuatu yang lebih baik menurut akal dan logika untuk dijadikan tempat bersujud, sebagaimana yang telah Anda ketahui. Banyak penganut mazhab tersebut yang selalu membawa tanah selain tanah Karbala yang layak untuk dijadikan tempat bersujud, seperti tikar daun kurma yang suci dan bersih serta diyakini kesuciannya, atau benda-benda yang semisalnya. Mereka bersujud di atas benda tersebut dalam solat mereka.

Ini merupakan pembahasan secara garis besar berkenaan dengan masalah fiqih ini. Perinciannya diserahkan kepada ahlinya. Hal itu telah dibahas oleh para ulama dan pemuka agama kontemporer. Berikut ini di antaranya.

1. Syekh Muhammad Husain Kasyif Ghitha' (1295-1373 H) dalam kitabnya al-Ardh wa at- Turoah al-Husayniyyah.

2. Syekh Abdul Husain al-Amini penulis kitab al-GhadiT (1320- 1390 H). Ia telah menulis sebuah risalah tentang masalah ini yang diterbitkan dalam lampiran kitabnya Siratuna wa Sunnatuna.

3. As-Sujd ‘ala al-Ardh karya Allamah Syekh ‘Ali al-Ahmadi semoga Allah melanggengkan kemuliaannya.

Apa yang telah kami kemukakan dalam masalah ini adalah kutipan dari pengetahuan mereka. Semoga Allah merahmati para ulama’ kita terdahulu dan memelihara para ulama’ kita yang masih ada.
 
Bukan Masalah Pertama dalam Islam
 
Telah disepakati bahwa bersujud di atas tanah, tikar dari daun kurma ( al-hashir), tikar dari bambu (al-bawtin'), dan sebagainya merupakan sunah. Sedangkan bersujud di atas permadani, sajadah, dan sebagainya merupakan bid'ah. Hal itu merupakan pengetahuan (sulthan) yang diturunkan Allah swr. Akan tetapi, sayang sekali, sunah telah menjadi bid'ah dan bid'ah telah dijadikan sunah. Kalau seseorang mengamalkan sunah di masjid-masjid dan sujud di atas tanah dan batu, perbuatannya dikatakan bid'ah, dan orang itu disebut ahli bid'ah.

Namun, ini bukan satu-satunya )alah. Kita telah melihat berbagai pandangan dalam mazhab yang empat. Kami sebutkan dua masalah di antaranya.

1.      Syekh Muhammad bin' Abdurrahman ad-Dimasyqi berkata: sunah dalam masalah kuburan adalah meratakannya, ini merupakan hal utama menurut pendapat yang dipilih dari mazhab Syafi'i. Abu Hanifah dan Malik berkata, "Meninggikan kuburan itu lebih utama, karena meratakannya merupakan syiar kaum Syi'ah.

2.      Imam ar-Razi berkata: al-Baihaqi meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah: Rasulullah saw menjaharkan (mengeraskan bacaan) bismillahirrahmanirrahim dalam solatnya. 'Ali ra juga mengeraskan bacaan basmalah dalam solatnya. Hadis itu mutawatir. Ali bin Abi Thalib berkata, "Wahai Zat Yang sebutan-Nya merupakan kemuliaan bagi para pezikir, apakah pantas orang  berakal berusaha menyembunyikannya?"

Kaum Syi'ah mengatakan bahwa yang merupakan sunah adalah mengeraskan bacaan basmalah baik dalam solat jahar (seperti subuh, magrib, dan isya) maupun solat Sirr (seperti zuhur dan asar) .

Majoriti ulama berpandangan sebaliknya. Sehingga mereka mengatakan, "'Ali berlebih-lebihan dalam mengeraskan bacaan basmalah." Tetapi, ketika pemerintahan beralih ke tangan Bani Umayyah, mereka berlebih-lebihan dalam melarang bacaan basmalah  dikeraskan sebagai upaya untuk menghilangkan jejak-jejak ‘Ali ra.

TAMAT

SUMBER-SUMBER LAIN:

  1. http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/004/01.htm
Mereka sujud di atas tanah , debu, kerikil, atau di atas batu dan apa saja yang termasuk bagian dari bumi atau tanah dan yang tumbuh di atasnya, seperti tikar yang bukan terbuat dari kain dan bukan pula yang dimakan, dan yang manis. Karena ada banyak riwayat di dalam sumber-sumber Syi’ah dan Ahli Sunnah, bahwa kebiasaan Rasul saw. adalah sujud di atas debu atau tanah, bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk mengikutinya.
Suatu hari, Bilal sedang sujud di atas serban (ammamah), karena takut akan panas yang menyengat. Maka Nabi menarik ammamah dari dahinya dan berkata: “Ratakan dahimu dengan tanah wahai Bilal !”. Begitu juga, Nabi pernah mengatakan pada Shuhaib dan Rabah dalam sabdanya: “Ratakan wajahmu wahai Shuhaib dan ratakan pula wajahmu wahai Rabah !”.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Bukhari dan lainnya, Nabi saw. juga bersabda: “Bumi atau tanah ini telah dijadikan untukku sebagai tempat sujud yang suci”.
Oleh karena sujud dan meletakkan dahi di atas tanah, tatkala sujud  merupakan hal yang paling layak dihadapan Allah swt, karena hal itu menghantarkan kepada kekhusyukan dan sarana terdekat untuk merendahkan diri di depan Tuhan, juga dapat mengingatkan manusia akan asal wujudnya. Bukankah Allah swt. berfiman:
مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى
Dari bumi (tanah) itulah kami menjadikan kamu dan kepadanya kami akan kembalikan kamu sekalian, serta darinya kami akan mengeluarkan (membangkitkan) kamu pada kali yang lain. (QS. Thaha [20]:55)

Sesungguhnya sujud adalah puncak ketundukan yang tidak bisa terealisir dengan sujud di atas sajadah, karpet atau batu-batuan permata yang berharga. Puncak ketundukan itu hanya terealisir dengan meletakkan anggota badan yang paling mulia yaitu dahi, di atas benda yang paling murah dan sederhana, yaitu tanah.[9]
 
Tentunya, debu tersebut harus suci. Orang-orang Syi’ah selalu membawa sepotong dari tanah yang sudah dipres dan sudah jelas kesuciaannya. Mungkin juga tanah ini diambil dari tanah yang penuh berkah, seperti tanah Karbala. Di sanalah Imam Husain (cucu Rasulullah saw.) gugur sebagai syahid sehingga tanah itu penuh berkah. Sebagaimana sebagian sahabat Nabi menjadikan batu Mekkah sebagai tempat sujud dalam perjalanan-perjalanan mereka dan untuk mendapatkan berkahnya. 

