Monday, October 10, 2011

KEBANJIRAN HADIS PALSU (BAHAGIAN 21)


(sambungan dari post terdahulu) (PERIWAYAT HADIS DARI KALANGAN MAZHAB JAAFARI DALAM HADIS2 AHLU SUNNAH)

51.   Abdullah bin Maimun al Qaddah al Makki ia adalah pengikut imam Ja’far ash shidiq, Turmudzi berpegang pada haditsnya, Az Zabby menjelaskan penolakan hadis yang diriwayatkanya.

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at : Abdullah ibn Maymun al-Qaddah al-Makki Seorang sahabat Imam Ja`fer ibn Muhammad al-Sadiq (as), penyampaian beliau telah digunakan oleh al-Tirmidzi. Al-Thahbi menyebut beliau dan menandakan nama beliau dengan singkatan al-Tirmidzi sebagai petunjuk bahawa yang kemudian menyebutkan hadith dari beliau. Dia menambah dengan berkata bahawa beliau menyampaikan hadith yang disampaikan oleh Imam Ja`fer ibn Muhammad al-Sadiq (as), dan dari  Talhah ibn `Umer.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi. 'Abdullah ibn Maimun al-Qaddah al-Makki Menurut Imam Bukhari, 'Abdullah termasuk orang yang perlu dijauhi haditsnya. Abu Zara'ah memandang haditsnya penuh kealpaan. Menurut at-Turmudzi, hadits Ibn Maimun itu munkar. Ibn 'Adi berkata: "Pada umumnya hadits Ibn Maimun tidak dapat diikuti." Menurut Imam Nasa'i, ia dha'if Abu Hatim berkata; "Hadits Ibn Maimun adalah munkar. Ia meriwayatkan hadits dari sumber-sumber secara bercampuran." Hadits Ibn Maimun --tanpa disertai sanad lain-- tidak dapat dijadikan hujjah. Abu Nu'aim berkata: "'Ibn Maimun meriwayatkan hadits-hadits munkar." Para ulama sepakat bahwa Ibn Maimun itu dha'if, tidak tsiqat dan haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Tidak seorang pun yang menentang kesepakatan ini. Namun al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah, memandang Ibn Maimun sebagai perawi Syi'ah yang tsiqat. Hal ini jelas berlawanan dengan kesepakatan bulat para ulama hadits mengenai kedha'ifan Ibn Maimun. Penilaian al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah yang kontroversial itu, hanya karena Ibn Maimun merupakan teman dekat salah seorang imam Syi'ah, yaitu Ja'far ibn Muhammad ash-Shadiq. Dari sini terlihat bahwa kaum Rafidhah tidak memiliki metoda (sistem) untuk menentukan tsiqat dan dha'ifnya para perawi. Mereka hanya orang yang menuruti hawa nafsu, dan tersesat karenanya. Jika Imam at-Turmudzi meriwayatkan hadits dari Ibn Maimun, tidak berarti haditsnya dapat dijadikan hujjah. Sebab, seperti saya kemukakan berulang kali, sebuah hadits bisa didaftar sekedar sebagai i'tibar. Itu pun disertai sanad lain yang adil dan tsiqat.

c.     Catatan  tuduhan az Zabby yang dimiliki Ahlul Ba’it justru lebih sempurna, pengujian validitas sebuah hadits bukan hanya ditentukan dengan tsiqat dan dha'ifnya para perawi, tetapi mesti melalui pengujian dengan Al Qur’an, sehingga tidak ditemukan hadis asatir yang melecehkan para Nabi sebagaimana terdapat dalam riwayat hadits ahlu sunnah. Salman Rusdi penulis ayat-ayat setan mengakui bahwa sumber novelnya banyak diambil dari sumber otentik hadis di kitab-kitab standar yang enam (milik ahlu sunnah-pen)

52.    Abdurrahman bin shaleh al azdi (Abu Muhammad al Kufi) Ibnu ’Adi menyebutkanya sebagai orang yang terbakar dalam faham syi’ah. Abu daud menyebutkan bahwa ia pernah menulis sebuah buku tentang  cacad para sahabat.  Meskipun begitu an Nasai dan al Baghawi mempercayai hadistnya demikian penuturan adz dzahabi.  Az Zabby dalam bukunya tidak mengkritik al Musawi ia justru menampilakn polemik diantara ahli hadist ahlu sunnah yang menolak dan menerima riwayatnya.

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at : `Abdul-Rahman ibn Salih al-Azdi Nama beliau adalah Abu Muhammad al-Kufi. Pelajar dan juga sahabat beliau `Abbas al-Duri berkata bahawa beliau seorang Shi’a. Ibn `Adi menyebutnya dan berkata, "Beliau telah terbakar di dalam api Shi’a." Salih Jazrah berkata bahawa `Abdul-Rahman pernah menentang `Uthman. Abu Dawud berkata bahawa `Abdul-Rahman telah menyusun sebuah buku mengandunggi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebahagian para sahabat Rasul [sawas], dan bahawa beliau adalah seorang yang keji. Walaupun terdapat ini semua keduanya `Abbas al-Duri dan Imam al-Baghwi menyampaikan hadith beliau. Al-Nisa’i juga menyebut darinya. Al-Thahbi telah merujuk kepada beliau di dalam Al-Mizan nya dan menandakan nama beliau dengan singkatan  al-Nisa’i sebagai petunjuk bahawa yang kemudian telah bergantung kepada beliau. Dia juga telah menyebutkan apa yang para Imams (diantara para Sunnis) telah katakan mengenai beliau seperti tertulis diatas. Dia menunjukkan bahawa Ma`in mempercayai kepada beliau, dan beliau meninggal pada tahun 235. Rujuklah kepada hadith beliau di dalam buku Sunan seperti yang disampaikan melalui Sharik dan kumpulan terkemuka lainnya

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi. ‘Abdurahm’an ibn Shaleh al-Azdi al-Ataki, Diceritakan bahwa Ibn Shaleh akan menemui Ahmad ibn Hanbal. Dikatakan hal itu kepada Ahmad. Lalu Ahmad berkata: “Maha Suci Allah! ia seorang yang mencintai keluarga Nabi. Ia adil.” Menurut Yahya ibn Mu’in, ia tsiqat, jujur, dan syi’ah. Bagi Ibn Shaleh, demikian Yahya, jatuh pingsan dari langit lebih ia sukai daripada berdusta walau hanya sepatah kata. Abu Hatim menilai Ibn Shaleh sebagai orang yang jujur. Musa ibn Harun berkata: “Ia tsiqat, yang bercerita tentang kekurangan-kekurangan para istri Rasulullah dan para sahabat:” Abu al-Qasim berkata: “Aku mendengar Ibn Shaleh berkata: “Orang paling utama setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar dan ‘Umar.” Shaleh ibn Muhammad berkata: “Ia orang Kufah, yang mencerca ‘Utsman, tetapi ia jujur.” Abu Dawud berkata: “Aku tidak berminat untuk mendaftar hadits Ibn Shaleh. Ia menulis buku yang mengecam sahabat-sahabat Rasul” Ibn Hibban menyebut Ibn Shaleh dalam kitab ats-Tsiqat. Ibn Adi berkata: “Ibn Shaleh sangat dikenal di kalangan orang Kufah. Tidak ada orang yang menyatakan haditsnya dha’if. Hanya saja ia sangat menonjol dalam berpaham Syi’ahnya. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Ibn Shaleh bukan orang yang suka berdusta. Para ahli sepakat mengenai kejujurannya. Namun, mereka mengakui dan mencatat sikapnya yang condong ke Syi’ah. Sungguhpun demikian, sifat yang ditunjukkan Ibn Shaleh, seperti dikemukakan para ulama, tidaklah sampai pada batas rafadh. Sebab, Ibn Shaleh tidak mengutamakan ‘Ali atas Abu Bakar dan ‘Umar. Dan kalau benar bahwa ia menulis sebuah buku mengenai kekurangan-kekurangan para sahabat Nabi, maka hal itu menjadi dasar untuk menilai ia sebagai pembid’ah. Akan tetapi ia tidak menghalalkan sikap dusta untuk menguatkan pahamnya. Karena itu, ulama hadits tetap menjadikan haditsnya sebagai hujjah, karena ia dikenal sangat jujur dan anti kebohongan. Wallahu a’lam. Hal di atas menunjukkan konsistensi ulama Sunni terhadap sistem dan metodologi ilmiah yang mereka ciptakan sebagai dasar al-jarh wat-ta’dil, (pertimbangan kekuatan dan keadilan rawi), ‘ilm ar-rijal (ilmu tentang perawi-perawi hadits), dan dalam qabulur-riwayat wa rafdhiha (diterima atau ditolaknya riwayat).

c.    Catatan :  seperti diakui sendiri oleh Mahmud az Zabby sistem dan metodologi pengujian hadis menurut ahlu sunnah hanya menggunakan 3 hal yaitu al-jarh wat-ta’dil, (pertimbangan kekuatan dan keadilan rawi), ‘ilm ar-rijal (ilmu tentang perawi-perawi hadits), dan dalam qabulur-riwayat wa rafdhiha (diterima atau ditolaknya riwayat). Dalam tradisi syi’ah metodologi itu masih ditambah satu sebagaimana yang diperintahkan Imam Ja’far ash Shadiq yaitu hadis mesti diuji validitasnya dengan Al Qur’an. Maka dalam hadis ahlu sunnah banyak ditemukan hadis yang menyudutkan pribadi Rasulullah yang suci, misalkan : Rasulullah saw yang terkena sihir, Rasulullah yang bermuka masam, Rasulullah yan sholat tidak mandi junub dan lainnya.

53.    Abdurrazzaq bin Humam bin Nafi’ al Himyari ash shan’ani 

 Ia adalah sokoh syi’ah yang terkemuka, sebagimana disebutkan Ibn Qutaibah. Ia yang meriwayatkan tentang keutamaan ahlul ba’it. Ibn Khallikan menyebutkan bahwa bahyak pula yang meriwayatkan hadist darinya diantaranya : Sufyan bin Uyainah, Ahmad bin Hanbal,  Yahya bin Mu’in. Az Zabby sang polemis, tidak menolak pandnagan itu bahkan dia berkomentar dalam dua halaman dengan mengutip pandangan para ahli hadist sunni tentang ketsiqatan dirinya.

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at : `Abdul-Razzaq ibn Humam ibn Nafi` al-Himyari al-San`ani Seorang dari pemuka Shi’a dan dari keturunan yang dihormati, beliau telah dijumlahkan oleh Ibn Qutaybah diantara yang terkemuka Shi’a di dalam Ma`arif. Ibn al-Athir, pada muka surat 137, Vol. 6, dari bukunya Al-Tarikh Al-Kamil, menyebutkan kematian `Abdul-Razzaq pada penghujung peristiwa di dalam tahun 211 H. iaitu: “Dalam tahun itu, ahli tradisionis `Abdul-Razzaq ibn Humam al-San`ani, seorang dari penasihat Ahmed, yang Shi`a telah meninggal.” Al-Muttaqi al-Hindi menyebut beliau ketika membincangkan hadith no 5994 di dalam bukunya Kanz al-`Ummal, pada muka surat 391, Vol. 6, mengatakan bahawa beliau adalah Shi’a. Al-Thahbi, di dalam Al-Mizan, berkata, “`Abdul-Razzaq ibn Humam ibn Nafi`, penasihat Abu Bakr al-Himyari, adalah seorang Shi’a, seorang pembesar San`a, adalah seorang tradisionis yang amat dipercayai diantara semua ulama.” Dia meyampaikan biografi beliau dan menambah: “Beliau mempunyai banyak penulisan, mengarang [khususnya] Al-Jami` Al-Kabir. Beliau adalah pemelihara pengetahuan yang dicari oleh ramai manusia, seperti Ahmed, Ishaq, Yahya, al-Thahbi, al-Ramadi, dan `Abd.” Dia membincangkan kerekter beliau dan menyebut al-`Abbas ibn `Abdul-`Azim, yang menuduh beliau sebagai penipu. Dia menyatakan bahawa al-Thahbi telah menolak tuduhan yang sedemikian. Dia berkata, “Bukan sahaja Muslim, tetapi semua mereka yang telah menghafal hadith telah bersetuju dengan al-`Abbas, sedangkan para Imams yang berpengetahuan bergantung kepada penyampaian beliau.” Dia terus menyampaikan biografi beliau, dengan menyebut dari al-Tayalisi sebagai berkata: “Saya telah mendengar Ibn Ma`in mengatakan sesuatu yang darinya saya telah yakin bahawa `Abdul-Razzaq adalah seorang Sh’a. Ibn Ma`in bertanya kepadanya: `Guru kamu seperti Mu`ammar, Malik, Ibn Jurayh, Sufyan, al-Awza`i, semuanya adalah Sunnis. Dimana kamu belajar golongan Shi`ism?’ Dia menjawab: `Ja`fer ibn Sulayman al-Zab`i suatu ketika datang melawat, dan saya dapati beliau amat dihormati dan mendapat petunjuk yang benar, dari itu saya mempelajari Shi`ism dari beliau.’” `Abdul-Razzaq, seperti yang disebutkan diatas, dalam kenyataan dimana beliau berkata bahawa beliau adalah seorang Shi’a menunjukkan bahawa beliau telah mempelajari Shi`ism dari Ja`fer al-Zab`i, tetapi Muhammad ibn Abu Bakr al-Muqaddimi memikirkan bahawa Ja`fer al-Zab`i sendiri yang telah mempelajari Shi`ism dari `Abdul-Razzaq. Bahkan dia menolak `Abdul-Razzaq atas sebab ini. Di dalam Al-Mizan, dia telah disebutkan sebagai berkata, “Saya harap saya telah kehilangan `Abdul-Razzaq untuk selamanya. Tiada siapa yang telah merosakkan kepercayaan Ja`fer selain dari dia.” Kerosakkan yang dia maksudkan adalah Shi`ism!  Ibn Ma`in sangat bergantung kepada penyampaian `Abdul-Razzaq, walaupun dia telah mengatakan bahawa beliau adalah seorang Shi`a seperti yang dinyatakan diatas. Ahmed ibn Abu Khayth`amah, seperti di dalam biografi Abdel-Razzaq di dalam Al-Mizan, telah berkata, “Ianya telah dikatakan kepada Ibn Ma`in bahawa  Ahmed berkata bahawa `Ubaydullah ibn Musa menolak hadith `Abdul-Razzaq kerana beliau adalah seorang Shi’a. Maka Ibn Ma`in menjawab: `Saya bersumpah dengan Allah, Tuhan yang Esa, bahawa `Abdul-Razzaq lebih utama 100 kali dari `Ubaydullah, dan saya telah mendengar hadith `Abdul-Razzaq dan mendapatinya lebih banyak berjilid-jilid dari yang dipunyai `Ubaydullah.’” Juga di dalam biografi `Abdel-Razzaq di dalam Al-Mizan, Abu Salih Muhammad ibn Isma`il al-Dirari telah disebutkan sebagai berkata, “Ketika kami di San`a, tetamu `Abdul-Razzaq, kami mendengar bahawa Ahmed dan Ibn Ma`in, bersama dengan yang lainnya, telah menolak hadith `Abdul-Razzaq, atau mengatakan tidak suka kepadanya, kerana tradisionis adalah seorang Shi’a. Berita itu amat menyedihkan kami. Pada fikiran kami bahawa kami telah membelanjakan wang yang banyak dan bersusah payah untuk datang kesini, semuanya adalah sia-sia sahaja. Kemudian saya bersama dengan rombongan haji yang hendak menuju ke Makah dimana saya bertemu dengan Yahya dan bertanyakan beliau mengenai isu tersebut. Dia, sebagaimana tersebut di dalam biografi `Abdel-Razzaq di dalam Al-Mizan, berkata: `Wahai Abu Salih! Walaupun jika `Abdul-Razzaq meninggalakan Islam sama sekali, janganlah kita menolak hadith darinya.’”  Ibn `Adi telah menyebut beliau dan berkata: “`Abdul-Razzaq telah menyampaikan hadith mengenai kemuliaan, tetapi tiada siapa yang mengesahkannya.[11] Beliau juga menyenaraikan kesalahan-kesalahan orang tertentu,  pandangannya telah ditolak oleh yang lain;[12] lebih-lebih lagi beliau dipercayai adalah seorang Shi’a.”  Walaupun telah terdapat semua ini, Ahmed ibn Hanbal telah ditanyakan suatu ketika, seperti tertulis di dalam biografi `Abdel-Razzaq di dalam Al-Mizan, sama ada dia mengetahui mana-mana hadith yang lebih baik dari yang disampaikan oleh `Abdul-Razzaq, dan jawapannya adalah negetif. Ibn al-Qaysarani menyatakan pada penghujung biografi `Abdul-Razzaq di dalam bukunya Al-Jami` Bayna Rijalul Sahihain, menyebut dari Imam Ahmed ibn Hanbal sebagai berkata, `Jika manusia mempertikaikan hadith Mu`ammar, maka penyelesainya yang terakhir adalah `Abdul-Razzaq.’ Mukhlid al-Shu`ayri berkata bahawa dia suatu ketika berada di dalam kumpulan `Abdul-Razzaq apabila sesaorang menyebut Mu`awiyah. `Abdul-Razzaq, seperti yang disebutkan di dalam biografinya di dalam Al-Mizan, kemudian berkata: `Janganlah merosakkan perjumpaan kita dengan menyebutkan keturunan Abu Sufyan.’” Zayd ibn al-Mubarak telah berkata: “Kami berada di dalam kumpulan ‘Abdul-Razzaq suatu ketika apabila kita memperkatakan hadith ibn al-Hadthan. Iaitu apabila `Umer’s berkata kepada `Ali dan al-`Abbas: `Kamu (i.e. `Abbas) telah datang untuk meminta warisan sepupu kamu [Rasul [sawas] sedangkan orang ini (i.e. `Ali) telah datang untuk meminta warisan isterinya dari bapanya, telah dibacakan, `Abdul-Razzaq, sebagaimana yang dinyatakan di dalam biografinya Al-Mizan, berkata: `Hentikanlah yang sungguh memalukan ini, manusia yang biadap sahaja yang menggunakan ‘sepupu’ dan ‘bapa’ sepatutnya Rasul Allah [sawas]!” Walaupun dengan semua ini, kesemua penyusun Hadith telah merakamkan hadith beliau dan bergantung kepada penyampaiannya. Malah telah diperkatakan, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Khallikan di dalam Wafiyyat al-A`yan, bahawa manusia tidak pergi kepada sesiapa selepas Rasul [sawas] sebegitu kerap seperti yang mereka lakukan kepada `Abdul-Razzaq’s. Beliau telah disebutkan oleh Imam yang sezaman dengannya seperti Sufyan ibn `Ayinah, adalah diantara para-para penasihat-penasihat. `Abdul-Razzaq sendiri adalah seorang darinya,  Ahmed ibn Hanbal, Yahya ibn Ma`in, dan lain lagi.Rujuklah kepada hadith beliau di dalam semua buku Sahih, dan juga Musnad, yang mana mengandungi sebahagian dari hadith beliau. Beliau telah dilahirkan, semoga Allah merahmati ruhnya, pada tahun 211 H. Beliau adalah sezaman dengan Abu `Abdullah Imam al-Sadiq (as) untuk selama 20 tahun.[13] Beliau meninggal semasa permulaan Imamate bagi Imam Abu Ja`fer al-Jawad (as), sembilan tahun sebelum Imam wafat.;[14] semoga Allah membangkitkan beliau bersama dengan para Imam ini yang beliau telah berkhidmat kepada mereka [as], adalah untuk mencari keridhaan kepada Allah.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi. . ‘Abdurrazzaq ibn Himam ibn Nafi’ al-Humairi ash-Shan’ani . Penulis kitab Fath al-Bari berkata: “Ibn Himam adalah salah seorang penghafal hadits yang terpercaya. Ia memiliki banyak karya tulis. Semua imam memandang dirinya tsiqat, kecuali ‘Abbas ibn ‘Abdil ‘Adzim al-Anbari. Pandangan ‘Abbas tentang Himam agak subyektif, sehingga tak seorang pun sependapat dengannya. Abu Zara’ah ad-Dimasyqi berkata: “Dikatakan kepada Ahmad ibn Hanbal, siapa yang lebih terpercaya antara ‘Abdurrazaq ibn Himam dan Muhammad ibn  Bakar ad-Dasani?” jawab Ahmad, ” ‘Abdurrazaq.”‘Abbas ad-Duri dari Ibn Mu’in berkata: ‘Abduffazaq adalah perawi yang terpercaya dalam hadits Makmar dari Hisyam ibn Yusuf. Ya’qub ibn Syaibah dari ‘Ali ibn al-Madini berkata: “Hisyam ibn Yusuf berkata kepadaku, ‘Abdurrazaq adalah orang yang paling alim dan paling hafal diantara kita.” Berkata Ya’qub: “Keduanya (‘Abdurrazaq dan Hisyam) adalah orang tsiqat dan terpercaya.” Adz-Dzahili berkata: “‘Abdurrazaq adalah orang paling tahu tentang hadits, dan dia “hafizh”. Ibn ‘Adi berkata: “Perawi-perawi hadits yang tsiqat banyak berdatangan menemui ‘Abdurrazaq. Mereka meriwayatkan hadits darinya. Namun mereka memandangnya Syi’ah. Label Syi’ah ini merupakan kecaman mereka yang paling akut. Tetapi, kejujuran ‘Abdurrazaq menempatkannya di posisi yang tidak tergoyahkan. An-Nasa’i berkata: “Perlu penelitian lebih jauh bagi orang yang menulis hadits ‘Abdurrazaq di saat ia berusia senja. Banyak orang menerima hadits munkar darinya.” Atsram dari Ahmad berkata: “Barangsiapa mendapatkan informasi (hadits) dari ‘Abdurrazaq setelah ia buta, maka itu bukanlah hadits. Apa yang sudah ditulis dalam buku-bukunya, maka hal itu adalah benar dan shahih. Tetapi yang tidak tercatat dalam buku-bukunya, maka itu hanyalah hasil rekaman setelah ada upaya mengingat kembali apa yang pernah diketahuinya.” Ibn Hajar berkata: “Imam Bukhari berhujjah dengan sejumlah hadits yang diterima dari ‘Abdurrazaq sebelum ia memasuki usia senja. Dan imam-imam yang lain meriwayatkan hadits darinya.” Dari berbagai pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa para ahli sepakat mengenai sifat adil, tsiqat, kejujuran dan kuatnya daya ingat ‘Abdurrazaq sebelum ia memasuki masa tuanya (masa di mana terjadi ikhtilath (campur-aduk). Pada waktu itu, tidak seorang pun berbeda pendapat. Hadits-haditsnya yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, juga dalam kitab Sunan lainnya, semuanya diriwayatkan sebelum ‘Abdurrazaq memasuki masa ikhtilath. Kalangan ahli hadits tidak berselisih untuk berhujjah dengan hadits ‘Abdurrazaq sebelum tuanya. Adapun gelar Syi’ah yang dialamatkan kepadanya sudah merupakan kecaman ulama hadits yang paling keras. Namun label Syi’ah yang disandangnya tidak merusak sifat adil, tsiqat dan kejujurannya. Sebab ia bukanlah penganut Syi’ah ekstrim yang sampai ke tingkat rafadh. Selain itu, ia dikenal sangat jujur dan taqwa. Mengenai bukti yang menunjukkan bahwa ia bukan Syi’ah Rafidhah adalah perkataan Ahmad ibn Azhar, “Aku mendengar ‘Abdurrazaq berkata: “Aku mengutamakan Abu Bakar dan ‘Umar lantaran ‘Ali ibn Abi Thalib lebih mengutamakan mereka daripada dirinya sendiri. Seandainya ‘Ali tidak mengutamakan mereka, tentu saya pun tidak akan melakukannya. Cukuplah dosaku manakala aku mencintai ‘Ali, namun mengingkari ucapannya.” ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal berkata: “Aku bertanya kepada ayahku, apakah ‘Abdurrazaq itu Syi’ah ekstrim? ‘Aku tidak pernah mendengar hal seperti itu,’ jawab ayahku.” Salamah ibn Syabib berkata: “Aku mendengar ‘Abdurrazaq berkata: Demi Allah, dadaku tidak terbuka untuk mengutamakan ‘Ali melebihi kemuliaan Abu Bakar dan ‘Umar. Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman. Orang yang tidak mencintai mereka, pastilah ia bukan orang mukmin. Katanya lagi: “Amal perbuatanku yang paling kokoh adalah kecintaanku kepada mereka.” Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan dengan jelas bahwa ‘Abdurrazaq bukanlah Syi’ah Rafidhah. Jika demikian, bagaimana bisa dibenarkan pendapat yang menyatakan bahwa ‘Abdurrazaq penganut paham Rafidhah, dan ia dipandang salah seorang perawi yang tsiqat dan adil? Ini jelas merupakan kepalsuan yang besar yang mengandung motif menghancurkan sendi-sendi sunnah Nabi, dan menceburkan keragu-raguan kepada mereka yang memelihara sunnah, supaya mereka dengan mudah bisa menghancurkan Islam. Orang-orang Sunni hendaknya awas dan peka terhadap hal ini!

54.    Abdul Malik bin A’yan (Saudara Zurarah) Adz Dzahabi menyebutnya sebagai seorang syi’ah bersama saudaranya. Hadistnya diriwayatkan oleh Shahih Bukhari dan Muslim. Az Zabby tidak serta merta menolak hadis dia, bahkan dia menampilkan pandangan-pandangan ulama ahli hadist sunni

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at : `Abdul-Malik ibn `Ayan Beliau adalah adik kepada Zararah, Hamran, Bakir, `Abdul-Rahman, Malik, Musa, Daris, dan Umm al-Aswad, semuanya keturunan `Ayan, dan semuanya adalah pemuka Shi`as. Mereka telah memenangi piala kemuliaan pada berkhidmat terhadap sharia’ Islam, dan telah menghasilkan keturunan yang mulia lagi dihormati yang patuh kepada golongan dan pandangan agama mereka. Al-Thahbi menyebut `Abdul-Malik di dalam Al-Mizan, menyebut dari Abu Wa’il dan lainnya yang menyebut Abu Hatim sebagai berkata bahawa beliau telah menyampaikan hadith-hadith yang sahih, dan bahawa Ma`in telah berkata tidak terdapat sebarang kesalahan dengan hadith-hadith beliau, sedangkan penyampai yang lain mengesahkannya: Maka beliau adalah jujur, tetapi Rafidi, juga.” Ibn Ayinah telah berkata: “`Abdul-Malik, seorang Rafidi, telah menyampaikan hadith kepada kami.” Abu Hatim berkata bahawa beliau adalah dikalangan yang mula-mula untuk mempercayai Islam Shi`a, dan bahawa hadith beliau adalah sahih. Keduanya, Sufyans telah menyampaikan hadith beliau dan penyampai yang lain telah menyampaikan dengan lebih sempurna susunannya. Di dalam buku Al-Jami` Bayna Rijalul Sahihain, Ibn al-Qaysarani, seperti yang disebutkan oleh Sufyan ibn A`yinah, mempunyai sesuatu untuk mengatakan mengenai beliau: “`Abdul-Malik ibn `Ayan, adik kepada Hamran al-Kufi, adalah seorang Shi`a yang mana hadithnya mengenai tawhid dirakamkan oleh Bukhari seperti yang disampaikan oleh Abu Wa’il, dan mengenai iman seperti yang dirakamkan di dalam Muslim.” Beliau meninggal ketika era Imam al-Sadiq (as) yang mendoakan supaya rahmat Allah dicucuri kepadanya. Abu Ja`fer ibn Babawayh telah menyampaikan bahawa Imam al-Sadiq (as), bersama dengan pengikutnya menziarahi pusara beliau di Madina. Semoga beliau dikurniakan ganjaran yang baik dan hidup aman selama-lamanya.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi. . ‘Abdul Malik ibn A’yun al-Kufi . Al-Ajli memandang ‘Abdul Malik sebagai orang yang tsiqat. Menurut Abu Hatim, ia orang Syi’ah, tetapi jujur. Ibn Mu’in memandang dia sebagai orang yang tidak diperhitungkan. Ibn Muhdi mencatat hadits darinya, tetapi kemudian ditinggalkannya. Ibn Hajar berkata: “Di dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, tidak terdapat selain hadits Sufyan ibn ‘Uyainah dari Jami’ ibn Abi Rasyid dan ‘Abdul Malik. Keduanya (Abu Rasyid dan ‘Abdul Malik) mendengar Syaqiq berkata: Aku mendengar Ibn Mas’ud menyebut hadits man halafa ‘ala mall imri’in muslimin. Hadits ini terdapat di Bab Tauhid dalam kitab shahih Bukhari. Imam-imam hadits yang lain juga meriwayatkan hadits ‘Abdul Malik. Al-Hamidi menceritakan bahwa Sufyan menerima hadits dari ‘Abdul Malik ibn A’yun, seorang Syi’ah. “Bagiku,” kata al-Hamidi, “‘Abdul Malik adalah seorang Rafidhah, seorang yang suka menciptakan ajaran bid’ah.” Al-Hamidi berkata dari Sufyan bahwa ‘Abdul Malik dan kedua saudaranya, yaitu Zararah dan Hamran, semuanya merupakan penganut Syi’ah Rafidhah. Dari tiga bersaudara ini yang paling buruk ucapannya adalah ‘Abdul Malik. Ibn Hibban menyebut ‘Abdul Malik dalam kitab ats-Tsiqat, walaupun ia orang Syi’ah. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ‘Abdul Malik bukanlah orang yang tsiqat. Haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah, menurut kebanyakan ahli hadits. Pendapat ulama yang memandang dia tercela harus didahulukan daripada pendapat ulama yang menilainya adil atau tsiqat. Sebab, jumlah ulama yang pertama lebih banyak dan pengetahuan mereka tentang ‘Abdul Malik lebih rinci. Pendapat Sufyan harus didahulukan daripada pendapat al-Ajli, sebab Sufyan mendengar langsung dari ‘Abdul Malik. Dan dia mendapat informasi darinya yang dapat dijadikan dalil bahwa haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Sedangkan al-Ajli memandangnya adil, karena ia tidak mengetahui apa yang diketahui Sufyan. Mengenai periwayatan ‘Abdul Malik, itu hanyalah menyangkut satu hadits saja. Itu pun disertai sanad atau perawi lain, yaitu Abu Rasyid, seperti dikemukakan Ibn Hajar terdahulu. Seandainya tidak disertai perawi lain, tentu Bukhari tidak akan meriwayatkannya. Demikian pula imam-imam hadits yang lain. Mereka meriwayatkan hadits ‘Abdul Malik dengan disertai perawi lain. Sebagian lagi meriwayatkan untuk i’tibar sebagai penguat dan pendukung semata, bukan sebagai hujjah. Di muka sudah saya katakan berkali-kali bahwa ulama hadits kerapkali mendaftar hadits seorang perawi, tetapi mereka tidak menjadikannya sebagai hujjah.

55.    Ubaidullah bin Musa al Absi 

Ibnu Qutaibah menyebutnya sebagai seorang syi’ah, demikian pula Ibn Sa’ad.  Dia adalah salah seorang guru Bukhari. Dlam kitab shahih bukhari dan Muslim hadis melalui dia diriwayatkan. Az zabby menampilkan polemik penerimaan hadis melalui dia tetapi diakhir kalimat ia menyatakan bahwa riwayatnya  tsiqat dan dapat dijadikan hujjah.

