Monday, October 10, 2011

KAJIAN HADIS (BAHAGIAN 3)


HADIS YANG MERUGIKAN AHLUL BAIT BATAL KESHAHIHAN NYA

Imam Bukhari takut pada tekanan, sehingga sedikit bergaul dengan alawiyyin pada masa Abbasiyah…Bergaul dengan alawiyyin akan membahayakan keselamatannya, masa itu mengaku sebagai orang kafir jauh lebih selamat nyawa daripada mengaku sebagai syi’ah…

Penguasa Bani Umayyah ( kecuali Umar bin Abdul Aziz ) dan Separuh Penguasa Bani Abbasiyah KEKEJAMAN NYA melebihi Firaun, mereka dengan mudah membunuh orang orang yang tidak bersalah hanya karena ia syi’ah…Inilah yang membuat Bukhari menjauhi syi’ah…
Keadaan dimana pengikut syi’ah dikejar kejar tentu berpengaruh terhadap kodifikasi HADiS aswaja.. Hanya sekitar 100 tokoh syiah yang luput dari pantauan rezim yang menjadi rantai sanad 6 kitab hadis aswaja… Kalau penguasa tidak kejam, bukan cuma 100 an perawi tapi mungkin bisa 1000 an….

Pembantaian terhadap kaum syi’ah imamiyah dengan kekejaman yang melebihi Firaun merupakan tindakan penghapusan hadis… Pemberontakan Aisyah dan Mu’awiyah merupakan tindakan penghapusan hadis… Pembantaian massal dalam tragedi Harrah oleh Yazid bin Mu’awiyah merupakan tindakan penghapusan hadis… Betapa tidak ?? Bukankah orang yang sudah syahid seperti Ammar bin YAsir dan Hujur Bin Adi tidak bisa lagi menjadi sumber rantai sanad hadis ??? Orang tidak mengkaitkan sejarah rezim dengan ilmu hadis

Bisakah anda menulis sesuatu dengan sempurna jika nyawa anda taruhannya ?? Kodifikasi hadis seperti kitab Bukhari Muslim dll terjadi pada masa Abbasiyah bukan ???
Wajarlah ilmu itrah ahlul bait dalam kitab hadis Aswaja Sangat sedikit …Menangislah … menangislah…

Pemerintahan para penjahat melancarkan propaganda hingga ajaran itrah ahlul bait menjadi asing ditengah tengah umat… MENiNGGAL KAN iTRAH AHLUL BAiT = MENiNGGALKAN ALQURAN.. Itrah ahlul bait dan Al Quran adalah satu tak terpisahkan… Bagaimana kita bisa memahami Al Quran dan ISlam jika hadis hadis yang dirawi dalam kitab hadis Aswaja sangat sedikit yang bersumber dari itrah ahlul bait dan para imam keturunan Nabi SAW ????

==================================================================================================================================================================
Syi’ah Imamiyah Menerima Hadis Hadis Mazhab Sunni Jika : “Tidak menyelisihi riwayat yang dituliskan oleh para ulama syi’ah dan Tidak menyelisihi amalan yang selama ini ada di kalangan syi’ah”

Syi’ah dan Kehujahan Ucapan Keluarga Suci
Syi ‘ah memandang hadis-hadis dari Keluarga Suci seperti memandang hadis-hadis Nabi saw. Bagaimana hadis-hadis mereka bisa dijadikan hujah?
Jawab: Syi’ah Imamiyah mengambil ucapan-ucapan mereka karena hAl-hAl berikut:
Pertama, Nabi saw memerintahkan kaum Muslim agar berpegang pada ucapan Keluarga Suci itu. Beliau bersabda, ” Aku tinggAlkan untuk kalian tsaqAlain(dua hAl yang berat). Yaitu Kitab Allah dan keluargaku, ahlulbaitku.”

Berpegang pada hadis-hadis dan ucapan-ucapan mereka merupakan pengamAlan sabda Nabi saw yang tidak bersumber kecuAli dari Al-Haqq.  TsaqAlayn,ia telah berpegang pada sesuatu yang akan menyelamatkannya dari kesesatan. SebAlikl1ya, siapa yang hanya mengambil sAlah satu saja darinya, ia telah menentang Nabi saw.

Para Imam Syi’ah Adalah Para Washi Nabi saw. Para ulama Syi’ah sepakat bahwa para imam dua belas adalah para washi (orang yang menerima wasiat tentang kepemimpinan) Rasulullah saw. Mereka adalah para imam umat ini dan sAlah satu dari tsaqAlayn ( dua hAl yang berat) yang telah diwasiatkan Rasulullah saw di beberapa tempat. Beliau bersabda, ” Aku tinggAlkan untuk kalian TsaqAlayn, yaitu Kitab Allah dan keluargaku.”

Kedua, kami memandang bahwa Nabi saw memerintahkan kepada umat ini agar bersAlawat kcpada keluarga Muhammad dalam salat-salat fardu dan sunnah. Selain itu, kaum Muslim di segAla pen.juru bumi menyebut keluarga itu setelah menyebut nama Nabi saw dalam tasyahud mereka. Kaum Muslim juga bersAlawat kepada mereka seperti bersAlawat kepada Rasulullah saw. Para fukaha, kendati berselisih pendapat tentang redaksi tasyahud itu, mereka sepakat tentang wajibnya bersAlawat kepada Nabi dan keluarganya. Tentang hAl itu, Imam asy-Syifi’i berkata:

Hai ahlulbait Rasulullah,mencintaimu kewajiban dari Allah dalam Al-Quran yang diturunkan. Cukuplah keagungan bagi kalian siapa yang tidak bersAlawat padamu tidaklah sah salatnya.
KAlau keluarga itu tidak memiliki kedudukan dalam memberikan hidayah kepada umat ini dan keharusan mengikuti mereka, lAlu apa artinya menjadikan sAlawat kepada mereka sebagai amAlan wajib dalam tasyahud dan mengulang-ulangnya dalam seluruh salat siang dan mAlam baik fardu maupun sunnah?

keluarga Muhammad itu memiliki kedudukan khusus dalam urusan-urusan duniawi dan terlebih lagi dalam kepemimpinan Islam. Ucapan dan pendapat mereka adalah hujah bagi kaum Muslim. Mereka juga memiliki kedudukan sebagai rujukan utama ( Al-Marja’iyyah Al-Kubra) setelah wafat RasuluIIah saw baik dalam masAlah akidah dan syariat maupun dalam masAlah-masAlah lain.

Ketiga, Rasulullah saw mengibaratkan Keluarga Suci itu dengan bahtera Nuh as. Barangsiapa yang menaikinya, ia selamat. Tetapi siapa yang meninggAlkannya, ia tenggelam. Ini menunjukkan kehujahan ucapan dan perbuatan mereka.

Masih banyak lagi wasiat-wasiat yang berkenaan dengan keluarga itu yang dinukil dalam kitab-kitab Shahih dan Musnadl Siapa yang mau mengkajinya, silakan merujuk para sumber-sumbernya.

Setiap Muslim mengimani kesahihan wasiat-wasiat ini tidak meragukan kehujahan ucapan-ucapan keluarga Nabi, baik ia diberitahu tentang sumber-sumber ilmu mereka maupun tidak diberitahu. AIlah swt berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. ” (QS. Al-Ahzab [33]: 36)

Di samping itu semua; kami tunjukkan beberapa sumber ilmu mereka sehingga menjadi jelas bahwa kehujahan ucapan mereka tidak menunjukkan bahwa mereka itu nabi atau diserahkan ke- pada urusan pensyariatan.