Meski demikian, Syi’ah Ja’fariyah tidak memaksakan hal itu, juga tidak menyatakannya sebagai suatu keharusan. mereka hanya membolehkan Sujud diatas batu apa saja yang bersih dan suci seperti lantai masjid Nabawi yang mulia dan lantai Masjidil Haram.

Begitu juga, tidak bersedekap (meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri) sewaktu shalat, karena Nabi saw. tidak pernah melakukan hal itu, juga karena tidak ada nas yang kuat dan jelas yang menganjurkan hal itu. Karenanya, penganut mazhab Maliki tidak melakukan sedekap tersebut.[10]

Bersujud Di Atas Turbah

Bersolat di atas bumi.


Sebagai seorang Syiah, kami mempercayai cara untuk sujud yang paling sempurna ialah dengan meletakkan kepala kita di atas bumi kerana ia adalah kawasan yang paling rendah yang mampu di letakkan ketika seseorang itu mengingati Allah swt. Bersujud itu sendiri adalah salah satu gerakan bagi menunjukkan betapa hina nya kita di hadapan Allah swt. Di hadapannya, kita tidak bernilai, kita adalah hamba yang tidak layak untuk Allah swt. Dan jika ia dilakukan di atas tanah, ia akan mempunyai kesan yang lebih mendalam dari, contohnya bersujud di atas karpet. Di dalah buku Ahlul Sunnah, Targhib wal Tarhib, Volume 1 Ms 581, berbunyi:
“Rasulullah saw bersabda: Jadikanlah muka kamu berdebu, and selimutilah hidung kamu dengan debu.”
Nabi saw juga menerangkan sebab musabab untuk sujud di atas tanah dengan cara yang paling indah. Di dalam Kanz al Ummal, kita dapat lihat hadis-hadis yang dengan indahnya MENGARAHKAN (semasa sujud) menyapu dahi pada tanah dan sebab musababnya:
Kanz al Ummal Volume 7 Hadis 19778:
“Sapu lah diri kamu dengan tanah kerana ia adalah rahmat dan berkat buat kamu, rahmat seperti kasih sayang seorang ibu pada anak-anaknya, sesungguhnya kamu telah dicipta darinya, ia adalah hidup kamu(makanan) dan kepadanya kamu akan di tanam.”
Ini sama seperti ketika Imam Jaafar As Sadiq ditanya tentang falsafah bersujud di atas tanah, dia berkata:
” Oleh kerana bersujud bermaksud berserah diri dan menghinakan diri sendiri pada Yang Maha Kuasa, maka ia tidak sepatutnya dilakukan diatas sesuatu yang boleh dipakai atau di makan, kerana seseorang itu adalah hamba kepada apa yang di makan dan yang di pakai, manakala bersujud pula adalah tindakan menyembah Allah. Jadi ia tidak sepatutnya meletakkan kepalanya diatas apa yang disembah manusia dan menguasai mereka.”
Wasa’il al-Shi’ah, Vol 3 ms 591

Orang-orang Yang rapat dengan Rasulullah saw dan Ahlul Bayt baginda sangat erat dengan amalan bersujud di atas tanah dan dengan berbuat begitu, mengikuti amalan keturunan mereka, Rasulullah sallallahu alaihi wa salam.
Imam Jaafar As Sadiq berkata: “Bersujud adalah tidak dibenarkan kecuali di atas tanah atau apa sahaja yang tumbuh darinya, kecuali sesuatu yang di makan atau kapas.”
Wasa’il al-Shi’ah, Volume 3 ms 592

Sujud Di atas Turbah


Shiah selalunya meletakkan Turbah di tempat sujud semasa bersolat, dan tindakan ini dapat di buktikan dari Sunnah Rasulullah saw. Kami mempercayai, tindakan paling zuhud, merendah diri di hadapan Allah swt adalah bersujud di atas tanah, jika di bandingkan dengan kain buatan manusia.

Rasulullah saw bersolat di atas Khumrah


Allamah Waheed Uz Zaman memberi komen tentang perkara ini di dalam Tafsir sahih Al Bukhari.
“Semua ulama bersetuju adalah di bolehkan untuk bersujud di atas sajadah. Tetapi Umar Ibnu Abdul Aziz mengatakan yang dia bersujud di atas lumpur, yang akan di bawakan pada baginda setiap kali bersolat, dan Ibnu Abi Shaybah meriwayatkan dari Urwah yang mengatakan bersujud di atas sesuatu selain Khumrah adalah makruh.”
Tayseer al-Bari Sharh Sahih Bukhari, Volume 1, ms 275,
Imam Bukhari dan Imam Abu Dawud mengkhaskan satu bab berkenaan bersujud di atas tanah.
1. Tayseer al-Bari Sharh Bukhari, Volume 1, ms 276.
2. Sunan Abi Daud, volume 1,ms 291, Maulana Waheed uz-Zaman.
Tindakan Rasulullah sujud di atas tanah adalah sangat terkenal sehinnga hampir semua perawi meriwayatkannya di dalam buku hadis mereka.
Mengikut Imam Shaukani, seorang ilmuan Sunni terkenal, lebih dari 10 orang sahabat Rasulullah saw telah meriwayatkan baginda bersujud di atas Khumrah. Beliau juga menyenaraikan sumber Sunni yang meriwayatkannya termasuk Sahih Muslim, At Tarmizi, Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasai dan banyak lagi..
Nayl al-Autaar, Bab Sujud Di Atas Khumrah, volume 2, MS 128
Di dalam Sahih At Tarmizi meriwayatkan Rasulullah bersujud di atas Khumrah.

Berdasarkan Hadis ini lah Imam Malik yang dilahirkan di Madinah berkata:
“Selain tanah, bersujud di atas benda lain atau daun-daun atau tumbuhan adalah makruh.”
Al-Muhalla, volume 3, ms 115, Imam Ibn Hazm Andalasi,

Apa Itu Khumrah

Hadis-hadis yang meriwayatkan tentang tempat Rasulullah sujud selalunya menyebut:
“Rasulullah pernah bersujud di atas Khumrah.”
Ilmuan Sunni telah mendefinasikan Khumrah sebagai berikut:
Dr Mushin Khan di dalam Terjemahan Sahih Al Bukhari menyebut Khumrah sebagai:
“Sehelai tikar yang hanya mampu memuatkan muka dan telapak tangan ketika bersujud.”
Ibn Athir, Jami al-’Usul:
” Khumrah adalah seperti yang digunakan oleh Shiah di zaman kita untuk bersujud.”
Ibn al-’Athir, Jami’ al-Usul, (Kairo, 1969), vol. 5, ms. 467
Maulana Waheed Uz Zaman Khan Hyderabadi dalam “Lughaat Al-hadeeth” berkata:
“Khumrah adalah sehelai tikar kecil(yang dibuat dari daun palma), atau dibuat dari daun kurma, di mana hanya mampu memuatkan kepala ketika bersujud. Beliau juga turut menyebut…..Walaupun di dalam agama kita adalah di bolehkan untuk bersujud di atas kain, tetapi adalah lebih baik untuk bersujud di atas tanah atau tikar.”
Lughaat ul Hadeeth, volume 1 ms 133,

