Tuesday, August 2, 2011

Pengantar Studi Komparatif

Pengantar Studi Komparatif Hadis Sunni dan Syiah:
Keadilan Sahabat dan Tadwin Hadis


Pada tanggal 7 Agustus 2008 kemarin, aku dan temanku pergi ke Jogja. Tapi kali ini bukan untuk liburan, melainkan untuk menghadiri workshop dosen-dosen Ilmu hadits PTAI yang diselenggarakan di UIN Kalijaga Yogyakarta. Sebagai pembicara adalah Prof. Dr. H. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. Sebelum beliau juga ada pembicara lain seperti Dr. Suryadi, M.A yang merupakan staf pengajar Ilmu Hadits UIN dan Muhammad Zain. Sebenarnya acaranya tertutup, namun karena mengatasnamakan IJABI, orang yang mengantarkan Ustadz Jalal ke tempat, maka aku dan beberapa kawan-kawan dari IJABI diperbolehkan masuk.

Saya akan menyoroti topik pembicaraan Ustadz Jalal. Beliau mengambil tema Pengantar pada Studi Komparatif Hadits Sunni dan Syi’ah. Pada makalah tersebut beliau tidak menguraikan perbandingan ulum al-hadits dari kedua mazhab tersebut, tetapi memilih untuk menjelaskan dua perbedaan yang penting dalam penelitian hadits di antara keduanya: pandangan tentang ’Adalat al-Shahabat dan Sejarah Tadwin (pembukuan) al-Hadits.

”Dari ’Irbadh bin Sariyah, ia berkata: Rasulullah memimpin salat subuh. Kemudian ia menasehati kami dengan nasehat yang sangat indah, sehingga berlinang air mata kami, dan bergetar hati kami. Seseorang berkata: Ya Rasulullah, seakan-akan ini nasehat terakhir, berilah kami wasiat. Lalu ia bersabda: Aku wasiatkan kamu untuk bertakwa kepada Allah, dan untuk mendengar dan menaati (pemimpin kamu) walaupun ia budak dari Habsyi. Siapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku akan melihat ikhtilaf yang banyak sekali. Hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah al-khulafa al-rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpeganglah kepadanya erat-erat.”

Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Darimi dalam Sunan Al-Darimi 1:57, Bab Ittiba’ Al-Sunnah, hadits 59; Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud 4:200, Bab Luzum al-Sunnah, hadits 4607; Al-Turmudzi dalam Sunan al-Turmudzi, 5:43, Kitab al-Ilm, hadits 2676; Ibnu Majah dalam Sunan Ibn Majah, 1:16, hadits 42, Bab Ittiba’ Sunnat al-Khulafa al-Rasyidin al-Mahdiyyin; dan dalam Musnad Ahmad, 5:109, hadits 16692, 16694-5; lihat juga Kanz al-Ummal 6:55, hadits 14818.

Dari hadits ini, para ahli hadits di kalangan Ahli Sunnah memperluas cakupan Sunnah dari eksklusif Sunnah Nabi kepada Sunnah para sahabat, khususnya sahabat yang termasuk al-Khulafa al-Rasyidin. Menurut Ustadz Jalal, dari sini juga muncul anggapan bahwa para sahabat semua adil dan karena itu tidak boleh dikritik atau disalahkan (konsep adalat al-shahabat).

Dengan hadits ini pula para fuqaha melegitimasi bid’ah-bid’ah yang dibuat oleh para shahabat Nabi. Ketika menolak anggapan orang bahwa azan kedua shalat Jum’at itu bid’ah, Al-Syaikh Al-Fawzan berkata: ”Azan awal hari Jumaat diperintahkan oleh Amirul Mukminin Utsman bin ’Affan, yang ketiga dari Al-Khulafa al-Rasyidin. Nabi bersabda: Ikutilah Sunnahku dan Sunnah al-Khulafa al-Rasyidin.” (Majalah ”Al-Muslimun”, 27 Nopember 1992, Nomor 408).

