Tuesday, June 14, 2011

POLEMIK HADIS GHADIR


Pendapat Wahabi tentang hadis Al-Ghadir Dan Jawaban

Alhamdulillah masih ada pendapat yang sesuai dengan pandangan Ahlul bait (sa) tentang sebab-sebab turunnya ayat ini (Al-Maidah: 67). Orang-orang Quraisy telah menyebarkan usaha-usaha mereka dan menjungkir-balikkan landasan-landasan yang kokoh agar kaum muslimin tidak mengenal masalah Imamah dan kekhalifahan pasca Nabi saw.

Karena itulah, kita jumpai kaum nashibi (orang-orang yang membenci Ahlul Bait s.a) sangat membenci dan menolak keberadaan hadis Al-Ghadir, hadis tentang sebab-sebab turunnya ayat ini dan ayat-ayat imamah lainnya. Mereka sangat berkeinginan hadis ini dan yang lainnya tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis yang shahih dan kitab-kitab rujukan Ahlussunnah. Kami melihat mereka berusaha keras melakukan kajian ilmiah berdasarkan Al-Qur’an dan hadis-hadis muttaqun alayh, kemudian menyerang dan mengecam ulama-ulama dan para pengikut Ahlul bait (sa). Kemudian mereka berusaha keras meniadakan dan mengeluarkan hadis-hadis tersebut dari kitab-kitab rujukan Ahlussunnah.

Syeikh Albani mengatakan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahih 5: 644:

Nabi saw dijaga dari bahaya manusia sehingga ayat ini turun: “Allah menjagamu dari bahaya manusia.” Kemudian mengeluarkan kepalanya dari kubah sambil berkata: “Wahai manusia, pulanglah aku telah dijaga oleh Allah.”

Hadis ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi Shahih Tirmidzi 2: 175, Ibnu Jarir 6: 199 dan Al-Hakim 2: 3, dari jalur Harits bin Abid dari Said Al-Jariri, dari Abd bin Syaqiq dari Aisyah. Aisyah mengatakan: Lalu Nabi saw menyebutkannya (hadis ini).

Tirmidzi mengatakan: Hadis ini hadis gharib. Sebagian ahli hadis meriwayatkan hadis ini dari Al-Jariri dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata: Nabi telah dijaga…dan mereka tidak menyebutkannya. Hadis ini bersumber dari Aisyah.

Tirmidzi mengatakan: ini benar, karena Harits bin Abid yaitu Abu Qudamah Al-Ayadi daya hafalannya lemah. Ini dinyatakan oleh Al-Hafizh dengan pernyataannya: Dia jujur tapi salah.

Pernjelasan Tirmidzi berbeda dengan yang lain, antara lain Ismail bin Aliyah. Ia mengatakan: Harits bin Abid adalah tsiqqah, kuat dan dapat dipercaya hafalannya. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dengan dua sanad antara lain dari Al-Jariri, sebagai hadis mursal.

Tirmidzi mengatakan: Hadis ini shahih mursal; adapun pendapat Al-Hakim tentang sanad hadis ini yang berujung pada Aisyah: sanadnya shahih tapi ditolak, kami tidak menyebutkannya walaupun ia diikuti oleh Adz-Dzahabi.

Memang, hadis ini shahih, karena hadis ini mempunyai bukti dari hadis Abu Hurairah, ia berkata: Ketika Rasulullah saw berhenti di suatu tempat, mereka (para sahabat) melihat pohon yang paling besar lalu mereka berharap Nabi saw berhenti, lalu beliau berhenti di bawah pohon itu juga para sahabatnya. Ketika berada di bawah pohon itu, beliau menggantungkan pedangnya di pohon itu, lalu datanglah orang arab badui dan mengambil pedang dari pohon itu kemudian mendekati Nabi saw yang sedang tidur, lalu ia membangunkan beliau dan berkata: Wahai Muhammad, siapakah yang akan menghalangimu dariku malam ini? Nabi saw menjawab: Allah. Kemudian Allah menurunkan ayat ini: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjagamu dari bahaya manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 67)

Riwayat ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Mardawaih sebagaimana yang disebutkan oleh tafsir Ibnu Katsir 6:198, dari dua jalur: dari Hammad bin Salamah dan Jabir, juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.

Riwayat ini mempunyai dua bukti yaitu riwayat dari Said bin Jubair dan Muhammad bin Ka’b Al-Qarazhi sebagai hadis mursal.

Ketahuilah! Orang-orang syiah mengira ada perbedaan tentang hadis-hadis tersebut, bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir Khum, tentang Ali (ra). Mereka menyebutkan sejumlah hadis mursal dan sangat lemah. Antara lain hadis dari Abu Said Al-Khudri, yang telah dinyatakan tidak shahih oleh hasil penelitian tentang hadis-hadis dhaif (4922). Dan riwayat-riwayat yang disebutkan oleh Abdul Husein Asy-Syi’i dalam kitabnya Al-Murajaat: 38, tanpa satu penelitian terhadap satupu sanadnya. Dan ini kebiasaan dia dalam menyebutkan hadis-hadis dalam kitabnya. Karena ia hanya mengumpulkan semua hadis yang menguatkan mazhabnya, baik hadis itu shahih maupun tidak shahih. Kaidah orang-orang syi’ah: Tujuan menganggap baik wasilah! Karena itu, ia dan riwayat-riwayat hadisnya harus diwaspadai. Bukan hanya itu, bahkan ia menipu para pembaca walaupun harus berdusta. Dalam bab tertentu ia mengutip hadis dari Abu Said, itu batil dan dusta: Hadis ini diriwayatkan tidak hanya oleh seorang penyusun kitab-kitab hadis seperti Imam Al-Wahidi…!

Sisi kedustaannya: Mereka yang pemula pun tentang ilmu tahu bahwa Al-Wahidi tidak tergolong pada penulis kitab-kitab hadis yang empat. Dia hanya seorang mufassir yang meriwayatkan hadis-hadis, yang sanadnya shahih dan tidak shahih. Dan hadis Abu Said ini termasuk hadis yang tidak shahih. Ia meriwayatkan dari jalur yang sangat lemah sebagaimana kelemahan itu nampak dalam penjelasannya.

Inilah kebiasaan orang-orang syiah dari dulu hingga sekarang. Mereka berdusta atas nama Ahlussunnah dalam kitab-kitab dan ceramah-ceramah mereka. Karena itu, orang yang paling mengetahui tentang mereka yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: Syiah adalah golongan yang paling pendusta, saya mengetahui kedustaan mereka dari sebagian kitab-kitabnya, terutama Abdul Husein ini …

Yang lebih berdusta darinya adalah Khumaini. Ia menjelaskan dalam kitabnya bahwa ayat ‘Ishmah (ayat ini) turun pada hari Ghadir Khum tentang Imamah Ali bin Abi Thalib, dengan pengakuan Ahlussunnah dan kesepatan syi’ah. Dalam hal ini saya akan menambah penjelasan tentang kelemahan mereka, insya Allah. (selesai)

Jawaban:
Kami ingin mengatakan kepada seorang pembahas seperti Syeikh Albani:

Pertama: Tinggalkan kecamanmu, penyebaran hukummu, dan pengklasifikasianmu tentang orang yang paling jujur dan yang paling berdusta dari golongan ummat Islam. Karena di kalangan sunni dan syi’i terdapat bermacam-macam manusia. Tapi nashibi (orang-orang yang membenci Ahlul bait Nabi saw) punya hukum tersendiri.

Jangan lupa wahai pembahas, Ibnu Taimiyah yang tidak bersikap adil terhadap Ali bin Abi Thalib (sa) ia juga tidak bersikap adil terhadap pengikutnya. Kami berterima kasih Anda mengakui kebenaran: Anda telah membela Ali bin Abi Thalib (sa) dan menolak kezaliman Ibnu Taimiyah dan keingkarannya terhadap hadis Al-Ghadir: “Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya.” Kemudian Anda menyatakan hadis ini adalah shahih, kemudian Anda mencatatnya dalam kitabmu tentang hadis-hadis yang shahih 5: 330, no: 1750. Kemudian Anda mengatakan dalam halaman 344: Setelah aku mengetahui hadis ini, maka aku terdorong untuk menyampaikan pendapat secara merdeka tentang hadis ini dan keterangan keshahihannya: Aku melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah mendhaifkan baris yang pertama hadis ini, dan mendustakan baris yang terakhir! Dalam hal ini Ibnu Taimiyah telah berlebihan mengambil kesimpulan, terlalu cepat mendhaifkan hadis-hadis sebelum mengumpulkan sanad-sanadnya dan menelitinya secara mendalam. Allah adalah Tempat memohon perlindungan.

Adapun apa yang disebutkan oleh syiah tentang hadis ini dan lainnya, bahwa Nabi saw bersabda tentang Ali (ra): “Sesungguhnya ia adalah khalifahku sesudahku,” tidak shahih dari beberapa sisi, bahkan kebatilan mereka banyak, ini ditunjukkan oleh realitas sejarah tentang kedustaannya. Sekiranya benar Nabi saw menyabdakan hadis itu, niscaya itu menjadi kenyataan, karena beliau bersabda sesuai dengan wahyu, sementara Allah tidak mengingkari janji-Nya!! (selesai).

Kami mengamati bahwa Syeikh Albani akhirnya juga gegabah, menjadikan berita syar’i sebagai berita ghaibiyah. Dua hal ini jelas berbeda. Jika ia telah mengakui keshahihan hadis Al-Ghadir, dan mengokohkan hukumnya: “Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya”, sebagai wahyu dari Allah saw, maka wajib baginya dan kaum muslimin menjadikan Ali sebagai pemimpin mereka.

Tetapi hal itu tidak menjadi kenyataan, bahkan mereka menyerang rumah Ali dan Fatimah (sa) pada hari kedua atau ketiga dari wafatnya Rasulullah saw, mereka mengancam membakar rumahnya jika keduanya tidak keluar dan tidak berbaiat. Kemudian mereka memaksa Ali untuk berbaiat, dan ini peristiwa ini masyur dalam kitab-kitab sejarah, misalnya di dalam:

1. Tarikh Ya’qubi, jilid 2 halaman 126.
2. Tarikh Ath-Thabari, jilid 1 halaman 18.
3. Tarikh Ibnu Khaldun, jilid 3 halaman 26-28.

Kedua hadis itu sama, dua-duaya adalah wahyu. Jika mengukur keshahihan hadis pertama dengan fakta yang terjadi, maka juga hadis yang kedua. Mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Memaksa Ali (sa) untuk berbaiat kepada orang lain.

Wahai pembahas yang mulia, pemberitaan dua hadis itu bersifat tasyri’i, wahyu tentang kewajiban bagi kaum muslimin, bukan berita ghaibiyah, keshahihannya tidak dapat diukur dengan fakta yang terjadi. Karena jika demikian cara mengukurnya, terlalu banyak ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi saw yang tidak menjadi kenyataan dalam kehidupan manusia karena kezaliman manusia dan para penguasanya.

Kedua: Ketika Anda mendhaifkan hadis tentang sebab turunnya ayat ini, apakah Anda telah mengumpulkan sanad-sanad hadis itu lalu menelitinya secara mendalam, sehingga Anda mengatakan: hadis itu mursal dan sangat lemah?

Apakah Anda telah meneliti semua sanad hadis itu, yang telah dikutip oleh Ats-Tsa’labi, Abu Na’im, Al-Wahidi, Abu Said As-Sijistani, Al-Haskani, dan sanad-sanad mereka? Kemudian mendapatkan semua itu mursal atau dhaif, dan Anda dapatkan diantara perawi-perawinya orang yang tidak menjadi pegangan Anda? Apakah telah terjadi pada Anda apa yang telah terjadi pada Ibnu Taimiyah yang Anda sendiri mengkritiknya?

Yang jelas, Anda tidak punya waktu yang cukup untuk meneliti semua itu. Kami berharap Anda mendapat karunia dalam meneliti apa yang telah kami tulis tentang tafsir ayat ini, meneliti secara mendalam sanad-sanadnya yang telah kami persembahkan, dan membahasnya dengan ukuran-ukuran yang Anda kehendaki. Dengan syarat, Anda tidak menulis hal-hal yang kontradiktif dalam kitab-kitab Anda, bersifat objektif, tidak mendhaifkan suatu riwayat karena memberitakan keutamaan Ali bin Abi Thalib (sa) dalam suatu topik, dan dalam topik yang lain Anda menerimanya dan menjadikannya pegangan.

Pada kesempatan ini kami akan menyebutkan sanad-sanad hadis itu yang hanya dari satu sumber kitab yaitu Syawahid At-Tanzil oleh Al-Hakim Al-Haskani:

Ubaidillah bin Abdullah bin Ahmad Al-‘Amiri Al-Qurasyi, murid Al-Hakim An-Naisaburi penulis kitab Al-Mustadrak. Ia mengatakan dalam kitabnya yang telah diteliti oleh Al-Muhmudi: jilid 1: 250-257:

244: Memberitakan kepada kami Abu Abdillah Ad-Daynuri, ia berkata: Bercerita kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim As-Sunni. Ia berkata: memberitakan kepadaku Abdurrahman bin Hamdan, ia berkata: bercerita kepada kami Muhammad bin Ustman Al-‘Abasi, ia berkata: bercerita kepada kami Ibrahim bin Muhammad bin Maymun, ia berkata: bercerita kepada kami Ali bin ‘Abis dari Al-A’mas dari Abu Al-Juhaf (Dawud bin Abi Awf) dari ‘Athiyah: dari Abu Said Al-Khudri, ia berkata: Ayat ini turun berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…”

245: Memberitakan kepada kami Al-Hakim Abu Abdillah Al-Hafizh, ia berkata: memberitakan kepada kami Ali bin Abdurrahman bin Isa Ad-Dahqan bil-Kufah, ia berkata: bercerita kepada kami Al-Husayn bin Al-Hikam Al-Habari, ia berkata: bercerita kepada kami Al-Hasan bin Al-Husayn Al-‘Irani, ia berkata: bercerita kepada kami Hibban bin Ali Al-‘Unzi, ia berkata: bercerita kepada kami Al-Kalabi dari Abu Shilah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Azza wa Jalla: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” Ia berkata: Ayat ini turun berkaitan dengan Ali, memerintahkan Rasulullah saw agar menyampaikannya kemudian Rasulullah saw memegang tangan Ali seraya bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah, sayangilah orang yang menyayangi Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya.”

246: Diriwayatkan oleh jema’ah dari Al-Habari, dan diriwayatkan oleh As-Sabi’i darinya dalam tafsirnya: Seolah-olah aku mendengarnya dari As-Sabi’i, dan diriwayatkannya oleh jema’ah dari Al-Kalabi.