Amalan peribadi Allamah Waheed Uz Zaman bersujud di atas Khumrah dan mengatakan ia adalah Sunnah


Di dalam muka surat yang sama yang mengandungi perbincangan tentang sujud, maulana Waheed menyebut:
“Saya berpendapat dari Hadis ini, bersujud di atas sesuatu adalah di bolehkan dan adalah tidak betul bagi masyarakat untuk melabelkan tindakan ini sebagai sesat. Berdasarkan hadis ini, saya selalu menyimpan sehelai daun palma untuk digunakan ketika bersujud, dan saya tidak mengendahkan kata-kata dan kritik orang-orang yang jahil. Kita sepatutnya mengambil berat dengan Sunnah Nabi walaupun ada orang melabelkan kita sebagai sesat.”
Lughaat ul Hadeeth, Volume 1, , Ms 133
“Saya selalu menghamparkan tikar saya di dalam masjid yang telah mempunyai kain. Sesetengah orang dari Ahlul Sunnah mengutuk saya dengan mengatakan tidak semestinya dilakukan begini. Mereka tidak memahami yang kita sepatutnya bersolat dengan cara yang paling benar berdasarkan semua orang. Ini sebagai jalan selamat. Ia juga di laporkan dari Rasulullah bersolat di atas kain, tetapi solat wajib tidak dibenarkan ditunai di atas kain. Para sahabat melaporkan Rasulullah bersujud diatas tanah dan tikar dari daun palma.” Lughaat ul Hadeeth Volume 1, ms 113,

Bumi dijadikan sebagai tempat ibadah untuk Rasulullah

Diriwayatkan Jabir bin Abdullah:
Rasulullah bersabda, “Aku telah diberikan 5 perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelum ku.
1. Allah telah memberikan ku kepada kejayaan dengan memberi rasa takut kepada musuh sejauh sebulan perjalanan.
2. Tanah ini telah diciptakan kepadaku dan pengikutku sebagai tempat bersolat dan untuk digunakan bertayyamun, kerana itu, pengikutku dapat bersolat dimana sahaja bila sudah tiba waktu.
3. Rampasan perang telah dijadikan Halal untukku sedang ia tidak halal kepada sesiapa sahaja sebelum ku.
4. Aku telah diberikan hak untuk memberi syafaat di Hari Pembalasan.
5. Setiap nabi diutuskan kepada kaumnya sahaja, tetapi aku diutus kepada seluruh umat manusia.
Hadis ini adalah sangat jelas dengan mengatakan tanah dan batu sebagai tempat sujud. Sejarah Islam dan Nabi Muhammad menunjukkan Masjid di Madinah hanya dihiasi dengan tanah walaupun terdapat berbagai jenis tikar dan hiasan wujud pada zaman itu.Oleh kerana itu, masjid ini tidak mempunyai karpet atau sebarang jenis pelapik di atas lantai, dan ketika hujan, lantai masjid akan berlumpur. Bagaimanapun Muslim tetap bersujud di atas lumpur itu dan tidak di hampar dengan sebarang karpet.
Saheeh al Bukhari Volume 1, Buku 11, Hadis 638:
Diriwayatkan dari Abu said Al Khudri:
Telah datang awan dan hujan sehingga atap menjadi bocor, dan di masa itu, atap masjid dibuat dari daun kurma. Iqamah dilaungkan dan aku melihat Rasulullah bersujud di atas air dan lumpur itu, sehingga jelas kelihatan lumpur di dahi baginda.
Imam Bukhari meriwayatkan Rasulullah ketika bersolat didalam bilik baginda, selalu bersujud di atas Khumra(sekeping tanah keras atau tikar)
Saheeh al Bukhari Volume 1, Buku 6, hadis 329:
Diriwayatkan Maimunah:
Semasa aku datang haid,aku tidak bersolat, tetapi aku selalu duduk di atas tikar di sebelah masjid Nabi. Baginda bersujud di atas helaian baginda, dan ketika bersujud, pakaian baginda sering mengenai aku”

Rasulullah menyuruh sahabat tidak bersujud di atas kain dan mengalihkan turban agar dahi mengenai tanah.


Sujud adalah satu cara untuk bersyukur kepada Allah Sws atas keberkata yang Allah limpahkan pada kita, dan cara terbaik ialah diatas tanah. Inilah sebabnya Nabi pernah menyuruh para sahabat untuk mengalihkan sebarang kain diantara dahi dan tanah agar segala espek sujud dapat dilengkapi. Terdapat banyak hadis dimana Nabi melarang bersujud di atas kain(atau turban) dan baginda sendiri tidak melakukan demikian.
“Apabila Nabi bersujud, baginda akan mengalihkan Amamah(turban) dari dahi ”
1. Al Tabaqat al Kubra dari Ibn Sa’ad Vol 1 ms.352
2. Kanz ul Ummal Vol.7, ms.49 (No.17896)
Di dalam baris yang sama ada menyebut rasulullah meminta seorang sahabat mengalihkan turban ketika bersujud.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ رَأَى رَجُلاً يَسْجُدُ بِجَنْبِهِ ، وَقَدْ أَعْتَمَ عَلَى جَبْهَتِهِ ، فَحَسَرَ رَسُولُ اللَّهِ عَنْ جَبْهَتِهِ.

“Rasulullah melihat seorang bersujud di sebelah baginda dan dahi beliau dilitupi, baginda membuang pelitup itu”
1. Sunan al Kubrah dari Al Bayhaqi Volume 2 ms 151 (No. 2659)
2. Al Isabah dari Ibn Hajar al Asqallani Vol. 3,ms. 465 (No. 4138)
3. Usd ul Ghaaba dari Ibn al Atheer Volume 3 ms 9

Said Ibnu Musayyab mengatakan bersolat di atas kain adalah bidaah.


Imam Ahlul Sunnah terkemuka, Tabeen Said Ibnu Musayyab mempunyai pandangan berikut tentang bersujud di atas karpet atau kain, diriwayatkan dari Qatadah:
أخبرنا قتادة قال سألت سعيد بن المسيب عن الصلاة على الطنفسة فقال محدث
“Aku bertanya kepada Said Ibnu Al Musayyib tentang bersolat di atas karpet. Dia menjawab ia adalah sesuatu yang baru.” Online Tabaqat al Kubra by Ibn Sa`ad, Vol 5
“Diriwayatkan dari Qatadah, apabila Said ditanya mengenai bersolat di atas kain, beliau menjawab ia adalah bidaah.” Tabaqat Ibn Sa`ad, Vol 3 bahagian 5 ms 160

Sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud tidak pernah bersujud selain di atas tanah.


