Wednesday, August 3, 2011

Pembuktian Teologis atas Konsep Mahdiisme Menurut Ahlul Bait a.s.

Kode: 224599 Tanggal: 2011/02/06Sumber: www.madinah-al-hikmah.net
print

Pembuktian Teologis atas Konsep Mahdiisme Menurut Ahlul Bait a.s.

Argumentasi teologis atas konsep Mahdiisme terungkap dalam ratusan riwayat yang datang dari Rasulullah yang menunjukkan penentuan Imam Mahdi a.s. dan bahwa beliau dari Ahlul Bait a.s.

Pembuktian Teologis atas Konsep Mahdiisme Menurut Ahlul Bait a.s.
Argumentasi teologis atas konsep Mahdiisme terungkap dalam ratusan riwayat yang datang dari Rasulullah[1] yang menunjukkan penentuan Imam Mahdi a.s. dan bahwa beliau dari Ahlul Bait a.s.[2]
 Dinyatakan juga bahwa beliau adalah dari ke-turunan Fathimah a.s.[3], dari keturunan imam Husain a.s.[4], keturunan ketujuh dari imam Husain a.s.[5], dan bahwa beliau adalah khalifah dan pengganti Rasulullah adalah 12 orang.[6]
Lima kelompok dan kategori riwayat ini,[7] satu sama lain berlomba menjelaskan konsep Mahdiisme dan mendefinisikan Imam Mahdi a.s. Sedang yang perlu dicermati di sana adalah analisis atas hal tersebut dari topik umum ke topik yang lebih khusus sehingga sampai kepada topik penentuan personal.
Sahid Baqir Shadr ra. menggarisbawahi riwayat-riwayat tersebut dan mengatakan: ”Riwayat ini sangat-lah banyak dan tersebar, kendati para imam telah berhati-hati untuk memaparkan konsep ini pada konteks umum, sebagai upaya penyelamatan bagi pelanjut mereka (Imam Mahdi a.s.) dari konspirasi dan pembunuhan”[8].


Selain itu, perlu dipahami bahwa banyaknya riwayat bukan satu-satunya alasan yang cukup untuk menerima konsep ini. Akan tetapi di sana terdapat keistimewaan dan bukti-bukti lain yang menegaskan keabsahannya. Misalnya, hadis Rasulullah yang mulia tentang para imam dan khalifah atau amir setelah beliau dan ihwal mereka berjumlah 12 orang?dengan berbagai perbedaan riwayat yang datang dari jalur yang beragam?telah dihitung oleh sebagian para penulis hingga mencapai lebih dari 270 riwayat,[9] sebuah jumlah yang fantastik, di mana riwayat-riwayat tersebut diambil dari kitab hadis standar, baik dari kalangan Syi’ah maupun Ahli Sunnah, di antaranya Shahih Bukhari[10], Shahih Muslim[11], Sunan Tirmidzi[12], Sunan Abu Daud[13] dan Musnad Ahmad[14] serta Mustadrak Hakim.[15]
Yang menarik di sini, Bukhari yang menukil riwayat ini adalah orang yang hidup sezaman dengan imam Al-Jawad a.s. dan dengan dua imam yang lain; Imam Al-Hadi dan Imam Al-Askari a.s. Ini  merupakan sebuah keunikan yang besar, karena ia berdalil bahwa hadis ini telah dinukil dari Rasulullah sebelum kandungannya terwujud dan sebelum konsep kepemimpinan dua belas Imam itu terjadi di dunia nyata. Tentunya, tidak bisa diragukan lagi, bahwa penukilan hadis ini tidak dipengaruhi oleh kondisi nyata di luar dari dua belas Imam ataupun refleksi darinya, sebab hadis-hadis palsu yang disandarkan kepada Rasulullah adalah cerminan atau justifikasi atas peristiwa yang nantinya akan terjadi di masa depan.

Maka itu, selagi kita memiliki dalil bahwa hadis yang disebutkan tadi telah melalui rentetan sejarah para  Imam dua belas dan tercatat dalam kitab-kitab hadis sebelum menyempurnanya para personnya fakta kedua belas Imam, maka dapat kita tegaskan bahwa hadis ini bukanlah gambaran dari fakta yang terjadi di luar, akan tetapi ungkapan dari hakikat rabbani yang diucapkan oleh orang yang tidak pernah berucap selain wahyu dari Tuhan[16]. Beliau bersabda:
”Sesungguhnya khalifah sepeninggalku adalah dua belas orang”.