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at : Ubaydullah ibn Musa al-`Abasi al-Kufi Beliau adalah penasihat al-Bukhari, seperti yang diakuinya sendiri pada muka surat 177 dari buku Sahihnya. Ibn Qutaybah telah memasukkan beliau diantara ahli tradisionis di dalam hasil kerjanya Al-Ma`arif, dengan mengatakan bahawa beliau adalah seorang Shi’a. Apabila dia menyebut semula semua ahli terkemuka Shi’a di dalam bab pada menyebutkan golongan-golongan di muka surat 206 dari bukunya al-Ma`arif, dia menjumlahkan `Ubaydullah diantara mereka. Pada muka surat 279, Vol. 6, dari buku Tabaqat, Ibn Sa`d menyatakan biografi `Ubaydullah dengan tidak lupa untuk menyatakan bahawa beliau adalah Shi’a, dan bahawa beliau menyampaikan hadith pada menyokong Shi`ism, dari itu menurut Ibn Sa`d, telah melemahkan hadithnya pada mata orang ramai. Dia juga menambah bahawa `Ubaydullah juga amat faham dengan al-Quran yang suci. Dia merakamkan pada muka surat 139, Vol. 6, dari bukunya Al-Kamil tarikh beliau meninggal pada penghujung peristiwa yang berlaku dalam tahun 213 H., dengan mengatakan: “`Ubaydullah ibn Musa al-`Abasi, seorang ahli perundangan agama, adalah seorang Shi’a yang telah mengajar al-Bukhari, seperti yang diakui oleh dia sendiri di dalam Sahihnya.” Al-Thahbi menyebut beliau di dalam Al-Mizan dengan berkata, “Ubaydullah ibn Musa al-`Abasi al-Kufi, adalah penasihat al-Bukhari, adalah tidak dipertikaikan lagi akan kejujuran beliau, tetapi beliau adalah juga seorang Shi’a yang menyeleweng.” Bahkan pengarangnya mengakui bahawa keduanya Abu Hatim dan Ma`in telah mempercayai hadith beliau. Dia berkata, “Abu Hatim telah berkata bahawa hadith yang disampaikan oleh Abu Na`im adalah lebih sahih, bahkan `Ubaydullah adalah lebih sahih dari mereka semua apabila tiba pada hadith yang disampaikan oleh Isra’il.”  Ahmed ibn `Abdullah al-Ajli telah berkata, “`Ubaydullah ibn Musa mempunyai pengetahuan mendalam mengenai al-Quran, telah menyampaikan banyak darinya. Saya tidak pernah melihat beliau sombong atau bangga dan beliau tidak pernah dilihat ketawa terbahak-bahak.” Abu Dawud berkata, “`Ubaydullah ibn al-`Abasi adalah seorang pengikut Shi’a yang kuat.” Pada penghujung biografi Matar ibn Maymun di dalam Al-Mizan, al-Thahbi mengatakan : “`Ubaydullah, seorang Shi’a yang dipercayai.” Ibn Ma`in pernah belajar hadith dari `Ubaydullah ibn Musa dan `Abdul-Razzaq, setelah dia mengetahui bahawa keduanya adalah Shi’a. Di dalam buku al-Thahbi Al-Mizan, ketika menuliskan biografi `Abdul-Razzaq, pengarang menyebutkan dari Ahmed ibn `Ali Khaythamah sebagai berkata, “Saya bertanya kepada Ibn Ma`in berkaitan dengan apa yang saya dengar mengenai penolakkan Ahmed terhadap hadith `Ubaydullah ibn Musa’s kerana beliau adalah seorang Shi’a. Ibn Ma`in menjawab: `Saya bersumpah dengan Allah, yang tiada sekutu bagiNya, bahawa `Abdul-Razzaq lebih utama dari `Ubaydullah seratus kali ganda, dan saya telah mendengar hadith dari `Abdul-Razzaq lebih banyak  dari yang saya dengar dari ‘Ubaydullah.’”  Sunnis, sama seperti semua yang lain, bergantung pada hadith yang disampaikan oleh `Ubaydullah di dalam buku-buku Sahih mereka. Rujuklah kepada hadith beliau di dalam kedua Sahih yang disampaikan oleh Shayban ibn `Abdul-Rahman. Sahih Bukhari menyebut hadith beliau oleh al-A`mash ibn `Urwah dan Isma`il ibn Abu Khalid. Hadith beliau yang dirakamkan di dalam Sahih Muslim telah dilaporkan dari Isra’il, al-Hasan ibn Salih, dan Usamah ibn Zayd. Al-Bukhari menyebut dari beliau secara terus. Beliau juga disebutkan secara terus oleh Ishaq ibn Ibrahim, Abu Bakr ibn Abu Shaybah, Ahmed ibn Ishaq al-Bukhari, Mahmud ibn Ghaylan, Ahmed ibn Abu Sarij, Muhammad ibn al-Hasan ibn Ashkab, Muhammad ibn Khalid al-Thahbi, dan Yusuf ibn Musa al-Qattan. Muslim menyebutkan hadith beliau seperti yang dilaporkan oleh al-Hajjaj ibn al-Sha`ir, al-Qasim ibn Zakariyyah, `Abdullah al-Darmi, Ishaq ibn al-Mansur, Ibn Abu Shaybah, `Abd ibn Hamid, Ibrahim ibn Dinar, dan Ibn Namir. Al-Thahbi menyatakan di dalam Al-Mizan bahawa `Ubaydullah meninggal pada tahun 213 H. dan menambah , “Beliau amat terkenal dengan zuhudnya, dikagumi dan bertakwa..” Beliau meninggal pada awal bulan Thul-Qi`da; semoga Allah memuliakan tempat beliau dimakamkan.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi. . ‘Ubaidullah ibn Musa al-Absi al-Kufi Ia termasuk salah seorang guru Imam Bukhari yang terkemuka. Ia menerima hadits dari sejumlah tabi’in. Ibn Mu’in, Ajli, ‘Utsman ibn Abi Syaibah, dan ulama lain memandang ia tsiqat. Ibn Sa’ad berkata: “Ia tsiqat, jujur, dan berbudi luhur. Ia banyak meriwayatkan hadits munkar tentang tasyayyu’. Karena itu, banyak orang memandangnya dha’if.” Imam Ahmad mengecam ekstrimitasnya dalam berpaham Syi’ah, dan sikapnya yang anti dunia (taqasysyuf). Menurut Abu Haitam, ia merupakan perawi yang terpercaya dalam hal kisah-kisah Israiliyat. Ibn Mu’in berkata: “Ia tercantum dalam kitab Jami’-nya Sufyan ats-Tsauri. Sufyan memandangnya lemah (dha’if).” Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ‘Ubaidillah adalah tsiqat dan dapat dijadikan hujjah. Para ahli tidak mengecamnya, selain dari paham Syi’ah yang dianutnya. Dan sudah saya kemukakan sebelum ini bahwa yang dimaksud dengan Syi’ah adalah berpihak dan membela ‘Ali dan Ahlul Bait, tidak lebih. Hal demikian tidak merusak sifat adil seorang perawi manakala ia dikenal begitu jujur, dan tidak mengajak orang lain mengikuti pahamnya. Inilah keadaan ‘Ubaidillah ibn Musa. Karena itu, Ashabus-Sittah berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan darinya. Ini membuktikan konsistensi ulama Sunni terhadap metoda penerimaan dan penolakan riwayat. Mereka tidak menolak suatu riwayat, hanya karena fanatik atau mengikuti hawa nafsu. Mengenai sebagian ulama yang memandangnya lemah, hal itu terletak pada riwayat yang bersumber dari Sufyan ats-Tsauri. Hal ini tidak merusak sifat adil ‘Ubaidillah secara umum. Kenyataan itu hanya merusak penilaian mengenai daya ingat dan ketsiqatan ‘Ubaidillah secara khusus dalam riwayatnya dari Sufyan ats-Tsauri. Sedangkan Bukhari menjauhi riwayat-riwayat Ubaidillah yang bersumber dari Sufyan. Ia meriwayatkan yang lain dari itu.


56.   Utsman bin Umair (Abul Yaqdzan) ats Tsaqafi  

riwayat hadist melalui dirinya dikutip oleh Nasa’i dan  Turmudzi. Az Zabby menuliskan pandangan para penolak riwayat dia, meski dibuku tersebut disebutkan Abu dawud dan Turmudzi meriwayatkanya.

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at : `Uthman ibn `Umayr `Abdul-Yaqzan al-Thaqafi al-Kufi al-Bijli Beliau juga dikenali sebagai `Uthman ibn Abu Zar`ah, `Uthman ibn Qays, dan `Uthman ibn Abu Hamid. Abu Ahmed al-Zubayri berkata bahawa `Uthman percaya kepada ‘kembali semula’. Ahmed ibn Hanbal berkata, “Abu Yaqzan telah terjumlah di dalam yang ditolak oleh Ibrahim ibn `Abdullah ibn Hasan.” Ibn `Adi berkata yang berikut ini mengenai beliau: “Beliau telah memeluk golongan yang jahil dan percaya kepada ‘kembali semula’ walaupun penyampai hadith yang berkepercayaan telah menyebutkan hadith dari beliau, setelah mengetahui bahawa beliau adalah lemah.” Perkara yang sebenarnya adalah, bahawa apabila ada sesaorang yang hendak memperkecilkan ahli trdisionis Shi’a dan memandang rendah kebolehan mereka, mereka menuduh orang-orang itu telah mengajar kepada konsep ‘akan kembali semula’. Itulah yang mereka lakukan kepada `Uthman ibn `Umayr, sehinggakan bahawa Ibn Ma`in telah berkata: “Tidak terdapat sebarang kesalahan terhadap hadith `Uthman.” Walaupun terdapat banyak serangan terhadap beliau, al-A`mash, Sufyan, Shu`bah, Sharik dan ahli terkemuka lainnya tidak teragak-agak untuk menyebutkan hadith beliau. Abu Dawud, al-Tirmidzi dan yang lainnya telah menyebutkan dari beliau di dalam sunan mereka. Rujuklah kepada hadith beliau seperti yang mereka rakamkan melalui Anas dan lainnya. Al-Thahbi telah mendokumenkan biografi beliau dan menyebutkan kenyataan dari ulama yang terkemuka seperti yang tertulis diatas, dan meletakkan tanda DTQ pada nama beliau untuk menunjukkan siapakan diantara pengarang sunan yang menyebutkan hadith dari beliau.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi. ‘Utsman ibn ‘Umair, Abu al-Yaqdhan ats-Tsaqafi al-Kufi al-Bajili , Sungguh mengherankan bagaimana penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, tokoh kaum Rafidhah, berbuat dusta atas diri ulama-ulama Sunni. Ia menuduh mereka tidak jujur, fanatik, mengikuti hawa nafsu, dan tidak mempunyai metoda. Hal ini terlihat dari ucapannya sebagai berikut: “Kalau ulama Sunni hendak menjatuhkan seorang muhaddits Syi’ah, maka mereka katakan bahwa perawi itu mempercayai paham raj’ah. Sebab itulah, mereka mendha’ifkan ‘Utsman ibn ‘Umair.”Kami dengan mudah dapat menolak tuduhan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah itu. Di sini dapat dikemukakan pertanyaan: jika benar ulama Sunni seperti yang anda tuduhkan, mengapa mereka menerima dan menjadikan hujjah hadits riwayat ‘Ubaidillah ibn Musa al-’Absi, ‘Abdurrazaq ibn Himam, Abban ibn Tugblab, ‘Abdullah ibn Luhai’ah dan lain-lain, yaitu sepuluh perawi yang anda pandang sebagai perawi Syi’ah yang tsiqat? Mengapa ulama Sunni tidak menuduh mereka dengan raj’ah? Tuduhan di atas jelas dusta. Tapi al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, meyakini bahwa kaum Sunni seperti kaum Rafidhah yang menghalalkan dusta untuk menguatkan mazhab mereka. Bukti lain yang menunjukkan bahwa tuduhan itu tidak benar adalah kenyataan bahwa ulama Sunni, seandainya benar seperti yang dituduhkan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, tentu mereka akan mengambil pernyataan keras al-Jauzjani dan lainnya mengenai Syi’ah. Akan tetapi mereka tidak melakukan hal itu. Agama mereka, ketakwaan dan kejujuran mereka, melarangnya. Di sini saya akan mengemukakan pendapat-pendapat yang obyektif dari orang-orang yang terpercaya mengenai diri ‘Utsman ibn ‘Umair. Menurut adz-Dzahabi, semua ulama mendha’ifkan ‘Utsman. Menurut Ibn Mu’in, ia bukan apa-apa. Abu Ahmad az-Zubairi berkata: “‘Utsman ibn ‘Umair percaya pada ajaran raj’ah.” Berkata an-Nasa’i: “Ia dha’if, bukan perawi yang kuat’” Ad-Daruquthni memandang dia dha’if. Al-Fallas berkata: “Yahya dan ‘Abdurrahman tidak sudi menerima hadits dari Utsman Abu al-Yaqdhan.” Imam Ahmad berkata: “Abu al-Yaqdhan berperang bersama Ibrahim ibn ‘Abdullah ibn Hasan pada waktu terjadi fitnah. Abu al-Yaqdhan adalah dha’if” Ibn ‘Adi berkata: “Pemikiran Abu al-Yaqdhan buruk, ia percaya pada ajaran raj’ah.” Para perawi hadits yang tsiqat meriwayatkan hadits darinya dengan catatan dha’if. Dalam kitab al-Awsath, Imam Bukhari menyatakan hadits Abu al-Yaqdhan munkar. Menurut Ibn Abd al-Bar, semua ulama memandangnya dha’if. Inilah pendapat para ulama yang terpercaya mengenai diri ‘Utsman ibn ‘Umair. Mereka adalah orang-orang yang jujur, tidak mengenal dusta. Mereka tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu dalam memberikan penilaian terhadap seseorang. Abu Dawud dan at-Turmudzi memang menerima hadits darinya, tapi tidak dimaksudkan sebagai hujjah, melainkan untuk sekedar i’tibar. Sebab sebuah hadits bisa didaftar, walau ia tidak dijadikan hujjah. Hal seperti itu lazim dan absah di kalangan ahli hadits.
c.    Catatan,  tentu memasukan sebuah riwayat hadits, bukanlah semata-mata sebagai catatan untuk sekedar dimasukan sebagai ”daftar”,  kalau memang tidak layak dimasukan seharusnya karena validitasnya tentu hadis harus dikeluarkan dari catatan. Penilian az Zabby tersebut cendrung subyektif,  dari daftar yang dituliskan al musawi, kritik yang dilakukan oleh az Zabby (dan ulama ahlu sunnah) tidak konsisten. Ada periwayat yang sma-sama menolak Utsman misalnya disatu tempat di tsiqahkan tapi ditempat lain di tolak.

57.    ’Adi bin Tsabit (al Kufi)  

adz Dzahabi menyebutkan ia seorang ulama syi’ah yang pandai serta Imam masjid, penyusun kitab yang enam mengambil riwayat hadist darinya. Az Zabby tidak menolak pandangan al Musawi tetapi secara tidak langsung malah meneguhkanya.

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at : `Adi ibn Thabit al-Kufi Ibn Ma`in telah menerangkan bahawa beliau sebagai ‘pelampau Shi’a’, sedangkan Dar Qutni memanggil beliau “Rafidi, pelampau, tetapi boleh dipercayai.” Al-Jawzjani berkata bahawa beliau telah ‘menyimpang’ Al-Mas`udi berkata, “Kami tidak pernah melihat orang yang begitu lantang pada menyampaikan pandangan Shi’a nya dari `Adi ibn Thabit.” Di dalam Al-Mizan nya, al-Thahbi menerangkan beliau sebagai “Seorang ulama Shi’a, yang paling jujur diantara mereka semua, kadi dan Imam bagi masjid mereka. Jika semua Shi’a adalah seperti beliau, tuduhan terhadap mereka akan berkurangan.’ Kemudian dia terus menulis biografi beliau dan menyebutkan pandangan dari para ulama yang dituliskan diatas. Dia menyebutkan ulama yang mengatakan beliau jujur adalah seperti Dar Qutni, Ahmed ibn Hanbal, Ahmed al-`Ajli, Ahmed al-Nisa’i, dan meletakkan pada nama beliau singkatan nama pengarang dari buku sahih yang menyebutkan hadith dari beliau. Rujuklah kepada hadith beliau di dalam kedua buku Sahih Bukhari  dan Muslim seperti yang disampaikan oleh al-Bara’ ibn `Azib, `Abdullah ibn Yazid (datok sebelah ibunya), `Abdullah ibn Abu Awfah, Sulayman ibn Sard, dan Sa`id ibn Jubayr. Hadithnya yang disampaikan oleh Zarr ibn Habish dan Abu Hazim al-Ashja`i telah dirakamkan di dalam sahih Muslim. Hadith beliau telah disampaikan oleh al-A`mash, Mis’ar, Sa`id, Yahya ibn Sa`id al-Ansari, Zayd ibn Abu Anisa, dan Fudayl ibn Ghazwan.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi. ‘Adi ibn Tsabit al-Anshari al-Kufi Ia seorang tabi’in yang sangat terkenal. Dalam kitab Al-Mizan, adz-Dzahabi berkata: “Ia merupakan ilmuwan Syi’ah, orang kepercayaan mereka dan merupakan imam masjid mereka. Kalau seandainya orang Syi’ah sama seperti dia, tentu keburukan mereka tidak akan banyak.” Al-Ajli, Imam Ahmad, Nasa’i, dan ad-Daruquthni memandangnya tsiqat. Ad-Daruquthni menambahkan bahwa Ibn Tsabit dinilainya sebagai Syi’ah ekstrim. Hal serupa dikatakan pula oleh Ibn Mu’in. Abu Hatim memandangnya jujur. Menurut Afan dari Syu’bah, Ibn Tsabit merupakan penganut Rifa’iyyah. Dalam buku Hadi al-Sari, Ibn Hajar berkata: Segolongan ulama berhujjah dengan hadits ‘Ali. Dalam Shahih Bukhari tidak diriwayatkan dari ‘Adi hadits-hadits yang menguatkan paham atau bid’ahnya. Pendeknya para Ulama sepakat mengenai sifat adil ‘Adi ibn Tsabit dan tsiqatnya. Mereka hanya mengkritik ‘Adi dalam posisinya sebagai orang Syi’ah. Maksudnya orang yang sangat condong membela dan berpihak kepada ‘Ali, baik dalam soal Khalifah maupun dalam pertempurannya melawan Mu’awiyah. Namun hal itu tidak mengurangi nilai keadilan ‘Adi dan nilai kehujjahan haditsnya. Karena itu Ashabus-Sittah meriwayatkan haditsnya dan menjadikannya sebagai hujjah. Apalagi dia bukan orang yang mempromosikan ajaran bid’ahnya. Namun Imam Bukhari dan Muslim masih melakukan bertindak hati-hati dan waspada, dengan tidak meriwayatkan dari ‘Adi hadits-hadits yang tampaknya memperkuat ajaran bid’ahnya.

58.    ’Atiyyah bin Sa’ad bin Junadah al ’Aufi (abul Hasan) ia adalah seorang tab’in  Ibn Qutaibah dan Ibn Sa’ad menyebutkanya sebagai syi’ah. Adz Dzahabi menyebutklan abu daud dan Turmudzi mengambil hadist darinya, az Zabby menuliskan hadisnya hanya sekedar sebagai i’tibar.

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at : `Atiyyah ibn Sa`d ibn Janadah al-`Awfi Beliau adalah Abul-Hasan al-Kufi, seorang tabi`I yang terkenal. Al-Thahbi telah menyebut beliau di dalam Al-Mizan, menyebutkan dari Salim al-Muradi sebagai berkata bahawa `Atiyyah pengikut kepada Shi`ism. Imam Ibn Qutaybah telah memuatkan beliau diantara ahli tradisionis di dalam Ma`arif , cucu yang mengikuti jejaknya,  al-`Awfi, adalah al-Husayn ibn `Atiyyah, seorang kadi, telah menambah, “`Atiyyah, seorang pengikut Shi’a, telah menjadi seorang ahli perundangan agama semenjak pemerintahan al-Hajjaj.” Ibn Qutaybah telah menyebut beberapa orang Shi’a yang terkenal di dalam bab mengenai golongan di dalam bukunya Ma`arif, menyenaraikan `Atiyyah al-`Awfi diantara mereka. Ibn Sa`d menyebut beliau pada muka surat 212, Vol. 6, dari bukunya Tabaqat menunjukkan kepercayaan beliau yang kuat kepada Shi`ism. Bapanya, Sa`d ibn Janadah, adalah seorang sahabat `Ali (as). Suatu ketika dia menziarah Imam di Kufa dan berkata: “Wahai Amirul Mukminin! Saya telah direstui dengan seorang anak lelaki, bolehkan Imam memilihkan namanya?” Imam menjawab: “Ini adalah satu hadiah (`atiyyah) dari Allah; dari itu , namakan dia `Atiyyah.” Ibn Sa`d telah berkata: “`Atiyyah ibn al-Ash`ath keluar bersama pasukan tentera untuk memerangi al-Hajjaj. Apabila tentera al-Ash`ath melarikan diri, `Atiyyah lari ke Parsi. Al-Hajjaj menulis arahan kepada Muhammad ibn al-Qasim memerintahkan dia untuk memanggil beliau supaya mengadap kepadanya dan memberikan kepada beliau pilihan sama ada menolak ‘Ali atau disebat dengan 400 sebatan, serta janggut dan kepalanya dicukur. Maka dia memanggil beliau dan membacakan surat al-Hajjaj kepada beliau, tetapi `Atiyyah enggan untuk mematuhinya, dari itu beliau disebat dengan 400 sebatan serta janggut dan kepalanya dicukur. Apabila  Qutaybah menjadi gabenor Khurasan, `Atiyyah memberontak menentang dia dan terus tinggal disitu sehingga `Umer ibn Habirah menjadi pemerintah Iraq. Pada masa itu barulah beliau menulis surat kepada dia meminta izin untuk pergi kesana. Kebenaran diberikan, beliau datang ke Kufa dimana beliau tinggal dan meninggal pada tahun 11 H.” Pengarang menambah, “Sebenarnya beliau adalah seorang yang jujur, dan beliau telah menyampaikan banyak hadith yang sahih.” Kesemua keturunan beliau adalah pengikut keturunan Muhammad [as] yang ikhlas. Diantara mereka ada yang terkemuka dengan personaliti yang dikagumi seperti al-Husayn ibn al-Hasan ibn `Atiyyah yang telah dilantik sebagai gabenor bagi daerah Al-Sharqiyya menggantikan Hafs ibn Ghiyath, seperti yang tercatit di muka surat 58 pada rujukan yang sama, kemudian dia telah dipindahkan kepada pasukan al-Mahdi. Dia meninggal pada tahun 201 H. Seorang lagi adalah Sa`d ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn `Atiyyah, juga seorang tradisioni, yang menjadi gabenor Baghdad.[15] Dia pernah menyebut hadith dari bapanya Sa`d dan dari bapa saudaranya al-Husayn ibn al-Hasan ibn `Atiyyah. Kembali semula kepada cerita `Atiyyah al-`Awfi. Beliau dianggap penyampai yang dipercayai oleh Dawud dan al-Tirmidzi. Rujuk kepada hadith beliau di dalam buku sahih mereka dari Ibn `Abbas, Abu Sa`id dan Ibn `Umer. Beliau juga telah mempelajari hadith dari `Abdullah ibn al-Hasan yang menyebutkan dari bapanya yang menyebutkan dari neneknya al-Zahra’, ketua wanita disyurga. Anaknya al-Hasan ibn `Atiyyah telah mempelajari hadith dari beliau, begitu juga dengan al-Hajjaj ibn Arta’ah, Mis`ar, al-Hasan ibn Adwan dan lainnya.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi. ‘Athiyyah ibn Sa’ad ibn Junadah al-’Awfi Menurut adz-Dzahabi, ia seorang tabi’in yang dikenal dha’if. Abu Hatim berkata: “Haditsnya dha’if, tapi bisa didaftar atau ditulis.” Menurut Salim al-Muradi, ia orang Syi’ah. Ibn Mu’in memandangnya saleh. Menurut Imam Ahmad, hadits ‘Athiyah dha’if. Imam Nasa’i dan segolongan ulama juga menyatakan hal yang sama. Abu Zara’ah juga memandangnya lemah. Ibn ‘Adi berkata: Walaupun ia dha’if, haditsnya dapat ditulis. Ia termasuk salah seorang Syi’ah dari Kufah. Ibn Sa’ad berkata: “Ia tsiqat, Insya Allah! Ia mempunyai banyak hadits yang baik.” Sebagian orang tidak menjadikan haditsnya sebagai hujjah. Menurut Abu Dawud, ia tidak dapat dijadikan sebagai sandaran atau pegangan. Menurut al-Saji, haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Ia mengutamakan ‘Ali atas semua sahabat Nabi yang lain. Para ulama sepakat mengenai kedha’ifan ‘Athiyah dan tidak dapat haditsnya dijadikan sebagai hujjah. Bersamaan dengan kedha’ifannya itu, hadits ‘Athiyah dapat didaftar dengan disertai perawi lain. Atau hadits itu ditulis sekedar sebagai i’tibar dan sebagai hadits pendukung. Dalam kedudukan ini, sebagian dari Ashabus-Sittah meriwayatkan hadits ‘Athiyah, diantaranya Abu Dawud. Ia meriwayatkan hadits ‘Athiyah seraya berkata: “Hadits ini bukan sebagai sandaran.”

c.    Catatan : Penolakan dan penerimaan hadits pada waktu yang sama adalah problem tersendiri dalam lingkungan ahli hadis sunnah. Seorang perawi haidtu hal bisa ditolak . Bahkan alasanya hanya karena ia melebihkan Imam Ali bin Abi Thalib. Biasanya mereka dikatagorikan sebagai para pembenci ahlul ba’it (nawashib) yang harus pula diragukan kredibilitasnya, bagaimana mungkin seorang yang mengaku pecinta Rasulullah  pada saat yang sama membantah perintah Rasulullah dengan menolak kabar kelebihan ahlul ba’itnya.

59.    ’Ala bin Saleh Tamimi,  
Abu hatim menyebutnya sebagai seorang perpaham syi’i. Meskipun demikian Abu Daud dan Turmudzi meriwayatkan hadistnya. Az Zabby tidak menolak dia menjelaskan sebagian ulama ada yang menerima riwayatnya.

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at : Al`ala’ ibn Salih al-Taymi al-Kufi Di dalam biografi Al`ala’ di dalam Al-Mizan, Abu Hatim mengatakan yang berikut mengenai beliau: “Beliau adalah salah seorang seniors Shi`as.” Walaupun begitu, Abu Dawud dan al-Tirmidzi telah bergantung kepada penyampaian beliau. Ma`in mempercayai beliau. Keduanya Abu Hatim dan Abu Zar`ah berkata bahawa tidak terdapat kesalahan dengan hadith beliau. Rujuk kepada hadith beliau di dalam kedua buku sahih al-Tirmidzi dan Abu Dawud dari Yazid ibn Abu Maryam dan al-Hakam ibn `Utaybah, sebagai tambahan kepada semua buku musnad sunni. Abu Na`im dan Yahya ibn Bakir menyebut beliau, dan begitu juga dengan ramai mereka yang terkemuka. Beliau hendaklah dibezakan dari Al`ala’ ibn Abul-`Abbas, seorang penyair Makah. Yang terkemudian adalah seorang shaykh Sufyani. Hadith beliau telah disampaikan oleh Abul-Tufayl. Dia berkedudukan lebih tinggi dari Abul-`ala’ ibn Salih; beliau adalah orang Kufa; sedangkan penyair itu orang Makah. Keduanya telah disebutkan di dalam buku al-Thahbi, Al-Mizan, dimana pengarangnya telah tersalah sebut pada kenyataan yang mengatakan mereka adalah senior Shi`a. Al`ala’ sipenyair telah mengubah syair pada memuji Amirul Mukminin [as] ini telah menjadi bukti yang kuat untuk menunjukkan ketaatan beliau dan pada memaparkan kebenaran mengenai Imam. Dia juga mempunyai rangkap syair yang disanjung oleh Allah, RasulNya dan juga mereka yang beriman.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi. ‘Ala’ ibn Shalih at-Taymi al-Kufi Abu Dawud menilai Ibn Shalih sebagai orang yang tsiqat. Menurut Abu Hatim, ia termasuk orang Syi’ah tulen. Abu Khaitsumah, ‘Abbas dan Ibn Mu’in memandangnya tsiqat. Abu Hatim dan Abu Zara’ah menyatakan tidak ada masalah mengenai hadits Ibn Shalih. Menurut Ibn al-Madini, ia meriwayatkan hadits-hadits munkar. Pada umumnya ulama memandang Ibn Shalih sebagai orang yang tsiqat dan adil. Mereka hanya mengkritiknya dalam posisinya sebagai orang Syi’ah. Namun hal itu tidak mengurangi sifat adilnya. Sebab dia bukan Syi’ah Rafidhah yang ekstrim. Karena itulah sebagian dari Ashabus-Sittah meriwayatkan hadits dari Ibn Shalih.


60.    Al Qamah bin Qais an Nakhai (Abu Syibli) Syahrastani menyebutnya sebagi seorang syi’ah dan seorang pemuka Ilmu hadist. Riwayatnya dikutip penyusun hadis yang enam. Az Zabby menuliskan  tidak memberikan kritik apapun ia hanya berpolemik tentang istilah.

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at : Beliau adalah bapa saudara al-Aswad dan Ibrahim, anak kepada Yazid. Beliau adalah juga pengikut keturunan Muhammad (sawas). Al-Shahristani, di dalam Al-Milal wal-Nihal, telah menjumlahkan beliau diantara pemuka Shi`a. beliau adalah ketua diantara tradisionis yang disebutkan oleh Abu Ishaq al-Jawzjani yang dengan bencinya telah berkata, “Disana terdapat sekumpulan manusia diantara penduduk Kufa yang mana golongan mereka, Shi`ism telah tidak diterima umum, mereka adalah ketua diantara tradisionis Kufa..” `Alqamah dan adiknya `Ali telah menjadi sahabat Imam `Ali (as). Mereka berdua telah mengambil bahagian di dalam peperangan Siffin dimana `Ali telah gugur syahid. Dia biasanya digelar “Abul-Salat” (orang yang selalu solat) disebabkan dia selalu solat. `Alqamah telah membasahkan pedangnya dengan darah mereka yang zalim. Kakinya tergelincir, bahkan beliau terus berperang dijalan Allah, kekal menjadi musuh Mu`awiyah sehingga beliau meninggal. Abu Bardah menjumlahkan nama `Alqamah diantara agen [emissari] kepada Mu`awiyah semasa pemerintahannya, tetapi `Alqamah membantah dan bahkan menulis kepada Abu Bardah dengan berkata: “Tolong buangkan nama saya (dari senarai); tolong buangkan.” Ini telah dirakamkan oleh Ibn Sa`d di dalam biografi nya untuk `Alqamah pada muka surat 57, Vol. 6, dari buku Tabaqat.  Cara fikiran `Alqamah yang saksama dan dihormati dikalangan Sunnis tidak boleh dipertikaikan, walaupun mereka telah mengetahui bahawa beliau berkepercayaan Shi`a. Pengarang enam buku sahih, dan begitu juga yang lain, semuanya telah bergantung kepada penyampaian beliau. Rujuklah kepada hadith beliau di dalam sahih Muslim dan Bukhari dari Ibn Mas`ud, Abul-Darda’ah dan `Ayesha. Hadith beliau mengenai `Uthman dan Abu Mas`ud telah dirakamkan di dalam sahih Muslim. Di dalam kedua-dua buku sahih, hadith beliau telah disampaikan oleh sepupunya Ibrahim al-Nakh`i. Di dalam sahih Muslim, hadith beliau telah disampaikan oleh `Abdul-Rahman ibn Yazid, Ibrahim ibn Yazid, dan al-Sha`bi. Dia meninggal, semoga Allah merahmati ruhnya, dalam tahun 62 H. in Kufa.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi. Alqamah ibn Qays ibn ‘Abdillah an-Nakha’i al-Kufi Alqamah dilahirkan semasa hidup Rasulullah saw. Ia meriwayatkan hadits dari sejumlah besar sahabat Nabi. Sehingga Ibn al-Madini berkata: “Orang yang paling tahu tentang Ibn Mas’ud adalah Alqamah ibn al-Aswad.” Imam Ahmad, Ibn Mu’in dan ahli hadits lainnya memandangnya tsiqat. Tidak diketahui adanya kritik dari seorang ulama yang dapat menodai sifat adilnya. Karena itu, beberapa orang dari ashab assittah meriwayatkan hadits dari Alqamah. As-Syahristani memandangnya sebagai tokoh dan perawi Syi’ah, hanya karena Alqamah ikut bertempur bersama ‘Ali ibn Abi Thalib para Perang Shiffin. Tidak lebih dari itu. Tak seorang pun kalangan ulama terpercaya yang memandangnya penganut Syi’ah Rafidhah. Sudah saya jelaskan terdahulu bahwa seorang yang bergabung dengan pasukan ‘Ali tidaklah keluar dari prinsip-prinsip Sunni dan masuk pada golongan Syi’ah Rafidhah. Semua orang yang berperang bersama ‘Ali tidak dapat dipandang telah keluar dari Ahlu-Sunnah wal-Jama’ah. Ini merupakan hal yang sudah dimaklumi. Dan tidak seorang pun dari pakar agama yang menyatakan lain. Pendapat al-Jauzjani tidak sama dengan pendapat Ahlu Sunnah wal-Jama’ah. Tapi mereka tidak menggubris orang itu. Sebab dia pembid’ah. Saya hanya heran pada al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, mengapa ia menjadikan penentangan terhadap Mu’awiyah sebagai kriteria tsiqat dan keadilan. Tidakkah hal ini merupakan sikap fanatik, menuruti hawa nafsu dan dengki kepada sahabat-sahabat Nabi? Ini cukup jelas pada anggapan yang diberikan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, kepada Alqamah ibn Qays sewaktu ia berkata, “Alqamah selalu memusuhi dan melawan ‘Mu’awiyah ibn Abu Sufyan sampai ia menghembuskan napasnya yang terakhir.”