1. Mendengar dari Rasulullah saw

Para imam memandang bahwa hadis-hadis Rasulullah saw itu didengar dari beliau baik tanpa perantara maupun dengan perantaraan leluhur mereka. Oleh karena itu, dalam banyak pe- riwayatan tampak bahwa Imam ash-shadiq as berkata, “Menyampaikan kepadaku bapakku dari Zain Al-’Abidin dari bapaknya Al- Husain bin’ Ali dari ‘ Ali Amirul Mukminin dari Rasulullah saw. Periwayatan semacam ini banyak terdapat dalam hadis-hadis mereka.

Diriwayatkan dari Imam ash-Shidiq bahwa ia berkata, “Hadisku adalah hadis bapakku. Hadis bapakku adalah hadis kakekku.” Melalui cara ini mereka menerima banyak hadis dari Nabi saw dan menyampaikannya tanpa bersandar kepada para rahib dan pendeta, orang-orang bodoh, atau pribadi-pribadi yang menyembunyikan kemunafikan.

2. Sebagian hadis lain mereka ambil dari kitab Imam Amirul Mukminin yang didiktekan oleh Rasulullah saw dan dicatat oleh ‘Ali as. Para penulis kitab-kitab Shahih dan Musnad telah menunjukkan beberapa kitab ini.

‘Ali as memiliki buku khusus untuk mencatat apa yang didiktekan oleh Rasulullah saw. Para anggota Keluarga Suci telah menghapAlnya, merujuk padanya tentang banyak topik, dan me- nukil teks-teksnya tentang ber.bagai pennasAlahan. Al-Hurr Al-’Amili dalam kitabnya Al-Mawsu’ah Al-Haditsiyyah telah menyebarluaskan hadis-hadis dari kitab tersebut menurut urutan kitab-kitab fiqih dari bab bersuci (thaharah) hingga bab diyat (denda). Barang- siapa yang mau menelaahnya, silakan merujuk pada kitab Al- Mawsu’ah Al-Haditsiyyah.
Imam ash-Shidiq as, ketika ditanya tentang buku catatan itu, berkata, “Di dalamnya terdapat seluruh apa yang dibutuhkan manusia. Tidak ada satu permasAlahan pun melainkan tertulis di dalamnya hingga diyat cakaran.”

Kitab ‘ Ali as merupakan sumber bagi hadis-hadis Keluarga Suci itu yang mereka warisi satu persatu, mereka kutip, dan mereka jadikan dAlil kepada para penanya.

Abu Ja’far Al-Baqir as berkata kepada sAlah seorang sahabatnya-yakni Hamrin bin A’yan-sambil menunjuk pada sebuah rumah besar, “Hai Hamran, di rumah itu terdapat lembaran (shahifah) yang panjangnya tujuh puluh hasta berisi catatan ‘Ali as dan segAla hAl yang didiktekan oleh Rasulullah saw. KAlau orang-orang mengangkat kami sebagai pemimpin, niscaya kami menetapkan hukum berdasarkan apa yang Allah turunkan. Kami tidak akan berpAling dari apa yang terdapat dalam lembaran ini.”

Imam ash-Shadiq as memperkenAlkan kitab ‘ Ali as itu dengan mengatakan, “la adalah kitab yang panjangnya tujuh puluh hasta berisi hAl-hAl yang didiktekan oleh Rasulullah saw dan’ Ali bin Abi ThAlib mencatat dengan tangannya sendiri. Demi Allah, di dalamnya terdapat semua hAl yang diperlukan manusia hingga hari kiamat, bahkan diyat cakaran, cambukan, dan setengah cambukan.”

Sulaiman bin KhAlid berkata: Saya pernah mendengar Ibn ‘Abdillah berkata, “Kami memiliki sebuah lembaran yang panjangnya tujuh puluh hasta berisi hAl-hAl yang didiktekan oleh Rasulullah saw dan dicatat oleh ‘Ali as dengan tangannya sendiri. Tidak ada yang hAlAl dan haram melainkan termuat di dalamnya hingga diyat cakaran.”

Abu Ja.far Al-Baqir as berkata kepada seorang sahabatnya, “Hai Jabir, kAlau kami berbicara kepada kalian menurut pendapat dan hawa nafsu kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang celaka. Melainkan kami berbicara kepada kalian dengan hadis- hadis yang kami warisi dari Rasulullah saw.”

3. Istinbath drin Al-Qur’an dan Sunah

Sumber ketiga bagi ucapan mereka adalah pemahaman dan pengkajian mereka terhadap Al-Qur’an dan sunah. Dari kcdua sumber utama ini mereka menyimpulkan segAla hAl yang khusus berkaitan dengan akidah dan syariat secara mengagumkan yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Inilah yang menjadikan mereka istimewa di tengah kaum muslim dalam hAl kesadaran, serta kedalaman ilmu dan pemahaman. Para imam fiqih di berbagai tempat tunduk kepada mereka. Sehingga Imam Abu Hanifah setelah berguru kepada Imam ash-shadiq as (selama dua tahun) mengatakan, “KAlau tidak ada dua tahun itu, tentu binasAlah an- Nu’man.” Sebab, dalam banyak hukum, mereka berdAlil dengan Al-Qur’an dan sunah. Mereka mengatakan, “Tidak ada sesuatu apa pun melainkan memiliki landasan dalam Kitab Allah dan sunah Nabi-Nya.”

Al-Kulaini meriwayatkan hadis Melalui sanadnya dari ‘Umar bin Qais dari Abu Ja’far as: Saya pemah mendengar ia berkata, “Sesungguhnya Allah swt tidak membiarkan sesuatu yang diperlukan umat melainkan Dia menurunkannya dalam Kitab-Nya dan menjelaskannya kepada Rasul-Nya, serta memberikan batasan bagi setiap sesuatu. Dia jadikan atasnya dAlil yang menunjukkannya dan menetapkan hukuman bagi siapa saja melanggar batasan itu.”

Al-Kulaini juga meriwayatkan hadis Melalui sanadnya dari Abu ‘Abdillah as: Saya pernah mendengar ia berkata. “Tidak ada bagi setiap sesuatu melainkan di dalamnya ada ketentuan dari Kitab dan sunah”.

Sunnah adalah salah satu sumber tasyri penting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penfasir al-Quran, bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen sebagaimana al-Quran sendiri. Itulah sebabnya,di kalangan Ahl al-Sunnah, menjadi sangat penting untukmenjaga dan mengawali pewarisan al-Sunnah ini dari generasi ke generasi. Mereka misalnya- menetapkan berbagai persyaratan yang ketat agar sebuah hadits dapat diterima (dengan derajat shahih ataupunhasan). Setelah meneliti dan membuktikan keabsahan sebuah hadits secara sanad, mereka tidak cukup berhenti hingga di situ. Mereka pun merasa perlu untuk mengkaji matannya; apakah ia tidak syadz atau mansukh misalnya.