Fakta dua belas imam ini telah nyata; diawali oleh Imam Ali a.s. dan diakhiri oleh Imam Mahdi sebagai misdaq (personifikasi) logis dari hadis mulia tersebut.[17]

Muslim telah meriwayatkan dalam Shahihnya dari Qutaibah ibn Said, dari Jabir ibn Samarah, dia berkata:

”Aku datang bertemu dengan Rasulullah bersama ayah-ku, maka aku mendengar beliau bersabda: ‘Sesungguhnya urusan ini (agama Islam) tidak akan berakhir kecuali dua belas khalifah berlalu”. Jabir berkata: “Kemudian beliau bersabda dengan kata-kata yang tidak aku dengar, maka aku bertanya kepada ayahku, apa yang beliau sabdakan? Ayah menjawab semuanya dari bangsa Quraisy.”[18]
Kemudian Muslim meriwayatkan dari jalur Ibnu Abu Umar, dari Abu Umar dari Hadab ibn Khalid, dari Nashr ibn Jahdhami, dan dari Muhammad  ibn Rafi’e; semua dari satu jalur. Dia juga menguatkan riwayat Abu Bakar ibn Abu Syaibah dari dua jalur, dan riwayat Qutaibah ibn Said melalui dua jalur yang lain.
Dengan demikian, terdapat sembilan jalur dari hadis tersebut yang hanya terdapat dalam kitab Sahih Muslim. Belum lagi kalau kita mau membawakan hadis ini dari jalur-jalur yang beragam yang terdapat dalam kitab-kitab hadis yang lain dari mazhab Syi’ah maupun Ahli Sunnah.[19]