Sanad hadis ini banyak terdapat dalam kitab doa, mengharap petunjuk untuk menunaikan hak wilayah, dalam sepuluh jilid kitab.
247: Memberitakan kepada kami Abu Bakar As-Sakri, ia berkata: memberitakan kepada kami Abu ‘Amr Al-Muqri, ia berkata: memberitakan kepada kami Al-Hasan bin Sufyan, ia berkata: bercerita kepada kami Ahmad bin Azhar, ia berkata: bercerita kepada kami Abdurrahman bin ‘Amr bin Jabalah, ia berkata: bercerita kepada kami Umar bin Na’im bin Umar bin Qais Al-Mashir, ia berkata: aku mendengar kakekku berkata: bercerita kepada kami Abdullah bin Abu Awfa, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda pada hari Ghadir Khum, dan membacakan ayat ini: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” Kemudian beliau mengangkat tangannya sehingga kelihatan putih ketiaknya, kemudian bersabda: “Ingatlah, barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah, sayangi orang yang menyayangi Ali, dan musuhi orang yang memusuhi Ali.” Kemudian bersabda: “Ya Allah, syaksikan.”

248: Memberitakan kepada kami ‘Amr bin Muhammad bin Ahmad yang bersikap adil terhadap bacaanku yang asli berdasarkan tek yang aku dengan, ia berkata: memberitakan kepada kami Zahir bin Ahmad, ia berkata: memberitakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Yahya Ash-Shuwali, ia berkata: bercerita kepada kami Mughirah bin Muhammad, ia berkata: bercerita kepada kami Ali bin Muhammad bin Sulaiman An-Nawfali, ia berkata: bercerita kepadaku ayaku, ia berkata: Aku mendengar Ziyad bin Mundzir berkata: aku berada di dekat Abu Ja’far Muhammad bin Ali ketika ia bercerita kepada manusia saat ada seseorang dari Bashrah datang kepadanya, ia berkata kepadanya: UtsmanAl-A’sya meriwayatkan dari Hasan Al-Bashri, ia berkata kepadanya: Wahai putera Rasulillah, jadikan aku tebusanmu sesungguhnya Al-Hasan memberitakan kepada kami bahwa ayat ini turun berkaitan dengan seseorang yang tidak diceritakan kepada kami, yaitu ayat: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” Ia berkata: Sekiranya manusia ingin mengetahuinya tentu aku akan menceritakannya, tapi saat Nabi saw khawatir Jibril datang kepadanya saw lalu berkata: Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk menunjukkan kepada ummatmu tentang shalat mereka, puasa, puasa, dan haji mereka, agar menjadi kokoh hujjah terhadap mereka tentang semua itu. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Ya Rabbi, sesungguhnya kaumku sudah mendekat pada zaman jahiliyah, mereka saling membanggakan dirinya, dan meninggalkan pemimpinnya, aku khawatir.” Kemudian Allah swt menurunkan ayat: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, Allah menjagamu dari bahaya manusia…” Setelah Allah menjamin kekhatirannya dengan penjagan-Nya, beliau memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian bersabda:

يا أيها الناس من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه وانصر من نصره واخذل من خذله وأحب من أحبه وأبغض من أبغضه
“Wahai manusia, barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah, sayangi orang yang menyayangi Ali dan musuhi orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya dan hinakan orang yang menghinanya, cintai orang yang mencintainya dan murkai orang yang murka padanya.”

Ziyad berkata: kemudian Utsman berkata: Aku tidak pernah pulang ke negeriku dengan membawa sesuatu yang lebih aku cintai daripada hadis ini.

249: Bercerita kepadaku Ali bin Musa bin Ishaq dari Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad, ia berkata: bercerita kepada kami Sahl bin Bahr, ia berkata: bercerita kepada kami Fadhl bin Syadzan, dari Muhammad bin Abu Umayr, dari Umar bin Udzaynah dari Al-Kalabi dari Abu Shaleh: dari Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah, mereka berkata: Allah memerintahkan kepada Muhammad untuk menetapkan Ali di depan manusia dan memberitakan kepemimpinannya kepada mereka, kemudian Rasulullah saw merasa khawatir mereka berkata bahwa beliau hanya mencintai putera pamannya, dan mencerca Ali karenanya. Kemudian Allah menurunkan wahyu yaitu ayat: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, Allah menjagamu dari bahaya manusia…” Setelah turun ayat ini Rasulullah saw menyampaikan secara terbuka kepemimpinannya (Ali bin Abi Thalib) pada hari Ghadir Khum.

250: Bercerita kepadaku Muhammad bin Qasim bin Ahmad dalam tafsir, ia berkata: bercerita kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ali Al-Faqih, ia berkata: bercerita kepada kami ayahku, ia berkata: bercerita kepada kami Sa’d bin Abdullah, ia berkata: bercerita kepada kami Ahmad bin Abdullah Al-Baraqi dari ayahnya, dari Khalaf bin Ammar Al-Asadi, dari Abul Hasan Al-Abdi, dari Al-A’masy dari Ubabah bin Ruba’i: Dari Abdullah bin Abbas dari Nabi saw, dalam kontek hadis tentang Mi’raj, beliau menyampaikan hadis kudsi: “Sesungguhnya Aku belum pernah mengutus seorangpun nabi kecuali Aku jadikan baginya seorang wazir (pembantu khusus), dan sesungguhnya engkau adalah utusan Allah dan Ali adalah wazirmu.” Ibnu Abbs berkata: Kemudian Rasulullah merasa khawatir untuk menyampaikan kepada manusia, khawatir karena hadis ini mereka kembali ke jahiliyah sehingga kembali tujuh hari yang telah berlalu. Kemudian Allah swt menurunkan: “Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebagian dari apa yang telah diwahyukan kepadamu, dan dadamu merasa sempit karenanya sebab merasa khawatir mereka mengatakan …” (Hud: 12), Rasulullah saw merasa khawatir sehingga hari yang kedelapan belas Allah menurunkan ayat: “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, Allah menjagamu dari bahaya manusia…” (Al-Maidah: 67) Kemudian Rasulullah saw menyuruh Bilal azan di hadapan manusia sehingga besok pagi tidak ada seorangpun kecuali semuanya keluar ke Ghadir Khum. Kemudian esok harinya Rasulullah saw dan manusia keluar lalu bersabda: “Wahai manusia, Allah telah menurunkan kepadaku suatu risalah, dan dadaku merasa sempit karena khawatir kalian meragukan aku dan mendustakan aku, sehingga Tuhanku mengecamku karenanya dan menurunkan padaku azab setelah azab yang lain.” Kemudian beliau memegang tangan Ali bin Abi Thalib dan mengangkatnya sehingga kelihatan putih ketiaknya, lalu bersabda:
أيها الناس الله مولاي وأنا مولاكم، فمن كنت مولاه فعلي مولاه، اللهم وال من والاه وعاد من عاداه وانصر من نصره واخذل من خذله
“Wahai manusia, Allah adalah Pemimpinku dan aku adalah pemimpin kalian. Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah, sayangi orang yang menyayangi Ali dan musuhi orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya dan hinakan orang yang menghinanya.”
Kemudian Allah menurunkan ayat: “Hari ini Kusempurnakan agamamu …” (Al-Maidah: 3). (Selesai).
 (Dikutip dari blog Syamsuri Rifai)

Sebenarnya, antara mazhab Syi’ah dan Sunni tidak ada perbedaan yang mendasar berkenaan dengan keimanan. Di antara kedua mazhab tersebut hanya terjadi ketidaksepakatan seputar dua isu berikut. Pertama, kekhalifahan (kepimimpinan penerus kekhalifahan) yang diyakini mazhab Syi’ah sebagai hak para imam Ahlulbait kedua, Hukum Islam ketika tidak ada pernyataan Quran yang jelas serta hadis-hadis yang disepakati mazhab-mazhab Muslim.

lsu kedua berakar dari isu pertama. Syi’ah mengikatkan diri pada Ahlulbait dalam merujuk sunnah Nabi. Mereka melakukan hal. itu sesuai dengan perintah Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dalam kumpulan hadis Sunni dan Syi’ah yang sahih di samping keterangan Quran mengenai kesucian mereka yang sempuma.

Ketidak sepakatan tentang kekhalifahan seharusnya tidak menjadi sumber perpecahan di antara kedua mazhab tersebut. Kaum Muslimin sepakat bahwa khalifah Abu Bakar terpilih oleh sejumlah orang terbatas dan merupakan suatu yang mengagetkan bagi sahabat lainnya. Oleh sejumlah orang terbatas maksudnya mayoritas sahabat–sahabat utama Nabi tidak mengetahui pemilihan ini. Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abkas, Utsman bin Affan, Thalhah, Zubair, Sa’d bin Waqqash, Salman Farisi, Abu Dzar, Ammar bin Yasir, Miqdad, Abdurrahman bin Auf adalah di antara sahabat-sahabat yang tidak diajak berunding bahkan diberitahu. Umar sendiri mengakui bahwa terpilihnya Abu Bakar dilakukan tanpa perundingan dengan kaum Muslimin.1
Di sisi lain, pemilihan menyiratkan satu pilihan dan kebebasan, dan setiap kaum Muslim berhak untuk memilih wakilnya. Siapa saja yang menolak untuk memilih, tidak menentang Allah SWT atau utusan-Nya karena baik Allah maupun utusan-Nya tidak memilih wakil yang terpilih oleh orang-orang.


Penunjikan seseorang, secara fitrah, tidak memaksa siapa pun untuk memilih seorang wakil khusus. Jika tidak, penunjikan tersebut akan bersifat memaksa. Artinya bahwa penunjikan seseorang akan kehilangan fitrahnya dan menjadi tindakan pemaksaan pernyataan rasul yang sangat terkenal menegaskan ‘tidak ada kesetiaan yang sah/benar yang diperoleh atas dasar paksaan.’
Ali bin Abi Thalib menolak memberikan sumpah setianya kepada Abu Bakar selama 6 bulan. la memberi sumpah setia kepada Abu Bakar hanya setelah Fathimah Zahra binti Rasulullah, istrinya, wafat 6 bulan kemudian setelah ayahnya wafat.2 Apabila penolakan memberi sumpah setia kepada wakil pilihannya dilarang dalam Islam, Ali tidak akan membiarkan dirinya sendiri untuk menunda memberi sumpah setia. Pada hadis yang sama pada Shahih Bukhari, Ali berkata bahwa ia memiliki hak atas kekhalifahan yang tidak dihargai, dan ia menyesalkan mengapa Abu Bakar tidak mengajaknya berunding dalam memutuskan siapa pengganti kepemimpinan. la baru memberi sumpah setianya ketika ia tahu bahwa satu-satunya cara menyelamatkan Islam adalah meninggalkan pengasingan karena penolakannya memberi sumpah setia kepada Abu Bakar.
Selain itu, sahabat-sahabat Rasul terkemuka seperti Abdullah bin Umar dan Sa’d Abi Waqqash menolak memberi sumpah setia kepada Ali pada masa kekhalifahannya.3
Jika diizinkan bagi seseorang Muslim, yang merupakah khalifah pada zaman itu, untuk menolak memberikan sumpah setia, tentuya lebih diizinkan lagi bagi orang yang yakin pada abad-abad selanjutnya untuk meyakini ataupun tidak kualifikasi khalifah yang tcrpilih. Hal. ini tidak berdosa, apalagi jika khalifah tersebut tidak ditunjuk oleh A11ah SWT. Syiah menyatakan bahwa imam harus ditunjuk oleh Allah SWT; penunjikan tersebut diketahui melalui pernyataan Rasul atau Imam sebelumnya. Mazhab Sunni menyatakan bahwa imam (atau’khalifah, istilah yang lebih suka mereka gunakan) dapat ditunjuk atau dipilih oleh khalifah sebelumnya atau dipilih oleh sebuah komite khusus, atau berusaha mendapatkan kekuasaan melalui penaklukan militer (seperti Muawiyah).
Para ulama Syiah menyatakan bahwa imam yang dipilih Allah, bebas dari dosa, dan Allah tidak menganugerahkan kedudukan tersebut kepada orang yang berdosa. Sedangkan para ulama Sunni (termasuk juga Mu’tazilah) menyatakan bahwa seorang imam dapat berdosa karena ia ditunjuk bukan oleh Allah. Meskipun ia seorang pemimpin zalim dan tenggelam dalam dosa (seperti halnya Muawiyah dan Yazid), mayoritas ulama dari mazhab Hanbali, Syafi’ i dan Maliki melarang untuk mengangkat khalifah seperti itu. Mereka berpendapat bahwa mereka harus dilindungi, meski tidak setuju dengan perbuatan jahat.
Syi’ah menyatakan bahwa imam harus memiliki kualitas-kualitas melebihi semua kualitas seperti berilmu, berani, adil, bijaksana, saleh, mencintai Allah, dan lain-lain. Ulama-ulama Sunni menyatakan bahwa hal. tersebut tidak perlu. Seseorang yang kualitasnya di bawah kualitas¬kualitas tadi lebih baik dipilih daripada orang yang memiliki kualitas¬kualitas yang sangat tinggi.
Di tahun ini, kamis,l8 Mei 1995 adalah tahun yang bertepatan dalam tangga118 Dzulhijjah, peringatan peristiwa Gliadir Khum, di mana utusan Allah menyampaikan khutbah terakhirnya. Hadis yang paling Mutawatir dalam sejarah Islam menceritakan khutbah terakhir Nabi Muhammad ini.

Haji Perpisahan
Sepuluh tahun setelah hijrah, Rasulullah memerintahkan pengikut-¬pengikut setianya untuk memanggil semua orang dari berbagai penjuru untuk bergabung dengannya pada haji terakhir. Pada ibadah haji kali ini ia mengajarkan mereka bagaimana melaksanakan ibadah haji yang benar dan yang lengkap.
Itulah kali pertama kaum Muslimin yang berjumlah banyak sekali berkumpul di suatu tempat di hadapan pemimpin mereka, Nabi Muham¬mad SAW. Dalam perjaianan menuju Mekkah, lebih dari 70 ribu manusia mengikuti Nabi Muhammad SAW. Pada hari keempat bulan Dzulhijjah lebih dari 7.00 ribu kaum Muslimin memasuki kota Mekkah.

Peristiwa Turunnya Surah al-Maidah Ayat 67
Pada tanggal 18 Dzulhijjah, usai melaksanakan haji terakhirnya (hajj al-wada), Nabi Muhammad SAW pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah, di mana ia dan kumpulan kaum Muslimin sampai pada satu tempat bemama Ghadir Khum (yang saat ini dekat dengan Juhfah). Itulah tempat di mana orang-orang dari berbagai penjuru saling menyampaikan salam perpisahan dan kembali ke rumah dengan mengambil jalan yang berbeda-beda. Di tempat inilah turun ayat Quran:
Hai, Rasulullah! Sampaikanlah apa yang telah diturunkari kepadamu dari Tuhanmu; dan engkau tidak menyampaikan ayat-ayatnya (sama sekali) dan Allah akan melindungimu dari orang-orang
(QS. al-Maidah : 67).4
Kalimat terakhir ayat di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sadar akan reaksi orang-orang ketika menyampaikan ayat tersebut tetapi Allah menyatakan padanya agar ia tidak takut, karena Allah akan melindungi utusannya dari orang-orang.