61.    `Ali ibn Badimah

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at : Ali ibn Badimah Al-Thahbi menyebut beliau di dalam bukunya Al-Mizan menyebut dari Ahmed ibn Hanbal yang berkata, “Beliau telah menyampaikan hadith yang sahih,” bahawa beliau adalah yang awal dari pengikut Shi`ism, dan Ibn Ma`in telah mempercayai beliau, dan beliau telah menyampaikan hadith dari Makrimah dan yang lainnya, dan bahawa keduanya Shu`bah dan Mu`ammar telah mempelajari hadith dari beliau. Dia telah memberi tanda nama beliau untuk menunjukkan pengarang sunan yang telah menyebut hadith dari beliau

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi. . ‘Ali ibn Budaimah al-Harrani Ibn Mu’in, Nasa’i, Abu Zara’ah dan al-Ajli memandang ‘Ali sebagai orang tsiqat. Imam Ahmad berkata, “Hadits ‘Ali baik, tapi ia pemuka Syi’ah.” Menurut al-Jauzjani, ia menyimpang jauh dari kebenaran secara terang-terangan. Ibn Sa’ad memandang dia tsiqat. Menurut Abu Hatim, hadits ‘Ali baik. Ibn Hibban memasukkan dia ke dalam buku ats-Tsiqat. Imam Ahmad juga menyatakan dia tsiqat, walau ada sesuatu yang perlu digarisbawahi menurut Ahmad.Para ulama sepakat mengenai sifat adil dan tsiqat ‘Ali ibn Budaimah. Tidak ada pernyataan ulama yang menodai keadilan dan kehujjahan haditsnya. Imam Ahmad, kendatipun memandang ‘Ali,sebagai pemuka Syi’ah, namun bersamaan dengan itu beliau juga menyatakan ‘Ali tsiqat. Hal yang menunjukkan bahwa ia dipandang Syi’ah adalah sikapnya yang condong dan berpihak kepada ‘Ali ibn Abi Thalib dalam pertempurannya melawan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Dan hal ini, seperti berkali-kali saya sebutkan, tidaklah merusak nilai keadilan seorang perawi. Wallahu a’lam bis-shawab.


62.    `Ali ibn al-Ja`d
 
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at : beliau adalah Abul-Hasan al-Jawhari al-Baghdadi, seorang hamba Banu Hashim. Seorang dari penasihat al-Bukhari, beliau telah dijumlahkan oleh Qutaybah diantara pemuka Shi`as di dalam bukunya Al-Ma`arif. Biografi nya di dalam Al-Mizan menunjukkan bahawa selama 60 tahun, `Ali biasa berpuasa selang sehari. Al-Qaysarani menyebut beliau di dalam bukunya Al-Jami` Bayna Rijalul Sahihain, mengatakan bahawa al-Bukhari sahaja telah menyebutkan 12 000 hadith yang disampaikan oleh `Ali ibn al-Ja`d. Dia meninggal dalam tahun 203 pada umur 96 tahun.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi . ‘Ali ibn al-Ja’d ibn ‘Ubayd al-Jawhari al-Hasan al-Baghdadi. Dalam bukunya, Al-Mizan, adz-Dzahabi menegaskan bahwa ‘Ali adalah penghafal hadits yang terpercaya. Yahya ibn Mu’in memandang dia sebagai orang yang tsiqat dan sangat jujur. Abu Zara’ah juga memandang dia sangat jujur. Abu Hatim menyatakan bahwa ia terpercaya dan jujur. Shaleh ibn Muhammad menyatakan dia tsiqat. Sedangkan an-Nasa’i memandang dia sangat jujur. Menurut ad-Daruquthni, ia tsiqat dan terpercaya. Ibn Qani’ juga memberi penilaian yang sama. Menurut Mathin, ia tsiqat. Ibn ‘Adi berkata, “Saya tidak pernah melihat sesuatu kejanggalan dalam hadits ‘Ali. Dan saya tidak pernah melihat pula hadits munkar dalam banyak riwayat yang ia terima dari orang tsiqat.” Imam Ahmad ibn Hanbal secara khusus menyoroti kesyi’ahan ‘Ali dan segi pemahamannya terhadap al-Qur’an. Inilah beberapa pendapat ulama mengenai ‘Ali ibn Jad. Mereka sepakat mengenai keadilan dan sifat tsiqatnya. Mereka juga mengakui kejujuran dan sifat amanah ‘Ali. Kalau mereka menyatakan bahwa dia Syi’ah, maka yang dimaksud adalah Syi’ah yang tidak merusak sifat adil, kejujuran dan amanahnya. Sebab dia hanya simpati dan berpihak kepada ‘Ali ibn Abi Thalib, tanpa mengecam Abu Bakar dan ‘Umar ibn Khaththab. Ia hanya mengecam Mu’awiyah, dan kadang-kadang ‘Utsman ibn ‘Affan. “Riwayat Ibn Hajar” dalam at-Tahdzib dari Ahmad Ibrahim ad-Dawraqi menunjukkan hal di atas. Diceritakan bahwa Ibrahim berkata kepada ‘Ali ibn Jad, “Aku dengar kau meremehkan ‘Umar ibn Khaththab?” Ia menjawab: “Tidak. Aku tidak pernah melakukan itu. Aku hanya berkata. “Kalau Allah memberi azab kepada Mu’awiyah, aku tidak keberatan. Harun ibn Sufyan al-Mustamli berkata, “Aku duduk di samping ‘Ali ibn Jad. Lalu ia menyebut-nyebut nama ‘Utsman ibn ‘Affan, seraya berkata: ” ‘Utsman mengambil uang negara sebanyak 100 dirham secara tidak sah.” Setelah kita mengetahui siapa ‘Ali ibn Jad, jelaslah bagi kita kejujuran dan objektivitas ulama hadits dari kalangan Ahlus-sunnah wal-Jama’ah. Bid’ah yang dilakukan ‘Ali tidak menghalangi mereka untuk menerima haditsnya setelah mereka mengetahui dan meyakini kejujuran dan sifat amanatnya. Apalagi bid’ah yang diciptakan ‘Ali tidak tergolong jenis bid’ah yang mengkafirkan. Juga bukan bid’ah yang menghalalkan dusta untuk menguatkan bid’ah terkait. Karena itulah, Imam Bukhari meriwayatkan hadits ‘Ali sebanyak 13 hadits dengan pemeriksaan yang seksama. Hal serupa juga dilakukan oleh imam-imam hadits (dari ashhabus-sittah) yang lain.
.
63.  `Ali ibn Zaid
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Nama penuh beliau adalah `Ali ibn Zaid ibn `Abdullah ibn Zuhayr ibn Abu Malika ibn Jad`an Abul-Hasan al-Qarashi al-Taymi al-Basri. Ahmed al-`Ajli telah menyebut beliau dengan berkata bahawa beliau mengikuti perundangan Islam Shi’a. Yazid ibn Zari` telah berkata bahawa `Ali ibn Zaid adalah seorang Rafidi. Walaupun terdapat semua ini, para bijak pandai diantara tabi`in, seperti Shu`bah, `Abdul-Warith, dan banyak lagi mereka yang terkenal semuanya telah menyebutkan hadith dari beliau. Beliau adalah seorang dari tiga pakar perundangan agama yang mana dengannya Basrah telah menjadi terkenal, yang lainnya adalah Qatadah dan ‘Ash`ath al-Hadani. Mereka semuanya buta. Apabila al-Hasan al-Basri meninggal, mereka mengsyorkan kepada `Ali supaya menggantikan tempatnya disebabkan oleh kelayakkan beliau. Beliau amat dihormati, dan hanya mereka yang ternama sahaja yang menjadi sahabat beliau, sesuatu yang tidak dapat dinikmati oleh kebanyakkan Shi’a pada ketika itu. Al-Thahbi telah menyebut beliau di dalam bukunya Al-Mizan dengan menyebutkan fakta yang diatas mengenai beliau. Di dalam buku Al-Jami` Bayna Rijalul Sahihain, al-Qaysarani menyebut biografi beliau dan mengatakan bahawa Muslim telah menyebutkan hadith beliau yang disampaikan oleh Thabit al-Banani, dan bahawa dia telah belajar mengenai jihad dari Anas ibn Malik. Dia meninggal, semoga Allah merahmatinya, dalam tahun 131 H.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi. ‘Ali ibn Zayd ibn ‘Abdullah ibn Zuhair ibn ‘Ali Abi Malikah Hammad ibn Zayd memandang dia (‘Ali ibn Zayd) dha’if. Hal serupa juga dinyatakan oleh Fallas, Ahmad, Yahya, ‘Ajli, Bukhari, dan Ibn Khuzaymah. Para ulama mengemukakan beberapa hal yang menyebabkan dia dipandang dha’if, diantaranya ialah hafalannya yang buruk, tidak terpercaya, dan memarfu’kan hadits-hadits mauquf. Di samping itu, ia sukar membaur dan ia Syi’ah Rafidhah. Oleh karena semua itu, Imam. Muslim hanya meriwayatkan satu hadits darinya. Itu pun disertai perawi lain yang terpercaya. Selain Muslim, ada pula orang-orang yang meriwayatkan hadits darinya. Mereka mendaftar haditsnya, tetapi tidak menjadikannya sebagai hujjah. Tapi ini juga tidak banyak, alias jarang terjadi. Walla hu a’lam bis-shawab.


64.    `Ali ibn Salih
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Dia adalah adik kepada al-Hasan ibn Salih. Kami telah mengatakan mengenai kemuliaan beliau apabila kami mengatakan biografi saudaranya al-Hasan. Beliau adalah seorang dari ulama Shi’a yang awal, sama seperti saudaranya. Di dalam bab ‘penjualan’, Muslim bergantung kepada penyampaiannya.`Ali ibn Salih telah menyampaikan hadith dari Salameh ibn Kahil, sedang Waki` telah menyebutkan dari beliau, mereka juga keduanya adalah Shi’a. Beliau telah dilahirkan, semoga Allah merahmati ruhnya, bersama saudara kembarnya di dalam tahun 100 H., dan meninggal pada tahun 151H.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi ‘Ali ibn Shaleh ibn Hayy al-Hamdani’Ali ibn Shaleh merupakan saudara kandung Hasan ibn Shaleh. Keduanya sama-sama tokoh masyarakat. Ibn Ahmad memandang dia sebagai orang yang adil. Demikian pula Ibn Mu’in, Nasa’i dan al-’Ajili. Ibn Sa’ad berkata, “Ia hafal al-Qur’an, tsiqat, insya Allah sedikit haditsnya.” para ulama sepakat mengenai keadilan ‘Alibn,Shaleh dan kehujjahan haditsnya. Tidak ada sedikitpun kritik ulama atas dirinya. Juga tidak ada ulama yang menuduhnya Syi’ah. Karena itu, Imam Muslim, Imam Bukhari dan lainnya meriwayatkan hadits ‘Ali dan menjadikannya sebagai hujjah. Sungguh mengherankan bila penulis Dialog Sunnah-Syi’ah menganggap ‘Ali ibn Shaleh sebagai orang Rafidhah dan memandangnya sebagai perawi mereka yang tsiqat. Anggapan di atas jelas merupakan anggapan yang gegabah, tanpa menyebutkan referensinya yang kuat dan mu’tamad. Mungkin saja ia berpegangan pada salah satu dari buku-buku mereka, seperti buku Rijal al-Kusyi, Rijal an-Najasyi, Rijal ath-Thusi, dan buku-buku lainnya yang ditulis tanpa kerangka dan metoda ilmiah. Buku-buku itu sangat subjektif, penuh dusta dan kepalsuan. Lalu, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah sengaja mengelabui para pembaca dengan tidak menyebut nama ‘Ali ibn Shaleh secara lengkap. Ia hanya menyebut nama ‘Ali dan nama orang tuanya: Inilah tradisi penulisan orang Rafidhah dalam buku-buku mereka.


65.   `Ali ibn Ghurab Abu Yahya al-Fazari al-Kufi

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Ibn Hayyan telah menerangkan beliau sebagai ‘pelampau Shi’a’ Mungkin atas sebab ini al-Jawzjani mengenepikan beliau sama sekali. Abu Dawud telah berkata bahawa `hadith Ali telah ditolak, sedangkan keduanya Ibn Ma`in dan Dar Qutni mempercayai beliau. Abu Hatim telah berkata bahawa tiada kesalahan dengan hadith beliau. Abu Zar`ah berkata bahawa dia menganggap beliau sebagai jujur. Ahmed ibn Hanbal berkata, “Saya dapatinya boleh dipercayai.” Ibn Ma`in menerangkan beliau sebagai “orang miskin, dari orang yang dipercayai,” sedangkan al-Thahbi menyebut beliau di dalam Al-Mizan menyatakan yang setuju dan yang bertentangan mengenai hadith beliau seperti yang dikatakan diatas, dan menandakan nama beliau dengan SQ untuk menyatakan pengarang Sunan yang mana bergantung kepada penyampaian beliau. Beliau menyampaikan hadith dari Hisham ibn `Urwah dan `Ubaydullah ibn `Umer. Pada muka surat 273, Vol. 6, dari buku Tabaqat, Ibn Sa`d berkata yang berikut mengenai beliau: “Isma`il ibn Raja’ menyebutkan hadith beliau mengenai apa yang al-A`mash telah katakan mengenai `Uthman.” Dia meninggal, semoga Allah merahmati ruhnya, di Kufa pada awal Rabi`ul-Awwal 184, semasa pemerintahan Harun.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi . ‘Ali ibn Ghurab al-Fazari al-Kufi al-Qadhi Ibn Mu’in memandang dia sebagai orang yang tsiqat. Demikian pula Imam Daruquthni dan ‘Utsman ibn Abi Syaybah. Abu Hatim dan Nasa’i tidak melihat adanya bahaya pada, ‘Ali ibn Ghurab. Menurut Abu Zara’ah, ia sangat jujur. ‘Abdullah in Ahmad ibn Hanbal berkata: “Aku bertanya tidak banyak kepada ayahku mengenai diri ‘Ali. Ayahku berkata bahwa ia tidak banyak tahu tentang ‘Ali. Namun aku pernah mendengar dari suatu majlis bahwa ia melakukan pencampur-adukan (tadlis). Akan tetapi aku sendiri tidak melihat pencampuradukan itu. Aku hanya tahu bahwa ia orang yang sangat jujur.” Ibn Mu’in berkata: “Ia seorang yang miskin dan jujur.” Abu Zara’ah juga memandang dia sebagai orang yang sangat jujur. Al-Khathib berkata: “Aku mengira dia itu seorang yang mendapat kritik lantaran pikiran dan paham Syi’ah yang dianutnya, namun setelah aku perhatikan, ternyata justru ia orang yang oleh para ulama dipandang sangat jujur.” Para ulama sepakat mengenai keadilan ‘Ali ibn Ghurab. Juga mengenai kejujuran, tsiqat dan amanahnya. Ia dikritik dalam posisinya sebagai orang Syi’ah. Tapi kita sudah memahami pengertian Syi’ah menurut ulama salaf. Di sini kesyi’ahan tidak mengurangi dan merusak sifat adil seorang perawi manakala ia sudah dikenal kejujuran dan sifat amanahnya, sebagaimana yang terlihat pada ‘Ali ibn Ghurab. Wallahu a’lam bis-shawab


66.   `Ali ibn Qadim Abul-Hasan al-Khuza`i al-Kufi
 
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau adalah penasihat Ahmed ibn al-Furat, Ya`qub al-Faswi dan sekumpulan yang sama setaraf dengan mereka yang telah mempelajari hadith dari beliau. Ibn Sa`d menyebut beliau pada muka surat 282, Vol. 6, dari bukunya Tabaqat dan menerangkan bahawa beliau sebagai ‘Pelampau Shi’a’ Mungkin atas sebab ini sahaja, Yahya menganggap hadith beliau ‘lemah’ Abu Hatim berkata bahawa beliau adalah jujur. Al-Thahbi menyebut beliau di dalam Al-Mizan, seperti pandangan yang diatas mengenai beliau, dan menandakan nama beliau untuk menunjukkan bahawa Abu Dawud dan al-Tirmidzi keduanya telah menyebutkan hadith dari beliau. Hadith beliau telah dirakamkan di dalam buku mereka dari Sa`id ibn Abu `Urwah dan Qatar. Dia meninggal, semoga Allah merestui ruhnya, di dalam tahun 213 H. semasa pemerintahan al-Ma’mun.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi . ‘Ali ibn Qadim Abu al-Hasan al-Khuza’i al-Kufi1 Menurut ‘Abu Hatim, ‘Ali ibn Qadim termasuk seorang yang jujur. Yahya dan Ibn Mu’in memandang dia dha’if. Menurut Ibn Sa’ad, hadits ‘Ali munkar, dan dia penganut Syi’ah yang militan. Ibn ‘Ali berkata: “Aku tidak setuju dengan sikap ‘Ali menjauhkan diri dari hadits-hadits yang bersumber dari ats-Tsawri. Para ulama sepakat mengenai kedha’ifan ‘Ali ibn Qadim. Mereka tidak mengecamnya sebagai pendusta. Mereka hanya mengecam madzhab yang dianutnya. Sementara tindakannya berpaling dari hadits-hadits ats-Tsawri juga jelas sebab-musababnya. Berdasar kenyataan ini, setiap ulama dari ashhabus-sittah yang meriwayatkan haditsnya menelitinya dengan seksama. Mereka menjauhi hadits-haditsnya yang munkar. Allah a’lam bis-shawab.


67.   `Ali ibn al-Munthir al-Tara’ifi
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau adalah professor kepada al-Tirmidzi, al-Nisa’i, Ibn Sa`id, `Abdul-Rahman ibn Abu Hatim, dan yang terkemuka lainnya yang telah mempelajari hadith dari beliau dan bergantung kepada penyampaiannya. Al-Thahbi menyebut beliau di dalam Al-Mizan, menandakan nama beliau dengan TSQ sebagai petanda yang pengarang sunan tersebut telah menyebutkan hadith dari beliau. Beliau menyebut yang berikut dari al-Nisa’i: “`Ali ibn al-Munthir adalah seorang pengikut shi’a yang kuat, dan amat dipercayai.” Dia mengatakan bahawa Ibn Hatim telah berkata bahawa beliau amat jujur dan dipercayai, dan bahawa beliau menyampaikan hadith dari Fudayl, Ibn `Ayinah dan al-Walid ibn Muslim. Al-Nisa’i mengesahkan bahawa beliau adalah pengikut Shi’a yang kuat,” dan bahawa dia bergantung kepada hadith dari beliau yang mana telah dirakamkan di dalam kedua buku Sahih. Ini yang sebenarnya telah menyediakan juadah untuk difikirkan oleh mereka yang meragui beliau. Al-Munthir, semoga Allah merahmati beliau, meninggal pada 256 H.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi . ‘Ali ibn Mundzir ath-Thariqi, Menurut Ibn Abi Hatim, ia termasuk orang yang tsiqat dan jujur. Imam Sha’sha’i juga memandang dia, tsiqat, dan menurutnya ia juga seorang Syi’ah yang tulen. Para ulama menyatakan ketsiqatan ‘Ali ibn Mundzir. Padahal mereka mengetahui bahwa ‘Ali adalah Syi’ah. Ini harus dipahami, bahwa Syi’ah yang dimaksud di sini adalah Syi’ah tidak merusak sifat keadilan seorang perawi dengan catatan dia tidak berlebih-lebihan. Artinya, ia hanya berpihak kepada ‘Ali ibn Abi Thalib dalam pertikaiannya melawan Mu’awiyah. Tidak lebih dari itu. Inilah pengertian tasyayyu’ menurut ulama Sunni. Karena itu, ashabus-Sunan (penyusun kitab Sunan yang empat) meriwayatkan dan berhujjah dengan hadits ‘Ali ibn Mundzir. Ini merupakan bukti nyata kejujuran ulama Sunni. Mereka menjauhkan diri dari sikap fanatik, menuruti hawa nafsu, dan berbicara tanpa fakta


68.   `Ali ibn al-Hashim ibn al-Barid Abul-Hasan al-Kufi al-Khazzaz al-`Aithi

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau adalah seorang dari penasihat Imam Ahmed. Abu Dawud menyebut beliau dan menerangkannya sebagai seorang Shi’a yang pasti.” Ibn Haban berkata bahawa beliau adalah seorang ‘Pelampau Shi’a’. Ja`fer ibn Aban berkata, “Saya telah mendengar Ibn Namir berkata bahawa `Ali ibn Hashim adalah seorang pelampau di dalam kepercayaan Shi’a.” Al-Bukhari telah berkata bahawa keduanya `Ali ibn Hashim dan bapanya amat kuat peganggannya kepada kepercayaan Shi’a. Mungkin atas sebab itu al-Bukhari telah menolak hadith beliau, tetapi semua lima yang lain dari pengarang Sahih telah bergantung kepada penyampaiannya. Ibn Ma`in dan yang lainnya telah mempercayai beliau, sedangkan Abu Dawud telah mengatakan beliau sebagai tradisionis yang amat dipercayai. Abu Zar`ah telah mengatakan bahawa beliau adalah jujur, dan al-Nisa’i telah menyatakan bahawa tidak ada apa-apa kesalahan kepada hadith beliau. Al-Thahbi menyebut beliau di dalam Al-Mizan, dan menyebutkan apa yang telah disebutkan diatas. Al-Khatib al-Baghdadi, di dalam bab pada mengatakan kerekter `Ali di dalam bukunya Tarikh (history), Vol. 12, muka surat 116, menyebutkan Muhammad ibn Sulayman al-Baghindi sebagai berkata bahawa `Ali ibn Hashim ibn al-Barid adalah jujur orangnya, seorang yang mengikut kepercayaan Shi`ism. Dia juga menyebut dari Muhammad ibn `Ali al-Ajiri sebagai berkata: “Suatu ketika saya bertanya Abu Dawud mengenai `Ali ibn Hashim ibn al-Barid. Dia mengesyorkan bahawa saya tanya kepada `Isa ibn Yunus. Isa berkata: `Beliau terdiri dari mereka yang memanggil kepada Shi`ism.’” Semua ini adalah benar. Dia juga menyebutkan dari al-Jawzjani sebagai berkata bahawa Hisham ibn al-Barid dan anaknya `Ali ibn Hashim adalah pelampau di dalam golongan mereka yang rosak.” Walaupun terdapat semua ini, pengarang lima buku sahih bergantung pada `Ali ibn Hashim. Rujuk kepada hadith beliau mengenai perkahwinan di dalam sahih Muslim seperti yang disampaikan oleh Hisham ibn `Urwah, dan di dalam bab yang mengatakan meminta kebenaran seperti yang disampaikan dari Talha ibn Yahya. Hadith beliau di dalam sahih Muslim telah disampaikan oleh Abu Mu`ammar Isma`il ibn Ibrahim dan `Abdullah ibn Aban. Ahmed ibn Hanbal, juga, telah menyampaikan hadith beliau, sebagai tambahan kepada kedua anak Shaybah, dan dari kumpulan kelas mereka yang menyampaikan hadith yang mana penasihat mereka adalah tidak lain dari `Ali ibn Hashim. Al-Thahbi berkata, “Dia meninggal, semoga Allah merahmati beliau, dalam tahun 181H.,” dengan menambah, “Hadith beliau mungkin yang terawal dari hadith penasihat Imam Ahmed.”

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi . ‘Ali ibn Hasyim ibn al-Bari al-Aydi Abul Hasan al-Kufi al-Khazzaz, Ibn Mu’in dan Ya’qub, Ibn Abi Syaybah, memandang ‘Ali ibn Hasyim seorang yang tsiqat. Menurut Abu Dawud ia seorang Syi’ah. Bukhari berkata: “Ia dan orang tuanya berlebih-lebihan dalam madzhab yang dianutnya.” Menurut Ibn Hibban, ia Syi’ah ekstrim, banyak meriwayatkan hadits-hadits munkar dari Masyahir. Pernyataan serupa disampaikan oleh Ibn Numayr. Menurut Abu Zara’ab, ia orang yang sangat jujur, sementara an-Nasa’i menyatakan tidak melihat adanya bahaya pada ‘Ali ibn Hasyim. Sesungguhnya kritik kepada ‘Ali ibn Hasyim terletak pada sikapnya yang berlebih-lebihan dalam madzhab yang dianutnya (Syi’ah). Akan tetapi Syi’ah yang dianut Abu Hasyim tidak sampai ke tingkat Rafadh. Dalam arti tidak membenci dan meremehkan Abu Bakar dan ‘Umar. Dan dia tidak mempercayai raj’ah. Seorang rawi masih diterima riwayatnya asal saja ia tidak Rafadh, dan dikenal jujur dan amanah. Inilah sebenarnya keadaan (haliyah) ‘Ali ibn Hasyim. Karena itulah, Imam Muslim meriwayatkan hadits darinya. Begitu pula ashabus-Sunan yang empat. Mengenai penolakan Imam Bukhari, kita dapat memakluminya, sebab Bukhari memang lebih ketat dari ulama hadits lainnya dalam penerimaan riwayat. Ia tidak menerima hadits Ibn Hasyim, karena ia melihat sifat yang tidak terpuji padanya. Wallahu a’lam bis-shawab


69.    `Ammar ibn Zurayq al-Kufi

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Al-Sulaymani memanggil beliau “Rafidi,” seperti al-Thahbi nyatakan ketika membincangkan `Ammar di dalam Al-Mizan. Walaupun terdapat tuduhan yang sedemikian, Muslim, Abu Dawud dan al-Nisa’i bergantung pada penyampaian beliau. Rujuk kepada hadith beliau di dalam Sahih Muslim seperti yang disampaikan oleh al-A`mash, Abu Ishaq al-Subai`i, Mansur, dan `Abdullah ibn `Isa. Hadith beliau telah disampaikan di dalam Sahih Muslim oleh Abul-Jawab, Abul-Hawas Salam, Ibn Ahmed al-Zubayri, dan Yahya ibn Adam.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Umar ibn Raziq al-Kufi ,Manshur meriwayatkan hadits dari ‘Umar ibn Raziq, demikian pula A’masy dan Yahya ibn Adam. Orang yang terakhir ini memandang ‘Umar orang yang tsiqat. Adz-Dzahabi berkata: “Saya tidak pernah melihat orang yang merendahkan ‘Umar kecuali as-Sulaymani. Ia memandang ‘Umar orang Rafidhah. Hanya Allah yang tahu kebenaran pernyataan itu!” Dalam Kitab Tahdzib disebutkan bahwa Ibn Mu’in memandang ‘Umar sebagai orang yang tsiqat. Demikian pula Abu Zara’ah, Ibn Syahim dan Ibn al-Madini. Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan tidak melihat adanya bahaya pada ‘Umar ibn Raziq. Menurut Imam Ahmad, ia tergolong perawi hadits yang terpercaya. Para Ulama sepakat mengenai keadilan ‘Umar ibn Raziq. Dalam hal ini tak seorang pun yang menyanggahnya. juga tidak ada tuduhan apa pun terhadap dirinya yang merusak sifat adilnya kecuali pernyataan as-Sulaymani. Namun para ulama tidak membenarkan penilaian as-Sulaymani tadi. Kalau benar ia seorang Rafidhah, seperti dikatakan as-Sulaymani, tentu mereka akan menjauhi hadits ‘Umar, sebab Rafadh itu termasuk bid’ah yang mengkafirkan menurut (umumnya) ulama Sunni.


70.   `Ammar ibn Mu`awiyah, or Ibn Abu Mu`awiyah
 
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau juga telah dipanggil Khabab, atau Ibn Salih al-Dihni al-Bijli al-Kufi, Abu Mu`awiyah. Beliau adalah seorang dari wira Shi’a yang mengalami penderitaan yang banyak di dalam mempertahankan keturunan Muhammad [as] sehinggakan bahawa Bishr ibn Marwan melumpuhkan beliau [memotong urat dibelakang lutut] hanya kerana beliau seorang Shi’a. Beliau adalah penasihat kepada kedua Sufyan, sebagai tambahan kepada Shu`bah, Sharik, dan al-`Abar, semuanya telah mempelajari hadith dari beliau dan bergantung kepada penyampaian beliau. Ahmed, Ibn Ma`in, Abu Hatim dan manusia yang lain juga bergantung kepada penyampaiannya. Muslim dan empat pengarang sunan telah menyebutkan hadith beliau. Al-Thahbi telah menulis biografi beliau di dalam Al-Mizan dan menyebutkan pandangan yang ditulis diatas mengenai beliau seorang Shi’a dan tradisionis yang dipercayai, serta menambah bahawa tiada siapa yang mengatakan sesuatu yang buruk mengenai beliau, melainkan al-`Aqili, dan bahawa tiada salah bagi beliau melainkan menjadi seorang Shi’a. Rujuk kepada hadith beliau mengenai Haji di dalam sahih Muslim dari Abul-Zubayr. Dia meninggal dalam tahun 133; semoga Allah merahmati beliau.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ . ‘Ammar ibn Mu’awiyah adz-Dzihni, Imam Ahmad memandang ‘Ammar sebagai orang tsiqat. Demikian pula Ibn Mu’in dan Abu Hatim. Dalam Kitab Mizan, adz-Dzahabi berkata: “Aku tidak pernah melihat orang yang membicarakan ‘Ammar selain al-Aqili. Pembicaraannya dikaitkan dengan pernyataan Abu Bakar ibn ‘Iyasy seperti berikut ini. “Apakah engkau mendengar dari Said ibn Jubair?” Tanya Abu Bakar kepada ‘Ammar. “Tidak,” jawab Ammar. “Pergilah!”, kata Abu Bakar. Adz-Dzahabi menegaskan bahwa riwayat Ammar dari Said yang terdapat di dalam Sunan ibn Majah adalah riwayat yang munqathi’. Ibn ‘Uyainah berkata: “Basyar ibn Marwan memastikan, bahwa ‘Ammar adalah Syi’ah:” Para ulama sepakat mengenai keadilan ‘Animar ibn Mu’awiyah dan ketsiqatannya. Mereka tidak ada yang mengecamnya selain Ibn ‘Uyainah yang menuduh Ammar sebagai Syi’ah. Ini pun tidak mengurangi keadaan ‘Ammar yang dikenal jujur dan amanah. Karena itu, Imam Muslim dan sebagian dari ashabus-Sunan menerima haditsnya.