Kerancuan Ahli Sunnah Dalam Menafsirkan Hadis
Pertanyaan di sini adalah, siapa mereka para khalifah tersebut? Sebelum memilih jawaban yang benar dari soal ini, kita akan memberikan dua alternatif yang dapat diasumsikan pada hadis itu dan maksud Rasul saw.  darinya. Maka, di sini hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada pilihan ketiga di dalamnya. Kedua kemung-kinan tersebut adalah;
  • 1. Maksud dari sabda Nabi tersebut adalah penjelasan fakta politik umat beliau yang akan terjadi sepe-ninggal beliau, dengan cara penyingkapan akan masa depan. Sebagaimana hal ini juga terjadi dalam berbagai hal yang lain. Dengan demikian maksud hadis ini adalah pemberitahuan beliau akan masa mendatang dan menimpa umat beliau, atau dapat kita istilahkan kemungkinan pertama ini dengan nama tafsir mustaqbali (futurologis).
  • 2. Kemungkinan kedua adalah Nabi bermaksud menentukan kedua belas Imam dan penggantinya, maka tujuan hadis ini adalah pelantikan sesuai dengan tuntutan syariat bukan kabar akan masa mendatang. Kemungkinan ini disebut juga sebagai tafsir aqaidiyah (teologis).
Sejauh kajian ilmiah, kita dituntut untuk mencermati  dua kemungkinan ini dan memilih apa yang sesuai dengan bukti logis maupun dogmatis. Hanya saja, karena Ahli Sunnah sejak awal telah meyakini teori khilafah dan  menolak teori pelantikan serta membangun sistem akidah dan hukumnya di atas keyakinan ini, pada gilirannya mereka tidak menemukan alternatif selain kemungkinan atau tafsiran pertama, dan dengan segala cara berupaya menakwilkan apa-apa yang bertentangan dengannya. Kendati produk-produk penakwilan mereka itu jauh dari nalar yang lurus dan kearifan insani, namun demikian ini adalah konsekuensi yang tak terelakkan.
Semestinya, Ahli Sunnah memandang hadis ini secara ilmiah dan bebas dari asumsi sehingga kita dapat melihat kelemahan tafsir futuralistik itu. Maka, jika Nabi saw. bermaksud menjelaskan ihwal kejadian di masa depan, mengapa beliau hanya menentukan dua belas orang saja? Bukankah masa depan itu lebih panjang   dari sekedar jumlah dua belas pemimpin? Dan jika Rasulullah melihatnya dengan kaca mata khilafah yang sah yang sesuai dengan norma-norma syariat, maka  Ahli Sunnah tidak akan siap untuk meyakini Khulafa Rasyidin dan menolak legalitas kepemimpinan selain mereka. Oleh karena itu, mereka kebingungan dalam menentukan dua belas pribadi pengganti yang telah disinggung oleh Rasulullah saw.
Sejalan dengan ini, maka dua belas imam atau pemimpin?menurut Ibnu Katsir?adalah keempat khalifah awal, lalu Umar ibn Abdul Aziz, dan sebagian khalifah dari dinasti Abbasiyah, di mana Imam Mahdi yang dijanjikan berasal dari mereka.[20]
Menurut Qadhi Damaskus, mereka adalah Khulafa’ Rasyidin, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya (Walid, Sulaiman, Yazid dan Hisyam), dan diakhiri oleh Umar ibn Abdul Aziz[21].
Menurut Waliyyullah, seorang Ahli Hadis dalam kitab Qurratul ‘Ainain, sebagaimana dinukil dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, mereka adalah empat khalifah pertama muslimin, Abdul Malik ibn Marwan dan keempat anaknya, Umar ibn Abdul Aziz, Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik. Kemudian Waliyyullah menukil dari Malik ibn Anas seraya memasukkan Abdullah ibn Zubair ke dalam dua belas orang tersebut, akan tetapi dia menolak perkataan Malik dengan dalil riwayat dari Umar dan Ustman dari Rasulullah saw. yang menunjukkan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Abdullah ibn Zubair adalah sebuah bencana dari sederet malapetaka yang diderita umat Islam. Ia juga menolak dimasukkannya Yazid dan menegaskan, bahwa dia adalah sosok yang berperilaku bejat.[22]