Khutbah Nabi Muhammad SAW
Usai menerima ayat di atas, Nabi Muhammad SAW berhenti di suatu tempat (telaga Khum) yang sangat panas. Lalu ia memerintahkan semua orang yang telah berada jauh di depan, untuk kembali dan menunggu hingga para jemaah haji yang tertinggal di belakang tiba dan berkumpul. la menyuruh Salman untuk membuat mimbar tinggi dari batu-batu dan pelana unta agar ia bisa menyampaikan khutbah. Saat itu siang terik pada awal musim gugur, dan karena begitu panasnya lembah tersebut, orang¬-orang menutupkan kain-kain di sekeliling kaki-kaki mereka, dan duduk melingkari mimbar, di atas batu-batu yang panas.
Pada hari itu, Nabi Muhammad SAW menghabiskan waktu kira-kira 5 jam di tempat itu dan tiga jam berdiri di atas mimbar. Dalam khutbahnya, ia membacakan ayat hampir berjumlah 100 ayat Quran, dan kira-kira sebanyak 73 kali mengingatkan perbuatan serta masa depan mereka di kemudian hari. Berikut ini adalah satu bagian khutbahnya yang telah banyak diriwayatkan oleh ahli hadis Sunni.
Nabi Muhammad menyatakan: “Tampaknya, waktu semakin mendekat saat aku akan dipanggil (Allah) dan aku akan memenuhi panggilan itu. Aku meninggalkan kepada kalian 2 hal. yang berharga dan jika kalian setia padanya, kalian tidak akan tersesat sepeninggalku. Dua ImI. itu adalah kitab Allah dan keluargaku, Ahlulbait. keduanya tidak akan berpisah hingga mereka bertemu denganku di telaga (surga).
Nabi Muhammad melanjutkan: “Apakah aku lebih berhak atas orang¬-orang beriman dari pada diri mereka sendiri?” Orang-orang berseru dan menjawab: “Ya Rasulullah.” Kemudian Nabi mengangkat lengan Ali dan berseru “Barang siapa yang mengangkat aku sebagai pemimpin (maula), w.ika Ali adalah pemimpinnya (maula). Ya, Allah cintailah mereka yang wunrintai Ali, dan musuhilah mereka yang memusuhinya.”5

Peristiwa Turunnya Surah al-Maidah Ayat 3
Usai menyampaikan khutbahnya, ayat Quran berikut diturunkan “ Pada hari ini telah aku sempurnakan agamamu dan aku sempurnakan nikmat Ku, dan telah Ku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah:3).6
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa Islam, jika belum disampaikan Islam, jika belum disampaikan persoalan mengenai kepemimpinan setelah Nabi Muhammad SAW, belumlah sempurna, dan sempumanya agama Islam adalah karena pemberitahuan dari Nabi mengenai pengganti/penerusnya.
Usai khutbah, Rasulullah meminta kepada setiap orang untuk memberi sumpah setianya kepada Ali dan memberi ucapan selamat kepadanya. Di antara mereka yang memberi sumpah setia adalah Umar, Abu Bakar dan Utsman. Diriwayatkan bahwa Umar dan Abu Bakar berkata, “Selamat bin Abi Thalib! Sekarang engkau menjadi pemimpin (maula) semua orang beriman baik laki dan perempuan.”7

Saksi Peristiwa Ghadir Khum
Adalah kehendak Allah yang menjadikan hadis ini sangat terkenal dan diriwayatkan melalui mulut-mulut para perawi dan berkelanjutan. Oleh karenanya, terdapat bukti yang kokoh mengenai pemimpin pemberi petunjuk (semoga rahmat senantiasa atasnya). Allah memerintahkan rasul¬-Nya untuk memberitahukan di saat orang banyak berkumpul sehingga semua orang menjadi penyampai hadis. Saat itu orang-orang berjumlah lebih dari 100 orang.
Diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam bahwa Abu Thufail berkata: ‘Aku mendengarnya dari Rasulullah, dan tiada seorang pun (di sana) kecuali ia melihatnya dengan matanya dan mendengamya dengan telinganya.”8 Diriwayatkan pula bahwa: “Rasulullah berseru dengan suara yang sangat keras.”9
“Bersama Rasul saat itu para sahabat Nabi, penduduk Arab, penduduk di sekitar Mekkah dan Madinah berjumlah 20 ribu orang dan mereka adalah orang-orang yang hadir pada haji perpisahan dan mendengarkan khutbahnya.”10

Peristiwa Turunnya Surah al-Ma’arij Ayat 1-3
Beberapa ahli tafsir Sunni berpendapat bahwa tiga ayat pertama, surah al-Ma’arij turun ketika perdebatan merebak dan setelah Rasul sampai di Madinah. Diriwayatkan bahwa pada hari Ghadir, Rasulullah mengumpulkan orang-orang sambil di hadapan Ali dan berkata, Ali. adalah Maula orang-orang yang mengangkatku sebagai Maulanya.” Cerita ini menyebar cepat di seluruh desa dan kota-kota. Ketika Hark bin Nu’man Fahri (atau Nadhr bin Harith menurut hadis lain) mengrtahui berita ini, ia memacu untanya dan sampai di kota Madinah. la menemui Nabi Muhammad dan berkata padanya:
“Engkau memerintahkan kami untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, kami mematuhimu. Engkau memerintahkan kami untuk shalat 5 waktu, kami pun mematuhimu. Ketika engkau memerintahkan kami lagi untuk berpuasa pada bulan Ramadhan, kami pun menaatimu. Kemudian engkau memerintahkan kami untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah, kami tetap menaatimu. Akan tetapi engkau belum puas dengan semua ini dan engkau angkat sepupumu dengan tanganmu dan menjadikannya pemimpin kami dengan berkata, Ali adalah Maula orang-orang yang menganggapku sebagai Maulanya. Apakah ini keputusan yang berasal darimu atau dari Allah?” Nabi Muhammad menjawab: “Demi Allah yang merupakan satu-satunya Tuhan! Ini berasal dari Allah yang Maha Tinggi dan Maha Besar.”
Setelah mendengar hal ini ia kembali dan menuju untanya sambil berkata, “Ya Allah! Sekiranya apa yang dikatakan Muhammad itu benar, lemparkanlah kami sebuah batu dari langit dan timpakanlah kepada kami siksa-Mu yang amat pedih.”
Belum sampai ia mendekati unta betinanya, Allah Yang Maha Suci, melemparkan sebuah batu yang mengenai ubun-ubun, lalu masuk menebus tubuh, dan keluar melalui bagian bawahnya, hingga akhirnya ia meninggal. Pada peristiwa itulah, Allah, Yang Maha tinggi, menurunkan ayat berikut: “Seorang penanya bertanya tentang kedatangan azab. Bagi orang – orang kafir tiada sesuatu pun yang dapat mencegahnya dari Allah, Penguasa tempat – tempat tinggi.” (QS. Al-Ma’arij:1-3)11

Peristiwa Saat Imam Ali Mengingatkan Orang-orang Tentang Hadis Nabi
Imam Ali, secara pribadi, mengingatkan orang-orang yang menyaksikan peristiwa di Ghadir Khum dan hadis dari Nabi Muhammad SAW. Beberapa peristiwa saat Imam inengingatkan mereka adalah sebagai berikut.
Pada hari Syura (pengangkatan Utsman menjadi khalifah); Pada masa kekhalifahan Utsman;
Di Hari Rahbah (tahun 35) di mana 24 sahabat berdiri dan bersaksi bahwa mereka hadir dan mendengar langsung hadis Nabi, 12 orang di antara mereka adalah pejuang Badar;
Pada Perang Jamal (tahun 36), saat ia mengingatkan Thalhah;

Berkenaan dengan Perang Unta, Hakim dan Ahmad bin Hanbal serta yang lain menceritakan: “Kami berada di tengah tenda Ali pada saat perang Jamal, saat Ali meminta Thalhah berbicara dengannya (sebelum dimulai perang Jamal). Thalhah mendekat, dan Ali berkata: ‘Demi Allah, aku bertanya padamu! Tidakkah engkau mendengar Rasulullah tatkala ia berkata: ‘Barang siapa yang mengangkatku sebagai Maula maka Ali adalah Maulanya. Ya Allah, cintailah orang-orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya?” Thalhah menjawab: “Ya.” Ali berkata: “Lalu mengapa engkau ingin memerangiku?”12
Ahmad bin Hanbal mencatat dalam Musnad-nya bahwa Abu Thufail meriwayatkan bahwa Ali mengumpulkan orang-orang di dataran Rahbah (pada tahun 35 H) dan bertanya kepada laki-laki Muslim yang hadir di situ yang mendengar pernyataan Rasulullah mengenai Ghadir ‘untuk berdiri dan bersaksi bahwa mereka mendengar dari Rasulullah pada hari Ghadir. Sebanyak 30 orang berdiri dan memberi bukti bahwa Nabi Muhammad mengangkat lengan. Ali dan berseru pada orang yang hadir: “la (Ali) memiliki hak atas orang-orang yang yakin bahwa aku memiliki hak atas jiwa-jiwa mereka. Ya, Allah cintailah orang-orang yang mencintainya dan musuh orang-orang yang memusuhinya!” Abu Thufail berkata bahwa Ali meninggalkan dataran itu dalam keadaan terguncang karena kaum
Muslim tidak menaati hadis tersebut. Lalu ia memanggil Zaid bin Aqram dan mungatakan apa yang ia dengar dari Ali. Zaid berkata padanya mauk tidak ragu sedikit pun mengenai hadis tersebut karena ia telah mendcngnr langsung bahwa Rasulullah bersabda demikian.13
Selain itu juga Abdurrahman bin Abu Lailah berkata, “Aku menyaksikan Ali meminta sumpah kepada orang-orang di dataran Rahbah. Ali berkata, `Aku meminta kepada kalian atas nama Allah yang mendengar utusan Allah pada hari Ghadir berkata, “Ali adalah Maula orang-orang yang mewalikanku, untuk berdiri dan memberi saksi, orang-orang yang tidak menyaksikan tidak perlu berdiri.”‘ Dua belas orang sahabat yang terlibat pada perang Badar berdiri. Peristiwa tersebut masih segar dalam ingatan.14
Diriwayatkan pula bahwa ketika Ali berkata kepada Anas: “Mengapa engkau tidak berdiri dan memberi kesaksian atas apa yang engkau dengar dari Rasulullah pada hari Ghadir?” la menjawab, “Ya Amirul Mukminin! Aku semakin tua dan aku tidak ingat.” Kemudian Ali berkata: “Semoga Allah memberimu tanda bintik putih yang tidak dapat engkau tutupi dengan serbanmu jika secara sengaja engkau menyembunyikan kebenaran.” Sebelum beranjak dari tempatnya, Anas memiliki tanda putih di wajahnya. Setelah itu ia selalu berkata, ‘Aku terkena kutuk hamba Allah yang saleh.”1

Khutbah lengkap Nabi Muhammad di Ghadir Khum
Nabi Muhammad SAW berkata:
“Puji-pujian hanya milik Allah. Kami memohon pertolongan, dan keyakinan, serta kepada-Nyalah kami beriman. Kami mohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa-jiwa kita dan dosa-dosa perbuatan kita. Sesungguhnya tiada petunjuk bagi seseorang yang telah Allah sesatkan, dan tiada seorang pun yang sesat setelah Allah beri petunjuk baginya.”
“Hai, kaum Muslimin! ketahuilah bahwa Jibril sering datang padaku membawa perintah dari Allah, yang Maha Pemurah, bahwa aku harus berhenti di tempat ini dan memberitabukan kepada kalian suatu hal.
Lihatlah! Seakan-akan waktu semakin dekat saat aku akan dipanggil (oleh Allah) dan aku akan menyambut panggilannya.”
“Hai, Kaum Muslimin! Apakah kalian bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba serta utusan-Nya. Surga adalah benar, neraka adalah benar, kematian adalah benar, kebangkitan pun benar, dan ‘hari itu pasti akan tiba, dan Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya?” Mereka menjawab: “Ya, kami meyakininya.”
la melanjutkan: “Hai, kaum Muslimin! Apakah kalian mendengar jelas suaraku?” Mereka menjawab: “Ya.” Rasul berkata: “Dengarlah! Aku tinggalkan bagi kalian 2 hal. paling berharga dan simbol penting yang jika kalian setia pada keduanya, kalian tidak akan pernah tersesat sepeninggalku. Salah satunya memiliki nilai yang lebih tinggi dari yang lain.”
Orang-orang bertanya: “Ya, Rasulullah, apakah dua hal. yang amat berharga itu?”
Rasulullah menjawab: “Salah satunya adalah kitab Allah dan lainnya adalah Itrah Ahlulbaitku (keluargaku). Berhati-hatilah kalian dalam memperlakukan mereka ketika aku sudah tidak berada di antara kalian, karena, Allah, Yang Maha Pengasih, telah memberitahukan ku bahwa dua hal. ini (Quran dan Ahlulbaitku) tidak akan berpisah satu sama lain hingga mereka bertemu denganku di telaga (al-Kautsar). Aku peringatkan kalian, atas nama Allah mengenai Ahlulbaitku. Aku peringatkan kalian atas nama Allah, mengenai Ahlulbaitku. Sekali lagi! Aku peringatkan kalian, atas nama Allah tentang Ahlulbaitku!”
“Dengarlah! Aku adalah penghulu surga dan aku akan menjadi saksi atas kalian maka barhati-hatilah kalian memperlakukan dua hal. yang sangat berharga itu sepeninggalanku. Janganlah kalian mendahului mereka karena kalian akan binasa, dan jangan pula engkau jauh dari mereka karena kalian akan binasa!”
“Hai, kaum Muslimin! Tahukah kalian bahwa aku memiliki hak atas kalian lebih dari pada diri kalian sendiri?” Orang-orang berseru: “Ya, Rasulullah.” Lalu Rasul mengulangi: “Hai, kaum Muslimin? Bukankah aku memiliki hak atas kaum beriman lebih dari ada diri mereka sendiri?” Mereka berkata lagi: “Ya, Rasulullah.” Kemudian Rasul berkata :” hai Kaum Muslim! Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan aku adalah Maula semua orang-orang beriman,” Lalu ia merengkuh tangan A1i dan mengangkatnya ke atas. la berseru:
“Barang siapa mengangkatku sebagai Maula, maka Ali adalah Maulanya pula (ia mengulang sampai tiga kali) Ya, Allah! Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya. Bantulah orang-orang yang membantunya. Selamatkanlah orang-orang Yang menyelamatkannya, dan jagalah kebenaran dalam dirinya ke mann pun ia berpaling! (artinya, jadikan ia pusat kebenaran).
Ali adalah putra Abu Thalib, saudaraku, Washi-ku, dan penggantiku (khalifah) dan pemimpin sesudahku. Kedudukannya bagiku bagaikan kedudukan Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku. la adalah pemimpin kalian setelah Allah dan Utusan-Nya.”
“Hai, kaum Muslimin! Sesungguhnya Allah telah menunjuk dia menjadi pemimpin kalian. Ketaatan padanya wajib bagi seluruh kaum Muhajirin dan kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan dan penduduk kota dan kaum pengembara, orang-orang Arab dari orang-orang bukan Arab, para majikan dan budak, orang-orang tua dan muda, besar dan kecil, putih dan hitam.”
“Perintahnya harus kalian taati, dan kata-katanya mengikat serta perintahnya menjadi kewajiban bagi setiap orang yang meyakini Tuhan yang satu. Terkutuklah orang-orang yang tidak mematuhinya, dan terpujilah orang-orang yang mengikutinya, dan orang-orang yang percaya kepadanya adalah sebenar-benarnya orang beriman. Wilayahnya (keyakinan kepada kepemimpinannya) telah Allah, Yang Maha kuasa dan Maha tinggi, wajibkan.”
“Hai kaum Muslimin, pelajarilah Quran! Terapkanlah ayat-ayat terapkanlah ayat – ayat yang jelas maknanya bagi kalian dan janganlah kalian mengirang – ngira ayat – ayat yang bermakna ganda ! Karena, Demi Allah, tiada seorang pun yang dapat menjelaskan ayat – ayat secara benar akan makna serta peringatannya kecuali aku dan lelaki ini (Ali), yang telah aku angkat tangannya ini di hadapan diriku sendiri.”
“Hai kaum Muslimin, inilah terakhir kalinya aku berdiri di mimbar ini. Oleh karenanya, dengarkan aku dan taatilah dan serahkan diri kalian kepada kehendak Allah. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan kalian. Setelah Allah, Rasulnya, Muhammad yang sedang berbicara kepada kalian, adalah pemimpin kalian. Selanjutnya sepeninggalku, Ali adalah pemimpin kalian dan Imam kalian atas perintah Allah. Kemudian setelahnya kepemimpinan akan dilanjutkan oleh orang-orang yang terpilih dalam keluargaku hingga kalian bertemu Allah dan Rasulnya.”
“Lihatlah, sesungguhnya, kalian akan menemui Tuhanmu dan ia akan bertanya tentang perbuatan kalian. Hati-hatilah! Janganlah kalian berpaling sepeninggalku, saling menikam dari belakang! Perhatikanlah! Adalah wajib bagi orang-orang yang hadir saat ini untuk menyampaikan apa yang aku katakan kepada mereka yang tak hadir karena orang-orang yang terpelajar akan lebih memahami hal. ini daripada beberapa orang yang hadir dari saat ini. Dengarlah! Sudahkah aku sampaikan ayat Allah kepada kalian? Sudahkah aku sampaikan pesan Allah kepada kalian?” Semua orang menjawab, “Ya.” Kemudian Nabi Muhammad berkata, “Ya, Allah, saksikanlah.”16