71.    `Amr ibn `Abdullah Abu Issaq al-Subai`i al-Hamadani al-Kufi
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau adalah seorang Shi’a menurut Ibn Qutaybah di dalam Ma`arif, dan di dalam buku Shahristani Al-Milal wal Nihal. Beliau adalah seorang dari ketua tradisionis yang mana golongannya; di dalam cabang dan akar umbinya, tidak disukai oleh Nasibis disebabkan kepada fakta bahawa Shi’a telah mengikuti jejak langkah Ahl al-Bayt, mendapatkan cara-cara ibadah melalui ketua mereka di dalam semua perkara agama. Atas sebab ini al-Jawzjani telah berkata di dalam biografi Zubayd di dalam Al-Mizan: “Diantara penduduk Kufa, terdapat satu kumpulan yang mana golongan mereka tidak diterima umum; tetapi mereka adalah ketua kepada tradisionis Kufa, seperti Abu Ishaq, Mansur, Zubayd al-Yami, al-A`mash dan yang lain lagi. Manusia telah menerima mereka kerana kejujuran mereka pada menyampaikan hadith; tanpa sebarang tambahan padanya.” Diantara apa yang Nasibis telah tolak adalah hadith Abu Ishaq yang ini:‘Seperti pengarang Al-Mizan telah tunjukkan, Amr ibn Isma’il telah menyebut dari Abu Ishaq yang mengatakan bahawa Rasul Allah [sawas] telah berkata, ‘Ali adalah umpama sebatang pokok yang mana akarnya adalah saya, dahannya adalah ‘Ali, buahnya adalah al-Hasan dan al-Husayn, dan daunnya adalah Shi’a. ‘” Yang sebenarnya, kenyataan al-Mughirah “tiada siapa yang menyebabkan penduduk Kufa untuk mendapat bencana melainkan Abu Ishaq dan al-A`mash” adalah sesuatu yang tidak boleh diterima melainkan hanya kerana yang sebenarnya mereka adalah Shi’a dan mereka taat kepada keturunan Muhammad [as]. Mereka telah menjadi penjaga semua hadith yang menyebutkan sifat-sifat ahlul bayt [as]. Manusia ini adalah lautan ilmu, dan mereka amat patuh kepada perintah Allah. Mereka dipercayai oleh kesemua pengarang enam Sahih dan yang lain juga. Rujuklah kepada hadith Abu Ishaq di dalam kedua buku sahih dari al-Bara’ ibn `Azib, Yazid ibn Arqam, Harithah ibn Wahab, Sulayman ibn Sard, al-Nu`man ibn Bashir, `Abdullah ibn Yazid al-Khadmi, dan `Amr ibn Maymun. Beliau telah disebutkan di dalam kedua buku sahih oleh Shu`bah, al-Thawri, Zuhayr, dan oleh cucunya Yusuf ibn Ishaq ibn Abu Ishaq. Ibn Khallikan berkata di biografi Amr di dalam Al-Wafiyyat bahawa `Amr telah dilahirkan 3 tahun sebelum `Uthman memegang tampuk pemerintahan ummah Islam, dan bahawa dia meninggal sama ada dalam tahun 127 atau 128, atau 129, sedangkan keduanya Yahya ibn Ma`in dan al-Mada’ini berkata bahawa dia meninggal dalam tahun 132, dan Allah maha mengetahui.


b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ : ‘Umar ibn Abdullah Abu Ishaq as-Sabi’i al-Hamdani al-Kufi, ‘Umar termasuk pemuka tabi’in dan orang terpercaya di Kufah. Hanya saja ia sudah tua dan pelupa. Namun demikian, menurut adz-Dzahabi, ia tidak mencampuraduk (ikhtilath). Imam Ahmad memandang ia tsiqat. Demikian pula Ibn Mu’in, Nasa’i, Ibn al-Madini, ‘Ajili, dan Abu Hatim. Mereka tidak mengecam dia sebagai pendusta atau pembid’ah. Karena itu, Ashabus-Sittah meriwayatkan haditsnya. Mengenai pernyataan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, mengenai diri ‘Umar (Abu Ishaq) yang dinukil dari Ibn Quthaibah dan asy-Syahristani, kita sudah paham dan maklum. Sudah sering saya kemukakan, bahwa yang dimaksud dengan pernyataan mereka, “Abu Ishaq adalah orang Syi’ah,”. adalah dukungannya kepada ‘Ali dalam pertikaiannya dengan Mu’awiyah. Hal demikian tidak mengurangi sifat adil seorang perawi, dan tidak ada halangan untuk berhujjah dengan haditsnya. Mengenai pernyataan al-Jauzjani, ulama Sunni tidak menanggapinya. Sebab, seperti berkali kali saya terangkan, al-Jauzjani adalah seorang pembid’ah. Pernyataan seorang pembid’ah mengenai pembid’ah lainnya tidak dapat dijadikan pegangan.


72    Awf ibn Abu Jamila al-Basri, Abu Sahl
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau amat terkenal dengan “al-A`rabi” [bedouin], walaupun asalnya bukan dari padang pasir. Al-Thahbi menyebut beliau di dalam Al-Mizan dan berkata bahawa “Beliau juga digelar `Awf yang Benar, sedangkan sebahagian mengatakan bahawa beliau mengikuti Shi`ism; walaupun begitu, sekumpulan ulama telah mempercayai beliau.” Dia juga menyebut dari Ja`fer ibn Sulayman yang menerangkan beliau sebagai seorang Shi’a dan menyebut dari Bandar yang memanggil beliau “Rafidi.” Ibn Qutaybah telah menjumlahkan beliau di dalam bukunya Al-Ma`arif diantara pemuka Shi’a. Beliau telah mengajarkan hadith kepada Ruh, Hawdah, Shu`bah, al-Nadr ibn Shamil, `Uthman ibn al-Haytham dan ramai yang lain lagi dari kaliber yang sama. Pengarang dari enam buku sahih dan juga yang lainnya telah bergantung kepada penyampaiannya. Rujuk kepada hadith beliau di dalam sahih Bukhari dari al-Hasan dan Sa`id, anak kepada al-Hasan al-Basri, Muhammad ibn Sirin dan Siyar ibn Salamah. Hadith beliau di dalam sahih Muslim telah disampaikan oleh Al-Nadr ibn Shamil. Hadith beliau dari Abu Raji’ al-`Ataridi terdapat di dalam kedua sahih. Dia meninggal, semoga Allah merahmati ruhnya, dalam tahun 146 H.


b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ : ‘Auf bin Abi Jamilah al-Bashri , ‘Auf dikenal dengan sebutan A’rabi. Dia termasuk tabi’in kecil. Imam Ahmad memandang dia tsiqat. Demikian pula Ibn Mu’in dan Abu Hatim. Nasa’i berkata: “Ia seorang yang tsiqat dan terpercaya.” Menurut Sa’ad, dia seorang yang tsiqat dan banyak haditsnya. Muhammad ibn ‘Abdullah al Anshari berkata: “Ia termasuk perawi yang tsiqat, kuat, tetapi ia seorang Qadariyah. Malah menurut Ibn Mubarak, ia seorang Qadariyah dan Syi’ah sekaligus. ” Dari pembicaraan para iilama di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka sepakat mengenai sifat adil dan ketsiqatan ‘Auf, dan berhujah dengan haditsnya. Walau ada orang yang mengecam dia sebagai bid’ah, lantaran menganut paham qadariyah maupun Syi’ah. Kecaman ini tidak merusak sifat adil ‘Auf, sejauh ia tidak mempromosikan bid’ahnya. Dan tidak menghalalkan dusta untuk melegitimasi bid’ahnya. Apalagi ‘Auf dikenal sangat jujur. Ini terbukti dengan sebutan yang diberikan kepadanya, yaitu ‘Auf ash-Shaduq (‘Auf yang terpercaya). Imam Muslim dalam muqaddimah Sahihnya berkata: “…Walaupun ‘Auf dan Asy’ats itu jujur dan amanah.” Karena itu, ashab as-sittah secara keseluruhan meriwayatkan hadits-hadits ‘Auf dan menjadikan sebagai hujjah. Ini menunjukkan secara jelas akan kejujuran ulama Sunni.


73  l-Fadl ibn Dakin
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Nama beliau yang sebenar adalah `Amr ibn Hammad ibn Zuhayr al-Malla’i al-Kufi, dan beliau amat terkenal dengan nama Abu Na`im. Beliau adalah penasihat al-Bukhari, sebagaimana yang diakui di dalam buku sahihnya sendiri. Sekumpulan ulama yang elit, seperti Ibn Qutaybah di dalam Al-Ma`arif, telah menjumlahkan beliau diantara pemuka Shi’a. Al-Thahbi menyebut beliau di dalam Al-Mizan dan berkata: “Saya telah mendengar ibn Ma`in berkata: `Jika nama sesaorang disebutkan di dalam kehadiran Abu Na`im dan dia mengatakan bahawa orang itu adalah baik, maka yakinlah bahawa orang itu adalah Shi’a; sedangkan jika dia melabelkan orang itu sebagai Murji’, maka yakinlah bahawa orang itu adalah sunni yang baik.’” Al-Thahbi berkata bahawa kenyataan itu membuktikan bahawa Yahya ibn Ma`in condong kepada mempercayai ‘kembali semula’. Ianya juga membuktikan orang itu menganggap al-Fadl sebagai pengikut Shi’a yang kuat. Di dalam biografi Khalid ibn Mukhlid di dalam Al-Mizan, al-Thahbi menyebut dari al-Jawzjani yang berkata bahawa Abu Na`im mengikuti golongan Kufi, i.e. Shi`ism. Untuk menjumlahkan semua fakta yang sebenar, al-Fadl ibn Dakin adalah seorang Shi`a dan tidak pernah dipertikaikan. Namun begitu semua pengarang buku sahih yang enam telah bergantung kepada beliau. Rujuk kepada hadith beliau di dalam sahih Bukhari dari  Humam ibn Yahya, `Abdul-`Aziz ibn Abu Salamah, Zakariyyah ibn Abu Za’idah, Hisham al-Distwa’i, al-A`mash, Misar, al-Thawri, Malik, Ibn `Ayinah, Shaybah, dan Zuhayr. Hadith beliau di dalam sahih Muslim yang disampaikan oleh Saif ibn Abu Sulayman, Isma`il ibn Muslim, Abu `Asim Muhammad ibn Ayyub al-Thaqafi, Abul Amis, Musa ibn `Ali, Abu Shihab Musa ibn Nafi`, Sufyan, Hisham ibn Sa`d, `Abdul-Wahid ibn Ayman, dan Isra’il. Al-Bukhari menyebut dari beliau secara terus, sedang Muslim menyebut hadith beliau seperti yang disampaikan oleh Hajjaj ibn al-Sha`ir, `Abd ibn Hamid, Ibn Abu Shaybah, Abu Sa`d al-Ashajj, Ibn Namir, `Abdullah al-Darmi, Issaq al-Hanzali, dan Zuhayr ibn Harb. Beliau telah dilahirkan pada tahun 133, dan meninggal di Kufa pada hari khamis malam pada hari terakhir bulan  Sha`ban, 210, semasa pemerintahan al-Mu`tasim. Ibn Sa`d menyebut beliau pada muka surat 279, Vol. 6, dari buku Tabaqat, mengatakan beliau sebagai yang dipercayai, jujur, dan seorang yang telah banyak menyampaikan hadith dan yang mengesahkannya.”

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’Al-Fadhl ibn Dakin, Fadhl ibn Dakin hanyalah gelar. Nama sesungguhnya adalah ‘Amer ibn Hammad ibn Zahir ibn Dirham at-Taymi, keluarga Thalhah Abu Nu’aym al-Kufi. Imam Ahmad memandang al-Fadhl sebagai orang yang tsiqat. Demikian Pula Nasa’i, Khatib, ‘Ajli, Yahya ‘Abdurahman, Waqi’, dan Abu Nu’aym. Tidak ada diantara mereka yang melontarkan kritik yang dapat merusakkan sifat adil Fadhl.Pernyataan-pernyataan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, mengenai Fadhl, tidak lain hanya untuk memberi kesan kepada pembaca bahwa Fadhl adalah ulama Rafidhah, padahal sesungguhnya ia adalah Syi’ah dalam anti ia berpihak kepada ‘Ali dalam pertikaiannya dengan Mi’awiyah, tidak lebih. Dan hal itu tidak membuatnya keluar dari lingkaran kelompok Sunni. Sebaliknya itu tidak menyebabkannya termasuk dalam lingkaran Rafidhah, seperti pernah saya kemukakan sebelumnya.Dengan demikian jelas sekali apa tujuan pernyataan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah itu, yaitu membuat kesan kepada pembaca bahwa Fadhl adalah ulama Rafidhah. Ia melihat pendapat adz-Dzahabi, dan mengutipnya sepotong, tidak keseluruhan. Ini lama dengan orang yang membaca ayat waylullilmushallin, tanpa meneruskan bacaannya dengan sempurna. Lihat kutipan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah. berikut ini: “Dalam kitab Mizan, adz-Dzahabi berkata bahwa Fadhl ibn Dakin Abu Nu’aym adalah seorang hafidz dan dapat dijadikan hujjah. Hanya saja ia seorang Syi’ah.” Kutipan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah berhenti sampai di sini. Ia tidak meneruskan pada kata-kata: “Tanpa berlebih-lebihan, dan tidak pula memaki-maki para sahabat Nabi.”Bila kita melihat potongan kalimat yang dibuang oleh al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, maka kita akan mengerti maksud adz-Dzahabi mengenai tasyayyu’ yang dinisbatkan kepada Fadhl, yaitu sikap berpihak kepada ‘Ali tanpa berlebih-lebihan dan tidak sampai pada tingkat Rafadh. Karena itu Ashabus-Sittah meriwayatkan dan berhujjah dengan hadits-hadits Fadhl
:
74    Adil ibn Marzuq al-Aghar al-Ruwasi al-Kufi, Abu `Abdul-Rahman
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Al-Thahbi menyebut beliau di dalam Mizan dan menerangkan beliau sebagai seorang Shi’a yang amat terkenal, menyebut dari Sufyan ibn `Ayinah dan Ibn Ma`in yang mengesahkan fakta ini. Dia menyebut Ibn `Adi sebagai berkata bahawa dia berharap semoga tidak ada apa-apa kesalahan terhadap hadith yang disampaikan beliau, kemudian dia menyebut dari al-Haytham ibn Jamil sebagai berkata bahawa dia suatu ketika menyebut Fadl ibn Marzuq dan menerangkan, beliau sebagai ‘seorang dari Imam petunjuk.’ Di dalam sahihnya, Muslim bergantung kepada penyampaian hadith dari Fadil yang berkaitan dengan solat seperti yang disampaikan oleh Shaqiq ibn `Uqbah, dan berkenaan dengan zakat oleh `Adi ibn Thabit. Hadith beliau yang mengatakan berkenaan dengan zakat seperti yang dirakamkan oleh Muslim telah disampaikan oleh Yahya ibn Adam dan Abu Usamah. Didalam Sunan, hadith beliau telah disebutkan oleh Waki`, Yazid, Abu Na`im, `Ali ibn al-Ja`d dan ramai yang lain. Zayd ibn al-Habab yang sebenarnya telah berdusta mengenai apa yang dikatakan dari hadith beliau pada mengatakan perlantikkan `Ali (as) sebagai Amr oleh Rasul [sawas]. Dia meninggal, semoga Allah merahmatinya, di dalam tahun 158.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’. Fudhayl ibn Marzuq al-Aghar ar-Ruqasyi ar-Rawwasi Ats-Tsawri memandang Fudhayl sebagai orang yang tsiqat. Demikian pula Ibn ‘Uyainab, Ibn Mu’in dan Ahmad. Ibnu Hatim berkata (dinukil dari ayahnya): “Haditsnya baik, orangnya jujur, tetapi banyak mengandung wahm. Haditsnya dapat ditulis.” “Dapatkah dijadikan hujjah?”, tanyaku. “Tidak,” jawab ayahku.” Menurut an-Nasa’i, ia dha’if. Ibn ‘Adi berkata, “Kukira tak ada bahaya apa-apa pada Fudhayl.” Berkata ‘Ajli: “Ia jujur, haditsnya jaiz. Hanya ia Syi’ah.” Menurut Ibn Hibban, haditsnya munkar. Ia melakukan kekeliruan dalam menilai perawi-perawi yang tsiqat. Ia banyak meriwayatkan hadits-hadits palsu dari ‘Athiyyah. Ibn ‘Adi berkata: “Bagiku, manakala haditsnya sesuai dengan hadits-hadits perawi yang tsiqat, ia bisa dijadikan hujjah.” Para ulama masih berbeda pendapat mengenai Fudhayl. Ada ulama yang memandang dia tsiqat, dan ada pula yang memandangnya lemah. Ulama yang memandangnya lemah bukan karena Syi’ahnya. Sebab, Syi’ahnya terbatas pada pemihakan dia kepada ‘Ali dalam pertikaiannya dengan Mu’awiyah. Dalam hal ini, adz-Dzahabi menjelaskan begini: “Dia dikenal Syi’ah yang tidak berlebih-lebihan dan tidak memaki-maki para sahabat.” Jadi, Para ulama mendha’ifkan dia dari sudut dhabith, (daya ingat), itqan, ketsiqatan dan riwayatnya yang banyak berbeda dari riwayat perawi-perawi yang tsiqat. Karena itu, haditsnya banyak yang munkar, lantaran ia banyak meriwayatkan hadits maudhu’ dari ‘Athiyyah. Karena itu, Imam Muslim tidak jadi meriwayatkan haditsnya lantaran tidak sesuai dengan kriteria beliau. Oleh karena itu, ulama hadits yang meriwayatkan haditsnya menjauhi hadits-hadits Fudhayl dari ‘Athiyyah. Yang diriwayatkan dari Fudhayl hanyalah hadits-hadits yang sesuai dengan riwayat perawi yang tsiqat, sebagaimana dikatakan oleh Ibn ‘Adi. Fudhayl ada meriwayatkan satu hadits yang menerangkan kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Ali. Ini merupakan suatu bukti bahwa keyakinan Fudhayl berbeda dari keyakinan kaum Rafidhah yang mengecam Abu Bakar dan ‘Umar. Hal ini pula yang menyebabkan kami tetap berkeyakinan bahwa Fudhayl adalah orang Sunni. Akan tetapi al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah memandang hadits yang diriwayatkan Fudhayl itu sebagai propaganda palsu dari Zayd ibn Hubab. At Musawi menyangsikan, kebenaran hadits itu, bukan karena apa-apa, hanya lantaran hadits itu menceritakan kekhalifahan Abu Bakar dan ‘Umar ibn Khaththab. Seandainya bukan bercerita tentang itu, tentu dia tidak akan menolaknya.

c.    Catatan : Bahwa al Musawi bukanlah yang mengatakan perawi ini adalah syi’ah melainkan yang mengatakan adalah sumber rujukan al musawi  yang tidak lain adalah ditulis ulama ahlu sunnah sendiri.

75   Fitr ibn Khalifah al-Hannat al-Kufi
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  `Abdullah ibn Ahmed suatu ketika bertanya kepada bapanya mengenai Fitr ibn Khalifah. Dia menjawab, “Beliau adalah penyampai hadith yang sahih. Hadith beliau membayangkan atitiut orang yang bertanggong jawab, tetapi beliau juga seorang pengikut Shi’a.” `Abbas telah menyebut dari Ibn Ma`in yang berkata bahawa Fitr ibn Khalifah adalah seorang Shi’a yang dipercayai. Ahmed berkata: “Fitr ibn Khalifah telah dipercayai oleh Yahya, tetapi beliau seorang pelampau Khashbi.” Mungkin atas sebab ini, Abu Bakr ibn `Ayyash telah berkata, “Saya tidaklah meninggalkan tradisi yang disampaikan oleh Fitr ibn Khalifah melainkan kerana beliau dari golongan yang tidak baik,” iaitu bukan terdapat apa-apa kesalahan, melainkan dia seorang  Shi`a. Al-Jawzjani berkata: “Fitr ibn Khalifah telah menyimpang dari laluan.” Ketika dia sakit, dia telah didengar oleh Ja`fer al-Ahmar sebagai berkata: “Tidak ada yang lebih mengembirakan saya dari mengetahui bahawa setiap rambut yang ada pada badan saya terdapat malaikat yang memuji Allah awj bagi pihak diri saya kerana cinta saya terhadap ahlul bayt [as].” Fitr ibn Khalifah menyampaikan hadith dari Abul-Tufayl, Abu Wa’il, dan Mujahid. Hadith beliau telah disebutkan oleh Usamah, Yahya ibn Adam, Qabisah dan yang lainnya dari kaliber yang sama. Ahmed dan yang lainnya telah mempercayai beliau. Murrah telah mengatakan yang berikut ini mengenai beliau, “Beliau adalah seorang penyampai hadith yang bertanggong jawab, yang telah menghafal semua yang disampaikannya dengan cara ingatan.” Ibn Sa`d berkata, “Beliau adalah Insha-Allah dipercayai.” Al-Thahbi membincangkan beliau di dalam Mizan, menyatakan pandangan para ulama, seperti yang dituliskan diatas mengenai dengan kerekternya. Ibn Sa`d telah menyebut perkara yang sama pada muka surat 253, Vol. 6, dari Tabaqat. Apabila Qutaybah menyebut para Shi’a yang terkenal di dalam Ma`arif, dia menyenaraikan Fitr ibn Khalifah diantaranya. Al-Bukhari telah menyebutkan hadith Fitr seperti yang disampaikan oleh Mujahid. Al-Thawri telah menyebut hadith Fitr yang mengatakan dengan kesopanan seperti yang dirakamkan di dalam kerja al-Bukhari. Pengarang dari keempat sunan, dan juga yang lain, semuanya telah menyebutkan hadith dari Fitr. Dia meninggal, semoga Allah merahmati ruhnya, di dalam tahun 153 H.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Fithr ibn Khalifah al-Hannath, Fithr termasuk seorang tabi’in kecil. Imam Ahmad memandang dia adil. Demikian pula al Qathan, Daruquthni, Ibn Mu’in, ‘Ajli dan an-Nasa’i. Ibn Sa’ad berkata: “Insya Allah ia tsiqat. Sebagian orang ada yang mengdha’ifkan dia. Menurut as-Saji, ia tsiqat, tetapi kurang terpercaya. Ibn ‘Adi berkata: “Ia memiliki hadits-hadits yang sahih menurut penuturan orang Kufah, dan mereka mempercayainya. Kukira tidak ada bahaya apa-apa pada Fithr.” Ada sementara orang yang mengecam dia sebagai Syi’ah, walaupun bukan Syi’ah yang ekstrim. Menurut ‘Ajli, Fithr memiliki kecenderungan pada Syi’ah walaupun dalam derajat kecil. Ibn Khaitsumah dari Quthbah ibn ‘Ala berkata: “Aku tinggalkan hadits Fithr, karena didalamnya terdapat kecaman terhadap ‘Utsman ibn ‘Affan.” Abu Bakar ibn ‘Iyasy berkata: “Aku tinggalkan hadits Fithr lantaran buruk madzhabnya. Ahmad ibn Yunus berkata: “Aku menjauhi hadits Fithr. Haditsnya mathruk, tidak dapat ditulis atau didaftar.”  Dalam perselisihan di kalangan. ulama mengenai Fithr, kita melihat Imam Bukhari meriwayatkan satu hadits darinya. Ini tidak bisa disimpulkan bahwa Bukhari berhujjah dengan hadits Fithr. Ibn Hajar berkata: “Dalam kitab Bukhari hanya ada satu hadits (dari Fithr) yang diriwayatkan dari Mujahid dari ‘Abdullah ibn ‘Umar.” Imam Bukhari meriwayatkan dari Tsawri, dari A’masy dan Hasan dan Fithr. Ketiga-tiganya menerimanya dari Mujahid. Berkata Imam Bukhari, “A’masy tidak memarfu’kan hadits itu.” Adapun ashabus-Sunan yang meriwayatkan beberapa hadits Fithr, mereka tidaklah memandang kesyi’ahan Fithr sebagai suatu hal yang dapat merusak keadilan dan kehujjahan haditsnya. Karena itu, mereka meriwayatkan haditsnya. Ini jelas menunjukkan kejujuran mereka yang terbebas dari genggaman hawa nafsu.


76 Malik ibn Isma`il ibn Ziyad ibn Dirham Abu Hasan al-Kufi al-Hindi
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau adalah seorang dari penasihat Bukhari seperti yang dinyatakan di dalam sahihnya. Ibn Sa`d menyebut darinya pada muka surat 282, Vol. 6, dari buku Tabaqat. Dia mengakhiri dengan mengatakan bahawa “Abu Ghassan adalah dipercayai, jujur, dan pengikut Shi’a yang kuat.” Al-Thahbi menyebut beliau di dalam Mizan, yang membuktikan beliau boleh dipercayai dan bermaruah, menyatakan bahawa beliau telah mempelajari golongan Shi’a dari gurunya al-Hasan ibn Salih, dan bahawa Ibn Ma`in telah mengatakan bahawa tiada siapa di Kufa yang lebih tepat pada menyampaikan hadith dari Abu Ghassan, dan bahawa Abu Satim telah berkata: “Pada bila-bila masa saya melihat kepada beliau, dia kelihatan seakan baru sahaja meninggalkan kuburannya, dengan dua tanda sujud yang terdapat pada dahinya.”  Al-Bukhari telah menyebutkan dari beliau secara terus di dalam banyak bab pada sahihnya. Muslim telah menyebut hadith beliau pada hukuman jenayah di dalam buku sahihnya seperti yang disampaikan oleh Harun ibn `Abdullah. Mereka yang menyampaikan hadith beliau di dalam Bukhari adalah: Ibn `Ayinah, `Abdul-Aziz ibn Abu Salamah, dan Isra’il. Keduanya al-Bukhari dan Muslim menyebut hadith beliau dari Zuhayr ibn Mu`awiyah. Dia meninggal, semoga Allah merahmati beliau, di Kufa pada tahun 219.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Malik ibn Isma’il ibn Ziyad ibn Dirham Abu Ghassan al-Kufi al-Hindi,  Ibn Hajar berkata: “Malik termasuk salah seorang pemuka atau guru senior Imam Bukhari. Para ahli sepakat mengenai ketsiqatannya.” Mengenai tasyayyu’ yang dituduhkan kepadanya, itu tidaklah menyebabkan dia keluar dari lingkaran Ahlus Sunnah, dan tidak membawanya ke dalam lingkaran Syi’ah Rafidhah. Sebab tasyayyu’ di sini hanyalah pemihakan kepada ‘Ali dalam pertikaiannya melawan Mu’awiyah. Hal ini tidaklah merusak sifat adil dan kehujjahan hadits seorang perawi. Karena itu, Imam Bukhari dan ulama hadits yang lain meriwayatkan dan berhujjah dengan hadits Malik.

77    Muhammad ibn Khazim

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau amat dikenali sebagai Abu Mu`awiyah al-Darir al-Tamimi al-Kufi. Al-Thahbi menyebut beliau dengan berkata, “Muhammad ibn Khazim al-Darir adalah disahkan benar; saya tidak menjumpai sama sekali hadith beliau yang lemah, saya akan bincangkan mengenai beliau dalam bab kunyat.” Apabila pengarang menyebut beliau pada bab yang diperkatakan, dia menyatakan: “Abu Mu`awiyah al-Darir adalah seorang yang amat terkenal dan seorang Imam hadith yang berkepercayaan,” dan dia terus mengatakan: “Al-Hakim telah mengatakan bahawa kedua shaykh bergantung kepada penyampaiannya, dan beliau amat terkenal sebagai pelampau Shi’a.” Kesemua enam pengarang buku sahih telah bergantung pada penyampaiannya. Al-Thahbi telah menandakan nama beliau dengan ‘A’ untuk menunjukkan bahawa semua ahli tradisionis bergantung kepada penyampaiannya. Rujuk kepada hadith beliau di dalam sahih Bukhari dan Muslim dari al-A`mash dan Hisham ibn `Urwah. Sahih Muslim mengandongi hadith yang lain yang dia sampaikan melalui penyampai lain yang dipercayai. Di dalam sahih Bukhari, hadith beliau telah disampaikan oleh `Ali ibn al-Madini, Muhammad ibn Salam, Yusuf ibn `Isa, Qutaybah, dan Musaddad. Di dalam sahih Muslim, beliau telah disebutkan oleh Sa`d al-Wasiti, Sa`d ibn Mansur, `Amr al-Naqid, Ahmed ibn Sinan, Ibn Namir, Issaq al-Hanzali, Abu Bakr ibn Abu Shaybah, Abu Karib, Yahya ibn Yahya, dan Zuhayr. Musa al-Zaman telah dimenyampaikan hadith beliau di dalam kedua sahih. Muhammad ibn Khazim telah dilahirkan pada 113, dan dia meninggal pada tahun 195; semoga Allah merahmati beliau

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Ia dikenal dengan sebutan Abu Mu’awiyah adh-Dharir. Menurut adh-Dzahabi, ia termasuk salah seorang pemuka agama yang ‘alim dan tsiqat. Tak seorang pun memalingkan muka darinya. Imam Nasa’i memandangnya tsiqat. Demikian pula ‘Ajli dan Ibn Sa’ad. Abu Hatim berkata: “Perawi yang paling dipercaya dari sumber A’masy adalah Sufyan, kemudian Abu Mu’awiyah.” Hal serupa dikatakan oleh Yahya ibn Mu’in. Ibn Kharasy berkata: “Hadits Abu Mu’awiyah yang tidak berasal dari A’masy masih diragukan. Hal yang sama dikatakan oleh ‘Abdullah ibn Ahmad melalui riwayat ayahnya. Karena itu, Imam Bukhari tidak menerima hadits Abu Mu’awiah, kecuali yang bersumber dari A’masy. Adapun haditsnya yang tidak bersumber dari A’masy, Bukhari meriwayatkannya sebagai pendukung saja, artinya, dengan disertai oleh perawi-perawi lain yang dianggap tsiqat. Ibn Hajar berkata, “Bukhari tidak berhujjah dengan hadits Abu Mu’awiyah yang tidak berasal dari A’masy.” Bukhari juga meriwayatkan haditsnya yang bersumber dari Hisyam ibn ‘Urwah. Akan tetapi hadits-hadits tersebut sebagai pendukung semata. Mengenai pernyataan Hakim bahwa dia menyatakan dukungannya kepada ‘Ali secara berlebih-lebiban, atau pernyataan Abu Dawud bahwa ia menganut paham Murji’ah, semua itu dipandang ulama hadits sebagai bid’ah yang tidak merusak sifat adil dan kehujjahan haditsnya, sebab ia dikenal sebagai orang yang jujur, amanah dan tidak menghalalkan dusta untuk menguatkan madzhabnya. Sebab itu, ulama hadits hanya mengecam dia dari sudut pencampuradukkan (tadlis) yang terdapat dalam beberapa haditsnya yang tidak bersumber dari A’masy. Untuk itu, ulama hadits menjauhinya jika tidak didukung oleh perawi-perawi lain yang tsiqat. Di sini kita melihat bukti lain dari kejujuran ulama Sunni. Mereka menjauhkan diri dari dorongan hawa nafsu dan fanatisme.


78    Muhammad ibn `Abdullah al-Dabi al-Tahani al-Nisaburi, Abu `Abdullah al-Hakim
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau adalah seorang Imam yang huffaz, yang telah menghafal keseluruh al-Quran dan hadith secara ingatan, dan telah mengarang lebih kurang seribu buku. Beliau telah menjelajah keseluruh pelusuk untuk mencari ilmu dan mempelajari hadith dari lebih kurang 2 000 orang guru. Beliau boleh dibandingkan dengan ulama yang amat terkenal dimasa beliau seperti al-Sa`luki. Imam ibn Furk dan para Imam yang lain menganggap status beliau lebih utama dari kedudukan mereka. Mereka menghargai beliau dan juga sumbangannya; mereka memuji nama dan reputasi beliau, dengan tidak meragui kepakaran beliau sama sekali. Kesemua ulama sunni yang tidak dapat mencapai setaraf beliau telah merasa cemburu terhadap beliau. Beliau adalah wira Shi’a, pemelihara syariat Islam. Pengarang Al-Mizan menyampaikan biografi beliau dan menerangkan sebagai, ‘Imam yang berkepercayaan dan seorang Shi’a yang terkenal.’ Dia menyebutkan dari Ibn Tahir sebagai berkata: “Saya bertanya Abu Isma`il `Abdullah al-Ansari mengenai al-Hakim Abu Abdullah. Dia berkata: `Beliau seorang Imam Hadith, seorang Rafidi yang durjana.’” Al-Thahbi telah menyatakan beberapa kenyataan beliau yang menarik, seperti katanya bahawa Dia yang pilihan [sawas] telah dilahirkan siap berkhatan, dengan senyuman pada wajah baginda, dan bahawa `Ali (as) adalah seorang wasi. Pengarang menambah yang berikut: “Beliau adalah seorang yang dipercayai dan berpengetahuan pada apa yang disampaikannya dan telah diterima oleh semua, itu adalah satu fakta yang sebenar.” Beliau telah dilahirkan pada bulan Rabi` al-Awwal tahun 321, dan meninggal dalam bulan Safar tahun 405, semoga Allah merahmati ruh beliau.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi : Muhammad ‘Abdullah adh-Dhabi ath-Thahani an-Naysaburi Abu ‘Abdullah al-Hakim al-Hafidh,  Adz-Dzahabi berkata: “Ia seorang imam yang jujur. Hanya saja ia menyatakan sahih hadits-hadits yang gugur dalam kitab Mustadraknya. Dengan demikian banyak sekali hadits-hadits seperti itu. Aku tidak mengerti, apakah ia khilaf? Mengapa ia tidak mengerti kelemahan pada hadits-hadits itu? Akan tetapi jika ia mengerti, maka jelas hal ini merupakan suatu pengkhianatan yang besar.” Para Ulama mengecam dia lantaran terlalu mudah untuk mentashih suatu hadits. Dan ia menyatakan bahwa hadits itu memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Padahal tidak demikian kenyataannya. Oleh karena itu, Ulama hadits mendha’ifkannya dan menolak berhujah dengan haditsnya. ia dikenal dengan orang yang sangat mengagungkan ‘Ali dan keluarganya. Akan tetapi ia tidak sampai meremehkan Abu Bakar dan ‘Umar. Kalau dia meremehkan mereka, maka ia sudah mencapai Rafadh yang dapat merusak sifat adilnya. Ini diperkuat oleh pendapat-pendapat adz-Dzahabi sebagai berikut: “Ia dikenal Syi’ah tanpa memalingkan muka dari Abu Bakar dan ‘Umar. Mengenai riwayat Ibn Thahir dari Abu Isma’il ‘Abdullah dan al Anshari bahwa al-Hakim Abu ‘Abdullah adalah seorang imam hadits dan seorang Rafidhah yang buruk, maka hal ini ditolak oleh adz-Dzahabi, dengan menyatakan berikut ini, “Sesungguhnya Allah menyukai kejujuran. Hakim bukanlah seorang Rafidhah, tetapi Syi’ah saja.” Pendapat adz-Dzahabi di atas memperkuat keterangan saya mengenai perbedaan antara pengertian Rafadh dan tasyayyu’ menurut ulama Sunni.