Para Nasibi yang jahil yang memanggil Shiah sebagai pembuat bidaah, sepatutnya membaca lebih tentang amalan Sahabat besar Abdullah Ibnu Masud, di rakamkan oleh Al Haythami di dalam Majma’ al Zawaid. Volume 2 ms 57:
“Abu Ubaidah meriwayatkan sahabat Ibnu Masud tidak pernah bersujud selain dari atas tanah.” Online Majma’ al-Zawa’id, Volume 2 Hadith 2272

Sahabat Jarir bin Abdullah bersujud di atas tanah walaupun terlampau panas

Suhu panas melampau tidak menghalang sahabat terkenal bersujud di atas tanah
“Jabir Ibn Abdullah meriwayatkan: kami bersolat bersama Rasulullah pada waktu Zuhur, aku mengengam tanah pada tanganku agar sejuk, kemudian bertukar tangan dan apabila aku bersujud aku akan meletakkannya di tempat sujudku”
1. Sunan al-Nisa’i, Volume 2 ms 204.
2. Sunan al-Bayhaqi Volume 1 ms 439
3. Musnad Ahmad ibn Hanbal, Volume 3 ms 327.

Fatwa Ibnu Taimiyah berkenaan solat di atas kain adalah bidaah.


Ibnu taimiyah mengeluarkan fatwa ini di dalam Majmo Al Fatawa bila ditanya samada karpet di dalam masjid adalah bidaah atau tidak:

Segala puji bagi Allah tuhan sekalian Alam, bersolat di atas kain solat bukanlah Sunnah para golongan Salaf Muhajirin atau Ansar, juga bukan amalan para Tabiin. Malah mereka bersolat diatas tanah didalam masjid, tidak seorang pun dari mereka mengambil kain solat atau sejadah.
Apabila karpet diperkenalkan di Masjid Madinah, Imam Malik mengarahkan agar ia di rampas dan berkata kepada Abdul Rahman ibnu Mahdi:
Sesungguhnya dengarlah! Karpet/sejadah di dalam masjid adalah satu BIDAAH!
dan ini adalah hadis sahih dari Abu Said Al Khudri”
Mujmoo al Fatawa by Ibn Taymeeya Volume 22 ms163

Pendapat Muhaddith Shah Abdul Aziz Dehalvi tentang bersujud di atas tanah di dalam buku anti Shiah

“..Jawapan kepada pertuduhan ini ialah sejak bilakah Ahlul Sunnah disuruh menjauhi amalan bersujud di atas tanah? Adalah diketahui dari hadis Sahih bahawa sebelum kesesatan, Syaitan tidak pernah meninggalkan satu tempat pun samada di langit atau bumi dimana ia tidak pernah bersujud, dan sejak dia enggan bersujud di hadapan Adam, yang dibuat dari tanah, semua sujud yang pernah dilakukan tidak lagi diterima. Jadi apabila seseorang tidak bersujud di atas tanah atau sesuatu yang dibuat dengannya, keadaanya adalah serupa seperti syaitan itu.

MENGAPA SYIAH SUJUD ATAS TANAH?

SHIA TIDAK MENGANGGAP SUJUD PADA TANAH KARBALA SEBAGAI WAJIB.
Jika kamu boleh menunjukkan kepada kami satu ulasan hadith atau kenyataan yang menunjukkan sujud pada tanah Karbala adalah wajib, kami kan terima semua kenyataan kamu sebagai betul. Yang sebenarnya, di dalam semua buku amalan agama kami, terdapat petunjuk yang jelas, menurut pada arahan al-Quran, sujud hendaklah dilakukan pada bumi yang bersih. Ini termasuk tanah, batu, pasir, rumput, pastikan ianya bukan mineral. Lebih lagi sujud boleh dilakukan pada benda yang tumbuh dari bumi, melainkan ianya tidak digunakan sebagai makanan atau pakaian.

Sheikh: Jadi mengapa kamu setiasa menyimpan seketul tanah dari Karbala bersama kamu dan melakukan sujud diatasnya pada waktu solat?

SHIA MENYIMPAN SEKEPING TANAH UNTUK SUJUD DIWAKTU SOLAT.
Shirazi: Sujud pada bumi yang bersih adalah wajib. Solat wajib biasanya dilakukan di dalam rumah yang telah dihiasi dengan perabot dan karpet. Walaupun jika karpet dialihkan, simen dibawahnya mengandung bahan galian yang mana sujud diatasnya tidak dibolehkan.

Sheikh: Apa yang kami nampak adalah semua shia mempunyai sekeping tanah dari karbala dan menganggap sujud diatasnya sebagai wajib.


MENGAPA KAMI SUJUD DIATAS TANAH KARBALA.
Shirazi: Adalah benar kami sujud diatas tanah karbala, tetapi kami tidak menganggapnya sebagai wajib. Menurut dari arahan yang terdapat di dalam buku kami, kami menganggap sujud perlu pada bumi yang bersih. Bagaimana pun menurut dari ahli bayt, sujud pada tanah karbala yang suci adalah digalakkan.
Adalah amat sedih sebahagian menusia secara keji mengatakan shia menyembah Husain. Mereka menyokong pandangan mereka dengan mununjukkan bahawa shia sujud pada tanah karbala. Yang sebenarnya kami tidak pernah menyembah Husain, Ali atau Muhammad. Kami menyembah Allah, dan dengan mengikut perintah Allah kami sujud pada bumi yang bersih. Sujud kami bukan untuk Husain. Tetapi mengikut dari arahan Imam yang ma’sum dari keturunan nabi, sujud pada tanah suci karbala mendapat ganjaran yang lebih, tetapi ianya bukanlah wajib.


Sheikh: Bagaimana kamu boleh mengatakan tanah karbala mempunyai kualiti berbeza yang mana ia dapat keutamaan dari tanah yang lain.


CIRI-CIRI TANAH KARBALA.
Shirazi: Pertama, fakta sebenar bahawa lain kawasan mempunyai ciri-ciri tanah yang berlainan. Setiap bahagian bumi mempunyai kualitinya tersendiri yang hanya diketahui oleh pakar tanah. Bukan ahli tidak tahu perkara ini.

Kedua, ciri utama tanah karbala telah diketahui sebelum masa para Imam. Ianya adalah satu objek yang menarik perhatian pada masa hayat nabi, sebagaimana telah dirakamkan di dalam buku sahih ulama kamu.

Di dalam Khasa’isu’l-Kubra, oleh Jalalu’d-din Suyuti, beberapa hadith dari Ummu’l-Mu’minin Ummi Salma, Ummu’l-Mu’minin A’yesha, Ummu’l-Fazl, Ibn Abbas, dan Anas Bin Malik dsb mengenai tanah karbala telah disampaikan oleh ulama danj uga penyampai kamu yang terkenal dan dipercayai, seperti Abu Nu’aim Ispahani, Baihaqi, dan Hakim.