Demikianlah seterusnya, hingga mereka dapat menyimpulkan dan mendapatkan hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah.Di samping Ahl al-Sunnah sebagai salah satu kelompok Islam terbesar-, ternyata Syiah Imamiyah sebagai salah satu kelompok Syiah terbesar- juga memiliki perhatian khusus terhadap al-Sunnah. Namun mereka memiliki jalur sanad dan sumber khusus dalam menerima al-Sunnah yang berbeda dengan sanad dan sumber Ahl al-Sunnah. Ini tentu saja tidak mengherankan, sebab Syiah Imamiyah memiliki pengertian tersendiri tentang al-Sunnah. Maka perbedaan ini tidak pelak lagi kemudian memunculkan perbedaan antara Ahl al-Sunnah dengan mereka dalam persoalan keaqidahan maupun kefikihan

Dalam Syi’ah sunnah atau hadis adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan atau taqrir Nabi saw, dan para imam ma’sum yang dua belas. Sehingga sumber hadis dikalangan Syi’ah bukan hanya berasal dari Rasulullah alhadis al-nabawi, tetapi juga berasal dari dua belas Imam mereka al-hadis almalawi.

salah seorang pemikir Syi’ah, yaitu Ja’far al-Subhani Ja’far al-Subhani adalah merupakan salah satu ulama Syi’ah yang berkonsentrasi dalam bidang ilmu hadis dengan karyanya kitab Usul al-Hadis wa ahkamuhu fi‘Ilmi al-Dirayah dan Kitab Kulliyat fi ‘Ilmi al-Rijal, dan beliau juga merupakan maraji’ Syi’ah pada masa sekarang ini. Beliau memberikan batasan tentang otentisitas hadis menururt Syi’ah, melalui kaidah-kaidah otentisitasnya. Untuk meneliti beliau ini tentang otentisitas hadis, maka penelitian ini menggunakan pendekatan historis–eksplanatoris (eksplanatory analysis), yaitu suatu analisis yang berfungsi memberi penjelasan yang lebih mendalam dari sekedar mendeskripsikan makna sebuah teks. Sehingga memberi pemahaman mengenai, mengapa dan bagaimana pemikiran itu muncul dan apa saja sebab yang melatar belakanginya.

Dalam hal ini, Ja’far al-Subhani membuat kriteria kesahahihan suatu hadis. Dalam kriteria kesahihan hadisnya, Ja’far al-Subhani tidak menekankan pada sanad saja akan tetapi matnnya juga, hal ini terbukti dengan menambah kriteria harus terhindar dari syaz dan ‘illat yang kurang diperhatikan oleh ulama-ulama mutaqaddimin Syi’ah.

Dalam menilai suatu hadis, Ja’far al-Subhani sangat teliti dan harus melalui metode ilmu Rijal al-Hadis dan Jarh wa Ta’dil. Dengan metode ini, maka akan menghasilkan kualitas hadis yang telah diklasifikasikan olehnya, yaitu; Sahih, Hasan, Muwassaq dan Daif. Sebagai implementasinya, Ja’far al-Subhani berpandangan bahwasanya dalam kitab hadis utama Syi’ah yaitu al-Kafi, menurut kriteria yang telah ditetapkan oleh Ja’far al-Subhani bahwasanya tidak semua hadis yang termuat dalam kitab ini adalah Sahih. Berangkat dari pemahaman Ja’far al-Subhani mengenai Otentisitas hadis menurut Syi’ah ini, memberikan pandangan bahwa setiap mazhab atau golongan dalam Islam mempunyai pandangan masing-masing tentang otentisitas hadis. Sehingga melahirkan sesuatu yang spesifik dan khas.

Baik mengenai sumber periwayatan, jalur periwayatan, kriteria kesahihan hadis maupun mengenai perawi dan standar kualitasnya. Dalam Syi’ah sunnah atau hadis adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan atau taqrir Nabi saw, dan para imam ma’sum yang dua belas. Sehingga sumber hadis dikalangan Syi’ah bukan hanya berasal dari Rasulullah alhadis al-nabawi, tetapi juga berasal dari dua belas Imam mereka al-hadis almalawi.

Syiah Imamiyah juga meyakini bahwa tidak ada perbedaan antara perkataan yang diucapkan sang imam Mahdi saat ia masih kanak-kanak . Sebab, -menurut mereka- para imam itu tidak mungkin melakukan kesalahan, sengaja ataupun tidak, sepanjang hayat mereka. Itulah sebabnya, salah seorang ulama kontemporer Syiah mengatakan,Sesungguhnya keyakinan akan kemaâshuman para imam telah membuat hadits-hadits yang berasal dari mereka serta-merta menjadi shahih, tanpa harus mempersyaratkan adanya persambungan sanad sampai Rasulullah saw, sebagaimana yang dipersyaratkan di kalangan Ahl al-Sunnah.

Ini karena perkataan para imam itu adalah perkataan Allah, perintah mereka adalah perintah Allah, ketaatan pada mereka adalah ketaatan pada Allah, kedurhakaan pada mereka adalah kedurhakaan pada Allah. Mereka itu tidak mungkin berbicara kecuali dari Allah dan wahyu-Nya.
Muhammad Ridha al-Muzhaffar salah seorang ulama kontemporer Syiah- menjelaskan, Al-Sunnah menurut kebanyakan fuqahaâ adalah perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi¦Akan tetapi menurut (Syiah) Imamiyah setelah meyakini bahwa perkataan al-Maâshum dari kalangan Ahl al-Bait setingkat dengan perkataan Nabi saw sebagai sebuah hujjah yang wajib diikuti oleh para hamba- memperluas batasan al-Sunnah menjadi sesuatu yang mencakup perkataan, perbuatan dan taqrir setiap al-Maâshum (dari Ahl al-Bait). Sehingga al-Sunnah dalam terminologi mereka adalah âperkataan, perbuatan dan taqrir al-Maâshum.

Ja’far al-Subhany mengatakan,Metode-metode seperti ini adalah termasuk metode yang dapat menetapkan kesiqahâan seorang perawi tanpa perlu komentar lagi. Ini adalah metode-metode khusus yang dapat menetapkan ketsiqahâan individu tertentu. Dan ada pula metode-metode umum yang disebut dengan tautsiqat ammah yang dengannya ketsiqahan sekelompok perawi dapat ditetapkan.

Definisi  al- Sunnah  Menurut  Syi’ah  Imamiyah

Sebagaimana telah disinggung, Syiah Imamiyah memiliki batasan dan definisi tersendiri tentang Sunnah.. Intinya, Sunnah menurut mereka adalah “Perkataan, perbuatan dan taqrir dari al-Ma’shum.”  Dan al-Ma’shum dalam pandangan Syiah Imamiyah tidak hanya terbatas di kalangan para nabi dan rasul. Para imam mereka juga termasuk dalam kategori ini ( Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durar Akhbar al-A’immah al-Athhar: Muhammad Baqir al-Majlisy (w. 1111 H), Mua’assasah al-Wafa’ Beirut. Cetakan kedua 1983 M )

Muhammad Ridha al-Muzhaffar –salah seorang ulama kontemporer Syiah- menjelaskan,
Al-Sunnah menurut kebanyakan fuqaha’ adalah “perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi”…Akan tetapi menurut (Syiah) Imamiyah –setelah meyakini bahwa perkataan al-Ma’shum dari kalangan Ahl al-Bait setingkat dengan perkataan Nabi saw sebagai sebuah hujjah yang wajib diikuti oleh para hamba- memperluas batasan al-Sunnah menjadi sesuatu yang mencakup perkataan, perbuatan dan taqrir setiap al-Ma’shum (dari Ahl al-Bait). Sehingga al-Sunnah dalam terminologi mereka adalah “perkataan, perbuatan dan taqrir al-Ma’shum.”