79    Muhammad ibn `Ubaydullah ibn Abu Rafi` al-Madani
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau, Abu `Ubaydullah, saudara beliau al-Fadl dan `Abdullah anak lelaki `Ubaydullah, datuk beliau Abu Rafi`, bapa saudara beliau Rafi`, al-Hasan, al-Mughirah, `Ali, dan anak-anak lelaki mereka dan juga cucu-cucu mereka, semuanya adalah diantara keturunan Shi’a yang baik. Buku-buku yang mereka karang, mengesahkan betapa dalam penglibatan mereka di dalam Shi’a, seperti yang kami sebutkan di dalam seksen 2, Bab 12, dari buku kami Al-Fusul al-Muhimmah. Ibn `Uday menyebut Muhammad ibn `Ubaydullah ibn Abu Rafi` al-Madani, dengan menambah, pada penghujung biografinya di dalam Mizan, bahawa beliau adalah diantara Kufi Shi`as. Apabila al-Thahbi menyatakan biografinya di dalam bukunya Mizan, dia menandakan dengan TQ sebagai petunjuk, pengarang sunan mana yang menyebut hadith dari beliau (i.e. Tirmithi and Dar Qutni). Dia juga menyebut bahawa beliau menyebutkan hadith dari bapa dan datuknya, dan bahawa Mandil dan `Ali ibn Hashim menyebutkan hadith beliau. Hadith beliau juga disebutkan oleh Haban ibn `Ali, Yahya ibn Ya`li dan lainnya. Muhammad ibn `Ubaydullah ibn Abu Rafi` al-Madani mungkin juga telah menyampaikan hadith dari saudaranya `Abdullah ibn `Ubaydullah yang telah terkenal sebagai tradisionis oleh para penyelidik hadith. Al-Tabarani di dalam Al-Mu`jam al-Kabir telah bergantung kepada penyampaian Muhammad ibn `Ubaydullah ibn Abu Rafi` al-Madani yang menyebutkan dari bapa dan datuknya dengan berkata bahawa Rasul Allah [sawas] telah berkata kepada `Ali (as), “Yang pertama memasukki syurga adalah saya dan kamu, kemudian al-Hasan dan al-Husayn, dengan keturunan kita dibelakang, dan Shi’a kita dikanan dan kiri kita.’

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Muhammad ibn ‘Ubaydillah ibn Abi Rafi’ al-Madani  Adh-Dzahabi berkata: “Para ulama mendha’ifkan Muhammad.” Menurut Bukhari, haditsnya munkar. Yahya ibn Mu’in berkata: “Hadits Muhammad tidak ada nilainya.” Menurut Abu Hatim, hadits Muhammad betul-betul munkar. Menurut Ibn ‘Adi, ia termasuk kelompok Syi’ah di Kufah. Daruquthni berkata: “Haditsnya matruk dan mu’dhal.” Penulis sendiri tidak tahu bagaimana ia dipandang tsiqat, jika keadaannya seperti itu, dan seperti itulah pendapat ulama mengenai dirinya? Adapun al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah memandang tsiqat perawi hadits ini maupun perawi-perawi lain yang berlawanan dengan ulama-ulama hadits yang agung. Hal ini dikarenakan perawi-perawi itu adalah perawi Syi’ah. Muhammad ini, menurut al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, cukup tsiqat dan cukup andal untuk dijadikan hujjah. Di sini saya ingin bertanya: Manakah metoda ilmiah yang digunakan orang Rafidhah dalam melakukan ta’dil dan tajrih? Dan di mana letak kejujuran dan objektivitasnya?


80   Muhammad ibn Fudayl ibn Ghazwan Abu `Abdul-Rahman al-Kufi
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Ibn Qutaybah telah menjumlahkan beliau diantara pemuka Shi’a di dalam hasil kerjanya Al-Ma`arif, dan Ibn Sa`d telah menyebut beliau pada muka surat 271, Vol. 6, dari Tabaqat, dengan mengatakan, “Beliau adalah jujur dan tradisionis yang dipercayai, telah menyampaikan banyak hadith; beliau juga seorang Shi’a, dan sebahagian ulama [atas sebab ini] telah tidak bergantung pada penyampaiannya.” Al-Thahbi telah menyebut beliau di dalam bab yang mengandongi sebab yang telah diketahui umum, iaitu reputasi bapanya pada penghujung bukunya Mizan, menerangkan dia sebagai seorang Shi’a yang jujur. Dia juga menyebut beliau di dalam bab yang mengandongi nama pertama mereka adalah Muhammad, telah menerangkan bahawa beliau adalah ‘seorang yang benar dan terkenal’ dengan menambah bahawa Ahmed telah menerangkan, beliau sebagai seorang Shi’a yang mana hadithnya adalah sahih, dan bahawa Abu Dawud telah menerangkan beliau, sebagai seorang Shi’a di dalam prefession [kepercayaan](!), dengan menambah bahawa beliau seorang yang berpengetahuan dan juga penyampai hadith, bahawa beliau mempelajari al-Quran dari Hamzah, dan bahawa beliau telah mengarang banyak buku, Ibn Ma`in telah mempercayai beliau dan Ahmed berkata baik mengenai beliau. Al-Nisa’i telah berkata bahawa tiada sebarang kesalahan dengan hadith beliau. Pengarang dari enam buku sahih, dan juga yang lainnya, telah bergantung pada penyampaiannya. Rujuklah kepada hadith beliau di dalam Bukhari seperti yang disampaikan oleh Muhammad ibn Namir, Ishaq al-Hanzali, Ibn Abu Shaybah, Muhammad ibn Salam, Qutaybah, `Umran ibn Maysarah, dan `Amr ibn `Ali. Hadith beliau yang disampaikan di dalam Bukhari adalah oleh `Abdullah ibn `Amir, Abu Karib, Muhammad ibn Tarf, Wasil ibn `Abd al-A`la, Zuhayr, Abu Sa`d al-Ashajj, Muhammad ibn Yazid, Muhammad ibn al-Muthanna, Ahmed al-Wak`i, dan `Abdul-`Aziz ibn `Umer ibn Aban. Beliau meninggal, semoga Allah merahmati beliau, di Kufa pada tahun 194 atau 195 H.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Muhammad ibn Fudhayl ibn Ghazwan Abu ‘Abdurahman al-Kufi Imam Ahmad berkata: “Ia berpihak kepada ‘Ali, tasyayyu’. Haditsnya baik.” Ibn Mu’in memandangnya tsiqat. Abu Zara’ah berkata: “Ia jujur, dan ahli ilmu.” Menurut Abu Hatim, ia seorang guru. Nasa’i tidak melihat sesuatu yang membahayakan dalam hadits Ibn Fudhayl. Menurut Abu Dawud, ia seorang Syi’ah yang militan. Ibn Hibban menyebut dia dalam ats-Tsiqat, dan ia berkata: “Ibn Fudhayl pendukung ‘Ali yang berlebih-lebihan.” Ibn Saad berkata: “Ia tsiqat, jujur dan banyak memiliki hadits. Ia pendukung ‘Ali. Sebagian ulama tidak berhujjah dengan haditsnya.” Menurut ‘Ajli, ia orang Kufah yang tsiqat, tetapi Syi’ah. ‘Ali ibn al-Madani memandangnya sangat tsiqat dalam hadits. Hal serupa dikatakan pula oleh Daruquthni. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Ibn Fudhayl adalah seorang yang tsiqat, jujur dan haditsnya baik. Ulama hadits tidak memberikan kritik atasnya dengan kritikan yang merusak keadilan dan kehujjahan haditsnya. Karena itu, para ulama hadits sepakat untuk menerima riwayatnya dan berhujjah dengan haditsnya. Mengenai tuduhan bahwa ia tasyayyu’, itu tidak merusak namanya, sebab ia terkenal sebagai orang yang jujur dan amanah, serta tidak mau berdusta. Adanya tuduhan bahwa ia berlebih-lebihan dalam mendukung ‘Ali, itu artinya ia pernah meremehkan ‘Utsman ibn ‘Affan. Sesungguhnya ada riwayat lain yang menolak tuduhan di atas, dan menetapkan kebalikannya. Abu Hisyam ar-Rifa’i berkata: “Aku mendengar Ibn Fudhayl berkata, “Semoga Allah memberikan rahmat kepada ‘Utsman, dan tidak ada rahmat bagi orang yang tidak mengasihi ‘Utsman. Berkata Hisyam: “Aku mendengar Ibn Fudhayl bersumpah bahwa dia pendukung Sunnah. Banyak lagi riwayat dari Ibn Hisyam yang menyatakan bahwa Ibn Fudyail tidak ekstrim dan menunjukkan bahwa ia termasuk Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, sampai pada masalah-masalah furu’. Berkata Hisyam: “Aku lihat di sepatunya bekas usapan, dan aku sering shalat di belakangnya (bermakmum) dan tidak pernah mendengarkan ia mengeraskan bacaan basmalahnya.” Keterangan ini menunjukkan ia berbeda dari orang Rafidhah.


81    Muhammad ibn Muslim ibn al-Ta’ifi
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau adalah seorang sahabat Imam Abu `Abdullah al-Sadiq [as], yang terkenal. Shaykh al-Ta’ifa Abu Ja`fer al-Tusi telah menyebut beliau di dalam buku Rijal al-Shi`a, dan al-Hasan ibn `Ali ibn Dawud telah menjumlahkan beliau di dalam bab, tradisionis yang amat dipercayai di dalam bukunya Al-Mukhtasar. Al-Thahbi memuatkan biografinya dan menyebut Yahya ibn Ma`in dan lainnya yang mengatakan bahawa beliau adalah jujur. Dia menambah dengan mengatakan bahawa al-Qa`nabi, Yahya ibn Yahya, dan Qutaybah semuanya telah menyampaikan tradisi beliau, dan bahawa `Abdul-Rahman ibn Mahdi pernah menyebut Muhammad ibn Muslim ibn al-Ta’ifi dan berkata: “Buku beliau [tradisi] semuanya adalah sahih,” dan bahawa Ma`ruf ibn Wasil berkata: “Saya melihat Sufyan al-Thawri yang ketika bersama dengan Muhammad ibn Muslim ibn al-Ta’ifi, sedang mencatitkan hadith beliau.” Bahkan mereka yang melebelkan beliau sebagai ‘lemah’ hanya melakukannya atas dasar bahawa beliau adalah Shi’a, walaupun begitu perjudis mereka tidak merugikan beliau. Hadith beliau dari ‘Amr ibn Dinar mengenai wudu’ terdapat di dalam sahih Muslim. Menurut dari Tabaqat Ibn Sa`d, seperti yang dinyatakan pada muka surat 381, Vol. 5, hadith beliau telah disebutkan oleh Waki` ibn al-Jarrah dan 100 orang yang lainnya. Pada tahun itu, nama beliau Muhammad ibn Muslim ibn Jummaz meninggal di Medina. Ibn Sa`d telah memuatkan kedua biografinya didalam Vol. 5 pada Tabaqat.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Muhammad ibn Muslim ibn Susin ath-Tha’ifiI, Ibn Mu’in memandang dia tsiqat. Demikian pula Abu Dawud dan ‘Ajli. Menurut Bukhari dan Ibn Muhdi, hadits Muhammad ditulis (diriwayatkan) oleh para perawi sahih. Ibn Hibban menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqat, dan berkata: “Muhammad sering lalai.” As-Saji berkata: “Ia jujur. Haditsnya perlu dipertimbangkan.” Menurut Ibn Mu’in, ia sering keliru ketika menyampaikan hadits yang dihafalnya. Manakala ia menyampaikan hadits dari kitabnya, tidak ada persoalan. Namun Ahmad mendha’ifkannya dalam segala keadaan, baik ia menyampaikan dari kitabnya maupun dari hafalannya. Ibn ‘Adi menyebutkan beberapa hadits Muhammad, lalu berkata: “Haditsnya hasan dan gharib. Ia termasuk orang yang memelihara haditsnya dengan baik. Aku tidak pernah melihat hadits munkar padanya. Menurut Ya’qub ibn Sufyan, ia tsiqat, tak ada bahaya padanya. Bila kita memperhatikan beberapa pendapat ulama hadits di atas, nyatalah bahwa Muhammad ibn Muslim adalah dha’if. Kedha’ifannya terletak pada hafalannya dan daya ingatnya, bukan dari segi adilnya. Sebab ulama hadits tidak pernah melontarkan sesuatu kritikan yang dapat merusak keadilannya. Mereka yang mendha’ifkan Muhammad dari segi hafalan dan daya ingatnya juga masih berselisih paham. Perselisihan, ini mengenai apakah ia meriwayatkan hadits dari hafalannya atau dari kitabnya. Ini benar-benar membuktikan kepada kita betapa akuratnya metoda ulama Sunni dalam melakukan seleksi para perawi hadits. Orang-orang yang meriwayatkan hadits dari Muhammad, mereka menerimanya dari kitabnya, bukan dari hafalannya. Hadits-hadits yang termuat dalam kitabnya itu dapat diterima, kecuali oleh Imam Ahmad. Adapun Imam Muslim, karena ketatnya persyaratannya, tidak meriwayatkannya, kecuali satu hadits yang menceritakan tentang tark al-wudhu’. Itupun diikuti oleh periwayat lain, sebagaimana ditegaskan oleh Hakim. Kalau diperhatikan pernyataan-pernyataan ulama mengenai Muhammad ibn Muslim, maka nyatalah bagi kita dusta yang dilakukan oleh al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah. Ia menuduh ulama Sunni mendha’ifkan Muhammad lantaran paham Syi’ah yang dianutnyal bukan karena sebab lainnya. Dengan tuduhan itu ia hendak menyatakan bahwa ulama Sunni fanatik, menuruti hawa nafsu dan tidak memiliki metoda dalam menolak dan menerima hadits. Jawaban saya terhadap tuduhan dan propaganda di atas adalah keterangan dia sendiri bahwa Imam Muslim meriwayatkan hadits Muhammad ibn Muslim dalam bab wudhu’. Seandainya Muslim mendha’ifkan dia dari segi Syi’ahnya, sebagaimana dia tuduhkan, tentulah sifat adil Ibn Muslim menjadi rusak, dan Imam Muslim tidak akan meriwayatkan haditsnya. Kepada al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, saya ingin bertanya: Tidakkah anda memandang Abban ibn Tughlab, ‘Abdurrazaq, Khalid ibn Mukhalid, ‘Amir ibn Wailah dan lain-lain sebagai perawi yang adil? Mengapa ulama Sunni juga memandang mereka sebagai perawi yang adil? Ulama Sunni tidak mendha’ifkan mereka. Kelihatannya Syeitan telah membelenggu anda, dan menyeret anda ke jurang permusuhan, sehingga anda semakin buta terhadap sunnah, dengki kepada Ahli Sunnah dan pendukungnya. Syeitan akan membawa anda pula ke jurang kenistaan di hari kiamat.


82    Muhammad ibn Musa ibn `Abdullah al-Qatari al-Madani
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Al-Thahbi telah menyebut beliau di dalam Mizan; menyebut dari Abu Hatim yang mengesahkan beliau adalah Shi’a. Dia juga menyebut dari al-Tirmidzi yang berkata bahawa beliau adalah dipercayai, dan dia menandakan nama beliau dengan singkatan Muslim dan juga pengarang Sunan sebagai petunjuk terhadap pergantungan mereka kepada penyampampaiannya. Rujuklah hadith beliau mengenai makanan di dalam sahih Muslim yang disampaikan dari `Abdullah ibn `Abdullah ibn Abu Talha. Beliau juga telah disebutkan oleh al-Maqbari dan sekumpulan yang ternama lainnya. Mereka yang lain yang telah menyebutkan hadith beliau adalah: Ibn Abu Fadik, Ibn Mahdi, Qutaybah, dan lainnya yang sama kaliber.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Muhammad ibn Musa ibn ‘Abdiffah al-Fithri al-Madani  Abu Hatim berkata: “Ia jujur, baik haditsnya, dan ia condong kepada ‘Ali, tasyayyu’”‘. At-Turmudzi memandang dia tsiqat. Menurut Abu Ja’far ath-Thahawi, ia sangat terpuji dalam riwayat-riwayatnya. Ibn Syahin menyebutkan dalam ats-Tsiqat demikian, “Al-Fithri adalah seorang guru yang tsiqat, bagus haditsnya.” Para ulama sepakat mengenai tsiqat dan adilnya al-Fithri. Mereka tidak melontarkan suatu kritik atasnya yang dapat merusak sifat adil dan dhabithnya. Mengenai tuduhan bahwa ia bertasyayyu’, sudah saya jelaskan berkali-kali bahwa tasyayyu’ hanyalah dukungan kepada ‘Ali dan keluarganya, tanpa meremehkan sahabat-sahabat Nabi yang lain. Hal ini tidaklah merusak nama seorang perawi. Apalagi jika ia dikenal jujur dan adil. Karena itu, ulama hadits meriwayatkan hadits al-Fithri dan menjadikannya sebagai hujjah. Di sini saya ingin bertanya kepada al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, mengapa ulama Sunni tidak mendha’ifkan Wiuhammad ibn Musa al-Fithri? Padahal anda menyebut dia sebagai orang Syi’ah. Demikian pula Abu Hatim.


83   Mu`awiyah ibn `Ammar al-Dihni al-Bajli al-Kufi
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau adalah diantara Shi’a yang sangat dihormati dan disanjung, berkedudukan dan dipercayai. Bapa beliau `Ammar adalah satu contoh yang baik bagi kesabaran dan keteguhan di dalam memegang prinsip pada keadilan, dia adalah suatu model [contoh] yang Allah telah ketengahkan bagi mereka yang sabar menderita untuk kekal di jalanNya. Orang yang zalim telah melumpuhkan nya [dengan memotong urat dibelakang lutut] kerana menjadi seorang Shi’a, seperti yang kami telah nyatakan diatas, tanpa kejayaan pada memalingkannya, sehinggalah dia meninggalkan dunia ini untuk mendapatkan ganjarannya. Anaknya Mu`awiyah telah diberikan dengan layanan yang sama, dan bapa adalah model bagi anaknya. Beliau telah bersama dengan Imams al-Sadiq dan al-Kazim [as], dan mempelajari dari mereka dengan banyaknya. Beliau telah mengarang banyak buku – seperti yang ditunjukkan diatas – dan beliau telah disebutkan oleh penyampai Shi’a seperti Ibn Abu `Umayr dan lainnya. Muslim dan al-Nisa’i telah bergantung pada penyampaiannya. Hadith beliau mengenai Haji telah disebutkan di dalam sahih Muslim oleh al-Zubayr. Di dalam Muslim, beliau telah disebutkan oleh keduanya Yahya ibn Yahya dan Qutaybah. Beliau juga telah menyampaikan hadith yang disebutkan oleh bapanya `Ammar, dan dari kumpulan ulama yang terkenal dan hadith yang sedemikian terdapat di dalam musnads Sunni. Dia meninggal, semoga Allah merahmati beliau, pada tahun 175 H.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Mu’awiyah ibn ‘Ammar ad-Duhni al-Bajli al-Kufi, Adz-Dzahabi berkata: “Mu’awiyah adalah orang Kufah yang jujur. Ibn Mu’in dan Nasa’i menyatakan tidak melihat sesuatu yang berbahaya pada diri Mu’awiyah. Menurut Abu Hatim, haditsnya dapat ditulis, tetapi tidak dapat dijadikan hujjah. Ibn Hibban menyebutkannya di dalam Kitab ats-Tsiqat. Ulama hadits tidak memberikan suatu kritik atas diri Mu’awiyah yang dapat merusak adil dan dhabithnya. Ia termasuk seorang yang terjaga kepribadiannya, mastur al-hal. Mengenai pernyataan Abu Hatim –walaupun itu menunjukkan ketidaksempurnaan Mu’awiyah– namun menurut ulama hadits berarti kesempurnaan Mu’awiyah belum sampai ke tingkat dapat dijadikan hujjah walaupun haditsnya dapat didaftar. Karena itu, Imam Muslim meriwayatkan haditsnya dengan diikuti perawi lain, yaitu hadits tentang masuknya Rasulullah ke Makkah tanpa ihram. Mengenai keterangan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, tentang kehidupan Mu’awiyah ad-Duhni dan kehidupan ayahnya, tidaklah pernah disinggung dalam buku-buku biografi perawi hadits. Ia hanya berpegangan pada sumber-sumber khusus dari kalangannya sendiri. Keterangannya merupakan data yang dapat diragukan keabsahan dan validitasnya. Karena itu, dari segi riwayat, tidak ada hubungannya sama sekali dengan adil dan dhabithnya Mu’awiyah.


84    Ma`ruf ibn Kharbuth al-Karkhi
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Al-Thahbi menerangkan beliau di dalam Mizan sebagai “Shi`a yang jujur,” menandakan nama beliau dengan singkatan nama al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud untuk menunjukkan bahawa mereka menyebutkan hadith daripada beliau. Dia juga menyebutkan Abul Tufayl berkata bahawa Ma`ruf menyampaikan beberapa hadith beliau. Hadith beliau telah disebutkan oleh `Asim, Abu Dawud, `Ubaydullah ibn Musa dan lainnya. Dia juga menyebutkan Abu Hatim sebagai berkata bahawa yang terkemudian mencatatkan hadith beliau.Ibn Khallikan menyebut beliau di dalam bukunya Wafiyyat dan menerangkan beliau sebagai seorang, orang suruhan `Ali ibn Musa al-Rida [as], Dia terus memuji beliau, menyebutkan kenyataan yang mana beliau berkata, “Saya telah sampai kepada kehadarat Allah, meninggalkan segala-galanya dibelakang saya, dengan penggecualian terhadap melayani ketua saya `Ali ibn Musa al-Rida [as],” Apabila Ibn Qutaybah membincangkan beberapa pemuka-pemuka Shi’a di dalam kerjanya Al-Ma`arif, dia memasukkan Ma`ruf ibn Kharbuth diantara mereka. Muslim telah bergantung kepada penyampaian Ma`ruf ibn Kharbuth; rujuklah kepada hadith beliau di dalam bab hajj di dalam sahihnya dari Abul Tufayl. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 200 H.;[17] pusara beliau adalah mausoleum [tempat ziarah]. Sirri al-Saqti adalah seorang dari muridnya.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ . Ma’ruf ibn Kharbudz al-Karakhi , Adz-Dzahabi berkata: “Ia seorang yang jujur dan seorang Syi’ah. Yahya ibn Mu’in memandang dia dha’if. Ahmad berkata: “Saya tidak mengerti bagaimana keadaan haditsnya.” Abu Hatim memandang haditsnya dapat ditulis. Menurut as-Saji, ia seorang yang jujur. Ulama hadits sepakat mengenai adil dan jujurnya Ma’ruf. Mereka tidak menuduh dia sebagai, pendusta. Di dalam pernyataan Ahmad dan Abu Hatim, terkandung unsur mendha’ifkan Ma’ruf. Hanya saja hal itu tidak merusak sifat adilnya. Mengenai tuduhan bahwa ia Syi’ah, maka kita sudah mengerti maksud Syi’ah di sini, yaitu yang tidak merusak sifat adil seorang perawi. Apalagi jika ia dikenal jujur. Oleh karena itu, ahli hadits dari kalangan Sunni menuliskan hadits Ma’ruf. Di dalam Kitab Bukhari, tidak ditemukan hadits-hadits Ma’ruf. kecuali satu hadits mengenai ilmu. Hadits itu berasal dari Abu Thufayl, dari ‘Ali, yaitu hadits: Hadditsun-naasa bima ya’rifun. Imam Muslim dan Abu Dawud juga meriwayatkan haditsnya yang berasal dari Abu Thufayl, yaitu hadits: Annahu ra’an-nabiyya fil-hajj.


85    Mansur ibn al-Mu`tamir ibn `Abdullah ibn Rabi`ah al-Salami al-Kufi
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau adalah seorang sahabat kepada Imams al-Baqir and al-Sadiq (as), dan beliau telah menyampaikan hadith daripada mereka, seperti mana pengarang Muntahal Maqal fi Ahwal al-Rijal telah nyatakan. Ibn Qutaybah menjumlahkan beliau diantara pemuka Shi’a di dalam bukunya Al-Ma`arif. Al-Jawzjani telah menjumlahkan beliau diantara penyampai ‘yang mana golongannya tidak disenangi oleh orang-orang yang tertentu, di dalam asas dan juga cabang-cabang agama, disebabkan kerana taat kepada apa yang mereka pelajari dari keturunan Muhammad [as]. Dia berkata: “Diantara penduduk Kufa, terdapat sekumpulan mereka yang mana kepercayaan mereka tidak disenangi, mereka adalah ketua bagi tradisionis Kufa, seperti Abu Ishaq, Mansur, Zubayd al-Yami, al-A`mash dan lain lagi yang terkenal. Manusia telah menerima mereka hanya kerana mereka menyampaikan hadith dengan jujur.”[18] Mengapa mereka sangat benci terhadap manusia yang sangat jujur ini? Adakah kerana mereka berpegang kepada ‘Dua Perkara yang Berat?’ Atau adakah kerana mereka telah menaikki ‘Bahtera Keselamatan’? Atau adakah kerana mereka memasukki kota pengetahuan Nabi melalui pintunya, iaitu Pintu bagi Keampuanan? Atau adakah kerana mereka mencari perlindungan dengan ‘Penyelamat bagi seluruh alam ini’? Atau adakah kerana mereka taat kepada wasiat Rasul iaitu berbaik-baik dengan keturunan baginda? Atau kerana hati mereka telah terserah kepada Allah dan tangisan mereka kerana takut kepadaNya, seperti yang telah diketahui mengenai mereka? Menyebutkan biografi Mansur ibn al-Mu`tamir ibn `Abdullah ibn Rabi`ah, Ibn Sa`d berkata yang berikut ini mengenai Mansur pada muka surat 235,  Vol. 6 dari Tabaqat: “Beliau telah menjadi buta kerana terlalu banyak menangis, kerana takut kepada Allah. Beliau selalu membawa sapu tangan kerana hendak mengeringkan air matanya. Sebahagian mereka mengatakan bahawa beliau berpuasa dan beribadah selama 60 tahun.” Bolehkan manusia yang berkualiti bergini menjadi beban kepada manusia? Sebenarnya, tidak, tetapi kita telah dijangkiti oleh sebahagian manusia yang tidak tahu apakah pengertian saksama; maka kita adalah milik Allah dan kepadaNya kita kembali. Di dalam biografi Mansur ibn al-Mu`tamir ibn `Abdullah ibn Rabi`ah, Ibn Sa`d juga menyebut Hammad ibn Zayd berkata, “Saya telah melihat Mansur di Mekah, dan saya fikir dia tergolong kepada mereka Khashbis, tetapi saya tidak fikir bahawa dia berdusta apabila dia menyebutkan hadith.” Lihatlah terhadap pandangan yang merendahkan, dengki, menghina dan permusuhan secara terang yang terdapat pada keterangan itu. Betapa terkejutnya saya apabila saya mempertimbangkan kenyataannya: ‘Saya tidak fikir bahawa dia berkata dusta…..’ Seakan berkata dusta adalah satu amalan bagi mereka yang ikhlas kepada keturunan Muhammad [as]. Seolah-olah Mansur sahaja yang jujur, dan bukannya semua tradisionis Shi’a yang lain. Memberikan panggilan… seolah-olah Nasibis tidak dapat mencarikan nama yang mana mereka memanggil Shi`as selain dari panggilan yang salah seperti Khashbis, Turabis, Rafidis, etc. Seakan mereka tidak pernah mendengar perintah Allah: “Dan janganlah bertukar-tukar nama yang keji; apakah jenis kefasikkan untuk menggunakan nama yng buruk selepas menerima keimanan (Qur’an, 49:11).” Ibn Qutaybah telah menyebut “Khashbis” di dalam bukunya Al-Ma`arif dan berkata: “Ini adalah Rafidis. Ibrahim al-Ashtar bertemu `Ubaydullah ibn Ziyad di dalam medan pertemporan. Kebanyakkan dari orang-orang Ibrahim mempunyai pengadang dari kayu; dari itu mereka telah dilabelkan sebagai `khashbis,’ orang yang mempunyai kaitan dengan pengadang yang disebabkan oleh kebencian.” Yang sebenarnya, Shi’a digelar yang sedemikian adalah untuk menghina dan memandang rendah kepada mereka, dan juga pada senjata kayu mereka, yang dengannya mereka dapat memukul Ibn Marjanah, pengasas bagi golongan Nasibis, dari itu dengannya telah dapat membakar semangat golongan yang menyimpang ini, pembunuh bagi keturunan Muhammad [as]. “Allah telah memotong ekor bagi mereka yang melakukan kezaliman, segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam ini (Qur’an, 6:45).” Dari itu tidak terdapat sebarang celaan kepada panggilan yang mulia ini, tidak juga sebarang kecacatan di dalam persamaan kepada Turabis, dari  Abu Turab (Imam `Ali, as); kami berbangga dengannya. Kita telah teralih. Marilah kita kembali kepada topik utama, dan mengatakan bahawa ijmak tradisionis telah bergantung kepada Mansur. Atas sebab ini semua pengarang sahih yang enam dan juga yang lainnya telah bergantung kepada penyampaian beliau, setelah mengetahui beliau adalah Shi’a. Rujuklah kepada hadith beliau di dalam Sahih Bukhari dan Muslim dari Abu Wa’il, Abul Duha, Ibrahim al-Nakh`i dan yang terkemuka lainnya. Beliau menyebut dari Shu`bah, al-Thawri, Ibn `Ayinah, Hammad ibn Zayd dan lainnya yang amat terkenal pada penyampaian hadith yang sedemikian. Ibn Sa`d telah berkata bahawa Mansur telah meninggal pada penghujung tahun 132, dan menambah, “Beliau amat dipercayai pada menyampaikan banyak hadith, beliau sangat mulia dan dihormati, semoga Allah merahmati beliau.”

