5 February 2009
Oleh :
Dr. Jalaluddin Rahmat
Islam
adalah agama yang melanjutkan tradisi Ibrahim as. Ibadat haji, misalnya, adalah
salah satu contoh tradisi Ibrahim yang masih terus dilaksanakan. Demikian juga
dengan ibadat kurban. Dalam ibadat salat, kita mengakhiri salat kita dengan
membaca salawat kepada Ibrahim dan keluarganya, di samping kepada Muhammad saw
dan keluarganya.
Al-Quran
pun banyak menceritakan perjalanan kehidupan Ibrahim. Berkaitan dengan hal ini,
Al-Quran mengisahkan saat Tuhan bertanya kepada Ibrahim: Fa ayna tadzhabun.
Lalu, akan ke mana kamu pergi? (QS. Al-Takwir; 26) Al-Quran mengisahkan jawaban
Ibrahim: Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan Dia akan memberi
petunjuk kepadaku. (QS. Al-Shaffat; 99)
Pertanyaan
fa ayna tadzhabun, “Lalu ke mana kamu pergi?” juga dikenal dalam istilah Latin
yang menyebutnya, “Quo Vadis?” Istilah Latin itu ditujukan untuk orang yang
agak menyimpang atau aneh. Demikian pula dengan Al-Quran. Dengan itu Al-Quran
bertanya kepada orang-orang yang jalannya melenceng; kepada mereka yang ada di
persimpangan jalan. Pertanyaan itu mengandung arti apa sebenarnya tujuan akhir
dari perjalanan hidup kita. Apakah itu berupa karir, kedudukan, kekayaan, atau
kemasyhuran.
Seperti
jawaban Ibrahim as, seorang sufi adalah ia yang telah mengambil keputusan bahwa
perjalanannya adalah untuk menuju Tuhan. Dalam hidupnya, seorang sufi
senantiasa pergi ke arah hadirat Tuhannya.
Allah
menciptakan manusia dari tanah yang merupakan lambang dari kehinaan dan
kekotoran. Al-Quran menyebutkannya sebagai nuthfah atau saripati tanah. Setelah
proses penciptaan dari tanah itu, Allah menyatakan: Lalu aku tiupkan ke
dalamnya ruh-Ku. (QS. Al-Hijr; 29)
Karena
terbuat dari tanah, sifat kemanusiaan (basyariyyah) manusia menjadi selalu
kotor. Seorang sufi ialah ia yang ingin menafikan kekotoran basyariyyah-nya,
yakni seluruh sifat tanahnya, dan ingin menyerap unsur ruh Tuhan yang ditiupkan
kepadanya. Ia meninggalkan sifat tanahnya untuk kemudian pergi dalam perjalanan
menuju Allah. Perjalanan dari unsur tanah kepada unsur ruh Ilahiah itulah yang
dikenal sebagai tasawuf.
Al-Quran
senantiasa mengingatkan kita untuk mulai berangkat menuju Tuhan. Allah swt
berfirman: Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah. (QS.
Al-Dzariyat; 50)
Al-Quran
tidak hanya menyuruh kita untuk berjalan, tetapi ia bahkan memerintahkan kita
berlari kepada-Nya. Hidup adalah terlalu singkat untuk diisi dengan pergi
menuju Tuhan dengan cara berjalan. Kita harus berlari sebelum waktu kita di
dunia habis dan berakhir.
Kita
harus berlari dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada satu,
Allah swt. Sebuah hadis riwayat Ahmad dan Al-Thabrani berbunyi, “Barangsiapa
yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa
mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari.”
Balasan dari Allah selalu lebih hebat dari apa yang kita lakukan. Dalam
Al-Quran surat Luqman, ayat 15, Allah swt juga berfirman: Ikutilah jalan orang
yang kembali pada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Kulah kembalimu. Lalu Aku
memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Nabi saw
pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Bagaimana keadaan kalian, seandainya
di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta,
lalu kalian tertidur; dan ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu
hilang?” Para sahabat menjawab, “Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!” Rasulullah
melanjutkan, “Di saat kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali
dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu.
Apa perasaan kalian?” Para sahabat kembali menjawab, “Tentu kami akan bahagia
sekali.”
Nabi
yang mulia lalu berkata, “Allah akan lebih bahagia lagi melihat hamba-Nya yang
datang kepada-Nya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian
ia melihat untanya datang kembali kepadanya.”
