13 03 2012
Biasanya
sebagian kelompok yang anti-dialog itu berkelit dengan dalih bahwa apa yang
mereka ungkapkan bukan pendapat pribadi mereka, tapi sejalan dengan yang
tertera dalam Alquran dan hadits. Seolah-olah, orang yang meragukan pendapat
mereka, telah menentang Alquran dan hadits tadi?
JALALUDDIN
RAKHMAT: Mungkin kita harus membedakan antara fikih dengan syariat. Saya
belakangan ini kembali mendalami fikih dan membuat rangkain tulisan yang nanti
akan saya berikan pada Mas Ulil untuk bisa dimasukkan dalam situs islamlib dot
com. Judulnya “Dahulukan Akhlak di atas Fikih!”. Judulnya sederhana saja. Saya
ingin menunjukkan bahwa fikih adalah proses atau hasil pemahaman kita terhadap
Alquran dan Sunnah. Fikih tidak ada yang seratus persen Alquran dan Sunnah.
Fikih, bila dikalkulasikan, mungkin 90 persen adalah pemahaman, sementara 10
persen Alquran dan Sunnah.
Bagaimana
jika ada fikih yang seratus persen Alquran dan Sunnah? Menurut saya, itu bukan
fikih lagi. Maksudnya begini, ketika kita membuka Alquran, lantas berpendapat
bahwa daging babi haram, bagi saya itu bukanlah fikih. Sebab gagasan itu sudah
disebutkan secara eksplisit dalam Alquran: “Hurrimat ‘alaikum al-maitat-u wa
al-dam-u wa lahma al-khinzîr” (diharamkan atasmu (daging) mayat, darah dan
daging babi -red). Alquran sudah menyebut, secara detail kata haramnya, dan
jenis dagingnya secara spesifik. Nah, dalam hal yang seperti itu, saya tidak
akan menentang pendapat Anda, karena itu bukan fikih. Contoh itu seratus persen
nash (teks suci –red). Tapi ada pendapat (misalnya) bahwa bersentuhan dengan
orang kafir yang basah adalah najis, dan mesti mandi. Kesimpulan fikih itu,
tentu saja melalui proses bernalar yang panjang dan ayat Alqurannya sedikit dan
tidak eksplisit: “Innamâ al-musyrikûn najasun” (orang musyrik itu najis).
Pertanyaannya: Apakah yang musyrik itu orang atau tubuhnya atau bila tubuhnya
basah saja? Bagaimana kalau tubuhnya kering? Contoh ini sudah mesti mengalami
proses berfikir atau penalaran. Ada kemungkinan, orang-orang yang dihadapi Mas Ulil
adalah orang-orang yang berpendapat bahwa pendapat mereka itu semata Alquran.
Mereka mungkin akan mengatakan: “Kalau tidak percaya orang musyrik itu najis,
baca dong ayat ini: “Innamâ al-musyrikûn najasun.” Kita bisa bertanya lebih
lanjut: dari mana Anda tahu?
[wawancara
Ulil Abshar-Abdalla dengan Jalaluddin Rakhmat yang disiarkan Radio 68H, Kamis
13 Juni 2002]
No comments:
Post a Comment