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Manshur ibn Mu’tamar ibn ‘Abdullah ibn Rabi’ah as-Sulami al-Kufi , Al-Ajiri menceritakan dari Abu Dawud bahwa Manshur tidak pernah meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang tsiqat. Ats-Tsawri berkata: “Di Kufah, tidak sebagai orang yang lebih dipercaya dalam periwayatan hadits dibanding Manshur”. Yahya memandang Manshur sebagai orang yang paling dapat dipercaya. Dalam bukunya, ‘Ali al-Madani berkata demikian: “Jika seorang tsiqat meriwayatkan hadits padamu, dan hadits itu berasal dari Manshur, maka engkau pasti berpegang kepadanya dan engkau tidak ingin pada yang lainnya.” ‘Abdan berkata bahwa ia pernah mendengar Hamzah berkata: Ketika aku datang ke Baghdad, aku lihat orang-orang di sana memuji Manshur.” Abu Zara’ah berkata: Orang Kufah yang paling terpercaya (meyakinkan) adalah Manshur. Abu Hatim berkata: “Manshur adalah orang yang tsiqat. Ia tidak pernah melakukan pencampuradukan (tadlis).” Menurut ‘Ajli, ia seorang Kufah yang tsiqat, dan haditsnya dapat dipercaya. Ia seorang Kufah yang paling dipercaya. Haditsnya seakan-akan tempat minuman, tak seorang pun berselisih didalamnya. Ia ahli ibadah, dan merupakan orang yang salih. Selama dua bulan ia menentang qadha’ (pengadilan negara). Ia Syi’ah, walaupun tidak berlebihan. Dari pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa ulama hadits sepakat mengenai adil dan tsiqatnya Manshur, serta kehujjahan haditsnya. Mereka tidak melontarkan kritik atas Manshur yang merusak sifat adil dan tsiqatnya. Karena itu, ashabus sittah meriwayatkan haditsnya. Kalau dikatakan bahwa ia Syi’ah, itu hanya dalam ukuran sangat kecil, tidak sampai ke tingkat berlebihan. Sebagaimana dikatakan oleh al-Ajri, ini tidak merusak sifat adil dan tsiqat Manshur. Apalagi setelah ada kesepakatan mengenai kejujurannya, dan jauhnya dari perbuatan dusta. Ini menunjukkan kejujuran ulama Sunni, di mana mereka tidak menolak riwayat Manshur, yang dipandang sebagai Syi’ah walaupun tidak sampai ke tingkat Rafadh. Mereka berhujjah dengan hadits riwayat Manshur, sebagaimana dikatakan oleh al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah berikut ini: “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kehujjahan hadits Manshur”. Karena itu, ashabus sittah dan ulama hadits lainnya berhujjah dengan haditsnya, walaupun mereka tahu bahwa ia seorang Syi’ah. Pernyataan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah di atas bertolak belakang dengan tuduhan dia bahwa ulama Sunni tidak jujur. Kepada mereka, ia pernah berkata: “Aku tidak simpati kepada sekelompok orang yang tidak jujur!” Bagaimana mereka dipandang tidak fair, sedangkan mereka sepakat untuk berhujjah dengan hadits Manshur yang berpaham Syi’ah? Ini jelas berlawanan dengan tuduhan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah itu. Setiap orang yang berakal sehat akan menyatakan demikian. Adakah dia jujur dalam memberikan penilaian terhadap ulama Sunni? Ataukah ia seorang sinting yang zalim? Setiap orang yang membaca pernyataan-pernyataannya yang kontroversial itu, pastilah tahu bahwa ia termasuk orang yang hendak mematikan sunnah dan ahlinya. Sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan akan dikembalikan kepada-Nya. Pembaca yang kritis dan jujur akan dapat menemukan kejujuran ulama Sunni. Ia juga akan mengerti kebencian al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, terhadap ulama Sunni. Pembaca akan mengetahuinya, misalnya dari riwayat Hammad ibn Zayd, salah seorang ulama Sunni. Ia berkata: “Aku melihat Manshur di Makkah. Kukira dia dari sekte Khasyabiyyah. Aku tidak menuduhnya sebagai seorang pendusta.” Kalau seandainya Hammad tidak jujur, tentu ia akan menyatakan bahwa Manshur adalah pembohong. Akan tetapi, Hammad menyatakan bahwa Manshur adalah seorang yang jujur, walaupun ia seorang Syi’ah. Sesungguhnya al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, itu sendiri yang termasuk golongan orang-orang yang tidak jujur. Tidakkah anda melihat, bagaimana ia berbuat dusta atas ulama Sunni ketika ia berkata: “Orang-orang Sunni adalah kelompok orang yang suka berdusta”. Tuduhan semacam itu ia buat-buat untuk menolak orang-orang Sunni, padahal mereka sama sekali lepas dari tuduhannya. Mereka justru berkeyakinan bahwa dusta adalah suatu ciri yang pasti dalam paham Rafadh. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa dusta adalah aqidah kaum Rafidhah. Al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah adalah salah seorang dari mereka. Orang-orang yang jujur dari kalangan mereka sangatlah langka. Sungguh mengherankan bagaimana ia bermain-main dengan al-Qur’an, dengan menggunakan dalil secara serampangan tidak pada tempatnya. Apakah menjelaskan bid’ah, dan mengungkap para pelakunya harus dipandang sebagai perbuatan memperolok-olok dengan gelar yang buruk? Apakah pernyataan anda kepada orang kafir dengan sebutan “kafir” atau kepada orang munafik dengan sebutan “munafik” harus dipandang sebagai perbuatan memperolok-olok? Kalau memang demikian, tentu al-Qur’an tidak akan menyebut orang yang secara lahiriah memiliki sifat nifaq sebagai “munafiq.” Demikian pula orang yang melakukan perbuatan keji, seperti berzina dan mencuri, tentu tidak akan disebut zani atau sariq. Kepadanya saya ingin bertanya di mana anda menempatkan ayat ll surah al-Hujurat ketika anda membuang predikat atau atribut Hammad ibn Zayd yang sesungguhnya? Dan mengapa, anda tidak mempraktekkan ayat di atas ketika anda memberikan gelar kepada Abu Bakar, ‘Umar dan ‘A’isyah sebagai jibt, Thaghut dan baqarah? Apakah ini dapat disebut sebagai suatu kejujuran, wahai al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah? Sesungguhnya anda adalah seperti kata orang, “Kau mengecam orang lain dengan keburukan sendiri”.


86    Al-Minhal ibn `Amr al-Kufi, seorang tabi`i

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau seorang Shi’a yang amat terkenal di Kufa. Atas sebab ini, al-Jawzjani telah kategorikan hadith beliau sebagai ‘lemah’, mengatakan beliau sebagai ‘pengikut golongan yang salah’. Ibn Hazm telah berkata buruk mengenai beliau dengan cara yang sama, dan Yahya ibn Sa`d, juga telah merabit-rabitkan [koyak] nama beliau. Ahmed ibn Hanbal mengatakan yang sebaliknya. Dia berkata: “Abu Bishr lebih berharga kepada saya dari pancutan air yang sejuk, dan beliau lebih dipercayai dari yang lainnya..” Selain dari menjadi pengikut Shi’a yang kuat, telah menyatakan secara umum walaupun semasa al-Mukhtar, Beliau tidak diragui oleh ulama mengenai ketepatan hadith yang beliau sampaikan. Beliau disebutkan oleh  Shu`bah, al-Mas`udi, al-Hajjaj ibn Arta’ah, dan ramai lagi dari intelektual yang berkaliber. Beliau dipercayai oleh Ibn Ma`in, Ahmed al-`Ijli dan lainnya. Di dalam Mizan, al-Thahbi menyebut penilaian mereka kepada beliau seperti yang dituliskan diatas, memberi tanda nama beliau dengan singkatan Bukhari dan Muslim sebagai petunjuk bahawa keduanya menganggap hadith beliau boleh dipercayai. Rujuk kepada hadith beliau di dalam sahih Bukhari dari Sa`id ibn Jubayr. Di dalam sahih Bukhari, di dalam seksen pengarang bagi Tafsir, hadith beliau telah disampaikan oleh Zayd ibn Abu Anisa. Al-Mansur ibn al-Mu`tamir telah menyebut dari beliau di dalam bab para Rasul.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Al-Minhal ibn Amr al-Kufi, Ia adalah salah seorang tabi’in. Ibn Mu’in memandang dia sebagai orang yang tsiqat. Demikian pula Nasa’i, ‘Ajli dan ulama hadits lainnya. Abu Hatim berkata bahwa ia mendengar ‘Abdullah ibn Ahmad berkata: “Aku mendengar bapakku berkata: Syu’bah secara sengaja meninggalkan Minhal ibn Amr. Ibn Abi Hatim berkata: “Di rumahnya sering terdengar suara bacaan yang didendangkan”. Wahab ibn Jarir menceritakan dari Syu’bah bahwa ia berkata: “Aku datang ke rumah Minhal, lalu aku mendengar suara tambur, maka aku segera kembali, tidak bertanya kepadanya”. Ibn Jarir berkata: “Tidakkah sebaiknya engkau bertanya kepada Minhal, kalau-kalau ia sendiri tidak mengerti kejadian itu?”  Abu Khaytsamah meriwayatkan dari Mughirah ibn Muqsam bahwa ia melarang A’masy meriwayatkan hadits dari Minhal. Kepada Yazid ibn Abu Ziyad, Mughirah berkata: “Demi Allah, apakah kesaksian Minhal itu dapat diterima? “Tidak,” jawab Yazid. Al-’Ala’i menceritakan bahwa Ibn Mu’in memaudhu’kan keadaan Minhal. Al-Jauzjani berkata: “Minhal adalah orang yang buruk madzhabnya, dan berpengaruh pada hadits-haditsnya. Dari pendapat-pendapat di atas dapat, disimpulkan bahwa para ulama sepakat mengenai adil, tsiqat dan kuatnya ingatan Minhal. Mereka tidak melontarkan kritik yang berpengaruh atau merusak riwayat hadits yang dilakukannya. Mengenai berita bahwa di rumahnya terdapat suara bacaan yang meliuk-liuk, hal itu tidak mesti memvonis atau menjatuhkan martabat Minhal. Demikian pula adanya berita bahwa di rumahnya terdengar suara gendang. Sebab bisa terjadi Minhal sendiri tidak mengetahuinya, sebab ia tidak ada di rumah. Dan seandainya ia ada dan mendengar, tentu ia tidak akan membolehkannya. Atas dasar ini, maka penolakan Syu’bah hanyalah karena faktor hati-hati alias ikhtiyath. Ini menunjukkan canggihnya ulama Sunni dalam hal jarh wa ta’dil dan dalam penerimaan hadits. Mengenai riwayat Hutsaymah, itu tidak dapat dibenarkan. Sebab perawinya adalah Muhammad ibn ‘Umar al-Hanafi, orang yang tak dikenal. Kalaupun riwayat itu benar, itu hanyalah karena Mughirah, sebagaimana Syu’ba, tidak suka lagu-lagu dari Minhal. Sebab Jarir pernah menceritakan bahwa Mughirah berkata: “Minhal adalah seorang yang bagus suaranya. Ia memiliki gaya bacaan yang disebut wazan tujuh. Dengan demikian, hal itu tidaklah merusak sifat tsiqat Minhal, sebagaimana dinyatakan Ibn Hajar dalam kitab Hadi as-Sari. Mengenai riwayat al-Ala’i, Ibn Hajar berkomentar: “Mungkin ibn Mu’in memaudhu’kan Minhal bila dikaitkan dengan orang lain, sebagaimana hikayat dari Ahmad. Sebab terbukti Abu Hatim menceritakan bahwa Ibn Mu’in memandang Minhal sebagai orang yang tsiqat. Mengenai pernyataan al-Jauzjani, maka sering saya kemukakan bahwa kecamannya terhadap orang Kufah tidak bisa diterima, sebab ia orang yang paling serong dan tidak jujur. Lagi pula, tidak seorang pun dari ulama hadits yang mengecam paham Minhal, selain al-Jauzjani. Mengenai klaim al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, bahwa Minhal seorang Syi’ah, klaim ini tidak didukung oleh acuan yang dipercaya. Dia hanya bersandar pada salah satu kitab Syi’ah yang dipertanyakan objektivitas dan keilmiahannya. Sungguhpun demikian, Bukhari tidak meriwayatkan hadits Minhal, kecuali 2 saja. Yang pertama, hadits yang menerangkan tentang ta’widz al-Hasan wal-Husayn. Kedua, hadits mengenai tafsir Ha-Mim Fushshilat. Hadits ini diperselisihkan, apakah maudhu’ atau mu’affaq, seperti diungkap Ibn Hajar ra.

87    Musa ibn Qays al-Hadrami, Abu Muhammad

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Al-`Aqili menerangkan beliau sebagai “pelampau Rafidi.” Suatu ketika, Sufyan bertanya beliau mengenai Abu  Bakr. Beliau menjawab: “`Ali lebih bererti kepada saya.” Musa ibn Qays menyampaikan hadith dari Salamah ibn Kahil, Iyad ibn Iyad, berakhir dengan Malik ibn Ja`na yang melaporkan bahawa “Saya mendengar Umm Salamah berkata bahawa `Ali adalah bersama dengan yang benar; sesiapa yang mengikuti dia adalah pengikut yang benar, dan sesiapa yang meninggalkan dia, pastinya telah meninggalkan yang benar; ini telah ditentukan.” Ianya juga telah disampaikan oleh Abu Na`im al-Fadl ibn Dakin dari Musa ibn Qays. Musa ibn Qays telah menyampaikan hadith yang memuji ahlul bayt berjilid-jilid banyaknya sehingga menimbulkan kemarahan al-`Aqili yang berkata kepada beliau apa yang dia telah katakan [yang diatas]. Ibn Ma`in telah mempercayai dan bergantung kapada beliau. Abu Dawud dan Sa`d ibn Mansur keduanya telah bergantung pada penyampaiannya di dalam sunan mereka. Al-Thahbi telah menulis biografinya di dalam Mizan, mengatakan mengenai beliau dengan apa yang telah ditulis diatas. Rujuk kepada hadith beliau di dalam sunan dari Salamah ibn Kahil dan Hajar ibn `Anbasah. Hadith beliau telah disampaikan oleh Dakin, `Ubaydullah ibn Musa dan penyampai lain yang dipercayai. Dia meninggal, semoga Allah merahmati beliau, semasa pemerintahan al-Mansur.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Musa ibn Qays al-Hadhramy, Abu Muhammad, gelar Burung Pipit dari Sorga Berkata ‘Abdullah bin Ahmad, dari ayahnya: “Aku tidak mengetahui tentang Musa kecuali kebaikan”. Ibn Mu’in menganggap dia tsiqat. Abu Hatim berkata: “Tak ada persoalan dengan dia”. Musa al-Tarra’ berkata: “Dia itu disukai”. Menurut Ibn Syahin, dia termasuk perawi yang tsiqat. Kata Ibn Numair: “Dia tsiqat. Orang banyak meriwayatkan hadits darinya.” Dan kata Ibn Sa’d: “Dia itu sedikit bicara”. Itulah intisari pendapat para ulama tentang orang yang bergelar Burung Pipit dari Sorga ini. Kesimpulannya, mereka semua tidak melihat ada sesuatu yang menodai sifat adilnya. Jadi mereka menganggapnya tsiqat. Adapun pendapat ‘Uqaily bahwa dia termasuk Rafidhah yang ekstrim, itu tidak ada buktinya. Tapi ‘Uqaily juga mengatakan bahwa Musa meriwayatkan hadits-hadits munkar dan membicarakan tulisan-tulisan yang batil. Jika ini yang dijadikan argumen untuk menuduh Musa Rafidhah ekstrem, maka ini adalah argumen yang lemah, sebab periwayatan hadits-hadits yang batil atau munkar tidaklah menunjukkan seseorang itu Rafidhah atau ekstrim, terlebih lagi ‘Uqaily tidak menjelaskan kepada kita apa kebatilan-kebatilan yang diriwayatkan Musa itu. Hanya, saja, adz-Dzahabi menyuguhkan sebuah riwayat tentang Musa ibn Qays ini, bahwa dia (Musa) bercerita tentang dirinya sendiri, bahwa Sufyan bertanya kepadanya tentang Abu Bakar dan ‘Ali, maka katanya: “Ali lebih kusukai.” Barangkali riwayat adz-Dzahabi tentang Musa ini bisa menjadi alasan mengapa ‘Uqaily menganggap Musa Rafidhah ekstrim. Jadi alasannya bukanlah omongan ‘Uqaily bahwa Musa meriwayatkan (hadits-hadits) tentang keutamaan Ahlul Bait, yang menyebabkan ‘Uqaily tidak senang dan mengatakan Musa Rafidhah, sesuai dengan anggapan penulis Dialog Sunnah-Syi’ah. Seandainya perbuatan meriwayatkan hadits mengenai keutamaan Ahlul Bait bisa menjadi alasan bagi tuduhan sebagai Rafildhi, tentulah ‘Uqaily akan mencap setiap orang yang meriwayatkan hadits mengenai keutamaan Ahlul Bait sebagai Rafidhah. Dan ini tidak dilakukan oleh ‘Uqaily ataupun ahli-ahli hadits yang lain. Ini membuktikan dustanya penulis Dialog Sunnah-Syi’ah dalam tuduhannya terhadap ‘Uqaily. Adapun riwayat Abu Na’im dari Musa ibn Qays dengan sanadnya sampai kepada Ummu Salamah, bahwa dia (Ummu Salamah) berkata: “Kebenaran ada pada ‘Ali … dst”, maka ucapan seperti ini tidaklah menunjukkan pengucapnya Rafidhah yang ekstrim, manakala ucapan tersebut diartikan bahwa ‘Ali berada di pihak yang benar dalam perselisihannya dengan Mu’awiyah, sebab umumnya Ahlus Sunnah juga berpendapat demikian. Klaim penulis Dialog Sunnah-Syi’ah bahwa Abu Dawud dan Sa’id bin Manshur telah berhujjah dengan hadits Musa adalah klaim yang masih perlu dibuktikan, sebab seorang ahli hadits yang mengeluarkan hadits dari seorang rawi tidaklah dengan sendirinya menunjukkan bahwa ahli hadits tersebut berhujjah dengan rawi tersebut, sebab kadang-kadang sebuah hadits dikeluarkan tetapi tidak dijadikan hujjah.


88    Naif` ibn al-Harith Abu Dawud al-Nakh`i al-Kufi al-Hamadani al-Subay`i
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Al-`Aqili menerangkan beliau sebagai  “pelampau Rafidi.” Al-Bukhari berkata: “Manusia berkata keji mengenai beliau [kerana beliau seorang Shi’a].” Sufyan, Hamam, Sharik dan sekumpulan ulama yang terkenal dengan kaliber yang sedemikian semuanya menyebutkan dari beliau. Al-Tirmidzi bergantung kepada beliau di dalam sahihnya. Semua pengarang musnads telah merakamkan hadith beliau. Rujuk hadith beliau di dalam Tirmithi dan lainnya dari Anas ibn Malik, Ibn `Abbas, `Umran ibn Hasin dan Zayd ibn Arqam. Al-Thahbi telah menulis biographinya dan mengatakan apa yang telah dikatakan diatas.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’. Nafi’ ibn al-Harits Abu Dawud al-A’ma al-Hamdani ad-Darimi, juga bernama as-Sabi’i al-Kufi al-Qash Berkata ‘Uqaily: “Dia itu Rafidhah ekstrim”. Menurut Bukhari, orang-orang berkata mengenai hal itu. Kata Yahya bin Ma’in: “Dia ini tidak masuk hitungan”. Berkata an-Nasa’i: “Dia matruk”. Berkata Daruquthni dan lainnya: “Haditsnya matruk.” Abu Zara’ah berkata:. “Dia itu tidak masuk hitungan”. Berkata Ibnu Hibban: “Tidak boleh meriwayatkan hadits dari dia”. Berkata Ibnu ‘Adi: “Dia termasuk ekstrimis Kufah”. Berkata as-Saji: “Dia itu munkar haditsnya dan suka berdusta”. Dikatakan orang kepada Qatadah bahwa Nafi’ meriwayatkan hadits dari al-Barra’ dan Zaid bin Arqam. Maka berkatalah Qatadah: “Dia dusta. Itu cuma usahanya saja untuk membuat orang percaya padanya.” Berkata Ibnu Abdil Barr: “Semua ahli sepakat bahwa dia dha’if”. Sebagian mencapnya dusta. Semua sepakat untuk meninggalkan riwayat darinya”. Jadi, para ulama bersepakat bahwa Nafi’ ibn al-Harits itu dha’if, dan meninggalkan riwayat darinya. Hanya, mereka berbeda dalam alasan untuk pandangan mereka itu. Jadi, bagaimana dia bisa dipandang tsiqat? Kefanatikan penulis Dialog Sunnah-Syi’ah terhadap orang-orang Kufah dan kaum ekstrimis itulah, yang telah menyebabkannya menganggap tsiqat orang yang oleh para ulama telah disepakati dha’ifnya dan ditinggalkan haditsnya. Al-Musawi menentang kesepakatan para ulama itu bukan karena apa-apa, melainkan karena Nafi’ itu orang Kufah yang ekstrim. Adapun anggapan al-Musawi bahwa Tirmidzi berhujjah dengan hadits Nafi’ tidaklah benar. Orang seperti Imam Tirmidzi tidak mungkin menentang kesepakatan para ulama dan berhujjah dengan hadits Nafi’. Tetapi para penulis kitab-kitab Musnad memang mengeluarkan hadits-hadits dari Nafi’ yang mengkacaukan nama seorang rawi yang bernama Nafi’ ibn Abi Nafi’. Berkata adz-Dzahabi: “Sebagian periwayat telah mengkacaukan dia. Nama perawi tersebut yang benar adalah Nafi’ bin Abi Nafi”‘. Wallahu a’lam.


89    Nuh ibn Qays ibn Rabah al-Hadani
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau juga dikenali sebagai al-Tahi al-Basri. Al-Thahbi menyebut beliau di dalam Mizan, menerangkan hadith beliau sebagai sahih, dengan menambah bahawa Ahmed dan Ibn Ma`in mempercayai beliau. Dia juga menyebut Abu Dawud sebagai berkata bahawa beliau adalah Shi’a. Al-Nisa’i telah berkata bahawa tiada kesalahan dengan hadith beliau, dan telah meletakan pada nama beliau singkatan nama Muslim dan pengarang sunan sebagai petunjuk bahawa mereka semua menyebut hadith beliau. Di dalam sahih Muslim, hadith beliau mengenai minuman telah disebutkan oleh Ibn `Awn. Hadith beliau pada etika berpakaian terdapat di dalam sahih Muslim juga sama seperti yang disampaikan oleh adiknya Khalid ibn Qays. Di dalam Muslim beliau telah sebutkan oleh Nasr ibn `Ali. Di dalam kerja selain dari Muslim, hadith beliau telah disebutkan oleh al-Ash`ath dan oleh banyak lagi dari kaliber yang sama. Nuh ibn Qays ibn Rabah melaporkan dari Ayyub, `Amr ibn Malik dan sekumpulan manusia yang lain.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ . Nuh ibn Qays ibn- Ribah al-Hadani, dipanggil juga ath-Thahi al-Bashry , Berkata Ahmad dan Ibnu Wa’in dalam riwayat ‘Utsman ad-Darimi tentang Nuh: “Dia tsiqat”. Abu Dawud berkata: “Dia tsiqat. Telah sampai berita dari Yahya bahwa dia (Yahya) menganggap Nuh dha’if’. Murrah mengatakan bahwa dia Syi’ah. Menurut Nasa’i, tak ada masalah dengan dia. Ibnu Syahin mengatakan Nuh termasuk perawi yang tsiqat. Kata Ibnu Ma’in: “Dia itu orang tua yang baik haditsnya”. Al-Ajli mengatakan bahwa dia itu orang Bashrah yang tsiqat. Para ulama sepakat untuk berhujjah dengan hadits Nuh ibn Qays dan menganggapnya tsiqat. Adapun riwayat Abu Dawud dari Yahya yang mengatakan bahwa dia (Yahya) menganggapnya dha’if, itu bertentangan dengan riwayat ‘Utsman ad-Darimi bahwa Nuh itu tsiqat. Juga bertentangan dengan pendapat para ulama yang lain. Mengenai tasyayyu’ yang dinisbatkan kepadanya, maka itu tidaklah merusak atau menodai sifat adilnya, tidak pula menghalangi untuk berhujjah dengan haditsnya. Diantara Ashabus-Sittah ada yang berhujjah dengan haditsnya

90   Harun ibn Sa`d al-`Ijli al-Kufi
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Al-Thahbi menyebut beliau dan meletakkan nama singkatan Muslim pada nama beliau sebagai petunjuk bahawa Muslim menyebut hadith dari beliau, kemudian dia menerangkan beliau sebagai ‘benar di dalam haknya’ tetapi dia juga memanggil beliau “Rafidi yang dibenci” yang menyebutnya dari `Abbas dari Ibn Ma`in bahawa beliau adalah pelampau Shi’a. Beliau telah mempelajari hadith dari `Abdul-Rahman ibn Abu Sa`id al-Khudri, yang kemudiannya menyebut dari Muhammad ibn Abu Hafs al-`Attar, al-Mas`udi, dan Hasan ibn Hayy. Abu Hatim berkata bahawa tiada ada sebarang kesalahan pada hadith beliau. Saya teringat satu dari hadithnya yang menerangkan api neraka; ianya dirakamkan di dalam sahih Muslim seperti yang disampaikan oleh al-Hasan ibn Salih dari Harun ibn Sa`d al-`Ijli, dari Salman.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Harun ibn Sald al-Ajli al-Kufi, juga dipanggil al-Ju’fi al-A’war. Berkata Ahmad, “Dia itu orang yang saleh, dan orang banyak meriwayatkan hadits dari dia”. ‘Utsman ad-Darimi mengatakan dari Ibnu Ma’in bahwa tak ada persoalan dengan dia. Kata Ibnu Abi Hatim: “Aku bertanya kepada ayahku tentang Harun. Maka dia mengatakan bahwa tak ada masalah dengan Harun.” Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok perawi yang tsiqat. Tapi beliau juga memasukkannya dalam kelompok perawi yang dha’if. Kata beliau: “Dia itu Rafidhah ekstrim. Tidak boleh meriwayatkan hadits darinya”. Ad-Dauri mengatakan dari Ibnu Ma’in: “Dia itu Syi’ah ekstrim”. As-Saji berkata: “Dia Rafidhah ekstrim”. Demikianlah perselisihan pendapat para ulama, antara yang berhujjah dengan haditsnya dan menganggap tak ada sesuatu yang mencegah hal itu, dengan mereka yang tidak berhujjah dengan haditsnya karena keadaannya yang Rafidhah ekstrim. Dari perselisihan pendapat ini dapat disimpulkan bahwa kelompok yang berhujjah dengan hadits Harun tidak mengetahui sebab yang membuat kelompok lain tidak mau berhujjah dengannya, dan bahwa kelompok yang disebut belakangan ini lebih tahu dari kelompok yang disebut lebih dulu. Dalam hal ini pendapat yang lebih kuat adalah pendapat kelompok yang lebih tahu, kecuali jika perawi yang bersangkutan telah berubah keadaannya dan menjadi baik. Jika begitu, sifat adilnya kembali lagi kepadanya dan dia dapat dijadikan hujjah. Karena soal inilah terjadi perselisihan pendapat di atas. Abu al-’Arab as-Shaqh mengisahkan dari Ibnu Qutaibah bahwa dia (Harun) menyanyikan kepadanya sebuah puisi yang menunjukkan bahwa dia telah melepaskan paham rafadhnya. Dari sini kita tahu mengapa para ulama berselisih pendapat dalam menilai Harun ibn Sa’d al-Ajli. Mereka yang mendha’ifkannya tidak mengetahui bahwa dia telah melepaskan paham rafadhnya, dan mereka yang berhujjah dengannya mengetahui hal itu. Karena itu ada ahli hadits yang mengeluarkan hadits yang diriwayatkan olehnya.


91    Hashim ibn al-Barid ibn Zayd Abu `Ali al-Kufi
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Al-Thahbi menyebut beliau dan meletakkan singkatan nama Abu Dawud dan al-Nisa’i pada nama beliau untuk menunjukkan bahawa beliau adalah seorang dari penyampainya, menyebutkan Ibn Ma`in dan yang lainnya pada mengesahkan beliau sebagai yang dipercayai, sebagai tambahan dari testimoni nya sendiri yang mengatakan beliau “Rafidi.” Dia menyebutkan Ahmed sebagai berkata bahawa tiada kesalahan dengan hadith beliau. Hashim menyampaikan hadith dari Zayd ibn `Ali dan Muslim al-Batin, dan dia disebutkan oleh al-Kharibi dan anak lelakinya `Ali ibn Hashim, yang mana kami telah rujuk diatas, sebagai tambahan kepada sekumpulan ulama yang terkenal. Hashim taat kepada Shi`ism, dan ini telah diperjelaskan apabila kita bincangkan `Ali ibn Hashim.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Hasyim ibn al-Barid Abu Ali al-Kufi . Abu Thalib mengatakan dari Ahmad: “Tak ada masalah dengan dia”. Ishaq bin Manshur mengatakan dari Ibnu Ma’in: “Dia tsiqat”. Ibnu Hibban juga menggolongkannya dalam kelompok perawi yang tsiqat. Berkata Ibnu Hajar dan al-Ajli: “Dia orang Kufah yang tsiqat, cuma dia itu Rafidhah”. Abu al-’Arab as-Shaqli berkata: “Ahmad bin Hanbal telah berkata: “Hasyim bin al-Barid itu tsiqat dan sedikit Syi’ah.” Daruquthni berkata: “Dia itu terpercaya”. Para ulama bersepakat akan tsiqatnya Hasyim ibn al-Barid dan bolehnya berhujjah dengannya. Al-’Ajali mengecamnya karena paham rafadhnya, tapi juga menganggapnya tsiqat. Ini menunjukkan bahwa rafadhnya Hasyim itu tidak sampai pada tingkat yang merusak sifat adilnya dan bolehnya berhujjah dengan haditsnya. Dengan kata lain, rafadhnya Hasyim itu hanya sedikit sekali, tanpa disertai keteguhan hati. Riwayat Abu al-Arab as-Shaqli dari Ahmad bin Hanbal menceritakan bahwa Hasyim ibn al-Basid itu tsiqat dan sedikit bertasyayyu’. Itu sebabnya kita kemukakan apa yang tersebut dalam riwayat al-’Ajali. Sebab para ulama mengetahui perbedaan antara rafadh dan tasyayyu’. Maka mereka memenangkan riwayat al-’Ajali atas riwayat Ahmad. Wallahu a’lam. Karena tasyayyu’ bukanlah rafadh, dan tidak merusak keadilan seorang rawi, maka diantara penulis kutub as-sittah ada yang berhujjah dengan hadits Hasyim ibn al-Barid.

92    Hubayrah ibn Maryam al-Himyari
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau adalah seorang dari sahabat Imam `Ali (as), sama setaraf hanya dengan al-Harith di dalam keikhlasan dan persahabatan mereka. Al-Thahbi menyebut beliau dan meletakkan pada nama beliau singkatan nama pengarang sunan sebagai rujukan bahawa beliau adalah seorang penyampai kepada musnad mereka, kemudian dia menyebutkan Ahmed sebagai berkata, “Tiada kesalahan dengan hadith beliau, dan beliau adalah lebih berharga kepada kami dari al-Harith.” Al-Thahbi menyebut dari Ibn Kharash menerangkan Hubayrah sebagai ‘lemah’; dia pernah menyerang yang luka di Siffin.” Al-Jawzjani mengatakan yang berikut mengenai beliau: “Beliau adalah pengikut al-Mukhtar yang akan membunuh mereka yang cedera di dalam peperangan Khazir.” Al-Shahristani, di dalam bukunya Al-Milal wal Nihal, telah mengatakan beliau adalah diantara pemuka Shi`a, fakta yang telah dipercayai oleh semua. Hadith beliau dari `Ali (as) tidak dipersoalkan di dalam sunan, dan beliau telah disebutkan oleh keduanya Abu Ishaq dan Au Fakhita.”