Sa’id Hawwa menulis, ”Tidakkah engkau lihat bahwa para sahabat sudah ijmak pada tindakan Umar yang menghimpun orang untuk salat Tarawih berjamaah yang dipimpin imam dengan 20 rakaat dan ucapan Umar (Bid’ah yang paling baik ini). Semuanya itu benar dari Umar dan para sahabat. Tidakkah kau perhatikan bahwa orang yang menganggap Umar sesat karena sebab itu (yakni, karena membuat bid’ah salat Tarawih) sudah masuk dalam lingkungan kesesatan. Umar termasuk al-Khulafa al-Rasyidin al-mahdiyyin yang kita diperintahkan untuk meneladaninya dan mengikuti petunjuknya”. (Sa’id Hawwa, Al-Asas fi al-Sunnah wa Fiqhuha, 358,. Su’udi: Dar al-Salam, 992).

Menurut fuqaha Ahli Sunnah, di samping Rasulullah ada empat marja’ basyariyyah (pusat rujukan manusia): Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Di samping Sunnah Nabi ada Sunnah Al-Khulafa al-Rasyidin. Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah berkata: Jika aku tidak menemukannya dalam Kitab dan Sunnah Rasulullah Saw aku mengambil qawl para sahabatnya, walaupun mereka berselisih pendapat dalam masalah hukum. Aku mengambil mana saja yang aku kehendaki dan membuang mana saja yang aku kehendaki. Aku tidak pernah keluar dari pendapat mereka untuk mengikuti pendapat diluar mereka seperti tabi’in.” (Abu Zuhrah, Abu Hanifah, h. 304).

Begitu pentingnya sunnah shahabat sampai Al-Qur’an pun dapat ditakhshish (dikecualikan) dengan contoh dari para sahabat. ”Sesungguhnya pengikuti Hanbali dan Hanafi,” kata Ibnu Hazm dalam I’lam al-Muwqi’in,” berpendapat tentang takhshish Kitab Allah dengan amal shahabi, karena shahabat yang berilmu tidak akan meninggalkan amal dalam keumuman Al-Kitab kecuali dengan dalil. Amalnya yang bertentangan dengan umumnya Al-Kitab menjadi dalil tentang takhshish dan dengan begitu amalnya mendapat pahala.” (AL-Duwailibi, Al-Madkhal ila Ushul al-Fiqh, 217).
Jadi, ketika Umar melarang Haji Tamattu’ dan Nikah Tamattu’, ia tidak menentang Al-Qur’an yang membolehkannya, melainkan ia sedang melakukan takhshish.

Walhasil, sepeninggal Rasulullah Saaw, para khalifah menjadi pembuat syari’at di samping Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, mereka harus dimaksumkan”, walaupun Ahli Sunnah tidak menggunakan istilah itu. Salah satu dalil yang memperkokoh kemaksuman shahabat adalah hadits Al-’irbadh ini. 


’Adalat Al-Shahabat
Selanjutnya, aku akan mencoba menyampaikan pendapat dari Ustadz Jalal mengenai pandangan Sunni dan Syi’ah tentang Kemaksuman Shahabat” atau ’Adalat al-Shahabat yang setelah itu akan diakhiri dengan pandangan Sunni dan Syi’ah berkenaan dengan Tadwin al-Sunnah. Semoga para pembaca masih bersabar untuk membaca tulisan ini sampai tuntas.

Pandangan Sunni tentang Shahabat
Siapa yang menyertai Rasul Allah Saw, atau pernah melihatnya dari kalangan Muslim ia termasuk shahabatnya,” kata Al-Bukhari dalam shahihnya. Jadi, siapa saja Muslim yang hidup sezaman dengan Nabi dan melihat Nabi walaupun hanya sebentar dihitung sebagai sahabat. Siapa saja itu dapat jin atau manusia, dapat besar atau kecil. Muhammad bin Abu Bakar dihitung sebagai shahabat, walaupun ia lahir pada haji Wada’, akhir Dzul Qa’dah sebelum Nabi Saw sampai ke Mekkah. Tiga bulan sebelum wafat Rasulullah Saw.