Ibnu Qayim Jauzi mengatakan: “Sedangkan jumlah khalifah itu dua belas orang; sekelompok orang yang di antaranya; Abu Hatim, Ibnu Hibban dan yang lain mengatakan bahwa yang terakhir dari mereka adalah Umar ibn Abdul Aziz. Mereka menyebut khalifah empat pertama, Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, dan khalifah yang kedua belas Umar ibn Abdul Aziz. Khalifah yang terakhir ini wafat pada tahun seratus Hijriyah; di abad pertama dan paling awal dari abad-abad kalender Hijriah manapun, pada abad inilah agama  berada di puncak kejayaan sebelum terjadi apa yang telah terjadi”.[23]
Nurbasyti mengatakan: ”Cara terbaik memaknai hadis ini adalah menerapkan maknanya pada mereka yang adil, karena pada dasarnya merekalah yang berhak menyandang gelar sebagai khalifah, dan tidak mesti mereka memegang kekuasaan, karena yang dimaksud dari hadis adalah makna metaforis saja. Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Mirqat”.[24]
Dan menurut Maqrizi, jumlah dua belas imam adalah khalifah empat pertama dan Hasan cucunda Nabi saw.  Ia mengatakan: “Dan padanya (Imam Hasan a.s.), masa khalifah rasyidin pun berakhir”. Maqrizi tidak memasukkan satu pun dari penguasa dinasti Umawiyah. Masih menurut penjelasannya, khilafah setelah Imam Hasan a.s. telah menjadi sistem kerajaan yang di dalamnya telah terjadi kekerasan dan kejahatan. Lebih lanjut, ia juga tidak memasukkan satu penguasa pun dari dinasti Abbasiyah, karena pemerintahan mereka telah memecah belah kalimat umat dan persatuan Islam, dan membersihkan kantor-kantor administrasi dari orang Arab lalu merekrut bangsa Turki. Yaitu, pertama-tama bangsa Dailam memimpin, lalu disusul bangsa Turki yang akhirnya menjadi sebuah bangsa yang begitu besar. Maka, terpecahlah kerajaan besar itu kepada berbagai bagian, dan setiap penguasa suatu kawasan mencaplok dan menguasainya dengan kekerasan dan kebrutalan.[25]
Dengan demikian, tampak jelas bagaimana kebingungan madrasah Khulafa’ (Ahli Sunnah) dalam menafsirkan hadis tersebut; mereka tidak sanggup keluar dari keadaan ini selagi berpegang pada tafsir futuralistik itu.
Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuthi mengatakan: ”Sampai sekarang, belum ada kesepakatan dari umat Islam mengenai setiap pribadi dua belas imam.”[26]
Oleh karena itu, jika tafsir futuralistik tersebut memang benar dan sesuai dengan kenyataan, maka pertama kali yang akan mengimaninya adalah para sahabat nabi, bukan yang lain, dan kita akan mendengar dampaknya secara langsung dari para khalifah itu sendiri. Khalifah pertama akan mengatakan, akulah khalifah pertama dari dua belas khalifah, khalifah  kedua juga demikian, begitu pula khalifah ketiga hingga khalifah kedua belas. Tentunya, pengakuan senada ini akan menjadi kebanggaan dan bukti yang mendukung legalitas kedaulatan setiap khalifah. Namun, sejarah tidak pernah mencatat satu pengakuan pun dari nama-nama khalifah yang telah disebutkan di atas itu.
Kemudian, hadis juga mengatakan bahwa masa kepemimpinan mereka adalah mencakup sepanjang sejarah Islam hingga akhir gugusannya; di mana dunia akan hancur ketika mereka sudah tidak ada lagi di muka bumi. Ahli Sunnah meriwayatkan dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda:
”Agama ini akan senantiasa tegak dan langgeng selama ada kedua belas pemimpin dari bangsa Quraisy. Tatkala mereka tiada, dunia akan hancur lebur.”[27]
Di samping bukti sejarah, kita juga melihat dunia belum hancur kendati Umar ibn Abdul Aziz itu telah mati. Bahkan setelah ketiadaannya, ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu agama  berkembang pesat, seperti fikih, hadis dan tafsir di abad ketiga dan keempat Hijriah. Lebih dari itu, dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu keislaman berkembang dan menyebar setelah meninggalnya dua belas imam versi  Ahli Sunnah, sementara dunia masih saja tidak hancur lebur.