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’. Hubairah ibn Yarim al-Humairy asy-Syaibani al-Kufi. Berkata al-Atsram dari Ahmad: “Tak ada masalah dengan dia.” Berkata ‘Abdullah bin Ahmad: “Hubairah lebih kami sukai daripada al-Harits.” Berkata Nasa’i: “Dia itu tidak kuat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok perawi yang tsiqat. As-Saji berkata: Berkata Yahya bin Nia’ibn: “Dia itu tidak dikenal (majhul)”. Berkata an-Nasa’i dalam al-Jarh wa at-ta’dil: “Aku mengharap tidak ada masalah dengan dia”. Yahya dan ‘Abdurahman tidak meninggalkan haditsnya. Berkata Ibnu Abi Hatim dari ayahnya: “Dia disamakan dengan majhul (tak dikenal).” Tak seorang diantara para ulama yang terang-terangan mendha’ifkan Hubairah. Ucapan an-Nasa’i tentang Hubairah, bahwa dia itu tidak kuat, bertentangan dengan ucapannya yang lain dalam al-Jarh wa at-ta’dil: “Aku mengharap tidak ada masalah dengan dia”, dan juga bertentangan dengan pendapat para ulama yang lain. Adapun ucapan Ibnu Ma’in bahwa dia itu majhul, dan ucapan Abu Hatim bahwa dia itu serupa dengan majhul, tidaklah dengan sendirinya berarti bahwa Hubairah itu dha’if dan ditinggalkan haditsnya. Yahya dan ‘Abdurahman juga tidak meninggalkan hadits Hubairah. Maka seandainya kemajhulan Hubairah itu berarti dia dha’if, tentu mereka semua akan meninggalkan haditsnya. Para ulama yang mempunyai pendapat mengenai Hubairah tidak mencapnya dengan rafadh atau tasyayyu’ yang ekstrim. Mereka juga tidak menuduhnya dusta yang bisa merusak keadilannya dan menghalangi berhujjah dengannya. Dia hanya dipandang telah salah bertindak pada masa pemberontakan Mukhtar. Semoga Allah mengampuni kesalahannya itu. Adapun ucapan al-Jauzjani mengenai dirinya, tidaklah dipertimbangkan sebagai hujjah oleh para ulama Ahlus Sunnah, sebab dia sendiri juga ahli bid’ah. Karena itu, Hubairah bukanlah termasuk perawi Syi’ah dan orang tsiqat mereka sebagaimana disangka oleh penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, dan karenanya diantara ashabus-Sunan ada yang mengeluarkan haditsnya.


93   Hisham ibn Ziyad Abul Miqdam al-Basri
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Al-Shahristani telah menulis beliau di dalam Al-Milal wal Nihal diantara pemuka shi’a. Al-Thahbi menyebut beliau dua kali: satu pada abjad index, dan satu lagi di dalam bab kunayat, meletakkan Q pada nama beliau untuk menunjukkan bahawa Dar Qutni penulis sunan, bergantung kepada penyampaian beliau. Rujuk kepada hadith beliau di dalam sahih Tirmithi dan hasil kerja-kerja yang lain seperti yang disampaikan dari al-Hasan dan al-Qardi. Beliau telah disebutkan oleh Shayban ibn Farukh, al-Qawariri dan lainnya.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Hisyam ibn Ziyad Abul Miqdam al-Bashri. Imam Ahmad memandangnya dha’if, demikian pula Abu Zara’ah dan lainnya. Menurut ibn Mu’in, ia tidak tsiqat. Dalam kesempatan lain, Ibn Mu’in berkata: “Ia dha’if dan bukan apa-apa”. Bukhari berkata: “Ulama hadits banyak mempersoalkan Hisyam.” Menurut Abu Dawud, ia tidak tsiqat. Turmudzi memandang dia dha’if. An-Nasa’i juga memandang dia dha’if, haditsnya matruk (ditinggalkan orang) dan tak ada nilainya. Menurut Abu Hatim, haditsnya lemah, tidak kuat. Para ulama sepakat mengenai kedha’ifan Hisyam. Juga mengenai gugurnya kehujjahan hadits Hisyam dan perlunya menjauhi haditsnya. Berbeda dari ijma’ ulama di atas, al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, memandang Hisyam sebagai tsiqat, dan menganggap dia sebagai perawi Syi’ah yang adil. Penilaian ini jelas berlawanan dengan kesepakatan ulama. Hal ini tidak lain hanya karena Hisyam orang Bashrah. Perhatikan, betapa fanatik dan subjektifnya pandangan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah itu! Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari sifat buruk itu.Mengenai periwayatan yang dilakukan at-Turmudzi atas hadits Hisyam, tidaklah berarti ia berhujjah dengan hadits itu. juga tidak secara otomatis berarti bahwa Hisyam itu tsiqat. Sebab terkadang ashabus-Sunan meriwayatkan hadits dari seorang perawi, tanpa berhujjah dengannya.


94  Hisham ibn `Ammar ibn Nasr ibn Maysarah, Abu al-Walid
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau juga dikenali sebagai al-Zafri al-Dimashqi. Beliau seorang dari penasihat Bukhari seperti yang nyatakan di dalam sahihnya. Ibn Qutaybah mengatakan bahawa beliau adalah seorang diantara pemuka Shi`a apabila dia menyebutkan beberapa orang dari mereka di dalam bab golongan di dalam bukunya Al-Ma`arif. Al-Thahbi menyebut beliau di dalam Mizan, menerangkan beliau sebagai “Imam, pemidato, qari Damascus, seorang tradisionis dan juga ulama, seorang jujur yang telah menyampaikan banyak hadith, miskipun beliau mempunyai beberapa [ideologi] yang salah, etc.”  Al-Bukhari menyebut beliau secara terus di dalam bab “mereka yang secara suka-rela memberikan tambahan masa untuk membayar balik pinjaman” di dalam bab jual beli pada sahihnya dan di dalam lain bab yang para penyelidik telah terbiasa. Bab yang sedemikan, saya percaya, ada pada bukunya Al-Maghazi, bukunya mengenai minuman, dan pada bab sifat-sifat para sahabat Rasul [sawas]. Hisham ibn `Ammar menyampaikan hadith dari Yahya ibn Hamzah, Sadaqah ibn Khalid, `Abdul-Hamid ibn Abul `Ishrin dan lainnya. Pengarang Al-Mizan berkata: “Ramai yang menyebut hadith beliau; mereka datang ketempat beliau untuk belajar bagaimana untuk membaca al-Quran dan pada penyampaian hadith. Hadith beliau telah disebutkan oleh al-Walid ibn Muslim, seorang dari penasihatnya, sedang beliau sendiri menyampaikan hadith dari Abu Lahi`ah. `Abdan telah berkata bahawa tiada tradisionis yang serupa dengan beliau didunia ini, sedangkan yang lain mengatakan bahawa Hisham seorang yang bercakap lepas, bijak, mudah untuk difahami dan beliau mempunyai ilmu yang banyak.”  Seperti Shi’a yang lain, Hisham ibn `Ammar percaya bahawa gaya bahasa al-Quran hanya diciptakan oleh Allah awj. Apabila Ahmed [ibn Hanbal] mendengar mengenainya, seperti mana yang dinyatakan oleh pengarang  Al-Mizan di dalam biografi, Hisham ibn `Ammar, dia membalas dengan berkata, “Saya telah mengetahui beliau sebagai perosak, semoga Allah membakar beliau.” Ahmed juga telah menjumpai buku yang ditulis oleh Hisham yang mana terdapat syarahan beliau yang berkata: “Pujian bagi Allah yang telah menunjukkan diriNya kepada makhluknya melalui dari apa yang telah dijadikanNya.” Ini telah membuat Ahmed menjadi amat marah, sehinggakan dia meminta semua orang yang pernah bersolat dibelakang Hisham supaya mengulangi solat mereka. Ahmed tidak dapat melihat kenyataan Hisham yang jelas pada mengatakan bahawa Allah amat unggul dari boeh dilihat, maha tinggi dari mereka yang bertanyakan mengenaiNya dengan ‘bagaimana’ atau ‘dimana’, mencukupilah dengan kesyukuran dari makhluknya. Kenyataan beliau boleh dibandingkan dengan sesaorng yang mengatakan: Dia telah menunjukkan mukjizatNya didalam semua kejadian yang diciptakanNya,” atau ianya mungkin boleh jadi lebih tepat dan sesuai dari yang terkemudian; tetapi para ulama dari kaliber yang sama mengatakan terhadap sesama mereka dibahagian yang mereka suka atau sebaliknya, masing-masing adalah setinggi mana darjah pengetahuan mereka. Hisham ibn `Ammar telah dilahirkan pada tahun 153, dan meninggal pada permulaan Muharram tahun 245 H.; semoga Allah merahmatinya.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Hisyam ibn ‘Ammar ibn Nashir ibn Maysarah. Ia biasa juga dipanggil adh-Dhafri ad-Dimasyqi. Ia guru Imam Bukhari. Menurut ibn Mu’in, ia tsiqat. Menurut Abu Hatim, dinukil dari Yahya, ia cerdas. ‘Ajli memandang dia orang yang tsiqat. Menurut an-Nasa’i, tidak ada masalah pada diri adh-Dhafri. Daruquthni memandang dia sangat jujur dan besar jasanya. Abdan berkata: “Tak ada seorang pun di dunia seperti adh-Dhafri.” menyimak berbagai pendapat di atas, nyatalah bagi kita bahwa tak seorangpun dari mereka yang menuduh Hisyam ibn ‘Ammar sebagai rafadh, ekstrim, bahkan tasyayyu’. Adapun Ibn Quthaibah, dia memandang Ibn ‘Ammar sebagai tokoh perawi Syi’ah. Jawaban saya atas pandangan ini sama seperti yang telah saya kemukakan di atas, yaitu bahwa Ibn Quthaibah memandang seseorang Syi’ah hanya karena ia mendukung ‘Ali, tidak lebih. Sesungguhnya Hisyam tidak dapat disebut sebagai perawi Syi’ah yang tsiqat, sebagaimana dikatakan oleh penulis Dialog Sunnah-Syi’ah. Ia justru termasuk salah seorang ulama Sunni. Karena itu Imam Bukhari menerima dan meriwayatkan haditsnya. Kalau seandainya Bukhari mengetahui bahwa Hisyam berlawanan dengan Ahlus-sunah wal-Jama’ah, tentulah Bukhari tidak akan menerima haditsnya. Sementara orang mengecam Hisyam lantaran beberapa hal, seperti menerima upah untuk menyampaikan hadits dan menerima talqin. Sesungguhnya hal ini tidak ada kaitannya dengan tasyayyu’. Abu Hatim berkata: “Hisyam itu orang yang sangat jujur. Setelah ia memasuki usia lanjut, hafalannya berubah. Segala sesuatu yang dimilikinya disampaikan kepada orang lain. Dahulunya hadits dia sahih. Ia membacakan hadits dari kitabnya.” Ibn Warah dan ulama lain menyangkal bahwa Hisyam menarik upah untuk menyampaikan hadits.Sungguhpun demikian, di dalam kitab Sahih Bukhari hanya ada dua hadits Hisyam. Pertama, hadits yang berkenaan dengan jual-beli. Kedua, hadits yang berkenaan dengan biografi Abu Bakar yang didukung oleh riwayat ‘Abdullah ibn ‘Ala’. Bukhari juga mentalqinkan satu hadits mengenai haramnya ma’azif (alat-alat musik bersenar) darinya. Itulah semua yang terdapat dalam bukunya Ibn Hajar menjelaskan bahwa Bukhari berhujjah dengan hadits-hadits tersebut. Akan tetapi lain lagi cerita Ahmad tentang Hisyam. Ia berkata: “Ia seorang yang picik, dan sederhana pemikirannya. Ahmad menentang perkataan Hisyam bahwa lafazh Jibril dan Muhammad dalam al-Qur’an itu makhluk. Ahmad juga menentang khutbah Hisyam berikut ini: “Segala puji bagi Allah yang menampak pada setiap ciptaan-Nya (makhluk).” Menurut Ahmad, itu pemikiran Jaham, atau ia penganut paham Jahamiyah yang berpendapat bahwa Tuhan menampakkan diri pada Gunung (zaman Nabi Musa, peny.). Menurut Hisyam, Allah menampakkan diri-Nya kepada makhluk lewat ciptaan-Nya. Jika kalian shalat di belakang Hisyam (bermakmum), maka hendaknya kalian mengulangi shalat kalian, demikian Imam Ahmad. Adz-Dzahabi berkata: “Perkataan Hisyam dapat dipertimbangkan. Akan tetapi orang tidak dibenarkan memutlakkan perkataannya. Mengenal penolakan Ahmad terhadap Hisyam, itu tidak menyebabkan Hisyam menjadi perawi Syi’ah yang tsiqat:


95   Hashim ibn Bashir ibn al-Qasim ibn Dinar al-Wasiti, Abu Mu`awiyah
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Tempat lahir beliau adalah Balkh. Datuknya al-Qasim telah berpindah ke Wasit untuk memulakan perniagaan. Ibn Qutaybah menulis beliau di dalam Al-Ma`arif diantara pemuka Shi`a. Beliau adalah penasihat Imam Ahmed ibn Hanbal dan semua mereka yang sama kaliber. Al-Thahbi telah menyebut beliau di dalam bukunya Al-Mizan, menandakan nama beliau dengan petunjuk bahawa semua pengarang buku enam sahih bergantung kepada penyampaian beliau, dan menerangkan beliau sebagai seorang yang telah menghafal keseluruh al-Quran. Berkata al-Thahbi: “Beliau adalah seorang ulama yang amat terkenal. Beliau belajar hadith dari al-Zuhri dan Hasan ibn `Abdul-Rahman. Hadith beliau telah disebutkan oleh al-Qattan, Ahmed, Ya`qub al-Dawraqi, dan oleh ramai yang lain.” Rujuklah kepada hadith beliau di dalam buku sahih Bukhari dan Muslim seperti yang disampaikan oleh Hamid al-Tawil, Isma`il ibn Abu Khalid, Abu Ihaq al-Shaybani, dan oleh yang lain. Beliau telah disebutkan di dalam kedua buku oleh `Umer, al-Naqid, `Amr ibn Zararah, dan Sa`id ibn Sulayman. Di dalam Bukhari, hadith beliau telah disebutkan oleh `Amr ibn `Awf, Sa`d ibn al-Nadir, Muhammad ibn Nabahan, `Ali ibn al-Madini, dan Qutaybah. Di dalam Muslim, beliau disebutkan oleh Ahmed ibn Hanbal, Shurayh, Ya`qub al-Dawraqi, `Abdullah ibn Mu`it`, Yahya ibn Yahya, Sa`id ibn Mansur, Ibn Abu Shaybah, Isma`il ibn Salim, Muhammad ibn al-Sabah, Dawud ibn Rashid, Ahmed ibn Mani`, Yahya ibn Ayyub, Zuhayr ibn Harb, `Uthman ibn Abu Shaybah, `Ali ibn Hajar, dan Yazid ibn Harun. Dia meninggal, semoga Allah merahmati beliau, di Baghdad dalam tahun 183 H. ketika berumur 79.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’. Hasyim ibn Basyir ibn Qasirh ibn Dinar as-Sulami al-Washithi. Dalam kitab Hadi as-Sari, Ibn Hajar berkata: “Ulama sepakat mengenai ketsiqatan Hasyim. Hanya saja ia dikenal melakukan tadlis, dan riwayatnya, terutama yang bersumber dari az-Zuhri, dinilai lemah oleh ulama hadits. Mengenai tadlis yang dilakukannya, sekelompok penghafal menyatakan bahwa Bukhari tidak meriwayatkan hadits Hasyim kecuali setelah dilakukan tashrih dan tahdits. Aku perhatikan haditsnya, dan ternyata memang demikian adanya. Adakalanya tashrih Bukhari pada isnad, dan terkadang pada aspek lain. Adapun riwayat Hasyim dari az-Zuhri, maka itu terlihat dalam kedua kitab Sahih (Bukhari-Muslim, peny.). Semua imam berhujjah dengan haditsnya. Wallahu alam bis-shawab. Ibn Hajar telah mengemukakan dalam kitabnya Tahdzib, berbagai pendapat ulama yang memandang tsiqat pada Hasyim dan menyatakan kehujjahan haditsnya tanpa ada perselisihan. Karena itu, para tokoh hadits menjadikan hadits Hasyim sebagai hujjah. Mengenai Ibn Quthaibah yang menganggap Hasyim sebagai salah seorang perawi Syi’ah, maka kita sudah mengerti kriteria Ibn Quthaibah menilai seseorang sebagai Syi’ah. Setiap orang yang cenderung kepada Ahl Bayt dan mendukung ‘Ali dalam pertikaiannya melawan Mu’awiyah, dinilai oleh Ibn Quthaibah sebagai Syi’ah. Sesungguhnya hal tersebut bukanlah sesuatu yang ditentang oleh orang Sunni, dengan catatan ia tidak meremehkan sahabat-sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan ‘Umar. Kalau al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah itu jujur, tentu ia akan menyatakan bahwa Hasyim itu termasuk ulama Sunni dan ahli hadits. Akan tetapi, ia biasa dusta, mencampuraduk yang benar dan yang batil, memanipulasi kebenaran, dan memberi embel-embel para ulama Sunni dengan tasyayyu’ hanya karena adanya riwayat yang lemah. Atau ia menyatakan terhadap sebagian ulama sebagai orang, yang dipercaya. Hal ini hanyalah suatu taktik saja untuk menyatakan seseorang sebagai ahli hadits dan berasal dari golongan mereka, Rafidhah, dan perawi mereka. Demikianlah keadaan yang terjadi pada diri Hasyim ibn Basyir. Cobalah anda perhatikan


96    Waki` ibn al-Jarrah ibn Malih ibn `Adi
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Kunyat beliau adalah “Abu Sufyan,” kerana anak lelaki beliau Sufyan al-Ruwasi al-Kufi. Beliau adalah dari suku kaum Qays Ghilan. Di dalam buku Ma`arif, Ibn Qutaybah menjumlahkan beliau diantara pemuka Shi`a. Di dalam bukunya Tahthib, Ibn al-Madani telah berkata bahawa Waki` berpegang kepada Shi`ism. Marwan ibn Mu`awiyah tidak pernah meragui bahawa Waki` adalah “Rafidi.”  Suatu ketika Yahya ibn Ma`in melawat Marwan dan mendapati dia dengan papan tulis yang menggandongi kenyataan mengenai orang itu dan orang ini. Diantara kandongannya adalah kenyataan yang menerangkan Waki` sebagai Rafidi. Ibn Ma`in berkata kepada Marwan: “Waki` lebih baik dari kamu.” “Lebih baik dari saya?!” bentak Marwan. Ibn Ma`in menjawab: “Ya, lebih baik dari kamu.” Ibn Ma`in membayangkan bahawa Waki` telah mengetahui mengenai dialog ini dan dia bertindak dengan mengatakan, “Yahya adalah seorang sahabat kami.” Ahmed ibn Hanbal telah ditanya, “Jika terdapat kepincangan di dalam penyampaian hadith diantara Waki` dan Abdul-Rahman ibn Mahdi, hadith siapa yang kamu terima?” Ahmed menjawab bahawa dia sendiri lebih mengutamakan hadith `Abdul-Rahman atas sebab yang dia nyatakan. Diantaranya adalah yang ini: “`Abdul-Rahman tidak pernah mengatakan sesuatu yang menghinakan mengenai keturunan kita, tidak seperti Waki` ibn al-Jarrah.” Ini telah disokong oleh kenyataan yang dirakamkan oleh al-Thahbi pada penghujung biografi al-Hasan ibn Salih dimana dia mengatakan bahawa Waki` pernah berkata: “Al-Hasan ibn Salih, dalam pandangan saya, adalah seorang Imam hadith.” Sebahagian manusia berkata kepada beliau, “Tetapi dia tidak memintakan keamanan Allah untuk `Uthman.” Beliau berkata, “Adakah kamu meminta Allah merahmati ruh al-Hajjaj?” ini telah menyamakan `Uthman dengan al-Hajjaj. Al-Thahbi telah menyebut beliau di dalam Al-Mizan dengan menyatakan pandangan yang diatas mengenai beliau. Kesemua pengarang sahih yang enam dan juga yang lainnya telah bergantung pada penyampaian beliau. Rujuk kepada hadith beliau di dalam sahih Bukhari dan Muslim seperti yang disampaikan oleh al-A`mash, al-Thawri, Shu`bah, Isma`il ibn Abu Khalid, dan `Ali ibn al-Mubarak. Beliau telah disebutkan di dalam kedua buku oleh Ishaq al-Hanzali dan Muhammad ibn Namir. Al-Bukhari menyebut hadith beliau seperti yang disampaikan oleh `Abdullah al-Hamidi, Muhammad ibn Salam, Yahya ibn Ja`fer ibn A`yan, Yahya ibn Musa, dan Muhammad ibn Muqatil. Di dalam buku Muslim, beliau telah disebutkan oleh Zuhayr, Ibn Abu Shaybah, Abu Karib, Abu Sa`d al-Ashajj, Nasr ibn `Ali, Sa`d ibn Azhar, Ibn Abu `Umer, `Ali ibn Kashram, `Uthman ibn Abu Shaybah, dan Qutaybah ibn Sa`d. Dia meninggal, semoga Allah merahmati ruhnya, di Fid apabila beliau di dalam kumpulan kafilah yang pulang dari haji, dalam bulan Muharram tahun 197 H. ketika berumur 68.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Waqi’ ibn Jarrah ibn Mulih ibn ‘Adi ar-Rawasi Abu Sufyan al-Kufi. Hammad ibn Zayd berkata: ” Kalau aku mau, aku akan mengatakan bahwa Waqi’ lebih unggul dibanding Sufyan.” Ahmad berkata: “Ia adalah seorang guru, Syaikh. Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih banyak ilmunya dan lebih hafal dibanding Waqi”. Salih ibn Ahmad berkata: “Aku bertanya kepada ayahku, siapa yang lebih terpercaya antara Waqi’ dan Yazid?” “Keduanya terpercaya,” jawab ayah. Aku bertanya lagi, “Siapa yang lebih baik diantara keduanya?” Kata ayah,” keduanya baik.” Ibn Ahmad juga berkata: “Telah bercerita kepadaku Waqi’, seorang yang tak pernah dijumpai bandingannya.” ‘Ali ibn ‘Utsman an-Naqili berkata kepada Ahmad: “Sesungguhnya Abu Qatadah memperbincangkan mengenai Waqi’. Ahmad berkata: “Barangsiapa mendustakan orang yang jujur, maka dia pendusta yang ulung.” Ibn Mu’in berkata: “Waqi’ adalah orang yang tsiqat. Demi Tuhan, sesungguhnya aku tidak,pernah melihat orang yang menyampaikan, hadits secara ihlas seperti Waqi’. Dan tidak pernah aku melihat seorang yang lebih hafal dibanding Waqi’.” Waqi’ dalam hal ini sama dengan al-Awza’i pada masanya masing-masing. Hanbal menceritakan bahwa Ibn Mu’in berkata: “Aku melihat sebuah papan di samping Marwan ibn Mu’awiyah. Di papan itu tertulis nama-nama guru, dan predikatnya, seperti si A demikian, si B begini, dan si Waqi’ adalah orang Rafidhah. Yahya (Ibn Mu’in) berkata kepada Marwan: “Waqi’ jauh lebih baik dibanding kamu.” Dibanding aku?”, tanya Marwan. “Ya,” jawabku. Lalu ia diam tak mengatakan sesuatu kepadaku. Seandainya ia berkata sesuatu, tentu para ulama hadits akan mengecam dia. Berita tersebut kemudian sampai kepada Waqi’, dan dia berkata: “Yahya adalah sahabatku!”. Ibn Sa’ad berkata: “Ia tsiqat, terpercaya, agung, dan banyak haditsnya. Menurut al-’Ajli, ia seorang Kufah yang tsiqat, ahli beribadah, berakhlak mulia, dan termasuk penghafal hadits. Ia juga memberi fatwa. Abu Nu’aim mendengar Ahmad berkata: “Berpegang teguhlah kamu pada karya karya Waqi’. Orang kepercayaan kita di Iraq adalah Waqi’”. Ya’qub ibn Sufyan bertanya kepada Ahmad: “Jika terdapat perselisihan dalam suatu hal antara Waqi’ dan ‘Abdurrahman ibn Muhri, yang mana yang anda ambil?” Ahmad menjawab: “‘Abdurahman mesti diikuti; ia diakui orang ulama salaf, dan ia tidak pernah minum arak.” Para ulama sepakat mengenai tsiqat dan kehujjahan hadits Waqi’. Dan tidak seorang pun yang menentang kesepakatan ini. Sebab mereka tidak ada yang menuduh ia berbuat bid’ah, baik bid’ah yang mengkafirkan maupun yang tidak. Mereka juga tidak menuduh dia seorang yang sesat atau berdusta dalam haditsnya. Atau tidak teguh, dan jelek hafalan dalam riwayat-riwayatnya. Ia justru salah seorang ulama Ahlus Sunnah, pemuka ahli hadits berdasar kesepakatan ulama hadits, sebagaimana terlihat dari berbagai riwayat yang telah dikemukakan tadi. Sungguh mengherankan bila kita melihat kedustaan dan kezaliman al-Mussawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah. Ia mengeluarkan Waqi’ ibn Harraj dari ikatan Ahlus Sunnah, dan memasukkan dia secara zalim ke dalam kalangan kaum rafadh dan ekstrim. Tujuannya tentu saja untuk memanipulir tokoh-tokoh Sunni dan menyesatkan mereka dari jalan Allah. Sesungguhnya al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, mengetahui kedudukan Waqi’ ibn Haraj di kalangan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah. Mereka dengan senang menerima Waqi’. Apalagi dia termasuk salah seorang guru Imam Syafi’i. Jika al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, bisa menyatakan kepada orang Sunni bahwa Waqi’ adalah orang Rafadh, tentu ia harus mampu pula menunjukkan bukti kepada mereka yang dapat diterima. Untuk menguatkan klaimnya bahwa Waqi’ adalah orang Rafidhah, al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, mengemukakan sebuah cerita adanya papan yang dilihat Ibn Mu’in di samping Marwan ibn Mu’awiyah. Pada dasarnya, kisah itu benar. Ibn Hajar mengutarakan kisah tersebut dalam bukunya Tahdzib. Akan tetapi al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, hanya mengutip tulisan Marwan di papan itu, dan itu yang kemudian dijadikannya sebagai dalil untuk mengklaim Waqi’ ibn Haraj. Ia berpura pura tidak mengetahui sanggahan Ibn Mu’in kepada Marwan. Ibn Mu’in menentang keras tulisan Marwan di papan itu dengan mengatakan: “Waqi’ jauh lebih baik daripada kamu (Marwan)!”. Al-Musawi, penulis Dialog Surmah-Syi’ah, juga berpura pura tidak mengetahui sikap Marwan yang bungkam, tidak mengelak pernyataan Ibn Mu’in. Diamnya Marwan tak terlepas dari dua kemungkinan. Pertama, sukut al-iqrar, diam menyetujui bahwa Waqi’ memang lebih baik dari dirinya. Kedua, sukut al-’ajiz, diam karena tidak mampu menunjukkan bukti apa yang ia dakwakan. Jika yang pertama, maka ia mesti mencabut pendapatnya itu. Dan jika yang kedua, ini berarti menunjukkan lemahnya pemikiran Marwan, dan dengan demikian apa yang ia dakwakan itu (yakni, bahwa Waqi’ adalah Syi’ah, peny.) hanyalah sikap dengki saja terhadap sesama. Ini sudah diketahui oleh para Ulama. Allah maha Tahu. Al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah juga berpura-pura tidak mengetahui akhir kisah yang menyatakan: “Kalau seandainya Marwan membantah, tentulah semua Ulama hadits akan mengecam dia!” Ini semua membuktikan adanya kesepakatan ulama akan keadilan dan tsiqatnya Waqi’, dan menunjukkan pula tidak benarnya tulisan Marwan tentang Waqi’ di papan itu. Juga menunjukkan kesepekatan ulama akan kedustaan Marwan, sebab terbukti seandainya Marwan berkilah, mereka akan memukul dan mempecundanginya. Mengenai perkataan Ahmad tentang Waqi’ bahwa ‘Abdurahman lebih disukai dan lebih diterima Ulama salaf dibanding Waqi’, hal ini harus diartikan bahwa Ahmad menyatakan hal itu dalam menjawab soal “Kalau ada perselisihan tentang sesuatu antara ‘Abdurahman dan Waqi’, siapa yang kau ambil?” Maka Ahmad memberi jawaban yang lebih mengunggulkan ‘Abdurahman dibanding Waqi’. Sebabnya adalah karena ‘Abdurahman lebih diterima ulama salaf Tidak demikian halnya dengan Waqi’. Akan tetapi al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah sengaja mengelabui para pembaca dengan menegaskan bahwa Waqi’ adalah orang Rafidhah. Dikatakannya bahwa ia meremehkan orang salaf dan memaki para sahabat, termasuk didalamnya Abu Bakar dan ‘Umar. Ia kemukakan cerita bohong ini setelah mengemukakan riwayat Yahya ibn Mu’in bersama Marwan ibn Mu’awiyah. Saya tidak menolak adanya riwayat itu maupun keabsahan buku-buku biografi yang dapat dipercaya. Akan tetapi saya tidak dapat menerima cara pemahaman dia mengenai riwayat itu. Ia katakan, bahwa Waqi’ adalah orang yang mengecam para sahabat, bahwa ia orang Rafidhah, dan dikatakan bahwa Imam Ahmad mendukung pernyataan itu. Imam Ahmad adalah salah seorang ulama dari tokoh Islam yang memahami betul hakekat Rafidhah dan hakekat keyakinan mereka yang sesat itu. Ia salah seorang ulama yang sepakat untuk tidak menerima riwayat kaum Rafidhah, lantaran buruknya keyakinan mereka. Kalau seandainya Waqi’ adalah orang Rafidhah sebagaimana diklaim oleh al-Musawi, penulis Muraja’at, apakah mungkin Ahmad memandang Waqi’ sebagai orang yang tsiqat, menerima dan berhujjah dengan riwayatnya? Sudah saya kemukakan di depan mengenai pernyataan Ahmad dalam hal ini. Kalau benar apa yang didakwakan al-Musawi, penulis Dialog,Sunnah-Syi’ah itu, maka ini berarti berlawanan dengan keyakinan Imam Ahmad mengenai Rafidhah. Ini berarti beliau mendustakan dirinya sendiri. Akan tetapi apakah masuk akal hal seperti itu terjadi pada seorang imam besar dan agung seperti Imam Ahmad? Ahmad sendiri dalam ucapannya tidak menggugurkan sifat adil Waqi’ dan tidak mengecamnya. Ia hanya mengutamakan ‘Abdurahman jika terdapat perselisihan. Mengutamakan salah satu diantara keduanya ketika terdapat perselisihan, berarti bahwa pada dasarnya keduanya adalah adil dan bisa dijadikan hujjah. Hanya saja ‘Abdurahman lebih tinggi tingkatannya. Dengan demikian riwayat Waqi’ tetap positif keadilan dan kehujjahannya. Bagaimana mungkin Ahmad akan memandang tsiqat dan dapat dijadikan hujjah, scandainya Waqi’ orang Rafidhah. Padahal kita mengetahui, ulama Sunni sepakat untuk tidak menerima riwayat kaum Rafidhah. Kiranya pembaca dapat berpikir dan merenungkan, bagaimana iltibas (pengelabuan) yang dilakukan oleh al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah. Ia mencampuraduk antara yang benar dan yang salah. Namun, bencana hanya akan menimpa orang yang tidak jujur. Adapun bahwa Ibn Quthaibah menyebut Waqi’ dalam Ma’arif sebagai perawi Syi’ah, maka komentar saya dalam hal ini sama seperti yang dahulu disebutkan jelasnya, Ibn Quthaibah menilai seseorang sebagai Syi’ah hanyalah karena orang itu berpihak kepada ‘Ali dalam pertikaiannya dengan Mu’awiyah. Adanya kecenderungan tasyayyu’ yang sedikit itu tidaklah merusak keadilan dan ketsiqatan Waqi’. Juga tidak menggugurkan nilai kehujjahan riwayatnya, sebagaimana dikatakan Ibn al-Madini dalam Tahdzibnya: “Pada diri Waqi’ terdapat sedikit tasyayyu’.” Dari keterangan di atas nyatalah kepalsuan klaim al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, terhadap diri Waqi’ ibn Jarrah yang dipadangnya Rafadh. Berbagai bukti justru menunjukkan kebalikannya. Akan tetapi dia menyalahgunakan dalil-dalil itu untuk menguatkan kesesatannya. Karena bukti dan hujjah sudah nyata akan kebenaran, dan keselamatan Waqi’ dari tuduhan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, maka tepatlah jika ashabus-Sunan menerima riwayat Waqi’

97    Yahya ibn al-Jazzar al-`Arni al-Kufi

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau adalah seorang sahabat Amirul Mukminin [as]. Al-Thahbi menyebut beliau di dalam Al-Mizan dan menandakan nama beliau untuk menunjukkan bahawa Muslim dan pengarang sunan bergantung kepada penyampaian beliau, pengarang menerangkan bahawa beliau adalah seorang yang jujur dan dipercayai,  menyebut dari al-Hakam ibn Atbah yang berkata bahawa Yahya ibn al-Jazzar adalah “pelampau” dalam pandangan Shi’anya. Ibn Sa`d telah menyebut beliau pada muka surat 206, Vol. 6, dari bukunya Tabaqat dengan berkata: “Yahya ibn al-Jazzar patuh kepada Shi`ism, dan beliau adalah pelampau pada melakukannya; bahkan ramai yang telah berkata bahawa beliau amat dipercayai, dan beliau banyak menyapaikan hadith.” Saya telah melihat bagaimana sahih Muslim telah menggandongi satu hadith mengenai ibadah yang beliau telah sampaikan dari `Ali, dan yang lain lagi mengenai iman yang disampaikan dari `Abdul-Rahman ibn Abu Layla. Al-Hakam ibn `Utayba dan al-Hasan al-`Urfi telah menyebutkan hadith beliau di dalam Muslim dan lainnya.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Yahya ibn Jazar al-Arani al-Kufi. Abu Zara’ah memandang Yahya sebagai orang yang tsiqat. Demikian, pula an-Nasa’i dan Abu Hatim. Ibn Hibban menyebut dia dalam ats-Tsiqat. Adz-Dzahabi berkata: “Ia jujur dan tsiqat.” Menurut al-Ajli, ia orang Kufah yang tsiqat dan cenderung pada Syi’ah, tasyayyu’. Hakim Ibn ‘Utaybah berkata: “Ia berlebih-lebihan dalam tasyayyu’. Ibn Sa’ad berkata: “Ia berlebih-lebihan dalam tasyayyu’ dan dia tsiqat.”Adanya kesepakatan ulama mengenai tsiqatnya Yahya ibn Jazar –walaupun ada sebagian orang yang memandang tasyayyu’nya berlebih-lebihan– menunjukkan bahwa kecenderungan Syi’ah Yahya belum sampai ke tingkat yang dapat merusak ketsiqatan dan kehujjahan haditsnya. Dengan kata lain, kesepakatan Ulama mengenai tsiqatnya Yahya menunjukkan bahwa ia bukan pelaku bid’ah yang mengkafirkan, juga bukan orang yang mempromosikan menghalalkan dusta untuk bid’ahnya. Ia juga bukan orang yang menguatkan mazhabnya.Barangsiapa yang kondisinya seperti itu, maka dapat diterima riwayatnya, dan tidak ada halangan untuk berhujjah dengan haditsnya. Karena itu, beberapa orang Ashabus-Sittah meriwayatkan hadits Yahya ibn Jazar. Ini menunjukkan akan kejujuran ulama Sunni, dan kesungguhan mereka dalam mencari dan memakai Sunnah Rasul secara optimal. Juga menunjukkan kesungguhan mereka dalam berpegang pada metoda ilmiah sebagai dasar dalam menerima dan menolak riwayat. Perhatikanlah! Karena itu, tasyayyu’ dan ekstrimisme yang didakwakan kepada Yahya itu tidak lebih dari sikap condong dan berpihak kepada Ahlul Bayt dan ‘Ali dalam perselisihannya dengan Mu’awiyah. Dan sikap seperti itu tidaklah merusak sifat keadilan dan kehujjahan haditsnya.

