Oleh JALALUDDIN RAKHMAT
“Meskipun kebanyakan manusia disibukkan oleh aktivitas hidup yang rutin dan upaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, yang karenanya mereka tidak terlalu memperdulikan masalah-masalah spiritual, sebenarnya di dalam diri manusia terdapat dorongan fitrah untuk mencari Realitas Tertinggi. Pada orang-orang tertentu, dorongan yang tidur dan bersifat potensial ini terbangun dan mewujudkan dirinya sendiri secara terbuka. Inilah yang kemudian mengantarkan mereka pada serangkaian proses penyempurnaan spiritual”.
Setiap orang percaya adanya realitas abadi meskipun masih ada pendapat orang-orang sophis dan skeptis yang menganggap bahwa kebenaran dan realitas hanyalah ilusi dan khayalan. Kadang-kadang, ketika seseorang menyaksikan dengan pikiran yang terang dan jiwa yang suci, Realitas Abadi itu akan nampak meliputi alam semesta dan seluruh makhluk; dan pada saat yang sama, dia akan menyaksikan kesementaraan dan kefanaan elemen-elemen dan bagian-bagian alam ini. Dia mampu merenungi alam dan fenomenanya seperti cermin yang menampakkan bayangan keindahan realitas abadi. Kenikmatan dalam pemahaman realitas ini mengalahkan keindahan-keindahan lain di mata yang melihatnya, bahkan membuat segala sesuatu yang lain menjadi tidak penting dan tidak berarti.
Setiap orang percaya adanya realitas abadi meskipun masih ada pendapat orang-orang sophis dan skeptis yang menganggap bahwa kebenaran dan realitas hanyalah ilusi dan khayalan. Kadang-kadang, ketika seseorang menyaksikan dengan pikiran yang terang dan jiwa yang suci, Realitas Abadi itu akan nampak meliputi alam semesta dan seluruh makhluk; dan pada saat yang sama, dia akan menyaksikan kesementaraan dan kefanaan elemen-elemen dan bagian-bagian alam ini. Dia mampu merenungi alam dan fenomenanya seperti cermin yang menampakkan bayangan keindahan realitas abadi. Kenikmatan dalam pemahaman realitas ini mengalahkan keindahan-keindahan lain di mata yang melihatnya, bahkan membuat segala sesuatu yang lain menjadi tidak penting dan tidak berarti.
Penyaksian ini sama dengan “ketertarikan ilahiah” (jadhbah) di kalangan kaum gnostik yang mengalihkan perhatian orang yang memusatkan dirinya kepada Tuhan semata, untuk berpaling ke alam transenden dan menghidupkan kecintaan kepada Tuhan di dalam hatinya. Karena ketertarikan ini, dia melupakan apapun yang lain. Seluruh keinginan dan harapannya yang beraneka macam hilang dari pikirannya. Ketertarikan ini membimbing manusia pada pemujaan dan pemujian Tuhan Yang Tak Nampak, yang dalam realitas justru lebih terang dan lebih jelas dibandingkan segala sesuatu yang bisa dicapai oleh indra penglihatan dan pendengaran. Ketertarikan batin seperti inilah yang sebenarnya dibawa oleh agama-agama di dunia, yakni agama-agama yang didasarkan pada pemujaan kepada Tuhan.
‘Allamah Thabathaba’i, seorang filosof dan mufasir berpengaruh di kalangan mazhab ahlul bait, menjelaskan di dalam kutipan di atas apa yang kita defenisikan di kalangan akademisi saat ini sebagai “pengalaman mistis”, “pengalaman spiritual”, atau sederhananya “pengalaman religious”. Bagaimana kita bisa mencapai kebahagiaan spiritual ini? Menurut Thabathaba’i, Anda tidak mencapainya. Anda hanya membuka “sebuah alam realitas baru” yang sebelumnya terhijabi. Anda membangunkan hati Anda melalui penyempurnaan ruh, pensucian jiwa, atau setidaknya dengan penjernihan pikiran Anda. Anda berikhtiar untuk memalingkan perhatian Anda dari aktifitas dan kebutuhan sehari-hari kepada dorongan fitrah, yakni dorongan untuk mencari Realitas Tertinggi.