Pengertian Wali,Maula dan Wilayah
Tidak ada seorang ulama Muslim mana pun pernah ragu tentang sejarah hadis Ghadir Khum, karena hadis ini telah diriwayatkan oleh perawi dari mazhhab Sunni sendiri sebanyak 150 perawi yang shahih. Sebuah riwayat yang mutawatir adalah sesuatu yang diriwayatkan tanpa putus dan secara bebas oleli begitu banyak orang sehingga tiada keraguan sedikitpun terbetik tentang kesahihannya. Bahkan murid-murid Ibnu Taimiyah seperti Dzahabi dan Ibnu Katsir yang telah memperlihatkan kebenciannya kepada Syi’ah, menegaskan bahwa hadis Ghadir Khum itu mutawatir dan otentik (shahih). Akan tetapi, ada orang-orang yang berusaha menafsirkan hadis ini dengan cara lain. Mereka secara khusus berusaha menerjemahkan kata wali (pemimpin/penjaga), ‘maula’ (pemimpin/pembimbing) dan ‘wilayah’ (kepemimpinan/penjaga/bimbing,) dengan artian sahabat dan persahabatan.
Kamus memberi 20 makna untuk istilah bahasa arab, wali tergantung kepada konsep, sebagian besar maknanya berkaitan dengan arti kepemimpinan atau perwalian. Hanya satu contoh saja yang, maknanya dapat berarti seorang sahabat.17
Beberapa orang mengemukakan bahwa sesuatu yang benar-benar ingin Rasulullah SAW katakan adalah “Barang siapa yang mengangkatku sebagai sahabat, Ali adalah sahabatnya pula.”
Tiada keraguan sedikitpun bahwa Ali memiliki kedudukan yang sangat tinggi di bandingkan orang lain. la laki-laki pertama yang memeluk Islam. la mendapat panggilan ‘saudara’ Rasul. Ialah yang oleh Nabi Muhammad dinyatakan, “Mencintai Ali adalah bukti keimanan dan memusuhi Ali adalah bukti kemunafikan.” Oleh karenanya, nampak tidak logis, Rasul menahan lebih dari seratus ribu orang di tempat yang sangat tak tertahankan panasnya, dan membuat mereka menunggu dalam keadaan demikian hingga orang-orang yang masih berada di belakang tiba di tempat itu, dan kemudian menyampaikan bahwa, Ali adalah sahabat arang-orang beriman..
Lebih jauh lagi, bagaimana kita membenarkan turunnya surah al¬-Maidah ayat 67 yang diturunkan sebelum khutbah Nabi: Hai Rasulullah, sampaikanlah apa yang telah di turunkan kepadamu dari Tuhanmu; Jika engkau tidak melakukannya, engkau tidak menyampaikan sama sekali ayat-ayat-Nya; Dan Allah akan melindungi engkau dari orang-orang. Masuk akalkah untuk menyatakan bahwa ketika Allah memperingatkan Nabi Muhammad SAW,dianggap telah menyia-nyiakan apa yang telah ia perjuangkan apabila tidak menyampaikan pesan `sahabat Ali’? Dan bahaya apa yang Nabi Muhammad bayangkan jika ia menyatakan Ali adalah sahabat kaum beriman ? Menurut ayat tersebut di atas, bahaya apa yang akan muncul dari orang – orang ?
Lebih jauh, bagaimana kalimat Ali adalah sahabat orang – orang beriman’ dapat menyempurnakan agama Islam ? Apakah ayat mengenai kesempurnaan agama Islam (QS. al-Maidah :3) yang turun setelah Rasul berkhutbah menyiratkan bahwa tanpa berkata: “Ali adalah sahabat orang beriman,” maka agama Islam belum sempuma?
Selain itu, sebagaimana yang kami kutip pada bagian pertama, Umar dan Abu Bakar memberi ucapan selamat kepada Ali, dengan berkata: “Selamat, wahai putra Abu Thalib. Hari ini engkau menjadi Maula seluruh orang-orang beriman baik laki-laki maupun perempuan.” Apabila, kata ‘maula’ di sini bermakna sahabat, mengapa ada ucapan selamat? Apakah Ali musuh orang-orang beriman sebelum saat itu sehingga Umar berkata bahwa saat ini engkau ‘menjadi’ sahabat mereka?
Sebenarnya, setiap wali adalah seorang sahabat, namun seorang sahabat belum tentu seorang wali. Itulah mengapa orang-orang Arab menggunakan kata-kata wali al -Amr untuk sebutan penguasa, yang artinya pemimpin atas segala urusan. Maka logisnya, kata ‘maula’ tidak dapat diartikan sebagai sahabat, dan kita harus menggunakan kata lain yang sering digunakan, yakni pemimpin dan wali.
Mungkin orang akan bertanya mengapa Nabi Muhammad SAW tidak menggunakan kata lain untuk lebih menjelaskan maksudnya. Sebenarnya, orang saat itu pun bertanya padanya dengan pertanyaan yang sama. Riwayat berikut ini merupakan jawaban Nabi Muhammad SAW:
1. Ketika Rasulullah ditanya mengenai arti dari kalimat: “Barang siapa yang mengangkat aku sebagai Maulanya, Ali adalah Maulanya pula.” la menjawab: ‘Allah adalah Maulaku. la lebih berhak dari atas diriku sendiri dan aku tidak membantah-Nya. Aku adalah Maula orang¬-orang beriman. Aku lebih berhak daripada. diri mereka sendiri dan mereka tidak membantahku. Maka, barangsiapa yang mengangkatku sebagai maulanya, aku lebih berhak daripada diri mereka dan tidak membantahku, Ali adalah maulanya, dan ia berhak atas diri mereka dari pada diri mereka sendiri dan ia tidak membantahnya.”18
2. Selama masa kekhalifahan Utsman, Ali memprotes dengan meng-ingatkan orang-orang kepada hadis Nabi. Demikian juga, ia meng-ingatkan mereka kembali pada perang Shiffin. Ketika Rasulullah berbicara ….. (hadis Ghadir), Salman berdiri dan berkata : “Ya Rasulullah, apa artinya Walaa, dan bagaimana?” Rasul menjawab “Walaa artinya aku adalah Wali (waala’un kawala’i). Barang siapa menganggapku sebagai maulanya, aku lebih berhak atas dirinya dan pada dirinya sendiri, dan Ali lebih berhak atas dirinya daripada dirinya sendiri.”19
3. Ali bin Abi Thalib ditanya tentang ucapan Nabi Muhammad, “Barang siapa mengangkatku sebagai maulanva, maka Ali adalah maulanya.” la menjawab, “la mengangkatku menjadi pemimpin (alaman). Pada saat aku menjadi pemimpin, siapa saja yang menentangku maka ia telah tersesat (tersesat dalam agamanya).”20
4. Pada tafsiran ayat: “Dan hentikanlah mereka, mereka harus ditanya” (QS. as-Shaffat : 24), Dailami meriwayatkan bahwa Abu Sa’id Khudri berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Dan hentikanlah mereka, mereka akan ditanya mengenai wilayah Ali.” Selain itu, Hafizh Wahidi menafsirkan ayat di atas: “Wilayah yang Rasulullah serahkan kepada Ali akan ditanyakan pada hari pembalasan.” Dinyatakan bahwa wilayah-lah yang Allah maksud dalam Surah as-Shaffat ayat 24, ‘Dan hentikanlah mereka, mereka harus ditanya ‘. Artinya bahwa mereka akan ditanya tentang wilayah Ali, apakah mereka benar¬benar menerimanya sebagai wali mereka sebagaimana yang Nabi Muhammad perintahkan kepada mereka atau apakah mereka akan berpaling darinya?21