Rahasia di balik itu semua adalah karena para imam dari kalangan Ahl al-Bait tidaklah sama dengan para perawi dan ahli hadits yang meriwayatkan dari Nabi –hingga perkataan mereka baru dapat dijadikan hujjah jika mereka ‘tsiqah’ dalam periwayatannya. Mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya untuk menyampaikan hukum-hukum yang bersifat realita. Maka mereka tidak mungkin menetapkan hukum, kecuali jika hukum-hukum realita itu memang berasal dari Allah Ta’ala apa adanya. Dan itu semua (diperoleh) melalui jalur ilham –seperti Nabi melalui jalur wahyu-, atau melalui periwayatan (imam) ma’shum sebelumnya.

Berdasarkan ini, maka penjelasan mereka terhadap hukum bukan termasuk dalam kategori periwayatan al-Sunnah atau ijtihad dalam menggali sumber-sumber tasyri’, akan tetapi karena merekalah sumber hukum (tasyri’) itu sendiri. [ Da’irah al-Ma’arif al-Syi’iyyah: Hasan al-Amin. Dar al-Ta’aruf li al-Mathbu’at, Beirut. Cetakan keempat 1989 M ]
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perkataan para imam yang ma’shum, baik yang diperoleh melalui jalur ilham atau jalur lainnya (dikenal dengan istilah ilmu hadits) [ Al-Fahrasat: Muhammad ibn al-Hasan al-Thusy. Al-Mathba’ah al-Haidariyah, Nejef. Cetakan kedua 1960 M), maupun yang diriwayatkan dan diwariskan dari imam ma’shum sebelumnya dari Rasulullah (ilmu mustauda’), termasuk dalam bagian al-Sunnah yang kedudukannya sederajat dengan al-Sunnah yang berasal dari Rasulullah saw.

salah seorang ulama kontemporer Syiah mengatakan,“Sesungguhnya keyakinan akan kema’shuman para imam telah membuat hadits-hadits yang berasal dari mereka serta-merta menjadi shahih, tanpa harus mempersyaratkan adanya persambungan sanad sampai Rasulullah saw, sebagaimana yang dipersyaratkan di kalangan Ahl al-Sunnah.”Al-Imam al-Shadiq: Muhammad Abu Zahrah. Dar al-Fikr al-‘Araby, Kairo. T.t.)
Mereka juga meyakini bahwa ilmu mustauda’ yang melalui jalur pewarisan dari imam ma’shum sebelumnya itu terbagi menjadi dua: (1) kitab-kitab yang mereka warisi dari Rasulullah, dan (2) ilmu yang mereka terima secara lisan dari beliau saw. (Al-I’tiqadat: Abu Ja’far Muhammad ibn Babawaih al-Qummy (w. 381 H). Cetakan Iran 1320 H.)

‘Ali radhiayyallahu ‘anhu kemudian menitipkannya kepada al-Husain, putranya. Demikianlah seterusnya, setiap imam memperlihatkan sebagian “warisan” itu sesuai kebutuhan zamannya, hingga akhirnya mata rantai keimamahan itu berakhir pada sang imam yang dinanti (al-Muntazhar).( Kulliyat fi ‘Ilm al-Rijal: Ja’far al-Subhany. Dar al-Mizan Beirut. Cetakan pertama 1990 M )

Dengan demikian, pengetahuan tentang keshahihan dan kelemahan sebuah hadits –dalam pandangan Syiah Imamiyah- harus melalui jalur para imam yang ma’shum. Al-Sunnah al-Nabawiyah –bagaimanapun juga- membutuhkan imam yang ma’shum untuk menjelaskan mana yang shahih, dan menyingkirkan yang palsu.( Lu’lu’ah al-Bahrain fi al-Ijazat wa Tarajum Rijal al-Hadits: Yusuf ibn Ahmad al-Bahrany (w. 118 6H). Tahqiq: Muhammad Shadiq Bahr al-Ulum. Dar al-Adhwa’ Beirut. Cetakan kedua 1986 M. )

Imam al-Shadiq dan Imam al-Ridha –dua diantara imam mereka- seringkali mengatakan,
“Sesungguhnya kami tidak pernah berfatwa kepada manusia berdasarkan pendapat kami sendiri. Sesungguhnya jika kami berfatwa kepada manusia dengan pendapat kami sendiri, niscaya kami akan termasuk orang yang binasa. Namun (kami memberi fatwa kepada mereka) berdasarkan atsar-atsar dari Rasulullah saw, yang kami wariskan dari generasi ke generasi. Kami menyimpannya seperti manusia menyimpan emas dan perak mereka.” (Miqyas al-Hidayah fi ‘Ilm al-Dirayah: ‘Abdullah al-Mamqany (1351 H). Tahqiq:  Muhammad Ridha al-Mamqany. Mu’assasah Alu al-Bait, Beirut. Cetakan pertama 1991 M.)


Sikap Syiah Imamiyah Terhadap Teks-teks Hadits Mereka

Sikap para ulama Syiah dalam memandang dan menyikapi teks-teks hadits mereka sendiri :
Al-Ushuliyyun adalah mereka yang memandang perlunya ijtihad, dan bahwa landasan hukum itu terdiri dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ dan dalil ‘aqli.Mereka juga meyakini bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam keempat kitab pegangan itu, sanadnya ada yang shahih, hasan, dan dha’if. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kajian terhadap sanadnya pada saat akan diamalkan atau dijadikan landasan hukum.

Tokoh-tokoh ini antara lain adalah: al-Thusy (w. 460 H), penulis al-Istibshar, al-Murtadha yang dianggap menyusun Nahj al-Balaghah, Muhsin al-Hakim, al-Khu’iy dan al-Khumainy (Khomeni).


Awal Munculnya Pembagian Derajat Hadits dan Perhatian Terhadap Sanad di Kalangan Syiah
Pandangan kelompok ­al-Ushuliyyun kemudian menyebabkan lahirnya ide pembagian hadits menjadi shahih, hasan, muwatstaq, dan dha’if di kalangan SyiahUlama Syiah pertama yang mengeluarkan ide ini adalah Ibnu al-Muthahhir al-Huliyy (w. 726H).( Tarikh al-Imamiyah wa Aslafihim min al-Syi’ah: DR. Abdullah Fayyadh. Mu’assasah al-A’lamy li al-Mathbu’at, Beirut. Cetakan ketiga 1986 M.)


KRITIK SANAD DAN MATAN MENURUT SYIAH IMAMIYAH
Sebagaimana juga Ahl al-Sunnah, Syiah Imamiyah juga memiliki metode kritik sanad dan matan yang khas, meskipun dalam beberapa bagian nampak sama dengan metode kritik sanad dan matan yang dianut oleh Ahl al-Sunnah.


Metode Kritik Sanad Syiah Imamiyah
Dalam hal ini yang akan dipaparkan adalah klasifikasi perawi, kajian al-rijal, serta kajian seputar persambungan dan perputusan sebuah sanad dalam sudut pandang Syiah Imamiyah.