Ibnu Hajar berkata, ”Yang paling benar menurutku ialah bahwa shahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi Saaw yang sambil beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam. Termasuk ke situ siapa saja yang bertemu dengan Nabi, baik yang lama pertemuannya ataupun yang sebentar, baik yang meriwayatkan atau tidak, baik yang berperang bersamanya atau tidak, baik yang pernah melihatnya walaupun tidak duduk bersamanya, atau yang tidak melihatnya karena buta. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Muqaddimah Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, hal. 4).
Masih kata Ibnu Hajar, ”Sepakat Ahlu Sunnah bahwa semua sahabat ’udul. Tidak ada yang membantahnya kecuali orang-orang yang menyimpang dari kelompok ahli bid’ah.” Al-Ghazali menulis, ”Menurut pendapat salaf dan jumhur khalaf ’adalah shahabat itu diterima karena Allah pun menjadikannya ’adil (bi ta’dilihim iyyahum) dan memujinya dalam Kitab-Nya; kecuali yang benar-benar jelas kefasikannya dan ia sadari. Untuk yang tidak jelas untuk tidak diperlukan ta’dil. Allah SWT berfirman: Kamulah umat yang paling baik yang dikeluarkan ditengah-tengah manusia…(kemudian Al-Ghazali mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah tentang keadilan sahabat). Sekiranya tidak ada nash Al-Qur’an dan Sunnah tentang keadilan mereka, keadaan mereka –hijrah, jihad, berkorban, memerangi orang tua dan keluarga demi membela dan menolong Rasulullah– cukuplah sebagai argumen tentang keadilan mereka. Mereka semua mujtahid atas apapun yang mereka lakukan. Yang benar mendapat pahala, yang salah dimaafkan.” (Al-Mustashfa, hal. 204-205).

Walaupun ada sekelompok kecil dari umat terdahulu seperti Washil bin Atha, ’Amr bin ’Ubayd dan dari ulama belakangan ini seperti Syaikh Shalih Mahdi al-Muqbili, Syaikh Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha, dan Mahmud Abu Rayyah (nama ini tidak disukai oleh banyak pelajar hadits) yang menentang pendapat ini dari kalangan Ahli Sunnah, mayoritas Ahli Sunnah menjadikan keadilan sahabat sebagai tonggak doktrin agamanya. Abu Rayyah menulis:

Sekalipun jumhur berpendapat bahwa sahabat semua ’udul, tidak boleh dikenakan kepadanya al-jarh wa ta’dil sebagaimana dikenakan pada perawi yang lainnya dan menganggapnya maksum dari segala kesalahan dan lupa, ada banyak peneliti yang tidak menerima keadilan mutlak bagi semua sahabat. Mereka berkata seperti Al-Muqbili: Yang ’adil itu kebanyakan bukan semuanya. Mungkin terjadi pada mereka apa yang mungkin terjadi pada yang lain, yang memang lahir dari tabiat manusiawi…apa yang terjadi pada zaman Nabi Saw seperti orang munafik dan para pembohong dan apa yang terjadi sesudahnya berupa perang, kerusuhan (fitnah), permusuhan yang dampaknya terus menerus sampai zaman kita sekarang dan akan terus berlanjut sampai zaman yang akan datang.” (Al-Adhwa ’ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 322-323).

Pandangan Syi’ah tentang Shahabat
Bagaimana pandangan Syi’ah tentang ’adalat al-shahabat? Syi’ah tidak mensucikan semua sahabat seperti jumhur Ahli Sunnah; tetapi Syi’ah juga tidak mengecam semua sahabat seperti Washil bin ’Atha (dan pendahulunya kaum khawarij). Kita kutip Hasyim Ma’ruf Al-Husayni, ahli hadits syi’ah kontemporer:

Bagaimana dapat dibenarkan menisbahkan ’adalah kepada semua mereka? Di antara mereka ada yang mengecam Nabi Saw dalam membagikan shadaqah seperti disebutkan dalam Surat Al-Maidah. Di antara mereka ada yang menyakiti Nabi sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah. Di antara mereka ada yang mendirikan masjid untuk merusak dan memecah belah kaum mukminin seperti disebutkan dalam surat Al-Taubat. Diantara mereka ada yang tidak mau ikut dalam perang Tabuk lebih dari 80 orang. Mereka bersumpah bahwa iman mereka palsu sebagaimana disebutkan dalam ayat mereka bersumpah kepada kamu dengan sumpah palsu, hanya supaya kamu senang kepada mereka”.

Diantara mereka ada 14 orang lelaki yang berniat membunuh Rasulullah pada malam yang gelap (mereka termasuk sahabat yang utama- ed), ada yang kecewa kalau Rasulullah memperoleh kebaikan dan yang bahagia kalau Rasul Saw mendapat musibat dan kelompok-kelompok lainnya sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an.