“(Tapi) Anda tidak perlu melakukan itu”, kata ahli syaraf, sekelompok orang yang menghabiskan hidupnya untuk mempelajadi masalah otak, yang secara teknis disebut sebagai sistem syaraf. “Anda bisa sampai pada pengalaman mistis seperti itu ketika otak Anda mengalami kerusakan!” Hal itu terjadi pada Dr Jill Bolte Taylor, seorang ahli anatomi syaraf, pada tanggal 10 Desember 1996. Salah satu pembuluh darah di dalam otaknya pecah dan dia mengalami stroke pada waktu itu. Dia menyebut kejadian itu “stroke saya yang mencerahkan” (my stroke of insight). Presentasinya yang hanya 18 menit membuat hadirin terkagum-kagum pada konferensi TED di Monterey, CA, tanggal 27 Pebruari 2008 ketika dia menceritakan kejadian itu dengan cara yang sangat teatrikal – tepatnya dengan gaya puitis.
Di pagi hari ketika stroke itu terjadi, saya bangun dengan rasa sakit yang sangat menyiksa di belakang mata kiri saya. Rasa sakitnya itu aneh, menusuk, seperti halnya jika Anda mengigit es krim. Sakitnya mencengkeram lalu melepaskan saya. Sakitnya mencengkeram saya lagi, lalu melepaskan saya kembali. Sebenarnya saya jarang merasakan rasa sakit, makanya saya berpikir tidak ada masalah dan saya akan memulai aktifitas rutin saya lagi. Lalu saya bangkit dan melompat ke atas cardio glider saya, sebuah mesin untuk latihan pisik secara keseluruhan. Dan selanjutnya saya terperangkap dalam suatu keadaan yang benar-benar lain. Saya lalu sadar bahwa kedua tangan saya terlihat seperti kuku-kuku makhluk primitif yang mencengkeram bar pegangan cardio glider. Saya berpikir “ini benar-benar luar biasa”. Saya kemudian memandangi bagian bawah tubuh saya dan berpikir, “wow, saya adalah sesuatu yang nampak aneh”. Saat itulah kesadaran saya seolah-olah berpaling dari persepsi normal saya tentang realitas; saya adalah seseorang yang merasakan suatu pengalaman di atas sebuah mesin, berada di suatu ruang esoteris, dimana saya menyaksikan diri saya sendiri merasakan pengalaman ini.
Dan awalnya saya kaget menemukan diri saya sendiri berada di dalam suatu pikiran yang diam. Tetapi kemudian tiba-tiba saya tertarik oleh kekuatan energi di sekeliling saya. Dan karena saya tidak bisa lagi mengenali ciri-ciri tubuh saya sendiri, saya kemudian merasa sangat besar dan mengembang. Saya merasakan semua itu bersama dengan kekuatan energi tadi, dan betapa indahnya berada di tempat itu.
Dan tiba-tiba saja sisi kiri saya kembali normal dan mengatakan kepada saya, “hei, kita dapat masalah, kita dapat masalah, kita harus mencari bantuan”. Rasanya seperti, ya, ya, benar saya sedang dapat masalah, tetapi saya langsung kembali hanyut ke alam sadar dan saya dengan indahnya menyebut tempat ini sebagai Tanah La La. Disana benar-benar indah.
Bayangkanlah bagaimana rasanya benar-benar terputus dari otak Anda lalu terhubung dengan dunia eksternal. Dan disinilah saya, di ruang dimana semua beban pikiran yang berhubungan dengan apapun yang saya lakukan, yang berhubungan dengan kerjaan saya, hilang semuanya. Saya merasakan badan saya lebih ringan. Dan bayangkanlah semua hubungan di dunia eksternal dan apa saja yang menjadi sumber beban yang berhubungan dengan itu semua, akan lenyap. Saya merasakan kedamaian. Bayangkanlah bagaimana rasanya kehilangan beban emosional yang sudah mendera selama 37 tahun! Saya merasa bahagia. Rasa bahagia itu indah – dan kemudian sisi kiri saya kembali normal dan mengatakan, “hei, kamu harus benar-benar serius, kita memerlukan bantuan”. Dan saya bepikir, “saya harus mendapatkan bantuan, saya harus fokus”. Maka saya kemudian keluar dari kamar mandi dan secara mekanis kemudian mengenakan pakaian. Selanjutnya saya berjalan di sekitar apartemen saya. Dan saya berpikir, “saya harus pergi ke tempat kerja, saya harus pergi ke tempat kerja, bisakah saya menyetir mobil? Bisakah saya menyetir mobil?”
No comments:
Post a Comment