Klasifikasi Perawi di Kalangan Imamiyah
Adapun terkait dengan klasifikasi perawi sebuah hadits yang dapat diterima, dalam pandangan Syiah Imamiyah dapat dikatakan hampir sama dengan klasifikasi yang selama ini dikenal dan dipegangi oleh para ulama hadits Ahl al-Sunnah. Diantara klasifikasi seorang perawi yang maqbul menurut mereka adalah:
  1. Islam
  2. Baligh
  3. Berakal
  4. ‘Adil
  5. Dhabith
  6. Sebagian besar ulama Imamiyah menambahkan syarat “iman”.
Yang dimaksud “iman” di sini adalah bahwa seorang perawi haruslah seorang penganut madzhab Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah ( Ushul Fiqih: Muhammad Ridha al-Muzhaffar. Dar al-Nu’man, Nejef. Cetakan kedua 1967 M)
Bahkan tidak hanya sekedar penganut madzhab Imamiyah, sang perawi haruslah menerima riwayat itu dari para imam. Al-Thusy mengatakan,

“Setelah diteliti dengan cermat, jelaslah bahwa tidak semua riwayat yang diriwayatkan oleh seorang ‘imamiyah’ dapat diamalkan secara mutlak. (Sebab yang boleh diamalkan) hanyalah riwayat-riwayat yang diriwayatkan dari para imam –alaihissalam- dan dituliskan oleh murid-muridnya.”( Ushul al-Kafy wa Furu’uh: Muhammad ibn Ya’qub al-Kulainy (w. 329 H). Dar al-Adhwa’, Beirut. Cetakan pertama 1399 H )
Karena itu, jika seorang penganut Imamiyah meriwayatkan hadits dari salah seorang Ahl al-Bait yang tidak termasuk dalam kategori imam, maka haditsnya pun tidak dapat diamalkan. Dengan kata lain, tidak semua Ahl al-Bait dapat dijadikan sebagai jalur periwayatan, sebab tidak semua dari mereka itu berstatus sebagai imam. Itulah sebabnya, riwayat yang disampaikan oleh keturunan Fathimah r.a melalui al-Hasan r.a –misalnya- tidak dapat diterima. Bahkan yang melalui jalur al-Husain r.a sekalipun. Al-Thusy –misalnya- menolak riwayat Zaid ibn Ali Zain al-‘Abidin.( Ushul Madzhab al-Syi’ah al-Imamiyah al-Itsnay ‘Asyariyah: DR. Nashir ibn Abdillah ibn Ali al-Qifary. Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah. Cetakan pertama 1993 M.)

Lalu bagaimana sikap mereka terhadap riwayat yang berasal dari Ahl al-Sunnah ? Ulama Syiah membolehkan hal ini dengan beberapa ketentuan:
  1. Hadits itu diriwayatkan dari para imam yang ma’shum.
  2. Tidak menyelisihi riwayat yang dituliskan oleh para ulama Syiah.
  3. Tidak menyelisihi amalan yang selama ini ada di kalangan mereka.
Salah satu yang melandasi pandangan ini adalah apa yang diriwayatkan Ja’far al-Shadiq bahwa ia mengatakan, “Jika kalian mengalami suatu perkara yang tidak kalian temukan hukumnya dalam apa yang diriwayatkan dari kami, maka lihatlah dalam apa yang mereka (sunni) riwayatkan dari Ali a.s, lalu amalkanlah ia.”

Oleh sebab itu, sebagian kelompok Syiah juga mengamalkan apa yang diriwayatkan oleh beberapa perawi Ahl al-Sunnah,-seperti Hafsh ibn Ghiyats, Ghiyats ibn Kallub dan Nuh ibn Darraj- dari para imam madzhab Imamiyah sesuai dengan syarat tersebut di atas.

Satu hal penting lain yang juga perlu disebutkan secara singkat di sini adalah sebab-sebab penetapan al-jarh terhadap seorang perawi. Seperti Ahl al-Sunnah, 

sebab-sebab al-jarh Syiah Imamiyah diantaranya adalah:
  1. Akidah yang batil. Tentu yang dimaksud adalah jika sang perawi bukanlah pengikut Imamiyah.
  2. Cacatnya ke’adalahan perawi, seperti jika ia melakukan dosa besar dan terus-menerus melakukan dosa kecil.
  3. Hafalan yang buruk.
  4. Jika seorang perawi banyak meriwayatkan dari perawi-perawi yang dhu’afa dan majhulun.
  5. Jika perawi itu berasal dari kalangan Bani Umayyah, kecuali jika ia seorang pengikut Imamiyah.
Kajian ‘al-Rijal’ di Kalangan Imamiyah
Harus diakui bahwa para ulama Imamiyah juga memiliki upaya untuk menjelaskan kondisi semua perawi yang terdapat dalam berbagai referensi hadits mereka dari sisi ketsiqahan dan kedha’ifannya. Kalangan Imamiyah mengaku bahwa awal penyusunan referensi dalam bidang ini di kalangan mereka telah dimulai pada abad 2 H. Mereka beranggapan bahwa kitab ‘Ubaidullah ibn Abi Rafi’sebagai karya pertama mereka dalam bidang ini.
Penulisan ilmu ini menurut mereka terus berlanjut hingga abad 4 H. Karya-karya itulah yang kemudian menjadi rujukan penting mereka selanjutnya. Diantaranya:
  1. Rijal al-Kisysyi, karya Muhammad ibn Umar yang lebih dikenal dengan al-Kisysyi (w. 340H). Ia hidup semasa dengan al-Kulainy (w. 329H), dan termasuk tokoh tsiqah penting di kalangan mereka.
  2. Fihris al-Najasyi, karya Abu al-Abbas Ahmad ibn ‘Ali ibn al-Abbas yang lebih dikenal dengan al-Najasyi (w. 450H)
3. Rijal Ibn al-Ghadhairy, karya Ahmad ibn al-Husain al-Ghadhairy (w. 412). Judul buku ini sebenarnya adalah Kitab al-Dhu’afa’. Isinya memuat perawi-perawi dha’if. Penulisnya bahkan mendha’ifkan banyak ulama dan perawi Imamiyah dengan alasan sikap ghuluw yang ada pada diri mereka. Tidak mengherankan jika kemudian ulama Syiah berbeda pendapat tentang validitas penisbatan buku ini pada Ibn al-Dhafairy setelah mereka sepakat bahwa ia adalah seorang yang tsiqah dalam pandangan mereka. Belakangan, Ja’far al-Subhany membenarkan penisbatan kitab ini kepada Ibn al-Dhafairy. Namunjarh dan tadh’ifnya tidak dapat diterima, dengan alasan kesimpulannya tidak didasarkan pada persaksian dan riwayat, melainkan hanya didasarkan pada ijtihad pribadinya
Masih ada karya lain dalam bidang ini di kalangan Syiah. Namun karya-karya itu dianggap sebagai sumber sekunder. Namun ada satu hal yang penting untuk dicatat, bahwa masih banyak perawi majhul tersebar dalam sanad-sanad referensi Syiah, terutama Ushul al-Kafi karya al-Kulainy.
Al-Bahrany (w. 1186H) –salah seorang ulama Imamiyah- mengakui bahwa jika semua aturan al-jarh wa al-ta’dil diterapkan pada sanad-sanad yang bertebaran dalam kitab-kitab hadits mereka, maka itu akan membatalkan banyak sekali hadits-haditsnya.
Di dalam  Mazhab   Syi’ah   Imamiyah   Itsna   Asyariah ( mazhab   resmi    Iran ), ada  4  kitab   hadis :
a.   Kitab  hadis Al – Kafi,  dikumpulkan   oleh    Syaikh   Kulaini, terdapat sekitar 16000 hadis.. Dengan  perincian sbb :
5.072 hadis shahih,   144   hasan,   1128    hadis  Muwatstsaq  ( hadis yang di riwayatkan  perawi   bukan  syi’ah   tetapi   dipercayai  oleh  syiah), 302  hadis  Qawiy ( kuat ) dan 9.480  hadis  dhaif..
Sangat  sangat   banyak hadis  dhaif dalam Kitab  Al Kafi  ( lebih  separuh  kitab  ini  hadisnya  dha’if )
b. Kitab  hadis   Man la   yahdarul   fiqh  ( 6000  hadis ) …
c. Kitab  hadis   Tazhibul  Ahkam ( 13590  hadis)..
d.   Kitab  hadis  Al-Istibshar fima Ikhtilaf minal Akhbar ( 5511 hadis )
Bersambung dan Terputusnya Sanad Menurut Syiah Imamiyah
Syiah Imamiyah juga menekankan tentang keharusan adanya persambungan sanad kepada imam yang ma’shum. Meski sanad itu kemudian tidak bersambung kepada Nabi saw, sebab perkataan imam itu sendiri adalah hujjah dan sunnah sehingga tidak perlu dipertanyakan dari mana ia mengambilnya.