Ada di antara mereka yang murtad dari agamanya sepeninggal Beliau Saw, mengubah dan mengganti-ganti agama, tidak melaksanakan wasiat Beliau tentang Ali dan Ahli Baitnya dan menyakiti putrinya sampai ia meninggal dunia dalam keadaan murka kepada mereka sebagaimana disebutkan dalam hadits Shohih Bukhari. Padahal mereka mendengar berkali-kali Nabi Saw bersabda: Fathimah belahan nyawaku, siapa yang menyakitinya, menyakitiku.”

Di antara mereka ada yang mengalirkan darah kaum muslimin, menyebarkan semua fitnah; melakukan berbagai maksiat dan menjebak istri Nabi Aisyah sehingga ia memimpin pasukan para pecinta kekuasaan untuk menyerang pemimpin kaum muslimin, Ali ibn Abi Thalib as. Mereka tumpahkan darah, merampas kekayaan, menyebarkan ketakutan dan menodai kehormatan…

Diantara mereka yang membunuh Malik bin Nuwairah dan keluarganya kemudian bercampur dengan istrinya pada hari dibunuh suaminya hanya karena ia tidak mau membayar zakat kepada selain hukum syar’i. Padahal Rasulullah bersabda: Keputusan harus ditolak kalau buktinya tidak cukup”. Allah SWT berfirman, Janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu – kamu bukan muslim.” 

Diantara mereka seorang sahabat iaitu Amr ibn Ash, penasehat pertama Muawiyyah yang ikut serta pada semua kekacauan dan peperangan berdarah oleh anak-anak Hindun terhadap Ali as…

Dalam semua pertumpahan darah itu, Ibn Ash memainkan peranan yang penting. Pada waktu itu sakitnya yang mengantarkan kematiannya, Amr ibn Ash berulang-ulang mengucapkan penyesalannya: Sungguh aku telah mendapat sedikit dari kebaikan duniaku dan menimbulkan kerusakan yang banyak pada agamaku. Sekiranya aku perbaiki itu, apa yang aku rusak, dan sekiranya yang rusak itu aku perbaiki, pastilah aku orang yang beruntung. Sekiranya ada gunanya untuk meminta, aku akan meminta. Sekiranya aku dapat selamat dengan berlari, aku akan berlari.”

Kalau kita meneliti sejarah para sahabat, menurut ustadz Jalal, paling tidak ada dua bagian shahabat: Mukmin dan munafik. Kita harus memuji dan memuliakan sahabat-sahabat mukmin yang dipuji dan dimuliakan Al-Qur’an. Kita juga harus mengecam orang-orang munafik yang dikecam Al-Qur’an. Dan di antara orang-orang yang di sekitar kamu –orang-orang A’rab– ada orang-orang munafik dan juga dari penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu tidak mengetahui mereka, kami mengetahui mereka. Kami akan mengazab mereka dua kali kemudian mereka dikembalikan kepada azab yang besar.” (Al-Tawbah 101).

Bukhari meriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman: Sesungguhnya orang-orang munafik hari ini lebih buruk daripada mereka di zaman Rasulullah. Dahulu mereka menyembunyikan dirinya, hari ini mereka menampakkan dirinya. Dalam riwayat Bukhari yang lainnya, masih dari Hudzaifah, Ia berkata: Dahulu di zaman Nabi mereka munafik, sekarang ini mereka kafir setelah beriman. (Fath al-Bari 13:62-63).

Sayangnya, para sahabat Nabi Saw yang sudah jelas munafik itu kemudian dikultuskan sebagai manusia-manusia suci, yang tidak pernah salah, tidak pernah berdosa. Kalau mereka tidak boleh dikecam, mengapa mereka juga sering mengecam. Dr. Ahmad Amin menulis:
Kami melihat shahabat saling mengecam saling melaknat. Sekiranya shahabat itu memang tidak boleh dikritik atau dilaknat tentu aku akan mengetahuinya dari perilaku mereka sendiri. Mereka pasti lebih tau tentang keadaan mereka daripada orang-orang awam di zaman ini. Thalhah, Zubair dan Aisyah, dan bersama orang-orang yang bergabung bersama mereka, tidak menahan dirinya untuk menyerang Ali. Muawiyah dan Amr ibn Ash, tidak berhenti menyerang shahabat-shahabatnya dengan pedang-pedangnya. Diriwayatkan juga Umar mengecam riwayat Abu Hurairah, menyalahkan Khalid al-Walid dan menetapkan kefasikannya. Umar juga menuduh Amr bin Al-Ash dan Muawiyyah berkhianat dan merampok harta kaum Muslimin. Sedikit sekali sahabat yang selamat dari kecaman lidah dan tangan Umar bin Khattab. Dan banyak lagi hal-hal yang seperti itu. Begitu pula tabi’in mengikuti shahabat dalam mengecam perilaku maksiat dengan ucapan seperti manusia yang lain. Ada yang baik dan ada yang buruk. Yang buruk kita kecam, yang baik kita puji. Mereka tidak memiliki kelebihan sama sekali selain sempat menyaksikan Rasulullah dan hidup sezaman dengan beliau. Bahkan mungkin dosa mereka lebih buruk daripada dosa selain mereka. Mereka menyaksikan berbagai mu’jizat dan tanda-tanda kenabian. Pembangkangan kita lebih ringan ketimbang mereka. Kita dapat dimaafkan karena kita tidak tahu...”. 