Para penafsir Quran yang tidak tehitung jumlahnya, ahli bahasa Arab, dan ahli sastra, telah menafsirkan arti kata ‘matila’ dengan aula yang artinya memiliki kekuasaan yang lebih banyak.22
Dengan demikian kata’wali’ atau’maula’ dalam hadis Ghadir Khum artinya bukan sahabat, tetapi pemimpin dan wali yang memiliki banyak hak atas orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad. “Bukankah aku memiliki hak atas orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri?” Sedikitnya 64 perawi hadis Sunni telah mengutip pernyataan Nabi Muhammad tersebut diantara mereka adalah Turmudzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal. Oleh karenanya pendapat para Ulama Sunni di atas sesuai dengan apa yang Nabi Muhammad katakan dengan kata ‘aula’ sebelum kata ‘maula’. Sebenarnya, ketika sebuah kata memiliki makna lebih dari satu, cara terbaik mencari kanotasinya yang benar adalah memperhatikan hubungannya (qariah) dengan kanteksnya. Kata awala (mempunyai banyak kekuasaan) yang digunakan Nabi Muhammad memberikan sebuah kanotasi yang baik untuk kata ‘maula’.
Selain itu, doa Rasulullah yang ia panjatkan setelah ia menyampaikan berita: “Ya Allah, cintailah orang-orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya. Bantulah mereka yang membantunya dan tinggalkanlah mereka yang meninggalkannya!” Menunjukkan bahwa Ali pada saat itu diberi tanggung jawab kepemimpinan yang secara alami, akan ada orang-orang yang memusuhinya, dan dalam memikul tanggung jawab, ia membutuhkan orang yang membantu dan mendukungnya. Apakah orang yang membantunya perlu dilakukan atas nama ‘persahabatan’?
Lebih jauh lagi, pernyataan Rasulullah: “Nampaknya waktu kian dekat saat aku akan di panggil (Allah) dan aku menyambut panggilan itu.” Dengan jelas menunjukkan bahwa ia membuat rencana tentang siapa pengganti kepemimpinan bagi kaum Muslimin sepeninggalnya.
Dan pernyataan Nabi yang ia ulang dua kali, “Dengarlah! Bukankah telah aku sampaikan kepada kalian pesan Allah?” atau “Wajiblah bagi setiap orang yang hadir saat ini untuk memberitakan kepada orang-¬orang yang tidak hadir karena mereka mungkin lebih memahami dari pada orang-orang yang hadir”; menunjukkan bahwa Nabi tengah menyampaikan pesan yang sangat penting yang akan ia sampaikan pada generasi mendatang. Hal. ini tentu artinya bukan sekadar sahabat.
Perlu disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW menggunakan istilah khalifah dalam khutbahnya di Ghadir khum, tetapi kata ini tidak muncul pada mayoritas catatan Sunni karena tidak ada cara merusak makna kata tersebut. Namun Nabi Muhammad juga menggunakan kata maula dalam khutbahnya untuk menghidupkan peristiwa ini agar tidak dihapus dari catatan sejarah tanpa meninggalkan jejak.
Menariknya, kata ‘wali’ dan ‘maula’ juga sering di gunakan dalam Quran dengan arti pemimpin atau wali, contohnya Quran menyatakan : “ Allah adalah wali orang – orang yang beriman ia mengeluarkan mereka dari kegelapan (dan membawa mereka) kepada cahaya” (QS. Al-Baqarah : 257)
Ayat di atas mengandung maksud bahwa sahabat Allah hanyalah orang- orang beriman, karena sahabat saja tidak memiliki hak untuk membawa seseorang kepada cahaya. Allah adalah pemimpin orang-orang beriman dan itulah mengapa la mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dalam ayat lain Allah bersabda: “Sesungguhnya Aulia Allah tidak memiliki rasa takut ataupun duka cita” (QS. Yunus : 62).
Kata aulia adalah bentuk jamak dari kata wali. Ayat di atas tidak berarti bahwa siapa pun yang menjadi sahabat Allah tidak merasa takut. Banyak knum Muslimin yang merasa takut pada beberapa kejadian dalam hidup mereka padahal mereka bukan musuh Allah. Dengan demikian ayat di atas memberi arti tidak sekadar sahabat. Pada ayat ini, kata ‘wali’ adalah bentuk fa’il dengan makna mafud. Oleh karenanya ayat di atas bermakna: “Orang-orang yang wali serta pemimpin urusan mereka adalah Allah, mereka tidak merasa takut dan berduka cita. Jika seorang beriman secara total menyerahkan diri pada Allah, ia tidak akan merasa takut sedikil [mm. Akan tetapi, orang beriman umumnya yang penyerahan dirinya tidak sempuma mungkin akan merasa takut akan hal. ini atau hal. itu, padahal mereka masih sahabat-sahabat Allah. Meskipun demikian, Allah menggunakan kata aulia dalam arti yang umum, yaitu ‘pelindung’. Quran menyatakan: “Orang-orang beriman, laki-laki dan peremptcan, adalah awliya satu sama lainnya, mereka saling menganjurkan berbuat baik dan melarang berbuat jahat.” (QS. at-Taubah : 71).
Melihat terjemahan yang berbeda-beda, orang dapat menemukan mereka menggunakan kata ‘pelindung’ untuk makna ‘aulia’. Ayat tadi tidak ingin menyatakan bahwa orang-orang beriman sahabat – sahabat yang saling berbuat baik. Akan tetapi maknanya adalah bahwa orang-orang beriman berkewajiban dan SAW sama lain dibebani urusan satu sama lain. Akibat kewajiban ini mereka saling menganjurkan untuk berbuat baik dan melarang berbuat jahat sebagaimana yang di nyatakan dalam ayat di atas. Pada ayat ini, maka makna ‘aulia’ meski lebih tinggi dari ‘sahabat’, akan tetapi jelas-jelas lebih rendah daripada makna’pemimpin dan ‘wali’. Makna ‘aulia’ pada ayat ini digunakan dalam arti yang luas. Tetapi makna khusus wali dapat dilihat pada ayat berikut. “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-nya, dan orang-orang yang beriman, yang menjaga shalatnya dan menunaikan zakat ketika mereka dalam keadaan ruku” (QS. al-Maidah : 55).
Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa tidak semua orang-orang beriman adalah wali kita dengan makna khusus dalam ayat ini yang bermakna pemimpin atau pehznjuk. Pada ayat ini pula, wali di sini jelas¬jelas bukan berarti sahabat yang benar, karena semua orang-orang beriman satu sama lain merupakan sahabat. Ayat di atas menyebutkan bahwa hanya 3 hal. yang merupakan wali khusus kalian: Allah, Nabi Muhammad dan Imam Ali, satu-satunya orang pada zaman Rasul yang memberi sedekah ketika ia dalam keadaan ruku. Para ulama sepakat dalam meriwayatkan peristiwa ini.23
Mengeluarkan zakat sambil ruku bukan sunnah. Hal. ini disepakati oleh semua ulama Muslim. Dengan demikian ayat di atas tidak menetapkan pentingnya membayar zakat pada saat ruku, ataupun menjadikannya tugas atau sesuatu yang dianjurkan secara sah dalam Islam sebagai hukum Ilahi (syariat). Akan tetapi, peristiwa tersebut merupakan Rujukan sebuah perbuatan yang terjadi ketika seseorang memberi sesuatu di dunia ekstemal, dan Quran menunjukkan perbuatan tersebut untuk memperlihatkan orangnya. Secara tidak langsung, ayat tersebut ingin menyampaikan bahwa wali di sini merupakan wali khusus yang kuasanya telah disejajarkan dengan kuasa Nabi Muhammad karena mereka disebutkan berkaitan.
Orang mungkin berkeberatan, bahwa meskipun Ali yang melakukan perbuatan tersebut, ayat tersebut mungkin melibatkan beberapa orang lain karena ayat tersebut menggunakan bentuk jamak, pertama, sejarah menceritakan kepada kita bahwa tidak ada seorang pun yang melakukan hal ini ketika Rasul masih ada. Kedua, cara Quran menggunakan bentuk jamak untuk merujuk hanya pada satu orang yang melakukan perbuatan yang khusus, merupakan hal. yang biasa dalam Quran. Contohnya, Allah numyebutkan: “Mereka berkata: ‘Jika kami kembali ke Madinah, orang yang kuat akan segera mengusir orang-orang yang lemah”‘ (QS. al-Munafiqun : 8). Adanya ayat ini Quran merujuk sebuah kisah yang terjadi dengan menggunakan frase ‘mereka berkata’ dan orang yang mengucapkan kalimat tersebul adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Quran berusaha semaksimal mungkin menghindari menyebutkan nama seseorang. Hal. ini di lakukan karena berbagai alasan. Contohnya agar kitab ini menjadi kitab yang universal, terhindar dari kemungkinan untuk diubah oleh orang-orang yang membenci orang-orang tertentu yang telah dipuji Quran atau oleh orang yang mencintai seseorang yang telali dicela dalam Quran.
Menggunakan bentuk jamak untuk menunjuk bentuk tunggal, memiliki kegunaan lain. Kadang-kadang perbuatan seseorang lebih mulia daripada perbuatan orang seluruh negeri. Hal. itu terjadi seperti halnya Nabi Muhammad, Imam Ali dan juga Nabi Ibrahim. Quran menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim as adalah sebuah negeri (ummah), yang artinya perbuatannya lebih mulia daripada perbuatan semua orang. Allah berfirman: “Lihatlah! Ibrahim adalah sebuah negeri (ummah) yang tunduk kepada Allah, jujur, dan ia bukan tergolong orang musyrik.” (QS. Nahl : 12U).
Sahabat Nabi terkemuka, Ibnu Abbas berkata: “Tidak ada ayat Quran dimana istilah ‘orang-orang beriman’ disebut kecuali bagi Ali sebagai pemimpin mereka dan lebih baik di antara mereka: Sesungguhnya Allah menegur sahabat -sahabat Nabi dalam Quran, tetapi la tidak menyebut kepada Ali Kecuali dengan hormat.24
Lebih jauh, bin Abbas berkata: “Tidak diturunkan ayat dalam kitab Allah mengenai seseorang seperti yang diturunkan mengenai Ali dan 300 ayat telah diturunkan berkenaan dengannya.”25
Dengan demikian, surah al-Maidah ayat 55 sebenarnya menyatakan bahwa Allah adalah wali kalian, kemudian Nabi Muhammad, dan Ali. Dapat kita simpulkan bahwa wilayah (kepemimpinan/wali) Imam Ali serupa dengan wilayahnya Nabi Muhammad SAW karena Allah telah menyejajarkan mereka. Kuasa Nabi Muhammad yang dijelaskan oleh ayat Quran berikut:
Nabi Muhammad memiliki hak lebih atas orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri (QS. al-Ahzab : 6).

Hai orang-orang beriman! Taatlah kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang di antara kalian yang telah diberi kuasa (oleh Allah)” (QS. an-Nisa : 59).

Orang mungkin melihat ayat lain berkenaan dengan kuasa Nabi Muhammad SAW seperti al-Maidah : 56, al-Hasyr : 7, at-Taubah : 103, al¬Ahzab : 21. Dengan meletakkan semua ayat ihi bersama-sama dengan QS. 5:55, orang dapat merujukkan kuasa dan prioritas ini juga kepada Ali setelah Rasul tiada. Nasa’i dan Hakim juga mencatat versi lain hadis Ghadir Khum dengan kata-kata berbeda yang lebih memberikan kejelasan pada makna hadis tersebut. Mereka meriwayatkannya dari sumber Zaid bin Arqam bahwa Rasulullah menambahkan: “Sesungguhnya Allah adalah Maulaku dan aku adalah Wali (pemimpin) orang-orang beriman.” Kemudian ia mengangkat tangan Ali dan berkata: “la (Ali) adalah wali semua orang-orang yang menganggapku sebagai walinya. Ya, Allah cintailah orang-orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya!”26
Dalam ucapan lainnya, Nabi Muhammad bertanya tiga kali: “Hai kaum Muslimin! Siapakah Maula kalian?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian ia mengamit tangan Ali dan mengangkatnya: “Barang siapa yang mengangkat Allah dan Rasul-Nya sebagai wali, maka lelaki ini adalah walinya juga.”27
Apabila wali artinya sahabat, lalu mengapa orang-orang menjawab hanya Allah dan utusan-Nya sebagai wali mereka? Mereka seharusnya berkata bahwa semua orang beriman adalah wali. Hal. ini dengan jelas menunjukkan bahwa orang-orang mengerti bahwa hal itu benar, tetapi kemudian mereka berbuat sebaliknya. Sekarang mari kita lihat hadis berikut. Ali tiba di dataran Rahbah, dan beberapa orang berkata padanya “Sejahtera senantiasa atas Maula kami!” Ali bertanya: “Bagaimana dapat aku menjadi Maula kalian sedang kalian adalah bangsa Arab (orang merdekla).” Mereka menjawab: ‘Aku mendengar Rasulullah pada hari Ghadir Khum berkata: “Barangsiapa menganggapku sebagai Maula, Ali adalah maulanya.”28
Jika ‘maula’ berarti sahabat, mengapa Ali mengajikan pertanyaaa Hi atas? Apakah kata persahabatan merupakan istilah baru bagi bahasa Arab? Sebenarnya, Imam Ali ketika bertanya, ingin mengulang pentingnya kata ‘maula’ dan menunjukkan bahwa orang-orang pada saat itu tidak niengartikan `maula’ sebagai sahabat, dan agar mereka mengartikannya, berbagai pemimpin orang-orang beriman.
Dengan menyimpulkan diskusi di atas, jelaslah bahwa setiap orang yang berusaha meremehkan hadis Ghadir Khum dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad hanya ingin menyatakan bahwa: “Ali adalah sahabat orang-orang beriman,” telah mengabaikan hadis Nabi di atas yang ill terangkan maksudnya sebagai wali, serta mengabaikan ayat Qur,m (ayat yang diturunkan di Ghadir Khum dan ayat yang menerangkan pentingnya wali). Terakhir, hadis dari referensi Sunni berikut lebih javll mmjelaskan kenyataan bahwa Wali artinya Imam karena hadis tersebul menggunakan frase `Ikuti mereka’ dan’imam’. Ibnu Abbas meriwayatk;ill ha hwa Rasulullah bersabda:
Barangsiapa yang ingin hidup dan mati seperti diriku dan tinggal di surga setelah ia meninggal, ia harus mengakui Ali sebagai Wali sesudahku, dan mengangkatnya sebagai Wali (Imam setelahnya) dan harus mengikuti Imam setelahku karena mereka adalah Ahlulbaitku dan tercipta dari dagingku, dan dianugerahi ilmu scrta pemahaman yang sama seperti diriku. Barangsiapa yang menyangkal kebaikan mereka dan tidak menghormati hubungan serta kedekatannya denganku, aku tidak akan pernah memberikan syafaatku kepadanya “29

Ali dan Kebenaran
Dalam beberapa versi hadis Ghadir khum, terdapat kalimat tambahan di mana Nabi Muhammad berkata: “Wa dara al-Haqq ma’ahu haithu dar” Artinya : “Dan kebenaran (jalan yang benar) mengikutinya (Ali) kemanapun ia pergi.”30
Hal. yang sama pada Shahih at-Turmudzi, diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Ya Allah, limpahkanlah karuniamu pada Ali, jadikanlah kebenaran senantiasa bersama Ali di manapun ia berada.”31
Secara struktur bahasa Arab, pembentukan kata (balaghah) dapat menipu pendengar. Secara logis, kebenaran adalah absolut dan tidak berubah-ubah. Seseorang yang tidak yakin pada kebenaran, perbuatannya akan berubah-ubah.
Dalam kasus ini, Ali-berada pada poros absolut pada peristiwa yang terjadi. Jika sesuatu mengubah keputusan seseorang, peristiwa tersebut merupakan hal. yang akan mengubah jalannya-kebenaran dalam hal. ini. Karena perubahan tersebut secara rasional tidak mungkin terjadi karena fitrahnya yang benar secara absolut, maka orang dapat menyimpulkan bahwa keduanya menyatu dan tidak terpisahkan. Ali, oleh karena itu, senantiasabersama kebenaran sepanjang waktu. Ucapan Nabi Muhammad SAW, oleh karenanya, adalah ungkapan kiasan untuk menekankan pentingnya dan kedekatan Ali pada kebenaran dan jalan yang benar’ tidak dapat di beda-bedakan.
Sedangkan apabila kita balikkan tatanannya (Ali bergerak mengikuti kebenaran) secara teoritis, akan melenceng maknanya. Karena secara teoritis, Ali-lah yang menjadikan sesuatu bergerak, didasarkan pada teori bahwa Ali adalah benda bergerak. Makna ini akan terdengar lemah, dan menyiratkan seseorang yang tidak sempuma.


Sesungguhnya Pemimpin Kalian...
Sesungguhnya pemimpin kalian adalah Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat pada saat mereka ruku. Dan barang siapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang – orang beriman sebagai pemimpin, sesungguhnya golongan Allah-lah yang akan menang. (QS. al-Maidah: 55-56)

Telah disepakati bahwa ayat tersebut turun berkenan dengan Ali saat ia menyedekahkan cincinnya saat ia sedang ruku. Hal. ini pun secara berturut-turut shahih berdasarkan 12 imam.”
Dalam Tafsir Quran Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim naisaburi Tsa’labi (337 H), Ibnu Khallikan memberikan catatan tentang kematiannya; “la adalah seorang ahli Tafsir Quran yang unik dan Tafsir A-Kabirnya lebih baik dari tafsir-tafsir lain.”
Ketika ia membahas ayat ini, ia mencatat hal. ini pada Tafsir al-Kabirnya dari sumber Abu Dzar Ghifari yang berkata:
Kedua mataku akan buta dan kedua telingaktt akan tuli sekiranya aku berkata kebohongan. Aku mendengar Rasulullah SAW berkata: “Ali adalah pemberi petunjuk orang-orang beriman dan penghancur orang kafir, orang yang membantunya akan beruntung dan yang meninggalkanya akan binasa.”

Suatu hari aku shalat berjamaah di belakang Rasul. Seorang peminta-minta datang dan memohon sedekah. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang memberinya sesuatu. Saat itu Ali tengah ruku. la menyarangkan tangannya di mana melingkar sebuah cincin di jarinya pada peminta itu. Peminta-minta itu melepaskan cincin pada jarinya.

Nabi Muhammad berdoa kepada Allah, ia berkata :”Ya Allah, saudaraku Musa memohon padamu dengan mengatakan: ‘Ya Tuhanku, lembutkanlah hatiku dan mudahkanlah segala urusanku! lepaskanlah kekakuan lidahku agar mereka memahamiku! Tunjuklah dari keluargaku, Harun, saudaraku sebagai wakilku, dan kuatkan diriku dengan kehadirannya dan ikutkanlah ia dalam misiku, sehingga kami senantiasa mengagungkanmu dan mengingatmu! Sesungguhnya Engkau telah melihat kami dan memberinya ilham: “Ya, Musa, semua permintaanmu telah dikabulkan “

Ya Allah, aku adalah hambamu, Rasulmu. lembutkanlah hatiku dan mudahkanlah segala urusanku dan tunjuklah dari keluargaku, Ali, sebagai wakilku dan memperkuat diriku dengan keberadaannya.

Demi Allah, Rasulullah belum selesai berdoa ketika Jibril, Malaikat utusan Allah turun kepadanya bersama ayat ini: Sesungguhnya Allah adalah pemimpinmu dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan memberi sedekah ketika ruku. Dan barang siapa yang menjadikan Allah dan orang-orang beriman sebagai pemimpin, sesungguhnya golongan Allahlah yang akan menang. “33

Allamah Thabarsi, ketika menafsirkan ayat ini dalam kitab Majma al-¬Bayan menyatakan:

“Bentuk jamak telah digunakan untuk menunjuk Ali, pemimpin orang-orang beriman, untuk memberi penghormatan dan keutamaan kepadanya.” Para ahli bahasa Arab menggunakan bentuk jamak kepada seseorang untuk memberi penghormatan.