Tetapi jika sanad itu bersambung kepada Nabi saw tanpa perantaraan seorang imam, maka hadits semacam ini tidak dapat diterima. Ini disebabkan oleh:

Keyakinan Syiah Imamiyah bahwa pengetahuan akan keshahihan sebuah hadits sepenuhnya hanya diketahui melalui jalur para imam.

Syiah Imamiyah juga meyakini bahwa sanad-sanad hadits mereka semuanya bersambung kepada para imam melalui perantara kitab-kitab al-Ushulyang ada pada mereka.

Metode tashhih dan tadh’if yang kemudian digagas oleh al-‘Allamah al-Huliyy jika diterapkan pada hadits-hadits Syiah akan ‘membabat habis’ kebanyakan hadits mereka, dan hanya menyisakan sedikit saja. Ini diakui oleh Syekh Yusuf al-Bahrany, salah seorang ulama mereka.
Kitab  hadis Al – Kafi,  dikumpulkan   oleh    Syaikh   Kulaini, terdapat sekitar 16000 hadis.. Dengan  perincian sbb : 5.072 hadis shahih,   144   hasan,   1128    hadis  Muwatstsaq  ( hadis yang di riwayatkan  perawi   bukan  syi’ah   tetapi   dipercayai  oleh  syiah), 302  hadis  Qawiy ( kuat ) dan 9.480  hadis  dhaif..
Ulama Syiah lain, Syekh Muhammad Baqir al-Majlisy (w. 1111H) telah mendha’ifkan sebagian besar hadits-hadits yang ada dalam kitab al-Kafy dalam kitabnya, Mir’at al-‘Uqul.


Metode Kritik Matan Syiah Imamiyah
Secara umum, dalam hal ini, Syiah Imamiyah melakukan kritik matan dengan 4 cara –yang juga sebenarnya diakui dan digunakan oleh Ahl al-Sunnah-, yaitu:
  1. Menimbang matan hadits dengan al-Qur’an
  2. Menimbangnya dengan al-Sunnah
  3. Menimbangnya dengan ijma’
  4. Menimbangnya dengan akal sehat.
Hal itu akan dijelaskan sebagaimana berikut.
Pertama, menimbangnya matan hadits kepada al-Qur’an.
Para imam Syiah telah menyatakan kewajiban memaparkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari mereka kepada al-Qur’an. Maka yang sesuai dengan al-Qur’an, itulah yang benar. Namun jika hadits itu menyelisihi al-Qur’an, maka ia tidak bisa dijadikan pegangan. Imam al-Ridha mengatakan,
“…Maka janganlah kalian menerima (riwayat) dari kami yang menyelisihi al-Qur’an. Sebab jika kami menyampaikan sesuatu pada kalian, kami tidak menyampaikan kecuali yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah…Maka jika datang kepada kalian orang yang menyampaikan hadits yang menyelisihi itu, maka tolaklah! Sebab setiap perkataan dari kami itu akan disertai dengan hakikat dan cahaya, dan sesuatu yang tidak ada hakikat dan cahayanya, maka itu adalah perkataan syetan.”(58)
Ulama Syiah terdahulu, tidak meyakini tahrif  Al Quran, misalnya : Mereka adalah Ibnu Babawaih al-Qummy (w. 382H), al-Syarif al-Murtadha (w. 436H), al-Thusy (w. 460H), dan al-Fadhl ibn al-Hasan al-Thibrisy (w. 548H).
Dan menurut DR. Nashir al-Qifary, sebagian besar ulama dan pemikir Syiah Imamiyah kontemporer telah mulai meyakini ‘sterilitas’ al-Qur’an dari berbagai tahrif dan bahwa ia adalah sumber tasyri’ pertama. Salah satunya misalnya yang ditunjukkan oleh Sayyid Murtadha al-Radhawy dalam bukunyaal-Burhan ‘ala ‘Adam Tahrif al-Qur’an.
Buku ini justru berusaha melekatkan tuduhan tahrif ini melalui jalur Ahl al-Sunnah. Yaitu bahwa Ahl al-Sunnah-lah yang mengada-ada terhadap Syiah dalam hal ini.
Kedua, menimbangnya dengan al-Sunnah.
Syiah Imamiyah memandang bahwa al-Sunnah merupakan sumber tasyri’ kedua setelah Kitabullah, dan hal ini disepakati oleh semua kaum muslimin. Bahwa definisi al-Sunnah menurut Syiah adalah perkataan, perbuatan dan penetapan al-ma’shum.
Ketiga, menimbangnya dengan ijma’.
Syiah –sebagaimana juga Ahl al-Sunnah- memandang ijma’ sebagai salah satu sumber tasyri’ dalam Islam. Hanya saja, terminologi ijma’ dalam pandangan mereka berbeda dengan terminologi ijma’ menurut Ahl al-Sunnah. Ibn al-Muthahhir al-Huliyy mendefinisikan ijma’ menurut Syiah dengan mengatakan,
“Ijma’ itu hanya menjadi hujjah bagi kita jika ia mencakupi perkataan sang (imam) yang ma’shum. Maka jama’ah apapun, sedikit atau banyak, jika perkataan imam termasuk dalam perkataan mereka, maka ijma’nya menjadi hujjah karenanya (perkataan imam –pen), bukan karena kesepakatan mereka.”
Keempat, menimbangnya dengan akal.
Secara umum, Syiah Imamiyah juga mengakui akal sebagai sumber tasyri’ keempat. Dan yang dimaksud dengan akal di sini adalah “hukum-hukum yang digali sendiri oleh akal”, seperti keharusan menolak semua kemudharatan, dan menghukumi jahatnya memberikan hukuman tanpa penjelasan.
Melalui kajian singkat ini setidaknya kita dapat melihat –meskipun tidak secara terperinci- bahwa secara garis besar memang ada persamaan antara Ahl al-Sunnah dan Syiah Imamiyah secara khusus dalam proses melakukan kritik terhadap sanad dan matan.