Tadwin al-Hadits
Sebagaimana kita ketahui, sejarah perkembangan hadits melewati tiga periode:
  • Penyampaian hadits (naql al-hadits)
  • Penulisan Hadits (kitabat al-hadits)
  • Kodifikasi hadits (Tadwin al-Hadits)
Kita akan melihat bagaimana Sunni dan Syi’ah memandang setiap periode di atas.
Penyampaian hadits pada Ahli Sunnah
Pada awalnya, para sahabat tidak menyukai penyampaian hadits, apalagi penulisannya. Khalifah Abu Bakar dan Umar sangat keras melarang periwayatan hadits. Apakah pelarangan itu dilakukan karena alasan politik atau alasan lainnya (misalnya, agar hadits-hadits tidak bercampur dengan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti dinyatakan Umar) memerlukan pembahasan tersendiri. Berikut ini riwayat-riwayat tentang pelarangan hadits:
  • Sesungguhnya Al-Shiddiq mengumpulkan manusia setelah wafat Nabinya Saw. Ia berkata: “Kalian meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah yang kalian pertikaikan. Sesudah kalian pasti akan lebih banyak lagi pertikaian. Janganlah menyampaikan hadits Nabi Saw sedikitpun. Siapa saja yang bertanya kepadamu, katakanlah di antara kami dan kalian ada Kitabullah, halalkan yang halalnya dan haramkan yang haramnya.”
  • Dari Ibn Asakir, dari Muhammad bin Ishak, Ia berkata, “Sebelum Umar meninggal, ia memanggil shahabat-shahabat Rasulullah dari berbagai negeri –Abdullah bin Hudzaifah, Abu Al-Darda, Abu Dzar, Uqbah bin Amir– dan berkata: Mengapa kalian menyebarkan hadits-hadits ini di berbagai negeri? Mereka berkata: Kamu melarang kami? Umar berkata: Tidak. Tinggallah bersamaku. Demi Allah kalian tidak boleh meninggalkanku selama aku hidup. Kami lebih tahu! Kamilah yang menentukan untuk menerima hadits kamu. Para sahabat itu tidak meninggalkan Umar sampai ia meninggal.”
  • Dari Ibn Sa’ad dan Ibn Asakir dari Mahmud bin Labid. Ia berkata: Aku mendengar Utsman bin Affan berkata di mimbar: Tidak boleh seorang pun meriwayatkan hadits yang tidak dia dengar di zaman Abu Bakar maupun di zaman Umar. Aku tidak mahu menyampaikan hadits Nabi karena aku takut tidak dapat menjaganya, karena aku mendengar Nabi bersabda: Siapa yang mengatakan apa yang tidak aku katakan, siapkan tempatnya di neraka.
Penulisan Hadits pada Ahli Sunnah
Sebagaimana ada pelarangan periwayatan hadits, para shahabat juga melarang penulisan hadits.
  • Al-Dzahabi meriwayatkan dari Al-Hakim. Aisyah berkata ayahku mengumpulkan hadits dari Rasulullah Saw-500 hadits. Ia tidur dalam keadaan gelisah. Pada waktu subuh ia berkata: Anakku, ambillah hadits-hadits yang ada padamu. Lalu aku bawa hadits-hadits itu kepadanya. Ia membakarnya sambil berkata: Aku takut aku mati dan hadits-hadits itu ada padamu. Disitu ada hadits-hadits dari orang yang aku percayai. Kemudian hadits itu tidak seperti yang ia sampaikan kepadaku dan aku berpegang teguh kepadanya.