Allamah Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf telah -menyebutkan hal. menarik lainnya sebagai berikut:





















Hadis Ghadir Khum yang menunjukkan kepemimpinan Imam Ali adalah salah satu hadis shahih yang sering ditolak oleh kaum Sunni. Kebanyakan mereka yang mengingkari hadis ini membuat takwilan-takwilan agar bisa disesuaikan dengan keyakinan mahzabnya.

Padahal Imam Ali sendiri mengakui kalau hadis ini adalah hujjah bagi kepemimpinan Beliau. Hal ini terbukti dalam riwayat-riwayat yang shahih dimana Imam Ali ketika menjadi khalifah mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berbicara meminta kesaksian soal hadis Ghadir Khum.

Dari Sa’id bin Wahb dan Zaid bin Yutsai’ keduanya berkata “Ali pernah meminta kesaksian orang-orang di tanah lapang “Siapa yang telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada hari Ghadir Khum maka berdirilah?. Enam orang dari arah Sa’id pun berdiri dan enam orang lainnya dari arah Za’id juga berdiri. Mereka bersaksi bahwa sesungguhnya mereka pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Ali di Ghadir Khum “Bukankah Allah lebih berhak terhadap kaum mukminin”. Mereka menjawab “benar”. Beliau bersabda “Ya Allah barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”. [Musnad Ahmad 1/118 no 950 dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir]

Dari Abu Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Abu Thufail berkata “ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya “sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata “Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti itu tentangnya”.[Musnad Ahmad 4/370 no 19321 dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 88 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini]

Dari Sa’id bin Wahb yang berkata “Ali berkata di tanah lapang aku meminta dengan nama Allah siapa yang mendengar Rasulullah SAW pada hari Ghadir Khum berkata “Allah dan RasulNya adalah pemimpin bagi kaum mukminin dan siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka ini (Ali) menjadi pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya dan jayakanlah orang yang menjayakannya. [Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 93 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].

Dan perhatikan khutbah Abu Bakar ketika ia selesai dibaiat, ia menggunakan kata Waly untuk menunjukkan kepemimpinannya. Inilah khutbah Abu Bakar :Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian [Sirah Ibnu Hisyam 4/413-414 tahqiq Hammam Sa’id dan Muhammad Abu Suailik, dinukil Ibnu Katsir dalam Al Bidayah 5/269 dan 6/333 dimana beliau menshahihkannya].

Rasulullah SAW bersabda “Jangan membenci Ali, karena ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu, ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu. [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain hadis no 22908 dan dinyatakan shahih].

Hadis  Berkenaan  Dengan Ke –Imamahan   12  Orang   Imam
Tepat sekali kalau pada kajian ini kita bawakan riwayat- riwayat tentang ke-Imamahan para Imam 12 yang termuat dalam kitab-kitab standar Ahli Sunnah, riwayat- riwayat tersebut diantaranya:

1. Bukhari menukil dari Jabir bin Samarah:”Aku mendengar Rasul SAW bersabda:”setelahku 12 orang pemimpin akan datang.” Saat itu beliau melanjutkan ucapannya yang tak terdengar olehku kemudian ayahku berkata bahwa keseluruhan imam tersebut semuanya dari bangsa Quraisy.” [Sahih Bukhari, jild 9, bab Istikhlaf, halaman 81.

2. Muslim juga menukil dari Jabir bin samarah:”aku mendengar rasul SAW bersabda:”Islam akan memiliki pemimpin sampai 12 orang. Kemudian beliau bersabda yang tak bisa kupahami. Aku bertanya pada ayahku tentang apa yang tidak aku pahami itu, ia berkata:”beliau bersabda semuanya dari kaum Quraisy. [Sahih Muslim, jild 6, kitab Al-Amarah, bab annas taba’un li quraisy, halaman 3.

3. Muslim dari Jabir juga menukil, ia (Jabir) berkata:”aku dan ayahku berjalan bersama rasul SAW saat itu beliau bersabda:”agama ini akan memiliki 12 pemimpin, yang kesemuanya dari bangsa Quraisy. [Sahih Muslim, jild 6, kitab Al-Amarah, bab annas taba’un li quraisy, halaman 3.

4. Muslim juga menukil dari Jabir:”aku mendengar rasul bersabda:”agama Islam akan langgeng sampai hari kiamat nanti, sampai dua belas orang khalifah memerintah yang kesemuanya dari Quraisy. [Sahih Muslim, jild 6, kitab Al-Amarah, bab annas taba’un li quraisy, halaman 3, sebagai bahan tahqiq pembaca budiman dapat merujuk ada kitab, musnad bin hanbal, jild 5, halaman 86, 89, 97, 107

perintah berpegang teguh kepada AL Quran dan Sunnah tidak dapat dilakukan kecuali melalui jalan para pemeliharanya, yaitu Ahlul Bait  yang  disucikan.. Inilah  FAKTA siapa wali  orang Islam :

“Sesungguhnya Wali kalian hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam keadan ruku’” (Al Maidah 55).

Berdasarkan hadis-hadis yang dinukil baik dari kalangan ulama’ Syiah maupun Ahli Sunnah, ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali a.s ketika mengulurkan tangan nya untuk  memberikan cincin nya kepada seorang pengemis di dalam masjid ketika beliau shalat
dan sesuai kajian dan penuturan para ahli tafsir dan ahli hadis  Syiah serta pengakuan sekelompok ulama’ yang tidak sedikit dari kalangan Ahli Sunnah, bahwa pribadi yang menyedekahkan cincinnya pada si faqir dalam keadaan shalat (waktu ruku’) itu adalah pribadi agung Ali as.

Allamah Mar’asyi dalam kitabnya Ihqaqul Haq menuturkan bahwa ada sekitar 85 kitab hadis dan tafsir Ahli Sunnah yang menukil bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Imam Ali. Dengan riwayat-riwayat ini jelas bahwa yang dinginkan dari kata jamak pada ayat di atas adalah kata tunggal dan itu Imam Ali as. Akan tetapi yang perlu dicermati di sini adalah apa arti sebenarnya dari kata wali yang terdapat dalam ayat ini.

Arti wali: Kata-kata Wali, Wilayat, Wala, Maula, dan  Awla, berasal dari akar kata yang sama yaitu Wala. Kata ini sangat banyak digunakan oleh Al-Quran; 124 dengan kata benda, dan sekitar 112 tempat dipakai dalam bentuk kata kerja.

Sebagaimana yang termuat dalam kitab Mufradatul Quran, karya Ragib Isfahani, dan kitab Maqayisul Lugah karya Ibn Fars, arti asli dari kata ini adalah kedekatan dua benda, yang seakan-akan tak berjarak sama sekali. Maksudnya jika dua sesuatu sudah sangat berdekatan, sangatlah mustahil jika dibayangkan ada sesuatu ketiga, ketika kita katakan walia zaid Amr artinya zaid di sisi Amr.

Kata ini juga bermakna teman, penolong dan penanggung jawab. Dengan kata lain pada semua arti tadi terdapat semacam kedekatan dan hubungan serta interaksi, dan untuk menentukan arti yang dinginkan dibutuhkan tanda-tanda dan kecermatan untuk memahami kontek kalimatnya.

Dengan memperhatikan poin-poin yang kita sebutkan tadi, kita dapat memahami bahwa maksud dari ayat di atas adalah hanya Allah SWT, Rasulullah SAW, dan Ali yang merupakan  wali  orang  Islam

Pemimpin sebuah kaum dapat dipanggil dengan wali atau maula, karena kedekatan dan secara langsung mengurusi dan menyuruh dan melarang semua urusan. Dan kepada majikan dikatakan maula karena secara langsung mengurusi masalah hamba. Ibnu faris juga mengatakan:”barang siapa bertanggung jawab atas urusan seseorang maka ia akan menjadi wali baginya.
---------------------------
Sahih Muslim, juz 4, halaman 123, terbitan Dar al-Ma'arif Beirut – Lebanon :

Muslim meriwayatkan di dalam kitab sahihnya, "Telah berkata kepada kami Muhammad bin Bakkar bin at-Tarian, "Telah berkata kepada kami Hisan (yaitu Ibnu Ibrahim), dari Sa'id (yaitu Ibnu Masruq), dari Yazid bin Hayan yang berkata, 'Kami masuk kepada Zaid bin Arqam dan berkata, 'Anda telah melihat kebajikan. Anda telah bersahabat dengan Rasulullah saw dan telah salat di belakangnya. Anda telah menjumpai banyak kebaikan, ya Zaid (bin Arqam). Katakanlah kepada kami, ya Zaid (bin Arqam), apa yang Anda telah dengar dari Rasulullah saw.' Zaid (bin Arqam) berkata, 'Wahai anak saudaraku, demi Allah, telah lanjut usiaku, telah berlalu masaku dan aku telah lupa sebagian yang pernah aku ingat ketika bersama Rasulullah. Oleh karena itu, apa yang aku katakan kepadamu terimalah, dan apa yang aku tidak katakan kepadamu janganlah kamu membebaniku dengannya.' Kemudian Zaid bin Arqam berkata,

'Pada suatu hari Rasulullah saw berdiri di tengah-tengah kami menyampaikan khutbah di telaga yang bernama "Khum", yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada-Nya serta memberi nasihat dan peringatan Rasulullah saw berkata,

'Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka aku pun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah Kitab Allah, yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk, dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dia berada di atas kesesatan.' Kemudian Rasulullah saw melanjutkan sabdanya, 'Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku.

hadis itu diucapkan Rasulullah saw di Arafah pada waktu haji wada' dan ketika sakit menjelang wafat, di hadapan para sahabat yang memenuhi kamar beliau. Riwayat lain lagi menyebutkan bahwa beliau mengucapkannya di Ghadir Khum. Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa beliau mengucapkan ucapannya itu pada saat beliau pulang dari Thaif, ketika beliau berpidato di hadapan para sahabat. Rasulullah saw sengaja mengulang-ulang pesannya itu di berbagai tempat dan situasi untuk menunjukkan betapa besar perhatian beliau terhadap Al-Qur'an dan Ahlul Bait yang suci.

Sungguh benar Imam Ja'far ash-Shadiq as manakala mengatakan, "Mereka mengklaim mencintai kami namun pada saat yang sama mereka melakukan pembangkangan terhadap kami." pada saat yang sama mereka mengambil agama mereka dari orang-orang yang telah menzalimi Ahlul Bait

Wahabiyah sendiri yang menjadi penentang nomor wahid Syiah…Al-Quran juga mengatakan ihwal wujudnya orang-orang munafik di antara kaum muslimin: "Orang-orang Arab Badui itu lebih sangat kekafirannya dan kemunafikannya dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah dan Rasulnuya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. " (Qs.Taubah [9]:97)

Setelah Umar dan kelompoknya yang memaksa kaum Ansar (Penduduk Madinah) untuk membai’at Abu Bakar di Saqifah, mereka datang ke Masjid Nabi dan mengumumkan bahwa Abu Bakar telah dipilih sebagai khalifah dan meminta semua orang untuk membaiatnya. Mereka diberitahu bahwa Ali dan anggota lain dari Bani Hasyim dan beberapa sahabat utama Nabi berkumpul di rumah Fatimah, menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar mengirim pesan tapi tidak ada satu pun dari mereka (orang-orang yang berkumpul di rumah Fatimah, -AK.) yang membaiatnya. Lalu Umar dengan orang-orangnya mendatangi mereka dan bahkan mengancam akan membakar rumah itu jika tidak ada yang mau keluar! Mereka akhirnya mendobrak pintu, mencederai Fatimah yang saat itu lagi hamil, dan memaksa orang-orang yang ada di rumah itu ke masjid dan membaiat Abu Bakar.

Imam Ali juga ditawan dan dibawa ke masjid. Di sini terjadi obrolan antara Imam dan Abu Bakar yang isinya Imam Ali hanya digunakan oleh Quraisy Mekkah terhadap orang Ansar. Quraisy memiliki keutamaan daripada Ansar karena Nabi berasal dari suku mereka, oleh karena itu, mereka lebih berhak untuk menjabat sebagai khalifah; Imam Ali melebarkan adu argumen itu dengan mengatakan bahwa kami berasal dari keluarga Nabi, oleh karena itu, kami lebih berhak atas khalifah daripada engkau.

Ibnu Qutayba ad-Dinwari, seorang sejarawan Sunni tentang masalah khalifah, melanjutkan cerita ini :

Mereka berkata kepada Ali: Nyatakan Baiat!
Ali menjawab: “Jika aku tidak mau, lalu apa?
Mereka berkata: “Kalau begitu, Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, kami akan menggorok lehermu!”
Ali berkata: “Kalau begitu, kalian ingin membunuh seorang hamba Allah dan saudara Nabi-Nya!”
‘Umar berkata: “Sebagai hamba Allah, iya; tapi sebagai saudara Nabi-Nya, tidak!”
Apa yang dikatakan oleh Umar ini? Di luar dari ketiga hal yang disabdakan oleh Nabi tentang Ali, ancaman terakhir adalah “saudaraku ” namun hari itu, ‘Umar bahkan tidak bersedia menerima Ali sebagai “saudara Nabi”! Sekarang katakan kepadaku mengapa Ali tidak berkata: ” Aku juga adalah wasiy Nabi dan khalifahnya”?
Ibnu Qutaybah meneruskan ceritanya: Selagi percakapan antara Imam Ali dan ‘Umar berlangsung, ” Abu Bakar tutup mulut, dan tidak berkata sepatah-kata pun. Lalu Umar berbalik padanya dan berkata : “Mengapa engkau tidak mengeluarkan perintah untuk menghukumnya? Abu Bakar berkata : ” Aku tidak ingin memaksakan segala sesuatunya selagi Fatimah berada di sisinya.”
Ali dalam ketertindasannya, ia pergi ke pusara Nabi dan mengeluhkan dukanya kepada Nabi: “Wahai putra ibuku! Orang-orang menindasku dan hampir saja membunuhku.”

Tidak seorang pun yang menyalahkan Ali karena klaim atau menyodorkan bukti-buktinya hingga hari ini. Ia sendiri berkata: “Tidak seorang pun yang dapat disalahkan atas terlambatnya (menjaga) ia meraih haknya, namun kesalahan terletak pada orang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya.”

Pada tahun 35 H, sewaktu Imam berada di Kufah, ia mendengar bawha orang-orang sangsi atas klaimnya sebagai lebih utama dan lebih prioritas atas ketiga khalifah sebelumnya. Oleh karena itu, ia mendatangi majelis dan memohon kepada saksi-saksi yang hadir di Ghadir Khum untuk menyatakan kebenaran deklarasi Nabi Saw tentang dirinya sebagai “mawla (tuan, pemimpin, junjungan) bagi mereka yang menjadikan Nabi sebagai mawlanya sendiri. Dalam banyak kitab, kita mempunyai dua puluh empat sahabat Nabi yang menyatakan kesaksian akan kebenaran klaim Imam Ali ini. Sumber-sumber lain seperti Musnad Ahmad bin Hanbal dan Majmâ az-Zawâid karya al-Haytami menyebutkan sebanyak tiga puluh.