Diriwayatkan juga dari Jabir ibn Samarah:
”Umat ini akan tetap tegar menjalankan agamanya, menaklukkan para musuhnya sehingga dua belas khalifah berlalu; mereka semua dari bangsa Quraisy, kemudian tibalah  kekacauan yang dahsyat.”[28]
Jika maksud dari al-maraj dalam hadis itu  kegalauan dan kemelut, maka ini seharusnya tidak terjadi sampai masa Umar ibn Abdul Aziz. Sejarah juga mencatat, tidak ada cobaan dan fitnah, kemelut yang sangat dahsyat, kekacauan antara hak dan batil yang lebih besar dari tampilnya Muawiyah sebagai khalifah kaum muslimin. Ini berarti bahwa maksud dari al-maraj ialah kegalauan terbesar dan kemelut akbar. Dan boleh jadi maksudnya adalah ditinggalkannya agama secara total. Tak syak lagi, kekacauan ini tidak akan terjadi kecuali saat Hari Kebangkitan telah dekat; yaitu kekacauan yang didahu-lui oleh kemakmuran yang dibawa oleh Imam Mahdi a.s.
Kemudian, apa maksud mereka memasukkan para raja ke dalam kategori khalifah kaum muslimin, padahal telah diriwayatkan oleh Ahli Sunnah dari Sa’ad ibn Abi Waqash; satu dari sepuluh sahabat pemberi harapan dan seorang juru runding yang telah ditentukan oleh Umar, bahwa ia pernah menemui Muawiyah setelah, sementara ia juga orang yang terlambat berbaiat kepadanya, dan berkata: ”Salam sejahtera kepada rajaku!” Muawiyah menjawab: “Kenapa bukan orang lain? Kalian adalah hamba yang mukmin, dan akulah Amiril Mukminin kalian”. “Memang demikian kalau kita menerimanya, dan kita juga disebut sebagai orang-orang yang beriman, hanya saja kami tidak mengangkatmu sebagai Amirul Mukminin”.
Aisyah juga telah menolak klaim Muawiyah sebagai khalifah. Begitu pula Ibnu Abbas dan Imam Hasan a.s. melakukan hal yang sama. Bahkan, setelah perdamaian beliau dengannya,[29] Muawiyah adalah satu dari sekian manusia zalim yang disepakati umat, karena sabda nabi:
”Wahai Ammar! kamu akan dibunuh oleh golongan yang zalim”.
Kami juga tidak memahami kenapa orang zalim menjadi khalifah Rasul saw. atas umat Islam?!  Lalu, apa maksud mereka memasuk-masukkan anak Muawiyah; Yazid yang secara terbuka menyatakan maksiat dan kezaliman-nya, menginjak-injak kehormatan dan hukum Allah swt.?! Ini adalah hal yang sangat mengherankan sekali; bagaimana mungkin kaum muslimin menerima orang yang telah menumpahkan darah Ahlul Bait Nabi saw., orang yang bala tentaranya menghancurkan kota Madinah Munawwarah dan membantai sekitar sepuluh ribu penduduknya sehingga tidak tersisa lagi pejuang perang Badar setelah tragedi “Al-Hirrah”, lalu tetap saja diperkenalkan sebagai khalifah Rasulullah saw.?! Dan begitulah halnya dengan para penguasa yang menurut Al-Quran sebagai pohon yang terlaknat.
Rasulullah juga pernah melihat mereka dalam mimpinya?dan kita ketahui mimpi para nabi itu benar dan jujur sejujur sinar surya di pagi hari?bahwa mereka (pohon terkutuk tersebut) akan bertengger dan bergelantungan di mimbar beliau layaknya monyet-monyet. Demikian ini sesuai pendapat mayoritas ahli tafsir dari Ahli Sunnah, yaitu ketika mereka menafsirkan ayat ke-60 dari surat Al-Isra’, tanpa perlu dibawakan redaksi pernyataan mereka secara detail.
Dengan demikian, akan tampak jelas bagi kita tiga poin penting dan jelas berikut ini:
  • a. Kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas orang imam.
  • b. Faktor dan motif politis yang memaksa dan mengarahkan Ahli Sunnah kepada tafsir tersebut.
  • c. Kebenaran tafsir teologis yang menjelaskan pelantikan Rasulullah saw. atas dua belas imam kaum muslimin. Tafsir ini bersandar pada dalil logis, quranik serta hadis yang banyak sekali dan sering kita jumpai dalam pusaka ajaran para imam, yang kuno maupun yang terbaru, di berbagai bidang tafsir, hadis, kalam dan sejarah.