Satu laporan mengatakan: Saya melihat Husain dipangkuan nabi, datuknya, yang mempunyai sekeping tanah merah ditangannya. Nabi sedang mencium tanah itu dan menangis. Saya tanyakan apakah tanah itu. Nabi berkata: Jibril telah memberitahu saya bahawa anak saya, Husain ini akan dibunuh di Iraq. Dia telah bawakan tanah ini padaku dari tempatnya. Saya sedang tangisi penderitaan yang akan ditanggong oleh Husain

Kemudian nabi menyerahkan tanah itu kepada Umme Salma dan berkata kepadanya, ‘Apabila kamu lihat tanah ini bertukar menjadi darah, kamu tahu bahawa Husain saya ini telah dibunuh.’

Umme Salma menyimpan tanah itu di dalam botol dan selalu melihat padanya, sehingga pada hari Ashura, 61 Hijrah, ianya telah bertukar menjadi darah. Maka tahulah dia bahawa Husain bin Ali telah syahid.
Telah dirakamkan oleh ulama kamu dan juga shia bahawa nabi dan para Imam memberikan pandangan yang khusus pada tanah karbala. Setelah syahidnya Imam Husain, Imam Seyyedu’s-Sajidin Zainu’l-Abidin Ali Bin Husain menggambil sebahagiannya, dan mengistiharkan ianya adalah tanah yang suci, dan menyimpannya di dalam bag. Imam yang suci melakukan sujud padanya dam membuat tasbih darinya dan menyebut nama Allah dengannya.

Selepas beliau, semua Imam yang berikutnya menganggap tanah karbala sebagai suci dan membuat tasbih darinya dan sekeping kecil untuk sujud diatasnya. Mereka mempelawa shia untuk sujud padanya, dengan kefahaman bahawa ianya bukanlah wajib, tetapi dengan pandangan untuk mendapat ganjaran yang lebih. Imam yang suci menekankan bahawa sujud kepada Allah hanyalah diatas tanah yang suci, dan lebih digalakkan jika ianya tanah karbala.

Seorang ulama, Abu Ja’far Muhammad Bin Hasan Tusi, mengatakan di dalam Misbahu’l-Mutahajjid bahawa Imam Ja’far as-Sadiq menyimpan sekeping tanah dari pusara Imam Husain di dalam kain kuning yang dibukanya pada wahtu solat dan melakukan sujud diatasnya.

Shia telah sekian lama menyimpan tanah ini bersama mereka. Kemudian ditakuti ianya akan bertaburan telah menjadikannya di dalam kepingan, yang dipanggil kini Mohr. Kami menganggap ianya adalah tanah yang suci, maka waktu solat kami sujud diatasnya tetapi bukanlah sebagai amalan yang wajib. Jika tidak mempunyai tanah yang suci bersama kami, kami sujud diatas tanah yang bersih, atau batu yang bersih. Dengan cara ini amalan yang wajib telah dilaksanakan.

Kami amat terperanjat pada tabiat ulama kamu, yang tidak mencari kesalahan pada keputusan yang dibuat dari empat mazhab perundangan. Iaitu, jika Imam Azam berkata, jika tidak ada air wudu hendaklah dilakukan dengan nabiz, Shafii, Maliki dan Hanbali tidak membantah. Jika Imam Ahmad bin Hanbal percaya Allah dapat dilihat dan dibolehkan untuk menyapu air pada serban diwaktu wudu, ulama dari mazhab yang lain tidak mengkritik dia. Begitu juga mereka tidak mengutuk keputusan perundangan unik yang lain, seperti menyatakan perkahwin kanak-kanak lelaki yang di dalam perjalanan, sujud diatas najis [tahi] yang kering atau benda najis yang lain atau bersetubuh dengan ibu dengan menggunakan sarongan kain.

Tetapi apabila kami katakan bahawa keturunan nabi telah mengatakan sujud pada tanah karbala adalah lebih baik, kamu menjerit mengatakan shia adalah kafir.


Nabi sujud atas sejadah?

Di dalam kitab Tanbih al-Khawatir diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Imam Hasan bin Ali as seraya berkata kepada Imam: “Sesungguhnya aku dari syi’ahmu!” Imam Hasan bin Ali as justru menjawab : “Wahai hamba Allah! Jika engkau mengikuti perintah-perintah kami dan menjauhi larangan-larangan kami, maka benarlah pengakuanmu itu, namun jika engkau tidak seperti itu, maka tidak bertambah kemuliaanmu, malah justru bertambahlah dosamu atas pengakuanmu itu. Jangan kau berkata aku dari syi’ahmu, tetapi katakanlah: “Saya orang yang mengikutimu, mencintaimu dan memusuhi musuh-musuhmu.” maka engkau berada di dalam kebaikan dan menuju kepada kebaikan.” (Tanbih al-Khawatir hal. 348)

Pernah Rasulullâh Saw melihat seseorang melakukan sujud di atas surbannya. Lalu beliau memberi isyarat kepada orang tersebut dengan tangan beliau supaya orang itu mengankat surbannya dan beliau memberikan isyarat kepada dahi beliau, yang maksudnya supaya orang tersebut menyentuhkan dahinya di atas tanah (Sunan Al-Baihaqî, jilid 2, hal 105

Hazrat Fatimah as, saat mengunjungi kuburan pamanya Sayyidina Hamzah, akan mengambil tanah kuburan itu utk solat. Imam Sajjad, menggunakan tanah Karbala Imam Husein as dan sentiasa dibawa bersama utk sujud saat solat.

Qatâdah berkata bahwa ia melakukan sujud kemudian kedua matanya tertusuk oleh bagian tikar itu hingga ia menjadi buta, ia berkata : " Semoga Allâh melaknat Hajjâj. Ia telah membuat bid'ah dengan menghampari masjid ini dengan Bawari (sejenis tikar) (Ittihâful Muttaqîn, jilid 1, hal.727

Al-Ghazâlî dalam kitabnya Ihyâ 'Ulumûddîn berkata: "Sesungguhnya ketika itu perbuatan menghampari masjid Nabawi dengan bawari atau tikar dianggap sebagai perbuatan bid'ah dan ada yang mengatakan bahwa hal itu dilakukan oleh Hajjâj bin Yusuf. Sebelum itu orang-orang tidak menempatkan sesuatu penghalang antara dahi-dahi mereka dengan tanah ketika mereka sujud (Ihyâ 'Ulumûddîn, jilid 1, hal. 80).