Anda harus ingat bahwa peristiwa ini terjadi dua puluh lima tahun setelah peristiwa Ghadir Khum, dan selama berabad-abad saksi-saksi sejarah telah meninggal dunia atau gugur dalam medan perang. Dan sebagai tambahan bahwa kejadian ini terjadi di Kufa yang jauh dari Madinah, pusat para sahabat

Ayat yang penting dari al-Quran yang berbicara tentang Ahlulbait adalah surah asy-Syuura:23. Dalam surat ini, Allah Swt berfirman: “(Wahai Muhammad) katakanlah, aku tidak memintah upah dari kalian (dalam kapasitasnya sebagai pembawa risalah Allah) kecuali kecintaan kepada keluargaku.”

Wahabi bertanya : Ayat ini diturunkan di Mekkah ketika Hasan dan Husain belum lahir, jadi bagaimana mungkin dapat ayat ini berkenaan dengan Ahlulbait seperti makna Ahlul Kisa ?

Jawaban :
meskipun surat asy-Syuura merupakan surat Makkiyah, ayat 23-25 & 27 di turunkan di Madinah. Pernyataan para mufassir membuat dalil pertama dan kedua yang disebutkan di atas menjadi tidak berdasar sama sekali.

Yang kedua, perintah untuk “mencintai keluarga Nabi” tidak dapat dikenakan kepada seluruh kerabat beliau karena di antara mereka ada orang-orang baik dan juga orang-orang jahat; dan seseorang harus membatasi makna ayat ini kepada mereka yang disamping memiliki pertalian fisik juga memiliki pertalian ruhani dengan Rasulullah. Dan tidak seorang pun yang membantah bahwa Ali, Fatimah, Hasan dan Husain bukanlah orang yang memiliki hubungan raga (fisik) dan juga spritual dengan Nabi, meskipun ia melebarkan gelar ini kepada anak keturunan Bani Hasyim yang lain.
Yang terakhir, banyak riwayat Ahli Sunnah yang meriwayatkan bahwa Nabi menggunakan ayat ini kepada Ahlu Kisa. Misalnya, ketika ayat ini diturunkan, orang-orang bertanya kepada Nabi: “Siapakah Qurbah, yang kecintaan kepada mereka wajib bagi kami?” Nabi menjawab, “Ali, Fatimah, dan kedua anak-anak mereka.” Nabi mengulangi jawabannya ini tiga kali.

Dari Sa’ad bin Abi Waqash yang berkata, “Ketika ayat ini turun, ‘Katakanlah, ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu…’ Rasulullah saw memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Lalu Rasulullah saw berkata, ‘Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku.”‘. Sahih Muslim, jld 2, hal 360; Isa al-Halabi, jld 15, hal 176; Sahih Turmudzi, jld 4, hal 293, hadits nomer 3085; al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, jld 3, hal 150   

Para Khalifah Itu Adalah Para Imam Ahlul Bait
Lantas bagaimana kiranya jika Sang Rasul SAW wafat? siapakah Sang Khalifah pengganti Beliau SAW? Atau justru kekhalifahan itu sendiri menjadi tidak penting. Pembicaraan ini bisa sangat panjang dan bagi sebagian orang akan sangat menjemukan. Dengan asumsi bahwa kekhalifahan akan terus ada maka Sang khalifah setelah Rasulullah SAW bisa berupa
  • Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW
  • Khalifah yang diangkat oleh Umat Islam
adanya suatu riwayat dimana Sang Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah Khalifah bagi Umat Islam. Bagaimana sikap orang terhadap riwayat ini maka itu jelas bukan urusan penulis
.
Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih.)

Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan

Sesungguhnya kata “khulafa” di dalam hadis ini tidaklah dikhususkan untuk satu golongan tertentu, dan penafskan kalangan Ahlus Sunnah bahwa para khalifah itu adalah para khalifah yang empat adalah sebuah pentakwilan yang tanpa dalil. Karena pernyataan (proposisi) yang dikemukakan lebih luas dari klaim, dan bahkan bukti-bukti mengatakan sebaliknya. Yaitu bahwa yang dimaksud dengan para khalifah rasyidin ialah para Imam dua belas dari Ahlul Bait as. Disebabkan dalil-dalil dan riwayat-riwayat yang pasti yang menetapkan bahwa para khalifah rasyidin sepeninggal Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah. Al-Qanduzi al-Hanafi telah meriwayatkan di dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah, “Yahya bin Hasan telah menyebutkan di dalam kitab al-’Umdah melalui dua puluh jalan bahwa para khalifah sepeninggal Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah, dan seluruhnya dari bangsa Quraisy. Dan begitu juga di dalam Sahih Bukhari melalui tiga jalan, di dalam Sahih Muslim melalui sembilan jalan, di dalam Sunan Abu Dawud melalui tigajalan, di dalam Sunan Turmudzi melalui satu jalan, dan di dalam al-Hamidi melalui tiga jalan.

Di dalam Sahih Bukhari berasal dari Jabir yang mengatakan, “Rasulullah saw telah bersabda, ‘Akan muncul sepeninggalku dua belas orang amir’, kemudian Rasulullah saw mengatakan sesuatu yang saya tidak mendengarnya. Lalu saya menanyakannya kepada ayah saya, ‘Apa yang telah dikatakannya?’ Ayah saya men-jawab, ‘Semuanya dari bangsa Quraisy.’” Adapun di dalam Sahih Muslim berasal dari ‘Amir bin Sa’ad yang berkata, “Saya menulis surat kepada Ibnu Samrah, ‘Beritahukan kepada saya sesuatu yang telah Anda dengar dari Rasulullah saw.’ Lalu Ibnu Samrah menulis kepada saya, ‘Saya mendengar Rasulullah saw bersabda pada hari Jumat sore pada saat dirajamnya al-Aslami, ‘Agama ini akan tetap tegak berdiri hingga datangnya hari kiamat dan munculnya dua belas orang khalifah yang kesemuanya berasal dari bangsa Quraisy.”

Setelah ini tidak ada lagi orang yang bisa berhujjah dengan hadis “Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin..” dengan menerapkannya kepada para khalifah yang empat. Dikarenakan riwayat-riwayat yang mutawatir yang mencapai dua puluh jalan, yang kesemuanya dengan jelas mengatakan khalifah itu ada dua belas orang; dan kita tidak akan menemukan penafsiran bagi riwayat-riwayat ini pada dunia nyata kecuali pada para Imam mazhab Ahlul Bait yang dua belas. Dengan demikian, Syi’ah adalah satu-satunya kelompok yang merupakan personifikasi dari makna hadis-hadis ini, dikarenakan penerimaan mereka kepada kepemimpinan Imam Ali as, kemudian Imam Hasan dan Imam Husain, dan setelah itu sembilan orang Imam dari keturunan Imam Husain, sehingga jumlah mereka seluruhnya berjumlah dua belas orang Imam.

Pada kesempatan ini saya cukupkan Anda dengan riwayat yang berbunyi, “Aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yaitu Kitab Allah dan ‘ltrah Ahlul Baitku.”
Riwayat ini merupakan salah satu korban daripada pengubahan. Namun, Allah SWT menampakkan cahaya-Nya. Al-Qanduzi al-Hanafi sendiri telah menukilnya di dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah. Pada mawaddah kesepuluh dari kitab Mawaddah al-Qurba, bagi Sayyid Ali al-Hamadani —semoga Allah SWT mensucikan jalannya dan mencurahkan keberkahannya kepada kita— disebut-kan, “Dari Abdul Malik bin ‘Umair, dari Jabir bin Samrah yang ber-kata, ‘Saya pernah bersama ayah saya berada di sisi Rasulullah saw, dan ketika itu Rasulullah saw bersabda, ‘Sepeninggalku akan ada dua belas orang khalifah.’ Kemudian Rasulullah saw menyamarkan suar-anya. Lalu saya bertanya kepada ayah saya, ‘Perkataan apa yang disamarkan olehnya?’ Ayah saya menjawab, ‘Rasulullah saw berkata, ‘Semua berasal dari Bani Hasyim.”

Bahkan Al-Qanduzi meriwayatkan banyak hadis lain yang lebih jelas dari hadis-hadis di atas. Al-Qanduzi telah meriwayat dari ‘Abayah bin Rab’i, dari Jabir yang mengatakan, “Rasulullah saw telah bersabda, ‘Saya adalah penghulu para nabi dan Ali adalah penghulu para washi, dan sesungguhnya para washi sepeninggalku berjumlah dua belas orang. Yang pertama dari mereka adalah Ali, dan yang terakhir dari mereka adalah al-Qa’im al-Mahdi.”‘
Setelah menyebutkan hadis-hadis ini, Al-Qanduzi al-Hanafi tidak menemukan apa-apa selain harus mengakui dan mengatakan, “Sesungguhnya hadis-hadis yang menunjukkan bahwa para khalifah sesudah Rasulullah saw sebanyak dua belas orang khalifah, telah banyak dikenal dari banyak jalan, dan dengan penjelasan jaman dan pengenalan alam dan tempat dapat diketahui bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah saw dari hadis ini ialah para Imam dua belas dari Ahlul Bait Rasulullah saw. Karena tidak mungkin kita dapat menerap-kannya pada raja-raja Bani Umayyah, dikarenakan jumlah mereka yang lebih dari dua belas orang dan dikarenakan kezaliman mereka yang amat keji, kecuali Umar bin Abdul Aziz, dan dikarenakan mereka bukan dari Bani Hasyim. Karena Rasulullah saw telah bersabda, ‘Seluruhnya dari Bani Hasyim’, di dalam riwayat Abdul Malik, dari Jabir. Dan begitu juga penyamaran suara yang dilakukan oleh Rasulullah saw di dalam perkataan ini, memperkuat riwayat ini. Dikarenakan mereka tidak menyambut baik kekhilafahan Bani Hasyim.

Kita juga tidak bisa menerapkannya kepada raja-raja Bani ‘Abbas, disebabkan jumlah mereka yang lebih banyak dibandingkan jumlah yang disebutkan, dan juga dikarenakan mereka kurang menjaga ayat “Katakanlah, ‘Aku tidak meminta upah apapun kepadamu atas risalah yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku’” dan hadis Kisa`. Maka mau tidak mau hadis ini harus diterapkan kepada para Imam dua belas dari Ahlul Bait Rasulullah saw. Karena mereka adalah manusia yang paling berilmu pada jamannya, paling mulia, paling warak, paling bertakwa, paling tinggi dari sisi nasab, paling utama dari sisi kedudukan dan paling mulia di sisi Allah SWT. Ilmu mereka berasal dari bapak-bapak mereka, dan terus bersambung kepada datuk mereka Rasulullah saw.
Maka penerapan hadis “Kamu harus berpegang teguh pada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku” kepada para Imam Ahlul Bait jauh lebih dekat dibandingkan menerapkannya kepada para khalifah yang empat. Karena sudah jelas bahwa para khalifah sepeninggal Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah, yang kesemuanya berasal dari Bani Hasyim.

KRITIKAN HADIS
  1. KRITIKAN 1 : MAKNA PERKATAAN ‘MAWLA’

 “Allah tidak meninggalkan sedikit pun argumen (hujjah) dan bantahan bagi siapa pun setelah peristiwa Ghadir Khum.” (Sayyidah Fathimah AS, Dala’il al-Imamah, hlm. 38. Lihat juga, al-Khisal, Jil. 1, hlm. 173; Bihar al-Anwar, Jil. 30, hlm. 124.)
Sepanjang khotbah Rasulullah Saw di Ghadir Khum, beliau menekankan bahwa khotbahnya itu telah melengkapi hujjah (argumen) Allah atas seluruh manusia sampai Hari Kiamat. Itulah sebabnya Putri Tercinta Rasul, Sayyidah Fathimah As juga menekankan hal yang sama seperti yang saya kutip di atas.

Dengan cara yang sama, Imam Ali As mengingatkan kaum Muhajirin dan kaum Anshar di Masjid Nabawi (setelah mereka berbaiat kepada Abu Bakar), akan hak eksklusif kepemimpinannya atas umat dan perjanjian mereka kepada Rasulullah Saw di Ghadir Khum. Beberapa orang Anshar berdalih kepada Imam Ali, “Wahai Abul Hasan! Andai saja kami, kaum Anshar, mendengar hujjah-hujjah Anda sebelum kami berbaiat kepada Abu Bakar, pastilah tak seorang pun dari kami yang tidak menyetujui perintah Anda.”
Dengan tegas Imam Ali As menjawab, “Apakah kalian 
menginginkan saya meninggalkan jasad suci Rasulullah yang sudah dikafani dibiarkan tidak dikuburkan, kemudian saya mendatangi kalian untuk berselisih demi kekuasaan? Demi Allah! Saya tak dapat memercayai siapa pun yang mendambakan kekuasaaan lalu menyelisihi kami, Ahlul Bait, lalu membuat alasan untuk membenarkan apa yang telah mereka lakukan. Saya tidak melihat Rasulullah Saw meninggalkan sedikit pun ruang untuk pembicaraan kontroversial, atau satu bantahan pun untuk khotbah beliau di Ghadir Khum.” 1
Sayangnya, masih banyak orang yang meragukan keotentikan riwayat-riwayat Hadits Ghadir Khum, namun keraguan yang tidak disertai penelitian hanya akan menjadi penyakit hati. Saya pikir, terlalu banyak bukti2 otentik tentang keberadaan dan otentisitas hadits-hadits Ghadir Khum. 2
 
Sebagian orang lainnya menerima dengan lapang dada keberadaan dan keotentikan hadits-hadits tersebut, namun tetap berkilah bahwa makna kata mawla di sana hanya bermakna sahabat. Argumen ini pun sangat lemah. Biasanya, jika satu kata mempunyai banyak makna, cara yang paling baik untuk memastikan konotasi yang benar adalah dengan melihat hubungan (qarinah) dan konteksnya.
Ada 6 poin dari beberapa “hubungan” dalam hadits ini yang secara jelas menunjukkan bahwa makna yang paling sesuai dengan peristiwa di Ghadir Khum adalah makna : pemimpin.
Pertama : Satu pertanyaan yang dilontarkan Rasulullah Saw sebelum beliau membuat pernyataan, “Apakah aku lebih berwenang (awla) atas diri kalian ketimbang diri kalian sendiri?” Semua sahabat yang hadir serentak menjawab, “Betul kami bersaksi bahwa engkau lebih berwenang (awla) atas kami ketimbang diri kami sendiri” Lalu Nabi melanjutkan kata-katanya sambil mengangkat lengan Ali, “Siapa yang menjadikanku mawla, maka Ali adalah mawla-nya” Tidak diragukan lagi, kata mawla (yang memiliki wewenang) di dalam pernyataan Rasulullah ini sama dengan makna awla pada kalimat Nabi sebelumnya.

