14 03 2012
Mungkin contoh lebih kongkrit adalah
masalah boleh tidaknya orang non-Islam masuk masjid berdasar dalil “innamâ
ya‘muru masâjidallâh…” (yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang
beriman saja)?
JALALUDDIN RAKHMAT: Betul. Untuk
sampai pada kesimpulan begitu kan melalui proses berpikir. Alquran secara tegas
begini: “Sesungguhnya yang memakmurkan mesjid Allah hanyalah orang-orang yang
beriman pada Allah…” Ayat itu sebetulnya berbentuk “berita” saja. Tapi apakah
defenisi “memakmurkan” di situ termasuk di dalamnya kegiatan memasuki masjid?
Terus, ayat itu kan tidak secara eksplisit mengatakan kalau orang kafir tidak
boleh masuk masjid. Di situ, yang dikatakan hanya orang mukminlah yang
memakmurkan masjid.
Konon, katanya ada ‘adât al-taqshîr
(kata yang berfungsi sebagai pembatas), pada kata innamâ (hanya/saja -red).
Kalau ada kata innamâ, itu berarti ada pembatasan. Lalu, ada proses
penyimpulaan dengan mekanisme mafhûm al-mukhâlafah (analogi terbalik -red).
Ahli fikih sampai pada kesimpulan: “Bila dalam redaksinya hanya orang-orang
mukmin yang memakmurkan masjid, maka mafhûm mukhâlafah-nya, yang tidak beriman
tidak boleh memakmurkan masjid. Tapi perlu diingat, dalam Ushul Fikih saja,
pemakaian mafhûm mukhâlafah ini juga polemik di kalangan ulama. Polemik itu
menyangkut apakah ia boleh dijadikan dalil atau tidak? Sebagian ulama
mengatakan tidak boleh. Jadi, dari sini jelas terlihat banyaknya proses
berpikir dalam penyimpulan hukum Islam.
[wawancara Ulil Abshar-Abdalla
dengan Jalaluddin Rakhmat yang disiarkan Radio 68H, Kamis 13 Juni 2002]
No comments:
Post a Comment