Abî Sa'îd al-Khudrî berkata : " Aku masuk menjumpai Rasulullâh Saw. Ketika itu beliau sujud di atas hasîr, yaitu tikar yang terbuat dari daun "(Sunan al-Baihaqî, jilid 2, hal. 421 pada Kitâbus Salât dalam Bâbus Salâh 'alâl Hasîr)

Urwah bin az-Zubair dikisahkan bahwa ia tidak suka melakukan salât kecuali di atas tanah ( Syarh Al-Ahwaji, jilid 1 hal. 272, Ihyâ 'Ulûmuddîn, jilid 1, hal. 149 dan Ittihâtul Muttaqîn , jilid 2, hal. 32

Masruk bin al-Ajdâ dikatakan bahwa ketika ia melakukan perjalanan dengan perahu ia selalu membawa bata mentah untuk ia jadikan sebagai alas sujud (Tabaqatul Kubrâ, jilid 6, hal. 79

Alî bin 'Abdullâh bin 'Abbâs bahwa Razin berkata : " Pernah 'Alî bin 'Abdullâh bin 'Abbâs mengirimkan surat kepadaku. Ia berkata: " Kirimkanlah kepadaku lempengan batu dari Gunung Marwah (nama sebuah gunung yang ada di kota Mekah) untuk aku jadikan sebagai alas sujudku (Ahbarîl Makkah, jilid 3, hal 151

Sufyan Ats-Tsauriy: “Bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis daripada kemaksiatan, pelaku maksiat masih ingin bertaubat dari kemaksiatannya (masih diharapkan untuk bertaubat), sedangkan pelaku bid’ah tidak ada keinginan untuk bertaubat dari kebid’ahannya (sulit diharapkan untuk bertaubat).” (Dikeluarkan oleh Al-Laalikaa`iy 1/133 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 7/26 dan Al-Baghawiy dalam Syarhussunnah 1/216)

Berkata ‘Abdullah bin ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu: “Sesungguhnya perkara-perkara yang paling dibenci oleh Allah adalah bid’ah-bid’ah.” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubra 4/316)

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ“Setiap yang bid’ah itu sesat”Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (Shahih Muslim no. 1435), Imam an-Nasaie (Sunnan an-Nasaie no. 1560), Imam Abu Daud (Sunnan Abu Daud no. 3991) dan Imam Ahmad (al-Musnad no. 13815)

maka hendaklah kamu memegang sunnahku dan SUNNAH KHULAFA RASYIDIN yang mendapat petunjuk yg bijaksana, berpegang teguhlah kepadanya, gigitlah dengan geraham,%D­an hati-hati jangan sampai mengadakan bid'ah, setiap yang diada-adakan itu adalah BID'AH, dan setiap BID'AH adalah KESESATAN" (Hadis Riwayat Abu Daud no.4443)




Sujud atas apa?

Barangsiapa yang berijtihad dan ia betul dalam ijtihadnya maka ia tidak dapat pahala, dan sebaliknya jika ia salah dalam ijtihadnya, maka ia akan menanggung dosa”

an-Nuri, meriwayatkan hadis dalam al-Mustadrak dari para pemuka Islam dari Ja 'far bin Muhammad dari bapaknya, dari moyangnya dari 'Ali as bahwa Rasulullah saw bersabda, " Tanah itu baik bagimu. Darinya kalian bertayamum, di atasnya kamu salat dalam kehidupan di dunia ini, dan ia menjadi tempat tinggalmu ketika mati. Yang demikian itu adalah kenikmatan dari Allah. Bagi-Nya segala pujian. Benda yang paling baik untuk dijadikan tumpuan sujud orang yang salat adalah tanah yang bersih."

“Dijadikannya tanah bagiku sebagai tempat sujud dan suci.” Artinya tanah bukan saja mensucikan untuk bertayamum tapi juga sebagai tempat sujud. Dalam segala kondisi Nabi selalu sujud di atas tanah. Pernah ketika terjadi hujan di bulan Ramadan, masjid Nabi yang beratapkan pelepah kurma menjadi becek. Abu Said Al-Khudri dalam riwayat Bukhari berkata, “Aku melihat Rasulullah dikening dan hidungnya terdapat bekas lumpur.”

As-Samhûdî pada bukti sebelumnya juga menukil dari Ibnu Sa'ad. Ia berkata bahwa 'Umar bin Khattâb menghampari dan meletakkan batu-batu kerikil di dalam masjid Rasulullâh Saw. Dan sebelum masjid itu dihampari dengan batu-batu, orang-orang ketika melaksanakan salât mengangkat kepala-kepala mereka dari sujud, mengusapkan debu-debu di dahi mereka dengan tangan-tangannya. Kemudian setelah itu 'Umar bin Khattâb memerintahkan untuk menghampari masjid itu dengan batu-batu. Maka didatangkanlah batu-batu itu untuk dijadikan sebagai hamparan masjid tersebut
Lihat Tabaqât Ibnu Sa'ad, jilid 3, hal. 283-284. Dan Manâqib' Umar Ibn al-Jauzî, Hal. 63

Alî bin 'Abdullâh bin 'Abbâs bahwa Razin berkata: "Pernah 'Alî bin 'Abdullâh bin 'Abbâs mengirimkan surat kepadaku. Ia berkata: " Kirimkanlah kepadaku lempengan batu dari Gunung Marwah (nama sebuah gunung yang ada di kota Mekah) untuk aku jadikan sebagai alas sujudku"
Lihat Ahbarîl Makkah, jilid 3, hal 151.


Imam Khameinei berzikir selepas solat
Bersujud Di Atas Turbah
Bersolat di atas bumi.