Sedikitnya, 64 perawi hadits meriwayatkan hadits ini, yang antara lain : Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah, an-Nasa’i dan at-Tirmidhi.
Kedua: Doa lainnya yang Rasulullah Saw ucapkan setelah pernyataan beliau ini adalah : “Ya Allah! Cintailah orang yang mencintai Ali, dan musuhilah orang yang memusuhi Ali, tolonglah orang yang menolong Ali, dan tinggalkanlah (abaikanlah) orang yang meninggalkan (mengabaikan) Ali”

Doa ini menunjukkan bahwa Ali, pada hari itu, dipercayakan dengan suatu tanggung jawab, yang secara alami, akan membuat beberapa orang menjadi musuhnya, dan untuk menyelesaikan tanggung jawab ini Imam Ali membutuhkan penolong dan pendukung. Apakah penolong dibutuhkan untuk sebuah persahabatan?

Ketiga: Pernyataan Rasulullah Saw yang menyatakan bahwa : “Tampaknya aku akan segera dipanggil dan aku akan memenuhi (panggilan itu)” ini dengan jelas menunjukkan bahwa beliau sedang membuat persiapan untuk menetapkan suatu kepemimpinan sepeninggalnya.

Keempat : Di dalam salah satu riwayat 3, Umar bin Khaththab mengucapkan selamat setelah diangkatnya Imam Ali As sebagai mawla seluruh kaum mukmin. Dan seandainya kata ‘mawla’ bermakna ‘sahabat’, maka kalimat ucapan selamat Umar bin Khaththab tersebut menjadi janggal : “Alangkah bahagianya Anda wahai Ali bin Abu Thalib, Anda telah menjadi sahabat setiap mukmin laki-laki maupun mukmin perempuan”. Lalu apakah sebelum peristiwa Ghadir Khum ini, Imam Ali menjadi musuh seluruh kaum Mukmin? 4

Kelima : Menurut ayat (QS 5 : 67) : “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” yang diwahyukan sebelum pengumuman kepemimpinan (wilayah) Imam Ali as, Allah Swt telah memerintahkan sesuatu yang teramat penting dan berhubungan dengan Rasulullah Saw, yang jika tidak disampaikan akan membahayakan keseluruhan misi Islam. Persoalan ini sedemikian signifikan bahwa Rasulullah merasa takut akan adanya gangguan penentangan, pengingkaran, dan perlawanan sehingga beliau tengah menanti momen yang tepat (aman) untuk menyampaikan amanah dari Allah Swt ini, sampai pada akhirnya tiba satu perintah Allah yang mendesak dan penting untuk melaksanakannya tanpa penundaan dan tanpa perlu rasa takut kepada siapa pun.

Keenam: Ayat ke 3 dari Surah Al-Maidah : “Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS 5 :3), yang diwahyukan segera setelah pengangkatan Imam Ali ini, menunjukkan bahwa sebelumnya orang-orang kafir masih punya harapan bahwa suatu waktu Islam akan lenyap. Akan tetapi melalui aktualisasi peristiwa khusus ini (al-Ghadir), Allah membuat orang-orang kafir kehilangan harapan selama-lamanya untuk menghancurkan Islam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa peristiwa ini (al-Ghadir) merupakan peristiwa penyempurnaan Islam dan Allah melengkapi Rahmat-Nya atas manusia dengan peristiwa ini.
Karena sedemikian pentingnya, tentulah Ghadir Khum bukan sebuah peristiwa kecil atau kesempatan yang tak begitu penting seperti sebuah pengumuman dari perintah agama yang sederhana, atau suatu pengumuman bahwa Ali hanyalah seorang “kawan” atau “sahabat” Nabi Muhammad Saw.
Sebuah Pendekatan Rasional:
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat serasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan, dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih, lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min” [Al-Quran Surah al-Taubah [9] ayat 128]
Dengan gamblang, Allah Swt menyatakan bahwa Rasulullah Saw memiliki rasa cinta dan kasih sayang yang sedemikian dalam kepada umat manusia. Beliau senantiasa berusaha memastikan kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan para pengikutnya, dan tak pernah memiliki keinginan untuk memaksakan kehendak-kehendak pribadinya, juga tak pernah membebani seseorang di luar kemampuannya. Bahkan beliau sangat dikenal beberapa kali memendekkan shalatnya segera setelah mendengar suara tangisan bayi.

Adalah mustahil menyimpulkan bahwa Nabi mulia yang diutus “sebagai Rahmat atas semesta alam ini” telah memerintahkan kepada para pengikut, sahabat-sahabatnya untuk duduk di atas gurun pasir yang panas tanpa ada tempat berlindung dari sengatan terik matahari, berjam-jam lamanya, hanya untuk mengatakan bahwa ‘Ali ibn Abi Talib adalah “sahabat”-nya.”
Seperti klaim yang lebih absurd dari ini adalah bahwa peristiwa Ghadir ini semata-mata ingin meninggikan kedudukkan Ali yang lebih utama dari sahabat-sahabat Nabi lainnya.5 Memang tak bisa dipungkiri lagi bahwa Peristiwa Ghadir Khum merupakan hujjah yang tak lagi dapat dibantah, seperti yang telah diutarakan oleh sebaik-baik wanita sepanjang zaman, Fathimah al-Shiddiqah As di atas. Semoga Allah Swt memberikan syafa’at-Nya kepada kita melalui beliau. Amin ya Ilahi…

Laa hawla wa laa quwwata illa billah
1Catatan Akhir
  1. 1 Vahid Majd, The Sermon of Prophet Muhammad PBUH & HF at Ghadir Khum hlm. 17-18,
  2. al- Ihtijaj, Jil. 1, hlm. 74; Bihar al-Anwar, Jil. 28, hlm. 185.
  3. 2 Jika Anda masih meragukan otentisitas atau tingkat mutawatir hadits-hadits al-Ghadir, saya
  4. anjurkan Anda membuka situs ini: http://www.al-islam.org/ghadir/. Sebuah Situs khusus yang
  5. memuat data yang teramat lengkap tentang semua hal yang berkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum.
  6. 3 Peristiwa ini diriwayatkan oleh al-Daruquthni yang tercantum dalam kitab Sawaiq al-Muhriqah
  7. hal.26, dan Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad-nya 2:325
  8. 4 Al-Mujtaba Islamic Articles, Ghadeer Khumm and Orientalists.
  9. 5Thaqalayn Muslim Association, What Happen at Ghadeer Khumm at Glance.

Makna kata Mawla: kekasih, penolong, pelindung, dan pemimpin.
Hadis Al-Ghadir disampaikan oleh Rasulullah saw di depan kurang-lebih 150.000 sahabat, sesudah haji wada’, dalam situasi yang sangat penting. Tentu missi ini bukan missi yang sederhana, tetapi missi yang paling besar, paling menentukan masa depan Risalah Nabi saw, dan nasib kaum muslimin dan mukminin pasca Rasulullah saw. Di sini jelas, tidak mungkin kata Mawla bermakna kekasih, penolong dan pelindung, tapi jelas bermakna pemimpin. Karena kepemimpinan adalah puncak segala persoalan dalam Islam. Gagalnya kepemimpinan adalah kegagalan segala aspek kehidupan.
Dengan demikian jelaslah bahwa kata Mawla dalam hadis Al-Ghadir bermakna pemimpin, bukan kekasih, penolong atau pelindung. Kondisi kaum muslimin dewasa ini menunjukkan adanya kegagalan kepemimpinan Islam pasca Rasulullah saw. Kegagalan kepemimpinan Islam akan berdampak pada segala aspek kehidupan: Idiologi, politik, sosial, ekonomi, pendidikan; penyimpangan makna ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi saw, perselisihan, permusuhan, kezaliman, kesengsaraan kaum muslimin.


Hadis Ghadir Khum yang menunjukkan kepemimpinan Imam Ali adalah salah satu hadis shahih yang sering dijadikan hujjah oleh kaum Syiah dan ditolak oleh kaum Sunni. Kebanyakan mereka yang mengingkari hadis ini membuat takwilan-takwilan agar bisa disesuaikan dengan keyakinan mahzabnya. Padahal Imam Ali sendiri mengakui kalau hadis ini adalah hujjah bagi kepemimpinan Beliau. Hal ini terbukti dalam riwayat-riwayat yang shahih dimana Imam Ali ketika menjadi khalifah mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berbicara meminta kesaksian soal hadis Ghadir Khum.

Dari Sa’id bin Wahb dan Zaid bin Yutsai’ keduanya berkata “Ali pernah meminta kesaksian orang-orang di tanah lapang “Siapa yang telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada hari Ghadir Khum maka berdirilah?. Enam orang dari arah Sa’id pun berdiri dan enam orang lainnya dari arah Za’id juga berdiri. Mereka bersaksi bahwa sesungguhnya mereka pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Ali di Ghadir Khum “Bukankah Allah lebih berhak terhadap kaum mukminin”. Mereka menjawab “benar”. Beliau bersabda “Ya Allah barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”. [Musnad Ahmad 1/118 no 950 dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir]


Sebagian orang membuat takwilan batil bahwa kata mawla dalam hadis Ghadir Khum bukan menunjukkan kepemimpinan tetapi menunjukkan persahabatan atau yang dicintai, takwilan ini hanyalah dibuat-buat. Jika memang menunjukkan persahabatan atau yang dicintai maka mengapa ada sahabat Nabi yang merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika mendengar kata-kata Imam Ali di atas. Adanya keraguan di hati seorang sahabat Nabi menyiratkan bahwa Imam Ali mengakui hadis ini sebagai hujjah kepemimpinan. Maka dari itu sahabat tersebut merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya karena hujjah hadis tersebut memberatkan kepemimpinan ketiga khalifah sebelumnya. Sungguh tidak mungkin ada keraguan di hati sahabat Nabi kalau hadis tersebut menunjukkan persahabatan atau yang dicintai.

Dari Abu Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Abu Thufail berkata “ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya “sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata “Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti itu tentangnya”.[Musnad Ahmad 4/370 no 19321 dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 88 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini]


Kata mawla dalam hadis ini sama halnya dengan kata waliy yang berarti pemimpin, kata waly biasa dipakai oleh sahabat untuk menunjukkan kepemimpinan seperti yang dikatakan Abu Bakar dalam khutbahnya. Inilah salah satu hadis Ghadir Khum dengan lafaz Waly.

Dari Sa’id bin Wahb yang berkata “Ali berkata di tanah lapang aku meminta dengan nama Allah siapa yang mendengar Rasulullah SAW pada hari Ghadir Khum berkata “Allah dan RasulNya adalah pemimpin bagi kaum mukminin dan siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka ini (Ali) menjadi pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya dan jayakanlah orang yang menjayakannya. [Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 93 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].
Dan perhatikan khutbah Abu Bakar ketika ia selesai dibaiat, ia menggunakan kata Waly untuk menunjukkan kepemimpinannya. Inilah khutbah Abu Bakar

Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian maka jika berbuat kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku, kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah diantara kalian ia kuanggap kuat hingga aku mengembalikan haknya kepadanya jika Allah menghendaki. Sebaliknya yang kuat diantara kalian aku anggap lemah hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya jika Allah mengehendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah timpakan kehinaan dan tidaklah kekejian tersebar di suatu kaum kecuali adzab Allah ditimpakan kepada kaum tersebut. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan RasulNya maka tiada kewajiban untuk taat kepadaku. Sekarang berdirilah untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian. [Sirah Ibnu Hisyam 4/413-414 tahqiq Hammam Sa’id dan Muhammad Abu Suailik, dinukil Ibnu Katsir dalam Al Bidayah 5/269 dan 6/333 dimana beliau menshahihkannya].
  1. KRITIKAN 2 : HADIS GHADIR ADALAH UNTUK MENGECAM ORANG YANG MERENDAHKAN ALI MENGENAI PEMBAHAGIAN RAMPASAN DI YAMAN
Terakhir kami akan menanggapi syubhat paling lemah soal hadis Ghadir Khum yaitu takwilan kalau hadis ini diucapkan untuk meredakan orang-orang yang merendahkan atau tidak suka kepada Imam Ali perihal pembagian rampasan di Yaman. Silakan perhatikan hadis Ghadir Khum yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada banyak orang, tidak ada di sana disebutkan perihal orang-orang yang merendahkan atau mencaci Imam Ali. Kalau memang hadis ghadir khum diucapkan Rasulullah SAW untuk menepis cacian orang-orang terhadap Imam Ali maka Rasulullah SAW pasti akan menjelaskan duduk perkara rampasan di Yaman itu, atau menunjukkan kecaman Beliau kepada mereka yang mencaci Ali. Tetapi kenyataannya dalam lafaz hadis Ghadir Khum tidak ada yang seperti itu, yang ada malah Rasulullah meninggalkan wasiat bahwa seolah Beliau SAW akan dipanggil ke rahmatullah, wasiat tersebut berkaitan dengan kepemimpinan Imam Ali dan berpegang teguh pada Al Qur’an dan ithrati Ahlul Bait. Sungguh betapa jauhnya lafaz hadis tersebut dari syubhat para pengingkar.
Hadis yang dijadikan hujjah oleh penyebar syubhat ini adalah hadis Buraidah ketika ia menceritakan soal para sahabat yang merendahkan Imam Ali. Hadis tersebut bukan diucapkan di Ghadir Khum dan tentu saja Rasulullah SAW akan marah kepada sahabat yang menjelekkan Imam Ali karena Imam Ali adalah pemimpin setiap mukmin (semua sahabat Nabi) sepeninggal Nabi SAW . Disini Rasulullah SAW mengingatkan Buraidah dan sahabat lain yang ikut di Yaman agar berhenti dari sikap mereka karena Imam Ali adalah pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW.

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah yang berkata “Rasulullah SAW mengirim dua utusan ke Yaman, salah satunya dipimpin Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya dipimpin Khalid bin Walid. Beliau SAW bersabda “bila kalian bertemu maka yang jadi pemimpin adalah Ali dan bila kalian berpisah maka masing-masing dari kalian memimpin pasukannya. Buraidah berkata “kami bertemu dengan bani Zaid dari penduduk Yaman kami berperang dan kaum muslimin menang dari kaum musyrikin. Kami membunuh banyak orang dan menawan banyak orang kemudian Ali memilih seorang wanita diantara para tawanan untuk dirinya. Buraidah berkata “Khalid bin Walid mengirim surat kepada Rasulullah SAW memberitahukan hal itu. Ketika aku datang kepada Rasulullah SAW, aku serahkan surat itu, surat itu dibacakan lalu aku melihat wajah Rasulullah SAW yang marah kemudian aku berkata “Wahai Rasulullah SAW, aku meminta perlindungan kepadamu sebab Engkau sendiri yang mengutusku bersama seorang laki-laki dan memerintahkan untuk mentaatinya dan aku hanya melaksanakan tugasku karena diutus. Rasulullah SAW bersabda “Jangan membenci Ali, karena ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu, ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu. [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain hadis no 22908 dan dinyatakan shahih].

No comments:

Post a Comment