  • Dari Ibn Abdilbar dan Baihaqqi dari Urwah: Sesungguhnya Umar bermaksud menuliskan Sunnah. Ia bermusyarawat dengan shahabat Rasulullah. Mereka menyuruhkannya untuk menuliskannya kemudian Umar diam, beristikharah kepada Allah selamat satu bulan. Pada suatu pagi setelah Allah Swt menetapkan yang paling baik baginya. Ia berkata: Aku bermaksud untuk menuliskan sunnah tapi aku ingat kaum sebelum kalian menuliskan buku-buku dan sibuk mempelajarinya serta meninggalkan kitabullah. Demi Allah, aku tidak akan mencampurkan dalam kitab Allah sedikitpun…kemudian Umar menulis kepada semua kota dalam pemerintahannya; siapa yang mempunyai tulisan selain al-Qur’an, hendaknya menghapuskannya.
Kodifikasi hadits pada Ahli Sunah
  • Berkata al-Harawi: Sahabat dan tabiin tidak pernah menuliskan hadits. Mereka lebih menyukai periwayatan lisan dan menghafalkannya, kecuali kitab tentang zakat dan pembahasan yang sedikit. Ketika Umar bin Abdul Aziz melihat banyaknya ulama yang meninggal dunia, Umar bin Abdul Aziz (memerintah tahun 99H, dan wafat tahun 101 H), memerintahkan Abu Bakar bin Hazm: Perhatikan hadits Rasulullah dan Sunnahnya. Tuliskan bagiku karena aku takut hilangnya ilmu dan perginya para ulama. Ia mewasiatkan untuk dituliskan apa yang ada pada Umrah binti Abdurrahman.” Tetapi Ibnu Hazm tidak melaksanakan wasiat itu. Tidak lamat setelah Umar bin Abdul Aziz wafat, Yazid bin Abdul Malik memecatnya dari jabatan sebagai Gubernur Madinah.
  • Hisham bin Abdul Malik, pada masa pemerintahannya, yang menyuruh Muhammad bin Muslim bin Shihab al-Zuhri –dalam satu riwayat, memaksa– Muhammad bin Muslim bin Shahab al-Zuhri untuk mengkodifikasikan hadits. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin: Kitab-kitab dan buku-buku hadits tidak ada di zaman sahabat dan tabi’in yang awal. Penulisan kitab hanya ada pada tahun 120 H.
  • Proses tadwin berkembang pesat pada zaman Abbasiyah karena dorongan dari al-Mansyur al-Dhawadiqi.
Penyampaian hadits pada Syi’ah
Berbeda dengan para khalifah Ahli Sunnah, para Imam Syi’ah sejak awal menggalakkan penyampaian hadits. Tentu saja ada banyak hadits yang diriwayatkan oleh Ahlulbait tentang anjuran penyampaian, penulisan, dan kodifikasi hadits. Di sini saya hanya akan mencantumkan hadits-hadits yang relevan dari sumber-sumber Ahli Sunnah. 
Sebagai misal, para ahli hadits banyak meriwayatkan hadits tentang shahifah ’Ali yang mengandung sunnah Nabi Saw seperti ukuran diyat dan hukum-hukum pembebasan budak belian. Mereka berkata: Hadits tentang shahifah Ali sangat terkenal. (Muhammad Ajaj al-Khatib, al-Sunnah Qabal at Tadwin, 317-345; Dr. ’Itr, Manhaj al Naqd 46).
  • Dari Abu Juhaifah, ia berkata: Aku berkata kepada ‘Ali: Apakah ada kitab pada kalian? Ali menjawab, Tidak, kecuali kitab Allah, dan pemahaman yang dimiliki seseorang atau apa yang ada disini. Aku bertanya: apa yang ada dalam shahifah ini? Ali berkata: akal, pembebasan budak, dan tidak boleh seorang muslim dibunuh karena orang kafir. (Shahih al-Bukhari, bab Kitabat al Ilm, 1.38, kitab al-Diyat 9.213; Sunan ibn Majah 2.887).