Sebagai seorang Syiah, kami mempercayai cara untuk sujud yang paling sempurna ialah dengan meletakkan kepala kita di atas bumi kerana ia adalah kawasan yang paling rendah yang mampu di letakkan ketika seseorang itu mengingati Allah swt. Bersujud itu sendiri adalah salah satu gerakan bagi menunjukkan betapa hina nya kita di hadapan Allah swt. Di hadapannya, kita tidak bernilai, kita adalah hamba yang tidak layak untuk Allah swt. Dan jika ia dilakukan di atas tanah, ia akan mempunyai kesan yang lebih mendalam dari, contohnya bersujud di atas karpet. Di dalah buku Ahlul Sunnah, Targhib wal Tarhib, Volume 1 Ms 581, berbunyi:
“Rasulullah saw bersabda: Jadikanlah muka kamu berdebu, and selimutilah hidung kamu dengan debu.”
Nabi saw juga menerangkan sebab musabab untuk sujud di atas tanah dengan cara yang paling indah. Di dalam Kanz al Ummal, kita dapat lihat hadis-hadis yang dengan indahnya MENGARAHKAN (semasa sujud) menyapu dahi pada tanah dan sebab musababnya:
Kanz al Ummal Volume 7 Hadis 19778:
“Sapu lah diri kamu dengan tanah kerana ia adalah rahmat dan berkat buat kamu, rahmat seperti kasih sayang seorang ibu pada anak-anaknya, sesungguhnya kamu telah dicipta darinya, ia adalah hidup kamu(makanan) dan kepadanya kamu akan di tanam.”
Ini sama seperti ketika Imam Jaafar As Sadiq ditanya tentang falsafah bersujud di atas tanah, dia berkata:
” Oleh kerana bersujud bermaksud berserah diri dan menghinakan diri sendiri pada Yang Maha Kuasa, maka ia tidak sepatutnya dilakukan diatas sesuatu yang boleh dipakai atau di makan, kerana seseorang itu adalah hamba kepada apa yang di makan dan yang di pakai, manakala bersujud pula adalah tindakan menyembah Allah. Jadi ia tidak sepatutnya meletakkan kepalanya diatas apa yang disembah manusia dan menguasai mereka.”
Wasa’il al-Shi’ah, Vol 3 ms 591
Orang-orang ang rapat dengan Rasulullah saw dan Ahlul Bayt baginda sangat erat dengan amalan bersujud di atas tanah dan dengan berbuat begitu, mengikuti amalan keturunan mereka, Rasulullah sallallahu alaihi wa salam.
Imam Jaafar As Sadiq berkata: “Bersujud adalah tidak dibenarkan kecuali di atas tanah atau apa sahaja yang tumbuh darinya, kecuali sesuatu yang di makan atau kapas.”
Wasa’il al-Shi’ah, Volume 3 ms 592
Sujud Di atas Turbah

Shiah selalunya meletakkan Turbah di tempat sujud semasa bersolat, dan tindakan ini dapat di buktikan dari Sunnah Rasulullah saw. Kami mempercayai, tindakan paling zuhud, merendah diri di hadapan Allah swt adalah bersujud di atas tanah, jika di bandingkan dengan kain buatan manusia.
Rasulullah saw bersolat di atas Khumrah

Allamah Waheed Uz Zaman memberi komen tentang perkara ini di dalam Tafsir sahih Al Bukhari.
“Semua ulama bersetuju adalah di bolehkan untuk bersujud di atas sajadah. Tetapi Umar Ibnu Abdul Aziz mengatakan yang dia bersujud di atas lumpur, yang akan di bawakan pada baginda setiap kali bersolat, dan Ibnu Abi Shaybah meriwayatkan dari Urwah yang mengatakan bersujud di atas sesuatu selain Khumrah adalah makruh.”
Tayseer al-Bari Sharh Sahih Bukhari, Volume 1, ms 275,
Imam Bukhari dan Imam Abu Dawud mengkhaskan satu bab berkenaan bersujud di atas tanah.
1. Tayseer al-Bari Sharh Bukhari, Volume 1, ms 276.
2. Sunan Abi Daud, volume 1,ms 291, Maulana Waheed uz-Zaman.
Tindakan Rasulullah sujud di atas tanah adalah sangat terkenal sehinnga hampir semua perawi meriwayatkannya di dalam buku hadis mereka.
Mengikut Imam Shaukani, seorang ilmuan Sunni terkenal, lebih dari 10 orang sahabat Rasulullah saw telah meriwayatkan baginda bersujud di atas Khumrah. Beliau juga menyenaraikan sumber Sunni yang meriwayatkannya termasuk Sahih Muslim, At Tarmizi, Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasai dan banyak lagi..
Nayl al-Autaar, Bab Sujud Di Atas Khumrah, volume 2, MS 128
Di dalam Sahih At Tarmizi meriwayatkan Rasulullah bersujud di atas Khumrah.

Berdasarkan Hadis ini lah Imam Malik yang dilahirkan di Madinah berkata:
“Selain tanah, bersujud di atas benda lain atau daun-daun atau tumbuhan adalah makruh.”
Al-Muhalla, volume 3, ms 115, Imam Ibn Hazm Andalasi,
Apa Itu Khumrah
Hadis-hadis yang meriwayatkan tentang tempat Rasulullah sujud selalunya menyebut:
“Rasulullah pernah bersujud di atas Khumrah.”
Ilmuan Sunni telah mendefinasikan Khumrah sebagai berikut:
Dr Mushin Khan di dalam Terjemahan Sahih Al Bukhari menyebut Khumrah sebagai:
“Sehelai tikar yang hanya mampu memuatkan muka dan telapak tangan ketika bersujud.”
Ibn Athir, Jami al-’Usul:
” Khumrah adalah seperti yang digunakan oleh Shiah di zaman kita untuk bersujud.”
Ibn al-’Athir, Jami’ al-Usul, (Kairo, 1969), vol. 5, ms. 467
Maulana Waheed Uz Zaman Khan Hyderabadi dalam “Lughaat Al-hadeeth” berkata:
“Khumrah adalah sehelai tikar kecil(yang dibuat dari daun palma), atau dibuat dari daun kurma, di mana hanya mampu memuatkan kepala ketika bersujud. Beliau juga turut menyebut…..Walaupun di dalam agama kita adalah di bolehkan untuk bersujud di atas kain, tetapi adalah lebih baik untuk bersujud di atas tanah atau tikar.”
Lughaat ul Hadeeth, volume 1 ms 133,
Amalan peribadi Allamah Waheed Uz Zaman bersujud di atas Khumrah dan mengatakan ia adalah Sunnah