Selain itu, sejarah tetap bersikeras bahwa dua belas imam dari Ahlul Bait a.s. adalah manifestasi tunggal yang tak terbantahkan dari hadis tersebut, walaupun hanya melalui pengakuan tegas. Mereka diawali oleh Amirul Mukminin Ali ibn Abi Tahlib a.s. dan diakhiri oleh Imam Zaman, Al-Mahdi Al-Muntadzar a.s.
Dalam hal ini, telah banyak hadis mulia yang tak terhitung jumlahnya, yang menunjukkan manifestasi tersebut. Di sini, kami akan menyebutkan satu di antara hadis-hadis itu, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Juwaini As-Syafi’i dalam kitab Faraidus Samthain, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah saw.; beliau  bersabda:
”Aku adalah penghulu para nabi, dan Ali ibn Abi Thalib penghulu para washi (khalifah), dan washi-washi setelahku berjumlah dua belas; yang pertama Ali ibn Abi Thalib, dan yang terakhir Al-Mahdi.”[30]
Atas dasar ini, sebagian para peneliti[31] mengasumsikan bahwa apa yang telah tertera dalam kitab-kitab hadis?yang menyebutkan bahwa tatkala Jabir ibn Samarah tidak mendengar dan tidak memahami sabda Nabi saw. kemudian bertanya kepada ayahnya yang segera  memberi jawaban, bahwa Rasulullah bersabda: ”Semuanya dari bangsa Quraisy”?telah mengalami tahrif dan penyensoran terhadap jawaban sang ayah. Demikian pula, sebagian riwayat telah membongkar sebab ketaktegasan jawaban tersebut, misalnya; “Lantas kaum muslimin yang hadir di sana gaduh dan berbicara satu sama lain”, atau “Orang-orang berteriak”, atau “Rasulullah mengatakan sesuatu yang membuat manusia hingga menulikan telingaku”, atau “Kemudian manusia berteriak sehingga aku tidak mendengar yang disab-dakan Nabi”, atau “Manusia bertakbir dan berteriak”, atau “Tiba-tiba orang-orang berdiri dan duduk”.
Semua sebab-sebab ketaktegasan jawaban itu tidak sesuai dengan apa yang didengar oleh perawi, karena penetapan kepemimpinan pada bangsa Quraisy adalah pernyataan yang mudah dan tidak perlu diteriakkan dan diherankan. Maka dari itu, apa yang sesuai dengan kondisi yang kita gambarkan dalam riwayat ialah bahwa kepemimpinan ilahi itu adalah kewenangan kelompok tertentu, bukan pada bangsa Quraisy secara umum. Inilah yang telah dibawakan oleh Al-Qanduzi dalam kitab Yanabiul Mawaddah. Di sana, ia menegaskan bahwa kalimat yang disabdakan oleh Rasulullah saw. menyata-kan bahwa semua pemimpin itu dari Bani Hasyim.[32]
Maka, tatkala tampak kesalahan tafsir pemberitaan futuralistik atas hadis kepemimpinan dua belas imam dari satu sisi, dan tampak kebenaran tafsir teologis dari sisi kedua, serta tampak nama Al-Mahdi dalam silsilah dua belas imam Ahlul Bait a.s. sebagai Imam Kedua Belas yang dengannya Allah swt. memperbaiki dunia setelah kehancurannya dari sisi ketiga, tentu tidak ada keraguan lagi mengenai validitas konsep Mahdiisme yang ditekankan oleh mazhab Ahlul Bait a.s. lantaran adanya relasi yang sangat erat antara prinsip Imamah Dua Belas Imam dan konsep Mahdiisme; di mana relasi ini memperlihatkan tiga poin di atas itu dari dalam konsep Mahdiisme.
Sesungguhnya kegagalan tafsir futuralistik atas prinsip Imamah Dua Belas Imam berarti juga kegagalan  tafsir demikian ini atas konsep Mahdiisme, sebagaimana kebenaran acuan politis pada tafsir ini mengenai prinsip Imamah Dua Belas Imam merupakan kebenaran acuan tersebut sekaitan dengan konsep Mahdiisme. Sebab, selain kalangan Ahli Sunnah memandang hadis ‘Khilafah Itsna Asyariyah’ sebagai pemberitaan masa depan berdasarkan teori Saqifah dan Khilafah serta legalitasnya, mereka juga memandang perlunya meletakkan konsep Mahdiisme dalam kerangka tafsir futuralistik sebagai upaya menghindari konsekuensi dari hak kepemimpinan Ahlul Bait a.s. dan dari ilegalitas sistem khilafah.
Tentu sebaliknya juga benar, bahwa terbuktinya kebenaran tafsir teologis atas hadis ‘Imamah Itsna Asyariyah’ berarti juga terbuktinya kebenaran muatan teologis dari konsep Mahdiisme.[]

