Tuesday, October 11, 2011

Neurotheology: Pengalaman Religius Berbasis Otak (2)


28 04 2011
Oleh JALALUDDIN RAKHMAT
Tetapi saya menyadari, “saya masih hidup! Saya masih hidup dan saya mencapai Nirwana. Dan jika saya sudah mencapai Nirwana sementara saya masih hidup, maka itu berarti semua orang yang masih hidup bisa mencapai Nirwana.” Saya menggambarkan suatu dunia yang diisi dengan orang-orang yang rupawan, tenang, penuh kasih sayang, dan cinta; yang mengetahui bahwa mereka bisa sampai ke tempat ini kapan saja. Mereka bisa memilih sesuai keinginan untuk melangkah ke sisi kirinya dan menemukan kedamaian ini. Saya lalu menyadari betapa pengalaman ini bisa menjadi karunia luar biasa, bagaimana stroke yang mencerahkan ini bisa menjadi cara kita memilih bagaimana menjalani hidup. Dan itulah yang memotivasi saya untuk bisa pulih kembali.”

Apa yang dipresentasikan oleh Dr Taylor sebagai “dunia yang diliputi orang-orang rupawan, tenang, penuh kasih sayang, dan perasaan cinta”, sama dengan yang dijelaskan oleh ‘Allamah Thabathaba’i sebagai “keindahan realitas abadi”. Anda memiliki dua alam realitas: dunia pisik dari keterputusan, keberagaman dan keterpisahan; dan alam spiritual dari keterhubungan, kemanunggalan dan penyatuan. Keduanya adalah bagian-bagian yang membentuk Anda seutuhnya. Anda sekarang hidup di alam yang pertama, tetapi Anda memiliki di dalam diri Anda “dorongan batin” untuk menemukan alam yang kedua. Andrew Newberg, seorang ahli syaraf terkenal menjelaskan, “setelah sembuh total, Dr Taylor mengatakan bahwa dia dapat dengan mudah berpindah dari dan ke sisi saintifik dan transenden otaknya. Pengalaman Dr Taylor ini mendukung pendapat bahwa kita semua memiliki kemampuan batin untuk mencapai dua bagian istimewa dari diri kita ini – sebuah pendapat yang didukung oleh riset kita tentang otak di Universitas Pennsylvania.

‘Allamah Thabathaba’i memasukkan diskusi tentang pengalaman religius sebagai bagian dari penjelasannya tentang teologi Islam, menyebutnya sebagai salah satu dari tiga metode pemikiran keagamaan. Beliau menyebut pengalaman keagamaan tersebut sebagai “metode ketiga dari intuisi intelektual atau penyingkapan mistis”. Andrew Newberg mempelajari bagian-bagian otak sebagai dasar bagi adanya pengalaman religius dan kemudian melahirkan ilmu neurotheology. Saya tidak akan membahas masalah pertama dan menyerahkannya kepada pengkaji yang sudah akrab dengan subjek kajian mistisisme Islam. Tulisan ini akan lebih fokus kepada bagian kedua dalam pembahasan yang sederhana, dengan tujuan untuk memperkenalkan neurotheology kepada pemikir-pemikir Islam.

Daripada menyimpan kecemasan dan kecurigaan kepada neurotheology sebagai penodaan terhadap agama yang kita anut, akan lebih baik jika kita bisa melihatnya sebagai argumen pendukung terhadap pemahaman kita tentang pengalaman keagamaan. Pertama-tama, saya akan memberikan penelitian ringkas tentang perkembangan neurotheology, dengan lebih berfokus pada isu-isu tentang pengalaman religius berbasis otak. Dengan kata lain, kita akan melihat bagaimana para saintis mencoba menjawab pertanyaan: apakah otak yang menciptakan Tuhan? Selanjutnya, saya akan menjelaskan pertanyaan kedua: apakah Tuhan yang menciptakan otak?

Apakah Otak yang Menciptakan Tuhan?

Manusia pada zaman kuno menemukan penyakit yang dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman supranatural, kesurupan, atau hal-hal yang bersifat ilahi. Saat ini kita menyebut penyakit tersebut epilepsi. Orang-orang dari zaman kuno itu percaya bahwa penderita penyakit tersebut kemungkinan disebabkan oleh dua hal: diserang oleh setan dan jin, atau disentuh oleh tangan ilahi. Hipokrates (460 – 377 SM), Bapak kedokteran, menolak pendapat ini dan mengatakan bahwa penyakit tersebut “tidak lebih ilahi dan tidak lebih suci dibanding penyakit-penyakit lainnya”. Penyakit tersebut mempunyai sebab alami yang terdapat di dalam otak manusia. Di dalam karyanya yang terkenal “Tentang Penyakit Suci”, Hipokrates menulis komentar tentang psikiatri syaraf yang terpenting sepanjang sejarah: 

“Manusia harus mengetahui bahwa dari otak, dan hanya dari otak saja, lahir semua perasaan bahagia, kenikmatan, tawa dan canda; demikian juga perasaan duka, sakit, kesedihan, dan air mata… dan melalui organ yang sama, kita bisa menjadi gila dan lupa daratan, memiliki rasa takut dan kengerian yang mengganggu kita.

No comments:

Post a Comment