Berulang
kali Allah mengingatkan kita untuk mengikuti jalan orang yang kembali padanya.
Menurut para sufi, jalan yang dimaksud itu adalah jalan tasawuf. Karena para
sufilah yang kembali kepada Allah. Salah satu jalan kepada Allah itu adalah
dengan menyucikan diri -meninggalkan unsur tanah kita untuk menyerap
sifat-sifat Allah.
Perjalanan
menuju Tuhan harus dilakukan dengan menyucikan diri dan membersihkan hati. Hati
kita sering terkotori dengan dosa yang kita lakukan. Dosa-dosa itu menghijab
kita dari Tuhan. Mereka yang mampu berjumpa dengan Tuhan adalah mereka yang
membawa hati yang bersih; bukan yang membawa harta dan anak-anaknya.
Dalam
bahasa Arab, kata tazakka yang berarti menyucikan diri, juga berarti “tumbuh”.
Oleh karena itu, di dalam Islam, pertumbuhan seseorang diukur dari tingkat
kesucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang, semakin tinggi pulalah
derajatnya.
Psikologi
Humanistik juga mengenal hal ini. Abraham Maslow menyebut puncak pertumbuhan
manusia adalah pertumbuhan kepribadiannya. Ia menamakannya dengan aktualisasi
diri atau self actualization. Islam menyebutnya tazakka.
Upaya
kita menyucikan diri harus kita iringi dengan proses meninggalkan rumah kita.
Allah swt berfirman: Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud untuk
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh
telah tetap pahalanya di sisi Allah….(QS. Al-Nisa; 100).
Biasanya
orang menafsirkan ayat ini secara harfiah; dengan mengartikannya sebagai orang
yang pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah dalam peristiwa Hijrah. Para sufi
menafsirkan kata “rumah” dalam ayat itu sebagai diri, egoisme, atau keakuan
kita.
Kita
selalu berpikir akan kepentingan pribadi semata. Bila kita beribadat, itu pun
dilakukan dalam konteks kepentingan diri kita. Kita bersedekah untuk menolak
bencana demi keselamatan diri kita. Kita menunaikan salat agar terhindar dari
neraka dan mengharapkan pahala. Kita sering beribadat dengan ibadat para
pedagang. Kita menjual ibadat kita untuk ditukar dengan pahala. Dalam ibadat,
kita mengutamakan kepentingan pribadi kita.
Hal ini
berbeda dengan para sufi. Mereka berupaya keluar dari “rumah” mereka. Mereka
beribadat bukan karena mengharap pahala tetapi karena rasa terima kasih
kepada-Nya. Mreka merasa berutang budi atas segala anugrah Allah kepada mereka.
Itulah ibadat yang sesungguhnya. Hubungan sufi dengan Tuhannya bukanlah
hubungan bisnis, melainkan hubungan cinta.
Al-Quran
menyebut orang yang beribadat kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya -karena
terlalu cinta akan dirinya, sebagai orang yang telah mengambil tuhan selain
Allah. Ia mencintai dirinya lebih dari ia mencintai Tuhan. Allah swt berfirman:
Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah. Mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah. Sementara
orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah; 165)
Tulisan
ini diawali dengan kisah Ibrahim dan ditutup dengan kisah Ibrahim pula.
Syahdan, Ibrahim as akan meninggal dunia. Malaikat Izrail datang untuk mencabut
nyawanya. Ibrahim berkata kepadanya, “Mana mungkin sang Khaliq mematikan
kekasih-Nya?” Ibrahim seakan menggugat mengapa seorang pencinta mematikan
pencintanya. Allah lalu menjawab, “Bagaimana mungkin seorang kekasih tak mau
berjumpa dengan kekasihnya?” Mendengar jawaban agung itu, Ibrahim berkata,
“Kalau begitu, ambillah nyawaku sekarang juga.”
Dalam
sebuah hadis qudsi, Tuhan melukiskan dengan indah keadaan seseorang yang telah
sampai dalam perjalanan mendekati-Nya: “Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat nawafil (di samping
ibadat fardhu) hingga Aku mencintainya. Kalau Aku sudah mencintainya, Aku akan
menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi matanya yang
dengannya ia melihat; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang;
Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon
kepada-Ku, Aku akan mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku,
Aku akan melindungi dirinya.” (HR. Bukhari)
No comments:
Post a Comment