[1] Lihat Mu’jam Imam Mahdi a.s., juz 1 hadis-hadis Nabi saw.

[2] Musnad Imam Ahmad juz 1, hal. 84, hadis ke-646 dan Ibnu Abi Syaibah juz 8 hal. 678, kitab ke-40, bab 2, hadis ke-90, Ibnu Majah dan Naim ibn Hamad di dalam fitnah-fitnah tentang Imam Ali a.s. berkata: “Rasulullah saw. bersabda: ‘Imam Mahdi dari kami Ahlul bait di mana Allah akan menyiapkan segalanya dalam semalam”. Lihat Sunan Ibnu Majah 2/ 1367, hadis ke-4085, Al- Hawi lil fatawa, karya As-Suyuthi: 2/213,  215. Di sana juga disebutkan, bahwa Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah dan Abu Daud meriwayatkan dari Imam Ali a.s. dari Nabi saw.; beliau bersabda: “Jika zaman sudah tak tersisa lagi kecuali satu hari saja, maka Allah akan mengutus seorang hambanya dari Ahlul baitku yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilan seperti telah dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman.” Lihat Shahih Sunan al- Mustafa 2/207. Lihat juga Mu’jam Hadis Imam Mahdi: 1/147 dan setelahnya, di mana telah dinukil riwayat yang begitu banyak dari kitab-kitab Ash-Shihah dan musnad dengan kandungan seperti ini.
Lihat juga Ensiklopedia Imam Mahdi a.s. karya Mahdi Faqih Imani, juz pertama. Di sana terdapat penukilan dari puluhan kitab-kitab ulama Ahli Sunnah dan para Ahlul Hadis tentang Imam Mahdi a.s.  dan sifat-sifatnya dan apa yang berkaitan dengannya, di sana juga terdapat artikel yang telah dikopi dari keterangan Syeikh Al-‘Ibad tentang hadis-hadis yang dan karya-karya ihwal Imam Mahdi a.s.
[3] Al-Hawi lil fatawa, Jalaludin As-Suyuthi; juz 2 hal. 214, dia berkata: “Abu Daud, Ibnu Majah, Thabrani, dan Hakim dari Ummi Salamah; beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Mahdi dari Itrahku dari keturunan Fatimah.” Lihat Sahih Sunanul Musthafa, karya Abi Daud: juz 2 hal. 208, dan Sunan Ibnu Majah: juz 2/1378 hadis ke-4086.  
[4] ‘Hadisul Mahdi min Durriyatil Husain a.s., sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber berikut ini, juga dinukil oleh Mu’jam Hadis Mahdi, dan itu 40 hadis dari Abu Nu’aim, Al-Isfahani sebagaimana disebutkan oleh ‘Aqdu Ad-Durar, Muqaddisi Syafii. Thabrani juga meriwayatkan dalam Al-Ausath seperti yang dinukil al-Manarul Munif karya Ibnu Qayyim, dan di Sirah Halabiyah juz 1 hal. 193, dan di Al-Qaul Al-Mukhtashar, Ibnu Hajar Al-Haitsami. Lihat Muntakhabaul Atsar, Syeikh Luthfullah Ash-Shafi tentang apa yang ia nukil dari kitab-kitab Syi’ah. Lihat pula dalil-dalil kelemahan riwayat yang mengatakan bahwa beliau dari keturunan Imam Hasan a.s., kitab Sayyid Al-‘Amidi, Difa’ ‘Anil Kafi; juz 1, hal. 296.
[5] Lihat riwayat yang menandaskan bahwa beliau keturunan ke-tujuh dari Imam Husain a.s. di Yanabi’ul Mawaddah, Al-Qanduzi Al-Hanafi, hal. 492, Maqtalul Imam Husain  as Kharazmi juz 1 hal. 196, Faraidu Simthain Juwaini Syafii; juz 2 halaman 310-315, hadis-hadis dari 561-569, lihat pula Muntakhabul Atsar karya Ash-Shafi, di saat ia meriwayatkan dari dua jalur.