  • Diriwayatkan oleh Abu Hasan al-A’raj: Sesungguhnya ’Ali pernah menyuruh satu perintah kemudian dikatakan kepadanya: Kami sudah melakukan begini dan begini. Ali berkata: Benarlah Allah dan Rasul-Nya. Ia ditanya: Apakah Rasulullah pernah menjanjikan sesuatu kepadamu? Ali berkata: Rasulullah tidak menjanjikan apapun yang khusus selain kepada orang lain, kecuali sesuatu yang aku dengar dari dia dan tertulis dalam shahifah di dalam sarung pedangku. Ketika Ali turun, ia mengeluarkan shahifah itu, dan di situ tertulis: Barang siapa membuat hal-hal baru dalam agama atau melindungi pembuat hal-hal baru dalam agama, maka baginya laknat Allah, malaikat dan seluruh umat manusia. Tidak diterima dari dirinya pertolongan dan tebusan. (Al-Baihaqi Dalail al-Nubuwwah 7-278; Abu Dawud 2.2-216 hadits 2034/5; lihat al-Baihaqi, al Sunan al Kubra 8.230; Sunan al-Duruquthni, 343; lihat, dengan redaksi yang berbeda, Shahih al-Bukhari 4:122, bab Dzimmat al-Muslimin; Shahih Muslim, kitab al Hajj bab Fadhl al-Madinah, 2.995; Musnad Ahmad 1:81; Irsyad Al-Sari 1:166; ’Umdad al-Qari 1:2561; Fath al-Bari 1:182).
  • Ar-Razi meriwayatkan dari Syubah (wafat 160H). Ada dua riwayat dari dua tabiin – Amr al Sya’bi dan Ata’ bin Abi Rabbah yang menjelaskan adanya kitab hadits yang ditulis ’Ali as. Diriwayatkan juga bahwa kitab itu ada pada Abu Harun al-’Abdi (wafat 134H) (Ibnu Abi Hatim al-Jarh wa al-Ta’dil, 1:130, 149). Kata Al-Duruquthni, mereka menyebutnya Shuhufi (Al-Daruquthni, Sualat al-Hakim). Disamping kitab yang baru disebut, Imam Ali juga mewariskan kepada kita, yang dapat kita saksikan sekarang, tulisan-tulisan lainnya: Nahj al-Balaghah, Kitab ’Ulum al-Qur’an, Kitab Al-Sunan wa al-Qadhaya wa al-Ahkam, dan lain-lain.
  • Setiap Imam juga meninggalkan warisan mushhaf atau buku, yang di dalamnya juga termaktub hadits-hadits yang diterima para imam dari ayah-ayah mereka, sampai kepada Rasulullah Saw. (Lihat daftar buku-buku hadits dari para imam, sebagian di antaranya pada Sayyid Muhammad Ridha al-Husayni al-Jalali, Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyyah. Beirut: Dar al-Hadi, 1413, 134-195).
Kesimpulan
Baik Sunni dan Syi’ah telah mewariskan kepada kita tradisi periwayatan dan penilaian hadits. Kedua mazhab sama-sama mengembangkan ’ulum al-hadits. Ustadz Jalal menyampaikan bahwa pada makalah beliau tidak mungkin menguraikan perbandingan ’ulum al-hadits dari kedua mazhab itu. Beliau lebih memilih untuk menjelaskan dua perbedaan penting dalam penelitian hadits di antara keduanya yaitu pandangan tentang ’adalat shahabat dan sejarah tadwin al-hadits.
Sunni menetapkan bahwa terhadap sahabat tidak diperbolehkan al-jarh wa al-ta’dil. Syi’ah menetapkan bahwa shahabat juga dapat dikenai al-jarh wa al-ta’dil. Syi’ah membedakan antara shahabat dengan para imam. Perbedaan utama antara Sunni dan Syi’ah hanyalah perbedaan istilah. Apa yang disebut ’udul oleh Sunni disebut Ishmah oleh Syi’ah. Sunni menetapkan Ishmah (kemaksuman) pada seluruh sahabat, sedangkan Syi’ah hanya menetapkan Ismah kepada 14 orang suci termasuk Rasulullah Saw.
Dalam hal tadwin, Ahli Sunnah selama hampir dua abad melarang penulisan hadits. Syi’ah mempunyai tradisi penulisan hadits sejak Imam Ali as sampai kepada para Imam berikutnya. Karena fanatisme mazhab, perbendaharaan hadits syi’ah ini, tidak sampai kepada para pengikut Ahli sunnah. Tentu saja diperlukan studi kritis yang terus menerus terhadap, baik hadits-hadits ahli sunnah maupuan hadits-hadits syi’ah. 

Wa’alaL Allah tawakkaltu wa ilayhi unib.

No comments:

Post a Comment