Di dalam muka surat yang sama yang mengandungi perbincangan tentang sujud, maulana Waheed menyebut:
“Saya berpendapat dari Hadis ini, bersujud di atas sesuatu adalah di bolehkan dan adalah tidak betul bagi masyarakat untuk melabelkan tindakan ini sebagai sesat. Berdasarkan hadis ini, saya selalu menyimpan sehelai daun palma untuk digunakan ketika bersujud, dan saya tidak mengendahkan kata-kata dan kritik orang-orang yang jahil. Kita sepatutnya mengambil berat dengan Sunnah Nabi walaupun ada orang melabelkan kita sebagai sesat.”
Lughaat ul Hadeeth, Volume 1, , Ms 133
“Saya selalu menghamparkan tikar saya di dalam masjid yang telah mempunyai kain. Sesetengah orang dari Ahlul Sunnah mengutuk saya dengan mengatakan tidak semestinya dilakukan begini. Mereka tidak memahami yang kita sepatutnya bersolat dengan cara yang paling benar berdasarkan semua orang. Ini sebagai jalan selamat. Ia juga di laporkan dari Rasulullah bersolat di atas kain, tetapi solat wajib tidak dibenarkan ditunai di atas kain. Para sahabat melaporkan Rasulullah bersujud diatas tanah dan tikar dari daun palma.” Lughaat ul Hadeeth Volume 1, ms 113,
Bumi dijadikan sebagai tempat ibadah untuk Rasulullah
Diriwayatkan Jabir bin Abdullah:
Rasulullah bersabda, “Aku telah diberikan 5 perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelum ku.
1. Allah telah memberikan ku kepada kejayaan dengan memberi rasa takut kepada musuh sejauh sebulan perjalanan.
2. Tanah ini telah diciptakan kepadaku dan pengikutku sebagai tempat bersolat dan untuk digunakan bertayyamun, kerana itu, pengikutku dapat bersolat dimana sahaja bila sudah tiba waktu.
3. Rampasan perang telah dijadikan Halal untukku sedang ia tidak halal kepada sesiapa sahaja sebelum ku.
4. Aku telah diberikan hak untuk memberi syafaat di Hari Pembalasan.
5. Setiap nabi diutuskan kepada kaumnya sahaja, tetapi aku diutus kepada seluruh umat manusia.
Hadis ini adalah sangat jelas dengan mengatakan tanah dan batu sebagai tempat sujud. Sejarah Islam dan Nabi Muhammad menunjukkan Masjid di Madinah hanya dihiasi dengan tanah walaupun terdapat berbagai jenis tikar dan hiasan wujud pada zaman itu.Oleh kerana itu, masjid ini tidak mempunyai karpet atau sebarang jenis pelapik di atas lantai, dan ketika hujan, lantai masjid akan berlumpur. Bagaimanapun Muslim tetap bersujud di atas lumpur itu dan tidak di hampar dengan sebarang karpet.
Saheeh al Bukhari Volume 1, Buku 11, Hadis 638:
Diriwayatkan dari Abu said Al Khudri:
Telah datang awan dan hujan sehingga atap menjadi bocor, dan di masa itu, atap masjid dibuat dari daun kurma. Iqamah dilaungkan dan aku melihat Rasulullah bersujud di atas air dan lumpur itu, sehingga jelas kelihatan lumpur di dahi baginda.

Imam Bukhari meriwayatkan Rasulullah ketika bersolat didalam bilik baginda, selalu bersujud di atas Khumra(sekeping tanah keras atau tikar)
Saheeh al Bukhari Volume 1, Buku 6, hadis 329:
Diriwayatkan Maimunah:
Semasa aku datang haid,aku tidak bersolat, tetapi aku selalu duduk di atas tikar di sebelah masjid Nabi. Baginda bersujud di atas helaian baginda, dan ketika bersujud, pakaian baginda sering mengenai aku”
Rasulullah menyuruh sahabat tidak bersujud di atas kain dan mengalihkan turban agar dahi mengenai tanah.

Sujud adalah satu cara untuk bersyukur kepada Allah Sws atas keberkata yang Allah limpahkan pada kita, dan cara terbaik ialah diatas tanah. Inilah sebabnya Nabi pernah menyuruh para sahabat untuk mengalihkan sebarang kain diantara dahi dan tanah agar segala espek sujud dapat dilengkapi. Terdapat banyak hadis dimana Nabi melarang bersujud di atas kain(atau turban) dan baginda sendiri tidak melakukan demikian.
“Apabila Nabi bersujud, baginda akan mengalihkan Amamah(turban) dari dahi ”
1. Al Tabaqat al Kubra dari Ibn Sa’ad Vol 1 ms.352
2. Kanz ul Ummal Vol.7, ms.49 (No.17896)
Di dalam baris yang sama ada menyebut rasulullah meminta seorang sahabat mengalihkan turban ketika bersujud.

“Rasulullah melihat seorang bersujud di sebelah baginda dan dahi beliau dilitupi, baginda membuang pelitup itu”
1. Sunan al Kubrah dari Al Bayhaqi Volume 2 ms 151 (No. 2659)
2. Al Isabah dari Ibn Hajar al Asqallani Vol. 3,ms. 465 (No. 4138)
3. Usd ul Ghaaba dari Ibn al Atheer Volume 3 ms 9
Said Ibnu Musayyab mengatakan bersolat di atas kain adalah bidaah.

Imam Ahlul Sunnah terkemuka, Tabeen Said Ibnu Musayyab mempunyai pandangan berikut tentang bersujud di atas karpet atau kain, diriwayatkan dari Qatadah:
 “Aku bertanya kepada Said Ibnu Al Musayyib tentang bersolat di atas karpet. Dia menjawab ia adalah sesuatu yang baru.” Online Tabaqat al Kubra by Ibn Sa`ad, Vol 5
“Diriwayatkan dari Qatadah, apabila Said ditanya mengenai bersolat di atas kain, beliau menjawab ia adalah bidaah.” Tabaqat Ibn Sa`ad, Vol 3 bahagian 5 ms 160
Sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud tidak pernah bersujud selain di atas tanah.

Para Nasibi yang jahil yang memanggil Shiah sebagai pembuat bidaah, sepatutnya membaca lebih tentang amalan Sahabat besar Abdullah Ibnu Masud, di rakamkan oleh Al Haythami di dalam Majma’ al Zawaid. Volume 2 ms 57:
“Abu Ubaidah meriwayatkan sahabat Ibnu Masud tidak pernah bersujud selain dari atas tanah.” Online Majma’ al-Zawa’id, Volume 2 Hadith 2272
Sahabat Jarir bin Abdullah bersujud di atas tanah walaupun terlampau panas
Suhu panas melampau tidak menghalang sahabat terkenal bersujud di atas tanah
“Jabir Ibn Abdullah meriwayatkan: kami bersolat bersama Rasulullah pada waktu Zuhur, aku mengengam tanah pada tanganku agar sejuk, kemudian bertukar tangan dan apabila aku bersujud aku akan meletakkannya di tempat sujudku”
1. Sunan al-Nisa’i, Volume 2 ms 204.
2. Sunan al-Bayhaqi Volume 1 ms 439
3. Musnad Ahmad ibn Hanbal, Volume 3 ms 327.
Fatwa Ibnu Taimiyah berkenaan solat di atas kain adalah bidaah.

Ibnu taimiyah mengeluarkan fatwa ini di dalam Majmo Al Fatawa bila ditanya samada karpet di dalam masjid adalah bidaah atau tidak:

Segala puji bagi Allah tuhan sekalian Alam, bersolat di atas kain solat bukanlah Sunnah para golongan Salaf Muhajirin atau Ansar, juga bukan amalan para Tabiin. Malah mereka bersolat diatas tanah didalam masjid, tidak seorang pun dari mereka mengambil kain solat atau sejadah.

Apabila karpet diperkenalkan di Masjid Madinah, Imam Malik mengarahkan agar ia di rampas dan berkata kepada Abdul Rahman ibnu Mahdi:
Sesungguhnya dengarlah! Karpet/sejadah di dalam masjid adalah satu BIDAAH!
dan ini adalah hadis sahih dari Abu Said Al Khudri”
Mujmoo al Fatawa by Ibn Taymeeya Volume 22 ms163

No comments:

Post a Comment