[7] Hadis “Para pengganti setelahku berjumlah dua belas orang, kesemuanya dari bangsa Quraisy”, atau hadis “Agama ini senan-tiasa akan langgeng dengan keberadaan 12 pemimpin yang berasal dari suku Quraisy” adalah mutawatir, dan diriwayatkan oleh kitab-kitab Shahih dan Musnad dengan berbagai jalan, kendati terdapat perbedaan sedikit dari sisi kandungannya. Memang mereka berbeda pendapat dalam penafsirannya dan tampak  kebingungan. Lihat Sahih Bukhari; juz 9, hal. 101, Kitabul Ahkam – bab ‘Al-Istikhlaf’, Sahih Muslim juz 6, halaman 4 kitab ‘Al-Imarah’, bab ‘Al-Istikhlaf’, Musnad Ahmad juz 5 hal. 90, 93 dan 97. 
[8] Lihat Al-Gaibah Kubra, Sayyid Shadr: hal. 272, dan seterusnya.
[9] Lihat At-Tajul Jami’ lil Ushul: juz 3 halaman 40. dia berkata
[10] Shahih Bukhari, jild 3: 9/101, kitab ‘Al-Ahkam, bab Al-Istikhlaf’, cetakan Dar- Ihya’ Turats Al-Arabi, Beirut.
[11] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[12] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[13] Lihat At-Tajul Jami’ lil Usul 3/40.
[14] Musnad Ahmad; 6/ 99 hadis ke 20359.
[15] Al-Musatadrak: 3/ 618.
[16] Hal ini sesuai dengan firman Allah:”dia tidak pernah berbicara atas dasar hawa nafsu, akan tetapi wahyu semat”. An-Najm 3-4.
[17] Para ulama merasa kebingungan dalam menerapkan hadis tersebut, dan apa yang mereka bawakan dari person-person tidak dapat diterima, bahkan sebagian tidak masuk akal sama sekali seperti dimasuk-masukkannya Yazid putra Muawiyah orang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan dan kefasikan, orang yang divonis sebagai murtad, kafir atau mereka yang selevel dengannya.
[18] Sahih Muslim: 6 / 3 kitab ‘Al-Imarah’.
[19] Lihat Sahih Bukhari 4: 164, kitab Al-Ahkam, bab Istiklaf, Musnad Ahmad: 6/94, hadis ke-325, 20366, 20367, 20416, 20443, 20503, 20534, Sunan Abi Daud 4:107  4279-4280, Al-Mu’jamul Kabir, Thabrani : 2/238/1996, Sunan Tirmizi: 4/501, Mustadrak Hakim : 3/618, Hilyatul Auliya, Abu Nu’aim: 4/333, Fathul Bari: 13/211, Syarah Sahih Muslim karya Nawawi: 12/201, Al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir: 1/153, Tafsir Ibnu Katsir: 2/24 –dalam menafsirkan ayat ke-12 dari surat Al-Maidah, kitab Suluk fi Duali Muluk, Al-Maqrizi: 1/13–15 pada bagian pertama, Syarah Hafiz Ibnu Qayim Jauzi atas Sunan Ibnu Daud: 11/363, Syahrul Hadis 4259, Syarhul Aqidah Ath-Thahawiyah: 2/736, Al-Hawi lil Fatawa, As-Suyuti: 2/85, ‘Aunul Ma’bud, Syarh Abi Daud, Al-‘Adhim Abadi: 11/362, Syarhul Hadis 4259, Misykatl Mashabih, At-Tabrizi: 3/327, 5983, As-Silsilatu Sahihah, Al-Albani, hadis ke-376, Kanzul Ummal: 12/32, 33484 dan 12/33/33858 dan 12/34/33861. Hadis ini juga diriwayatkan oleh para tokoh hadis Syi’ah. Di antara mereka adalah Syeikh Shaduq ra. dalam Kamaluddin, 1:172, Al-Khishal, 2:469 dan 475, dan telah diperiksa jalur-jalur hadis ini secara cermat, di mana para perawinya dari kalangan sahabat yang disebutkan dalam Ihqaqul Haq: 13/1-50.
[20] Tafsir Al-Quran Karim, Ibnu Kasir: 2/34, saat menafsirkan ayat ke 12 dari surah Maidah.
[21] Syarhul Aqidah Thahawiyah, Qadhi Damaskus: 2 / 736.
[22] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/246, pada pen-jelasan hadis 427, kitab ‘Al-Mahdi’, cet. Darul Kutub ‘Ilmiyah.
[23] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud:11/245.
[24] ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunani Abi Daud: 11/244.
[25] As-Suluk lima’rifati Dualil Muluk: 1 / 13-15 bagian pertama.
[26] Al-Hawi lil Fatawa: 2/85.
[27] Kanzul Ummal: 12.34, hadis ke-33861, diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Anas.
[28] Kanzul Ummal: 12 / 32, hadis 32848.
[29] Lihat Al-Ghadir, Allamah Amini: 1/ 26-27.
[30] Faraidus Samthain: 2/313, hadis ke-564.
[31] Al-Ghadir wa Mu’aridhun, Sayyid Ja’far Murtadha Al-‘Amili:70-72.
[32] Yanabi’ul Mawaddah: 3/104, bab 77.

No comments:

Post a Comment