19 04 2011
Prof.Dr.KH.JALALUDDIN RAKHMAT
ALKISAH,
seorang pemburu ular pergi ke gunung untuk menangkap ular dengan
mantra-mantranya. Setelah menjelajah gunung-gunung yang tinggi, ia sampai ke
puncak gunung yang bersalju. Di sana, ia menemukan seekor ular besar terbujur
kaku seperti sebongkah kayu. Tubuhnya membeku dan tampaknya sudah mati
kedinginan. Tidak ada gerak sama sekali.
Dengan
sukacita, ia memikul ular itu seperti memikul tiang rumah. Pada hari pasar, ia
membawa ular itu ke Baghdad. Di perempatan jalan raya, di tepi sungai Tigris ia
membuka tempat pertunjukan. Ia berteriak, “Aku membawa ular naga yang mati,
setelah pemburuan yang penuh kesulitan.” Berita menyebar ke seluruh penjuru,
pemburu ular sudah menangkap naga. Berbondong-bondong orang datang, membayar
tiket masuk, dan menanti dibukanya selimut yang menutup naga. Pemburu ular juga
setia menanti sampai lebih banyak orang hadir. Makin banyak orang hadir, makin
banyak uang masuk.
Perlahan-lahan
ia menyingkapkan tumpukan selimut yang menutup tubuh naga. Semua mata memandang
dengan tegang. Naga itu diikat dengan tali yang sangat kuat. Terdengar jeritan
takjub. Matahari Baghdad memanaskan semua makhluk, termasuk penonton dan ular
naga. Perlahan-lahan salju yang menutup naga mencair. Ular besar itu
menggeliat. Orang-orang menjerit ketakutan. Ular itu terbangun dari tidurnya
yang lama. Dengan mulutnya yang besar, ia menyuapkan ke dalam gerahamnya apa
pun yang dekat dengannya. Ia menyempurnakan buka puasanya dengan melahap sang
pemburu ular dan meremukkan tulang-tulangnya.
Begitulah
kisah Jalaluddin Rumi yang diceritakannya dalam Buku III Matsnawi. Rumi
mengakhirinya dengan untaian puisi berikut:
Ular
naga itu nafsumu: Mana mungkin ia mati?
Ia hanya beku karena miskin dan
sakit hati.
Jika ia menjadi Firaun dengan segala
kekayaannya
sehingga seluruh air Nil mengalir karena perintahnya
sehingga seluruh air Nil mengalir karena perintahnya
Ia akan mulai benar-benar bertindak
seperti Firaun
Membabat ratusan orang seperti Musa dan Harun
Membabat ratusan orang seperti Musa dan Harun
Ular naga menjadi ulat kecil, karena
sengsara
Lalat menjadi garuda, karena kaya dan kuasa
Lalat menjadi garuda, karena kaya dan kuasa
Biarkan ular itu dipisahkan salju
dari keinginannya
Awas, jangan biarkan matahari Iraq mencairkannya.
Awas, jangan biarkan matahari Iraq mencairkannya.
Dalam
setiap diri kita tersembunyi ular naga. Bintang buas yang sangat berbahaya.
Setiap saat ia mengancam keselamatan kita dan semua makhluk di sekitar kita.
Para sufi menyebut naga itu hawa (desires). Dalam bahasa Indonesia, kita
menggabungkannya dengan nafsu. Hawa nafsu adalah hasrat untuk memperoleh
kenikmatan badani, sensual pleasure. Para psikolog, sambil merujuk pada Freud,
menyebutnya sebagai pusat energi yang bersembunyi dalam gudang bawah sadar kita
yang bernama Id. Seperti cairan panas magma dalam perut bumi, setiap saat Id
bisa meledak, dengan mengabaikan Ego (kemampuan kita untuk melihat realitas)
dan memberontak Superego (norma atau aturan hidup).
Apa yang
tersimpan dalam magma Id? Salah satu di antaranya, dan menurut Freud yang
paling penting, adalah seks. Anda boleh jadi seorang yang pemalu, pendiam,
sangat sopan,dan agak pengecut dalam hubungan dengan kawan lain jenis.
Tiba-tiba Anda ketiban bintang dari langit. Seorang kawan yang cantik, seksi,
agresif jatuh cinta kepada Anda. Ia menarik Anda ke tempat yang sepi, sehingga
benteng malu –yang menurut Nabi saw adalah benteng iman- roboh. Perilakunya
yang ceria dan cara bicaranya yang menyenangkan membuka kunci mulut Anda.
Ajaib, Anda mulai berani bahkan mengucapkan kata-kata yang tidak layak
disampaikan kepada orang lain. Anda menjadi sangat pemberani, malah mulai
kurang ajar. Ketahuilah, tali yang mengikat naga sudah terurai. Kawan Anda
telah memancarkan panas yang mencairkan salju, yang menutup hawa nafsu.
Penyair
Burdah memperingatkan Anda, “Dan nafsu, seperti bayi, jika kamu biarkan dia,
dia sangat bergairah untuk menyusu, tapi kalau kamu menyapihnya, ia akan
berhenti.” Mampukah Anda mengendalikan “binatang buas” yang sudah terlepas dari
talinya itu? Insya Allah, mampu; dengan satu syarat, Anda sudah terlatih untuk
mengendalikannya. Kalau Anda sudah mampu mengendalikan hawa nafsu, Anda bukan
hanya sekedar binatang menyusui. Anda sedang menjadi manusia, makhluk yang
dapat bergerak jauh ke luar batas-batas tabiatnya. Anda bahkan dapat menjadi
malaikat.
Pada
suatu hari Nabi Muhammad saw ikut menikmati pertandingan gulat di antara
anak-anak muda Madinah. Ia memberikan apresiasi kepada pelaku olah raga yang
keras ini. Setelah itu, ia bersabda, “Orang yang hebat itu bukanlah orang yang
dengan mudah membantingkan kawannya. Orang kuat adalah orang yang mampu
menguasai nafsunya ketika ia marah.”
Dalam
hadits riwayat Bukhari, Nabi Muhammad saw mengisahkan tiga orang yang terjebak
dalam sebuah gua. Mereka meminta tolong kepada Tuhan dengan menyebutkan amal
salehnya. Yang pertama mengatakan pengabdiannya kepada orangtuanya, sehingga ia
dan anak-anaknya menahan lapar, tidak hendak makan sebelum kedua orangtuanya
makan. Yang kedua menuturkan seorang atasan yang menyimpan uang hak pegawainya
dan memutarnya dalam bisnis yang menguntungkan pegawainya itu. Yang ketiga
menceritakan lelaki yang dapat mengendalikan dirinya ketika ia sudah hampir
melakukan kemaksiatan dengan perempuan yang dicintainya.
Kekasih
Allah bukanlah dia yang tidak pernah mendapat godaan. Kekasih Allah adalah dia
yang berhasil menepis godaan itu dengan kendali dirinya. Dia yang berhasil
membekukan kembali ular naga itu dan mengikatnya dengan kekuatan imannya.
Kemampuan
itu tidak bisa diperoleh dengan mudah. Ia memerlukan latihan. Berlatihlah
mengendalikan rasa lapar, dahaga, dan hawa nafsu lainnya. Mulailah puasa kamu
dengan niat menundukkan dirimu hanya kepada perintah Yang Mahakuasa.
No comments:
Post a Comment