Dalam "Fatawa Syaikh Albani" oleh Ukasya bin Abdulmanan (h.524), tercatat ucapan Albani :أما أنه سبق لي أن ضعفت [بعض] أحاديث البخاري فهذا حقيقة يجب الاعتراف بها ولا يجوز إنكارها”Pernyataanku mengenai Dhaif-nya beberapa hadis Bukhari adalah fakta yang aku harus mengakuinya dan tidak dapat menyangkalnya”Ibn Mandah Mengatakan Bukhari Melakukan TadlisIbn Hajar Asqalani dalam “Tabaqat Al Mudalisin” No. 23 mencatat pandangan Ibn Mandah bahwa Bukhari :ق س محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة البخاري الامام وصفه بذلك أبو عبد الله بن مندة في كلام له فقال فيه اخرج البخاري قال فلان وقال لنا فلان وهو تدليس ولم يوافق بن مندة على ذلك والذي يظهر أنه يقول فيما لم يسمع وفيما سمع لكن لا يكون على شرطه أو موقوفا قال لي أو قال لنا وقد عرفت ذلك بالاستقراء من صنيعهMuhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah, Abu Abdullah bin Mandah mensifati Imam Bukhari, dia mengatakan tentang Bukhari : “Bukhari mengeluarkan,” si Fulan berkata, si fulan berkata kepada kami, perkataan seperti ini adalah (tadlis) penipuan, dan Ibnu Mandah tidak setuju dengan hal ini , dan tampaknya Bukhari mengatakan sesuatu yang tidak ia dengar dan yang telah ia dengar namun tak sesuai dengan syaratnya atau berhenti hanya pada si Fulan berkata kepadaku atau si fulan berkata kepada kami, aku mengetahui ini dari menginduksi karya-karyanya”.
Lalu Siapakah Ibn Mandah ?
http://ar.wikipedia.org/wiki/%D8%A7%D8%A8%D9%86_%D9%85%D9%86%D8%AF%D9%87
قال الذهبي: الإمام الحافظ الجوال، محدث الإسلام. كان أول سماعه في سنة ثمان عشرة وثلاثمائة، ولا أعلم أحدا كان أوسع رحلة منه ولا أكثر حديثا منه مع الحفظ والثقة، فبلغنا أن عدة شيوخه ألف وسبعمائة شيخ، ولم يعمر كثيرا بل عاش أربعا وثمانين سنة، قال الباطرقاني: حدثنا أبو عبد الله بن منده إمام الأئمة في الحديث، لقَّاه الله رضوانه.
وقال أبو علي الحافظ: بنو منده أعلام الحفاظ في الدنيا قديماً وحديثاً، ألا ترون إلى قريحة أبي عبد الله؟ وقيل: إن أبا نعيم الحافظ ذُكر له ابنُ منده، فقال: كان جبلا من الجبال.
قال الذهبي: فهذا يقوله أبو نعيم الأصبهاني مع الوَحشة الشديدة التي بينه وبينه. وقال أبو نعيم في “تاريخ أصبهان”: ابن منده حافظ من أولاد الحفاظ. قال الذهبي: ولأبي عبد الله كتاب كبير في الإيمان في مجلد، وكتاب في النفس والروح، وكتاب في الرد على اللفظية. وإذا روى الحديث وسكت أجاد، وإذا بوب أو تكلم من عنده انحرف وحرفش؛ بلي ذنبه وذنب أبي نعيم أنهما يرويان الأحاديث الساقطة والموضوعة ولا يهتكانها، فنسأل الله العفو.
Adz-Dzahabi berkata: Ibnu Mandah adalah seorang Imam dan penghafal yang sering berpergian, seorang ahli hadist islam, awal mula terdengar tentang dia yaitu pada tahun 318, aku tidak mengetahui sesorang yang sering berkelana melebihi dia dan yang memiliki hadist lebih banyak darinya dengan hafalan yang kuat dan ia adalah orang yang terpercaya. Telah sampai kepada kami bahwa ia memiliki guru sebanyak 700 guru, namun ia hanya berumur 84 tahun saja, al-Bathriqani berkata,”Abu Abdillah bin Mandah seorang penghulu para Imam ahli hadist, semoga Allah meridhainya.

Abu Ali al-Hafidz berkata,” Bani Mandah adalah para ahli penghapal di dunia baik masa lampau atau masa kini, apakah kaliat tidak melihat bakat yang dimiliki oleh Abu Abdillah ( Ibnu Mandah ): ketika Abu Nuaim al-Hafidz disebutkan nama Ibnu Mandah beliau mengatakan: ia adalah gunung yang tertinggi dari gunung-gunung yang ada.

Adz-Dzahabi berkata: Abu Nu’aim dalam Tarikh Isbahani mengatakan : Ibnu Mandah adalah seorang penghafal putra para penghafal, hal ini dikatakan oleh abu Nu’aim al-Isbahani karena penghormatan beliau kepada Abu Mandah. Adz-Dzahabi berkata bahwa Abu Abdillah memiliki beberapa karya besar seperti kitab iman, kitab Iman dan ruh, kitab arradd ‘alaa al-lafdziyyah. Salah satu dosanya dan dosa Abu Nu’aim pula bahwa ia meriwayatkan hadist2 saqitoh (gugur) dan maudhu’ (palsu). Kami memohon ampun kpd Allah.
Pandangan Ulama Sunni Tentang Tadlis
1. Abdul Rauf al-Manawi (al Yawaqit wa al Durrar, 1/128) :
Syu’aba berkata : “Berzina adalah lebih baik daripada melakukan Tadlis.” (Catatan : bukan berarti zina itu baik, tapi sebaliknya zina itu haram)
Dia juga mengatakan : “Tadlis adalah saudara dari bohong”
2. Al Khatib al Baghdadi (al-Kifayah Fil Ilm Riwayah, h. 355-356)
Syu’aba berkata : “Melakukan Tadlis dalam Hadis lebih buruk dari zina”
Abu Usama berkata : “Semoga Allah menghancurkan rumah-rumah dari orang-orang yang melakukan Tadlis, sesungguhnya mereka adalah pendusta”
Ibn al-Mubarak berkata : “Jatuh dari langit lebih baik dari pada melakukan Tadlis dalam sebuah hadis”
.
Para Perawi Hadis Dan Pemalsuan Kebenaran
Terdapat banyak cara yang dilakukan oleh para penulis hadis untuk memalsukan dan menyelewengkan kebenaran. Keta’assuban tampak jelas terlihat di dalam kitab-kitab mereka. Tatkala terlihat oleh mereka hadis-hadis yang berbicara tentang keutamaan Ali, atau menyingkap kekurangan para khalifah dan sahabat, dengan segera tangan mereka merubah hakikatnya. Berikut ini beberapa contoh dari cara-cara tersebut, hingga peranan yang amat berbahaya yang dilakukan oleh para muhaddis di dalam memalsukan kebenaran.


1. Contoh Pertama:
Manakala Muawiyah hendak mengambil baiat untuk anaknya Yazid, Abdurrahman bin Abu Bakar termasuk salah seorang yang paling keras menentang pembaiatan Yazid. Marwan berpidato di mesjid Rasulullah saw, yang ketika itu dia berkedudukan sebagai gubernur Hijaz yang diangkat oleh Muawiyah. Marwan berkata, “Amirul Mukminin menginginkan keutamaan Anda semua. Dia telah menunjuk anaknya Yazid untuk menjadi khalifah sepeninggalnya.” Mendengar itu Abdurrahman bin Abu Bakar berdiri dan berkata, “Demi Allah, engkau telah berdusta, ya Marwan. Dan juga engkau telah berdusta, ya Muawiyah. Keutamaan apa yang engkau inginkan bagi umat Muhammad. Engkau tidak lain ingin menjadikannya menjadi kerajaan, di mana setiap seorang raja mati maka diganti dengan raja yang lain.” Marwan berkata, “Inilah orang yang Allah SWT telah turunkan padanya, dan orang yang telah berkata kepada kedua orang tuanya, ‘Cis, bagi kamu keduanya.’” Aisyah mendengar perkataan Marwan dari balik tabir. Dia berdiri dari balik tabir dan kemudian berkata, “Hai Marwan, hai Marwan.” Maka orang-orang pun diam, dan Marwan menghadapkan wajahnya. Lalu Aisyah berkata, “Engkau katakan kepada Abdurrahman bahwa ayat Al-Qur’an ini turun kepadanya. Engkau dusta. Demi Allah, ayat ini bukan turun padanya, melainkan pada Fulan bin Fulan, namun dia adalah kelompok orang yang dilaknat oleh Allah SWT.” Pada riawayat lain disebutkan bahwa Aisyah berkata, “Demi Allah, bukan dia yang dimaksud dalam ayat ini. Akan tetapi Rasulullah saw telah melaknat Bapak Marwan pada saat Marwan masih berada di dalam tulang sulbinya. Maka dengan begitu Marwan termasuk kelompok orang yang dilaknat oleh Allah Azza Wajalla.”[124]

Sekarang, coba lihat, bagaimana Bukhari menyelewengkan sesuatu yang memburukkan Muawiyah dan Marwan:

“Marwan berkuasa atas Hijaz. Muawiayah menggunakanya. Marwan berpidato, dan menyebut Yazid bin Muawiyah supaya orang-orang berbaiat kepadanya sepeninggal ayahnya. Kemudian Abdurrahman bin Abu Bakar mengatakan sesuatu, lalu Marwan berkata, ‘Tangkap dia’, maka Abdurrahman bin Abu Bakar masuk ke rumah Aisyah, sehingga mereka tidak mampu menangkapnya. Marwan ber-kata, ‘Orang inilah yang Allah telah turunkan padanya ayat, ‘Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya, ‘Cis, bagi kamu berdua.’ Apakah Anda menerima alasan saya?!’ Kemudian Aisyah berkata dari balik tabir, ‘Allah tidak menurunkan sesuatu dari Al-Qur’an padanya, kecuali Allah menurunkan alasan saya.’”[125]
Bukhari membuang perkataan Abdurrahman dan menggantinya dengan mengatakan “Abdurrahman mengatakan sesuatu”, sebagaimana juga dia mengganti perkataan Aisyah. Semua ini dilakukan Bukhari untuk menjaga nama baik Muawiyah dan Marwan. Ibnu Hajar telah menceritakan peristiwa ini secara panjang lebar di dalam kitabnya Fath al-Bari. Perhatikanlah, sampai sejauh mana kelurusan Bukhari di dalam menukil kenyataan.


2. ContohKedua.
Bukhari membuang fatwa Umar tentang tidak salat. Muslim meriwayatkan dari Syu’bah yang berkata, “Al-Hakam berkata kepada saya, dari Sa’id bin Abdurrahman, dari ayahnya yang berkata, “Seorang laki-laki mendatangi Umar dan berkata, ‘Saya berjunub, namun saya tidak menemukan air.’ Umar menjawab, ‘Jangan kamu salat.’
Lalu Ammar berkata, ‘Apakah kamu ingat, wahai Amirul Mukminin, tatkala kamu dan saya berada di dalam pasukan. Pada saat itu kita berjunub, dan kita tidak menemukan air. Kamu pada saat itu tidak mengerjakan salat, sedangkan saya berguling-guling di atas tanah dan kemudian salat. Kemudian Rasulullah saw berkata, ‘Cukup kamu memukulkan kedua telapak tanganmu ke atas tanah, kemudian meniup keduanya, dan lalu mengusapkannya ke wajahmu dan kedua punggung tanganmu.’

Umar berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah, wahai Ammar.’ Ammar berkata, ‘Jika kamu tidak ingin, saya tidak akan ceritakan.”‘[126]
Padahal hadis ini dengan jelas menunjukkan kebodohan Umar akan hukum agama yang paling sederhana dan penting, yang diketahui oleh seluruh kaum Muslimin (yaitu hukum tayammum), dan yang dengan jelas dikatakan oleh Al-Qur’an dan diajarkan oleh Rasulullah saw kepada mereka tentang tata caranya. Namun demikian, Umar memberikan fatwa untuk tidak salat. Yang pertama, ini tidak lain merupakan salah satu indikasi kebodohan Umar, dan menunjukkan bahwa Umar tidak begitu menaruh perhatian kepada salat, dan bahkan me-nunjukkan bahwa Umar tidak mengerjakan salat pada saat dia junub, sebagaimana yang dijelaskan oleh riwayat.
Saya ingat, salah seorang teman saya pernah berdiskusi dengan saya tentang ilmunya Umar. Dia berkata kepada saya, “Sesungguhnya Umar sejalan dengan Al-Qur’an sebelum Al-Qur’an turun.”
Saya katakan kepadanya, “Ini hanya cerita yang tidak ada hubungannya dengan kenyataan. Karena bagaimana mungkin Umar sejalan dengan Al-Qur’an sebelum Al-Qur’an diturunkan, padahal dia tidak sejalan dengan Al-Qur’an setelah Al-Qur’an turun tentang masalah tayammum dan penentuan mahar wanita. Hadis ini merupakan guncangan yang paling keras yang saya alami selama saya mengkaji tentang pribadi Umar. Karena hadis ini menyingkap secara sempurna sampai sejauh mana tingkat keilmuan dan keberagamaan Umar. Yang lebih mengherankan saya ialah sikap Umar yang tetap bersikeras dengan kebodohannya setelah diberitahukan oleh Ammar tentang hukum agama mengenai masalah itu.
Kemudian, lihatlah bagaimana Bukhari tidak sampai hati meriwayatkan fatwa Umar ini, yang tidak mungkin ada seorang pun yang memfatwakannya meski orang pasar sekali pun. Bukhari mengeluarkan di dalam kitab sahihnya dengan sanad dan redaksi yang sama, namun dengan membuang fatwanya,
“Seorang laki-laki datang kepada Umar bin Khattab dan berkata, ‘Saya berjunub namun saya tidak menemukan air.’ Lalu Ammar bin Yasir berkata kepada Umar bin Khattab, ‘Apakah kamu ingat, wahai Amirul Mukminin, tatkala kamu dan saya …”[127]


3. Contoh Ketiga:
Ibnu Hajar mengeluarkan di dalam kitabnya Fath al-Barifi Syarh Shahih al-Bukhari, jilid 17, halaman 31, hadis yang berbunyi, “Seorang laki-laki bertanya kepada Umar tentang firman Allah SWT yang berbunyi, ‘Dan buah-buahan serta rumput-rumputan’, apakah rumput-rumputan itu?’

No comments:

Post a Comment