98    Yahya ibn Sa`id al-Qattan

a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Kunyat beliau adalah “Abu Sa`id.” Beliau adalah hamba kepada Banu Tamim al-Basri, dan beliau adalah tradisionis yang amat terkenal pada masa itu. Qutaybah telah menjumlahkan beliau diantara pemuka Shi`a di dalam Ma’arif. Pengarang dari enam sahih dan yang lainnya telah bergantung pada penyampaian beliau. Hadith beliau dari Hisham ibn `Urwah, Hamid al-Tawil, Yahya ibn Sa`id al-Ansari dan lainnya berdiri teguh di dalam Bukhari, Musaddad, `Ali ibn al-Madini dan Bayan ibn `Amr. Di dalam buku Muslim hadith beliau telah disampaikan oleh Muhammad ibn Hatim, Muhammad ibn Khalad al-Bahili, Abu Kamil Fadl ibn Husayn al-Jahdari, Muhammad al-Muqaddimi, `Abdullah ibn Hashim, Abu Bakr ibn Abu Shaybah, `Abdullah ibn Sa`d, Ahmed ibn Hanbal, Ya`qub al-Dawraqi, Ahmed ibn `Abdah, `Amr ibn `Ali, dan `Abdul-Rahman ibn Bishr. Dia meninggal, semoda Allah merahmati ruhnya, dalam tahun 198 H. ketika berumur 78.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Yahya ibn Sa’id al-Qaththan.Al-Madani berkata: “Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih dipercaya dibanding Yahya ibn Said al-Qaththan.” Ahmad ibn Hanbal berkata: “Aku tidak pernah melihat orang seperti Yahya. Dia orang yang sangat terpercaya di Bashrah.”Ibn Muhdi juga menyatakan bahwa Yahya adalah seorang yang sulit dicari tandingannya. Penegasan seperti ini didapat dari Imam Ahmad melalui berbagai jalan. Atsram berkata: “Semoga Allah memberi rahmat kepada Yahya al-Qaththan. Betapa tajam ingatannya, dan betapa tinggi tingkat ketsiqatannya. Aku begitu kagum dan salut kepadanya.” Ibn Sa’ad berkata: “Ia seorang yang tsiqat terpercaya, agung dan hujjah. ‘Ajli berkata: “Ia orang Basrah yang tsiqat, ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang yang tsiqat. Abu Hatim memandang dia sebagai penghafal hadits yang dapat dijadikan hujjah. Nasa’i berkata: “Ia seorang yang tsiqat, terpercaya dan teguh hati. Sedangkan ats-Tsawri kagum kepada daya hafal Yahya. Semua ulama berhujjah dengan riwayat Yahya. Menurut adz-Dzahabi. Yahya adalah seorang ahli hadits yang hebat pada masanya. Dari berbagai pendapat di atas nyatalah bahwa para ulama sepakat mengenai keadilan, ketsiqatan dan kehujjahan hadits Yahya al-Qaththan tanpa ada perselisihan. Mereka tidak ada yang melontarkan kecaman kepadanya yang dapat merusak sifat adil dan kehujjahan haditsnya. Karena itu, beberapa orang Ashabus-Sittah meriwayatkan hadits Yahya. Jika demikian pandangan ulama hadits, maka bagaimana dengan pendapat orang yang menuduh Yahya Rafidhah, sebagaimana halnya al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah? Tentu ia harus menunjukkan dalil yang membuktikan kebenaran tuduhannya itu. Mengenai pernyataan Ibn Quthaibah bahwa Yahya adalah orang Syi’ah, maka sudah berkali-kali saya’ jelaskan bahwa ia menilai seorang sebagai Syi’ah hanya karena sikap berpihak kepada Ahlul Bayt dan ‘Ali ibn Abi Thalib dalam perselisihannya dengan Mu’awiyah. Dan hal seperti itu tidak merusak sifat keadilan dan kehujjahan seorang perawi menurut ulama Sunni. Wallahu a’lam.
c.

99   Yazid ibn Ziyad al-Kufi, Abu `Abdullah
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Beliau adalah hamba kepada Banu Hashim. Al-Thahbi menyebut beliau di dalam Al-Mizan, meletakkan pada nama beliau singkatan nama Muslim dan empat pengarang sunan untuk menunjukkan bahawa mereka semua menyebutkan hadith dari beliau. Dia menyebutkan bahawa Abu Fadl berkata: “Yazid ibn Ziyad adalah seorang Imam Shi`a yang terkemuka” Al-Thahbi telah mengakui bahawa beliau adalah seorang ulama Kufa yang amat terkenal. Walaupun dengan semua ini, ramai yang telah menyerang beliau, persediaan menentang beliau dengan segala cara pada penghinaan dan tuduhan disebabkan bahawa, bergantung dari Abu Barzah atau mungkin Abu Bardah, beliau telah menyampaikan satu hadith yang mengatakan yang berikut: “Kami berada bersama Rasul [sawas] apabila telah kedengaran nyanyian. Kemudian `Amr ibn al-`Aas dan Mu`aiyah datang dengan sambil menyanyi. Rasul [sawas] berkata: `Wahai Tuhan yang Perkasa! Libatkanlah kedua orang ini di dalam permusuhan, dan balingkan mereka kedalam api neraka.’” Rujuk kepada hadith beliau mengenai minuman di dalam sahih Muslim dari `Abdul-Rahman ibn Abu Layla seperti yang disampaikan dari Sufyan ibn `Ayinah. Dia meninggal, semoga Allah merahmati beliau, dalam tahun 136 ketika berumur lebih kurang 90 tahun.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ . Yazid ibn Abi Yazid al-Kufi. Adz-Dzahabi berkata: “Yazid adalah salah seorang Ulama Kufah yang dikenal buruk hafalannya.” Inilah keterangan adz-Dzahabi mengenai Yazid. Namun al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah telah berbuat tidak jujur dengan memenggal sebagian keterangan adz-Dzahabi di atas. Ia katakan begini: “Adz-Dzahabi mengakui Yazid sebagai salah seorang ulama Kufah yang termasyhur.” ia membuang bagian kedua dari pernyataan adz-Dzahabi di atas, yaitu… “keburukan hafalannya.” Demikianlah kebiasaan buruk orang Rafidhah. Ia membuang dan menghapus sebagian dalil sesuai dengan kehendak hati dan kepercayaannya. Keadaan al-Musawi, penulis, Dialog Sunnah-Syi’ah, adalah seperti orang yang membaca ayat fawailul-lil-mushallin, tanpa meneruskan pada ayat berikutnya: al-ladzina hum fi shalitihim sahun. Kemudian ia menuduh secara palsu ulama-ulama Sunni sebagai serong, zalim, tidak jujur, fanatik dan menuruti hawa nafsu. Ia berkata: “Mereka tidak bersimpati kepada Yazid dan mengecamnya secara berlebih-lebihan, hanya karena dia dalam meriwayatkan hadits, sanadnya bersambung sampai kepada Burzah atau Abu Burdah,” seakan-akan mereka mengecam siapa saja yang mereka sukai, dan memandang adil siapa saja yang mereka sukai, dengan mengikuti hawa nafsu tanpa mengacu kepada metoda ilmiah sebagai dasar dan pegangan, sebagaimana tradisi orang Rafidhah. Kemudian al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah mengutip dari adz-Dzahabi hadits tentang ‘Amr ibn ‘Ash dan Mu’awiyah dan doa atau laknat Nabi kepada mereka lantaran keduanya mendendangkan lagu-lagu. Ia mencukupkan diri dengan kutipan itu saja, tanpa menunjukkan kepada kita pendapat adz-Dzahabi mengenai hadits tersebut. Apakah ini dapat disebut sikap amanah, orang yang mengutip dalil secara sepotong-sepotong, yang sesuai dengan kemauan hawa nafsunya? Adz-Dzahabi berkata mengenai hadits di atas. Menurut beliau, hadits itu adalah hadits gharib dan munkar. Adapun unsur keghariban hadits itu di dalam matannya sangat jelas sekali. Sebab, bagaimana mungkin Nabi memberikan laknat kepada sahabat-sahabatnya? Padahal, Nabi sendiri berkata: “Janganlah kamu memaki-maki sahabatku. Demi Tuhan, seandainya kamu menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, maka infaqmu itu tidak akan bisa menyamai nilai infak sahabatku yang sebesar satu mud ataupun separuhnya.” Dan beliau juga bersabda: “Aku diutus bukan untuk memberi laknat atau memaki-maki.” Laknat sebagaimana diketahui berarti terjauhkan dari rahmat Allah. Bagaimana mungkin Rasulullah akan mendoakan sahabatnya supaya terjauhkan dari rahmat Allah. Pendapat itu jelas berlawanan dengan firman Allah kepada Nabi berikut ini:     “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS, Al-Fathr, 48:19)     “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, terasa berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang beriman.” Berdasarkan semua itu, maka ulama hadits memandang hadits yang menceritakan laknat Rasulullah kepada ‘Amr ibn ‘Ash dan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan sebagai hadits munkar dan gharib. Keghariban hadits tersebut terlihat dari sudut matan atau teks isi hadits. Kecuali itu, juga terlihat keghariban dan kemunkaran dari segi sanad. Cobalah anda perhatikan. Adapun orang Rafidhah, mereka tidaklah melihat unsur perlawanan hadits itu dengan al-Qur’an dan hadits Nabi yang lain. Sebab mereka berkeyakinan bahwa semua sahabat adalah kafir, kecuali 10 orang dari mereka. Sedangkan ulama Sunni mendha’ifkan Yazid ibn Ziyad bukan karena ia Syi’ah, sebagaimana dituduhkan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi’ah, tetapi lantaran buruknya hafalan Yazid. Dan mereka mengecam Yazid lantaran dia banyak meriwayatkan hadits-hadits munkar dan gharib. Berikut ini beberapa pernyataan ulama jarh wat ta’dil yang. menguatkan asumsi di atas. Adz-Dzahabi berkata: “Yazid adalah salah seorang Ulama Kufah yang buruk hafalannya.” Menurut Ahmad, hadits Yazid diragukan. Dalam kesempatan lain, Ahmad menegaskan bahwa Yazid bukan ulama penghafal: Menurut Ibn Mu’in, ia bukan perawi yang tsiqat atau kuat. Ia juga menyatakan bahwa Yazid dha’if. ‘Ajli berkata: “Haditsnya ja’iz; ia perlu diingatkan dengan ujungnya hadits (dapat menghafal jika disebutkan sebagian kata-kata haditsnya). Menurut Abu Hatim, ia bukan perawi yang kuat. Ibn ‘Adi memandang dia sebagai Syi’ah Kufah. Ia dha’if; namun haditsnya bisa ditulis. Menurut Nasa’i, ia bukan perawi yang kuat. Daruquthni berkata: “Ia dha’if, suka keliru, dan dapat menghafal hanya dengan dituntun.” Menurut Abu Zara’ah, ia lemah, haditsnya dapat didaftar, tetapi tidak dapat dijadikan hujjah. Al-Jauzjani berkata: “Aku mendengar para ulama mendha’ifkan dia. Menurut Ibn Sa’ad, ia tsiqat, hanya saja dalam usianya yang lanjut ia seringkali melakukan pencampuradukan (tadlis). Karena itu, terdapat dalam riwayatnya hal-hal yang aneh bin ajaib. Kenyataan bahwa ashabus-Sunan dan Imam Muslim meriwayatkan haditsnya tidak berarti secara otomatis hadits itu dapat dijadikan hujjah. Itu menunjukkan bahwa Yazid itu tetap dha’if. Dalam kedha’ifannya itu ashabus-Sunan meriwayatkan haditsnya. Imam Muslim hanya meriwayatkan satu hadits dari Yazid. Itupun disertai perawi lain yang tsiqat. Dan dalam pengantar Kitab Shahihnya beliau berkata: “Perawi-perawi yang belum jelas kejujuran dan kualitas keilmuannya juga terdapat pada beberapa perawi hadits, seperti ‘Atha’ ibn Sa’ib, Yazid ibn Abi Ziyad, Layts ibn Abi Sulaym, dan lain-lain.” Dalam bukunya Tahdzib, Ibn Hajar berkata: “Nawawi memandangnya gharib (tak dikenal). Dalam pengantar Syarh Sahih Muslim, ia menyebutkan biografi Yazid ibn Abi Ziyad setelah biografi Ibn Abi Ziyad ad-Dimasyqi. Imam Nawawi mengira Ibn Abi Yazid ad-Dimasyqi ini yang dimaksud Imam Muslim dengan Yazid ibn Abi Ziyad. Dalam hal ini perlu penelitian yang lebih lanjut.

c.    Catatan :  Sejumlaah hadis sahih bahkan al Qur’an menyebut Muawiyyah dan bani Umayyah sebagai pohon kayu terlaknat. Pada kesempatan lain akan kami sajikan tulisan tentang muawiyyah.

100     Abu `Abdullah al-Jadali
a.    Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at sbb Al Musawi  menyebutkan  dalam kitabnya al Muraja’at :  Al-Thahbi telah menyebut beliau di dalam bab kunayat, meletakkan pada nama beliau “DT” untuk menunjukkan bahawa beliau adalah diantara yang dipercayai oleh keduanya Dawud dan Tirmithi di dalam buku sahih mereka, kemudian dia menerangkan bahawa beliau adalah seorang “Shi`a.” Dia menyebutkan dari al-Jawzjani yang berkata bahawa beliau adalah pembawa panji-panji al-Mukhtar. Dia juga menyebutkan dari Ahmed yang menerangkan beliau sebagai yang boleh dipercayai.” Al-Shahristani telah menjumlahkan beliau sebagai diantara pemuka Shi`a di dalam bukunya Al-Milal wal Nihal. Ibn Qutaybah telah menjumlahkan beliau diantara penganut kuat “Rafidis” di dalam bukunya Al-Ma`arif. Rujuk kepada hadith beliau di dalam buku sahih keduanya Tirmithi dan Abu Dawud dan juga buku musnads sunni yang lain. Ibn Sa`d menyebut beliau pada muka surat 159, Vol. 6, dari buku Tabaqat dimana dia berkata bahawa, “Abu `Abdullah al-Jadali seorang penganut kuat Shi`a. Sebahagian mengatakan beliau mengetuai pasukan polis al-Mukhtar, dan bahawa beliau telah dihantar kepada `Abdullah ibn al-Zubayr bersama dengan 800 orang untuk menghapuskan mereka dan menyokong Muhammad ibn al-Hanafiyyah terhadap perancangan Ibn al-Zubayr.” Yang sebenarnya Ibn al-Zubayr telah mengenakan kepongan kepada rumah Ibn al-Hanafiyyah dan Banu Hashim, menggelilingi rumah mereka dengan kayu api di dalam persediaan untuk membakar mereka hidup-hidup, kerana mereka tidak mahu memberikan bai’ah kepadanya, tetapi Abu `Abdullah al-Jadali telah menyelamatkan mereka dari bencana tersebut; semoga Allah memberikan ganjaran kepada beliau dari apa yang telah dilakukan untuk ahli rumah Rasul [as] Sebanyak ini telah mengakhiri apa yang kami telah dapat mengatakan di dalam keadaan tergesa-gesa, 100 wira Shi’a, yang mana penyampaian hadith mereka telah dipercayai oleh sunni. Mereka ini adalah pemelihara pengetahuan ummah. Melalui mereka, sunnah Rasul telah dikekalkan, dan mereka telah dicari oleh pengarang buku sahih dan musnad. Kami telah sebutkan mereka dengan nama-nama mereka, dan menyatakan teks sunni yang telah mengesahkan mereka sebagai Shi’a, dan terus juga terima penyampaiannya, seperti yang kamu telah minta. Saya fikir mereka yang menimbulkan bantahan akan melihat kesilapan mereka pada mengatakan bahawa sunni tidak bergantung pada penyampaian hadith dari Shi’a. Mereka akan mengetahui bahawa kriteria penyampaian hadith adalah kejujuran dan tepat, tidak kira dari golongan mana mereka datang, Sunni ataupun Shi’a. Jika segala hadith yang dismpaikan oleh Shi’a semuanya ditolak, maka sebahagian besar dari sunnah Rasul [sawas] akan hilang, seperti al-Thahbi sendiri telah mengakui ketika menyampaikan biografi Aban ibn Taghlib di dalam bukunya Al-Mizan. Tidak ada testimoni yang lebih baik dari itu. Kamu, semoga Allah menjadikan kemenangan kepada yang benar melalui diri kamu, telah tahu bahawa terdapat beberapa orang dari keturunan Shi’a, selain dari mereka yang telah dinyatakan diatas, dimana jumlah mereka berlipat kali ganda dari yang seratus ini, yang mana sunni telah bergantung kepada penyampaian hadith dari mereka. Terdapat mereka ‘yang lain’, golongan ini mempunyai kaliber yang lebih tinggi; mereka menyampaikan hadith yang lebih sahih, dan yang mempunyai lebih pengetahuan. Dan diri mereka lebih hampir kepada era Rasul [sawas], dengan senioriti pada memeluk kepercayaan Shi’a. Mereka adalah sahabat Shi’a rasul [sawas], semoga Allah meridhai mereka semua. Kami telah memperkatakan dengan nama mereka yang mulia pada penghujung kerja kami dari Al-Fusul al-Muhimmah. Terdapat juga mereka diantara tabi’in yang dipercayai yang mana penyampaian hadith mereka telah diterima. Setiap seorang dari mereka adalah jujur dan telah menghafal keseluruh al-Quran, dan hujah-hujah mereka bernas dan tidak dapat dibangkang. Diantara mereka yang sedemikian, terdapat mereka yang telah syahid ketika menyokong peperangan sampingan dan  utama, Peperangan Unta, Siffin, Al-Nahrawan, yang berlaku di Hijaz begitu juga di Yemen, ketika Bisr ibn Arta’ah menyerang mereka, ketika permusuhan al-Hadrami yang telah dihantar ke Basrah oleh Mu`awiyah. Mereka juga termasuk yang syahid pada Peperangan Taff bersama dengan Ketua Remaja Disyurga [Imam Husayn ibn `Ali, as], dan mereka yang telah syahid bersama dengan cucunya Zayd, dan ramai lagi yang terpaksa menghadapi bermacam-macam kezaliman dan tuduhan, di dalam membalas terhadap pembunuhan beramai-ramai kepada keturunan Muhammad [as]. Diantara mereka ada yang dibunuh hanya kerana berpegang teguh kepada kepercayaan mereka. Yang lainnya secara kejam telah diusir dari tempat kediaman mereka, dan mereka yang telah memilih kepada taqiyya, takut akan keselamatan nyawa mereka atau disebabkan kerana fizikal yang lemah, seperti al-Ahnaf ibn Qays, al-Asbagh ibn Nabatah, Yahya ibn Ya`mur; beliau inilah yang pertama menggunakan titik kepada huruf abjad Arab, al-Khalil ibn Ahmed al-Farahidi, yang menemui perundangan kepada nahu Arab dan penelitiannya, Ma’ath ibn Muslim al-Harra, yang meletakkan asas kepada sains ta’arif di dalam bahasa Arab, dan ramai lagi yang lain, jika biografi mereka sepenuhnya hendak dituliskan, ianya akan memerlukan jilid-jilid buku yang tebal. Kita ketepikan kebencian Nasibis terhadap manusia ini melalui cara mereka menyerang dengan mengatakan hadith manusia-manusia ini sebagai ‘lemah’, dan mereka memamah nama-nama manusia mulia ini, dari itu telah merugikan mereka dengan pengetahuan yang berfaedah darinya. Terdapat ratusan Shi’a yang berkepercayaan yang telah menghafal hadith, umpama rumah-api untuk petunjuk yang telah diabaikan oleh sunni. Untuk manusia ini, Shi’a telah mengadakan angka-angka petunjuk dan bibliografi yang menggandungi cerita-cerita mereka. Kerja-kerja ini telah membuktikan sejauh mana khidmat manusia ini terhadap agama dan syariah. Sesiapa yang menyelidikki manusia ini, akan mendapati golongan mereka adalah model terhadap kejujuran, kebenaran, wara’, zuhud, ibadah, dan keikhlasan dalam membawa ummah hampir kepada Allah awj,  kepada RasulNya [sawas], kepada kitabNya dan juga kepada para Imam kaum Muslim, begitu juga kepada orang awamnya. Kita berdoa kepada Allah untuk membolehkan kami dan juga diri kamu untuk mendapat manfaat dari rahmatNya; Dia yang maha pemurah.

b.    Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Abu ‘Abdullah al-Jadali1 Nama aslinya adalah ‘Abdun ibn ‘Abdun. Ada pula yang mengatakan nama aslinya adalah ‘Abdurahman ibn ‘Abdun. Dalam kitab Al-Mizan, adz-Dzahabi berkata: “Ia Syi’ah ekstrim. Menurut al-Jauzjani, ia memiliki riwayat pilihan, dan Imam Ahmad memandang dia sebagai orang tsiqat. Ibn Hajar di dalam kitabnya at-Tahdzib berkata begini: “Ibn Abu Haytsumah menceritakan dari Ibn Mu’in bahwa Abu ‘Abdullah adalah tsiqat. Ibn Hibban menyebutnya di dalam kitab ats-Tsiqat. ‘Ajli memandang dia sebagai seorang tabi’in kelahiran Basrah yang tsiqat. Ibn Sa’ad setelah menyebutkan nasabnya, menyatakan dia itu dha’if. Dikatakannya bahwa ia Syi’ah ekstrim. Ulama hadits menganggapnya sebagai serdadu Mukhtar ibn Abi ‘Ubayd. Ia pernah dikirim Mukhtar, menemui Ibn Zubayr dengan kekuatan pasukan sejumlah 800 orang dari penduduk Kufah. Mereka datang untuk mencegah keinginan dan kehendak Ibn Zubayr terhadap Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Nasa’i berkata: “Aku mendengar Abu ‘Abdullah al-Jadali adalah serdadu Mukhtar.” Ibn Hajar berkata: “Ibn Zubayr memanggil Muhammad al-Hanafiyyah untuk berbai’at kepadanya. Muhammad menolak ajakan bai’at itu, lalu ia ditahan atau dikurung di suatu tempat. Ibn Zubayr dan orang-orangnya mengintimidasi Muhammad dengan memberikan batas waktu tertentu. Berita penahanan ini kemudian sampai kepada Mukhtar yang berada di Kufah. Mukhtar kemudian mengirim angkatan perang menuju Makkah di bawah pimpinan Abu ‘Abdullah al-Jadali.” Mereka berhasil membebaskan Muhammad al-Hanafiyyah dari kurungannya. Muhammad mencegah satuan perang itu bertempur di kota suci Makkah. Dari sinilah, demikian Ibn Hajar, ulama hadits memvonis Abu ‘Abdullah dan Abu ath-Thufay, yang ikut serta dalam penyerbuan tadi. Padahal keduanya tidaklah dipandang cacat lantaran perbuatannya itu. Dari berbagai pendapat di atas jelaslah bahwa para ulama tidak mengecam Abu ‘Abdullah, kecuali paham Syi’ah yang dianutnya. Sebagian ulama yang memberikan kritik kepadanya menjelaskan argumen mereka, yaitu karena Abu ‘Abdullah menjadi serdadu Mukhtar. Namun kita sudah maklum bahwa Syi’ah yang tidak sampai pada tingkat Rafadh atau ekstrim, tidaklah merusak sifat adil seorang perawi manakala ia dikenal jujur, amanah, dan tidak pernah berdusta. Bila kita melihat latar-belakang kehidupan Abu ‘Abdullah, nyatalah bahwa tak seorang pun ulama hadits yang menuduhnya sebagai pendusta. Karena itulah, Imam Ahmad memandang dia tsiqat. Demikian pula Ibn Mu’in, Ibn Hibban dan al-’Ajli. Sebagian ashabus-Sunan pun meriwayatkan haditsnya. Hal di atas jelas membuktikan betapa jujur ulama Sunni dalam menentukan keadilan dan tsiqatnya seorang perawi. Mereka berpegang pada firman Allah:     “Dan janganlah sesekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu melakukan ketidakadilan. Berbuat adillah, karena keadilan itu lebih mendekati ketakwaan.” (QS, al-Ma’idah, 5:8). Mereka tak pernah menvonis atau mengambil kesimpulan secara serampangan, mengikuti hawa nafsu atau fanatik buta. Seandainya mereka demikian, tentu Abu ‘Abdullah sudah dipandang gugur sifat adil dan kehujjahan haditsnya, lantaran ia menjadi pimpinan perang Mukhtar ibn Abi ‘Ubayd. Kejujuran ulama Sunni tidak dapat dibandingkan dengan orang Rafidhah yang seringkali menggugurkan sifat adil seorang perawi. Bahkan mereka mengkafirkannya dengan alasan yang dibuat-buat; seperti termuat dalam beberapa referensi mereka. Suatu contoh, mereka mengkafirkan orang yang lebih utama dibanding Abu ‘Abdullah, yaitu Abu Bakar dan ‘Umar, bahkan mereka mengkafirkan semua sahabat Nabi, kecuali beberapa orang saja dari mereka. Pengkafiran ini tidak lain hanya karena keyakinan para sahabat tersebut berbeda dengan keyakinan mereka yang sesat itu. Tidakkah ini yang dinamakan fanatik buta dan berlaku sewenang-wenang? Renungkanlah. Ibn Hajar adalah salah seorang ulama Sunni yang dituduh kaum Rafidhah sebagai fanatik, menuruti hawa nafsu, zalim dan tidak jujur. Beliau menolak semua tuduhan itu, dan menyatakan bahwa setiap orang yang berakal akan mengetahui kejujuran ulama Sunni, keadilan mereka dan terbebasnya mereka dari sifat fanatik. Hal ihi terlihat dari kata-kata Ibn Hajar: “… dari sini sebagian ulama hadits memvonis Abu ‘Abdullah dan Abu ath-Thufayl lantaran ia termasuk dalam satuan tempur itu. Sesungguhnya perbuatan itu tidaklah membuat keduanya tercela, insya Allah.” Pernyataan Ibn Hajar di atas betul-betul obyektif, karena ia membela Abu ‘Abdullah, dan menolak semua orang yang mendha’ifkan dia dari kalangan Ahlus Sunnah. Beliau juga menolak orang yang mengkultuskannya. Perhatikanlah.

Para peneliti juga mengetahui bahwa Mu’awiyah, politikus penipu yang ulung itu, telah memerintahkan untuk mengumpul ‘para Sahabat’, agar menyampaikan hadishadis
yang mengutamakan para Sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman untuk mengimbangi keutamaan Abu Turab (Ali bin Abi Thalib). Untuk itu, Mu’awiyah memberikan imbalan berupa uang dan kedudukan kepada mereka.

Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Abi Saif alMada’ini, dalam bukunya, alAhdats,
Mengutip sepucuk surat Mu’awiyah kepada bawahannya: ‘Segera setelah menerima surat ini, kamu harus memanggil orang orang, agar menyediakan hadis hadis

tentang para Sahabat dan khalifah; perhatikanlah, apabila seseorang Muslim menyampaikan hadis tentang Abu Turab (Ali), maka kamu pun harus menyediakan hadis yang sama tentang Sahabat lain untuk mengimbanginya. Hal ini sangat menyenangkan saya, dan mendinginkan hati saya dan akan melemahkan kedudukan Abu Turab dan Syi’ahnya’.

Ia juga memerintahkan untuk mengkhotbahkannya di semua desa dan mimbar (fi kulli kuratin wa’ala kulli minbarin). Keutamaan para Sahabat ini menjadi topik terpenting di kalangan para Sahabat, beberapa jam setelah Rasul wafat, sebelum lagi beliau dimakamkan. Keutamaan ini juga menjadi alat untuk menuntut kekuasaan dan setelah peristiwa Saqifah topik ini masih terus berkelanjutan. Para penguasa dan para pendukungnya membawa hadis hadis  tentang keutamaan sahabat untuk ‘membungkam’ kaum oposisi, dan demikian pula sebaliknya.

Dalam menulis buku sejarah, seperti tentang peristiwa Saqifah, yang hanya berlangsung beberapa jam setelah wafatnya Rasul Allah saw, harus pula diadakan penelitian terhadap para pelapor, prasangka prasangkanya, keterlibatannya dalam kemelut politik, derajat intelektualitas, latar belakang kebudayaannya, sifat sifat pribadinya, dengan melihat bahan bahan sejarah tradisional yang telah dicatat para penulis Muslim sebelum dan setelah peristiwa itu terjadi. Tulisan sejarah menjadi tidak bermutu apabila penulisnya terseret pada satu pihak, dan memilih laporan laporan tertentu untuk membenarkan keyakinannya.

Sebagai contoh, hadis hadis dan laporan lainnya dari Abu Hurairah. Laporannya sangat berharga untuk memahami kemelut politik pada zaman itu, bagaimana sikap masa bodoh penguasa terhadap agama setelah Khulafa’urRasyidin dan pengaruhnya terhadap perkembangan keagamaan. Tetapi mutu laporannya sendiri terhadap suatu peristiwa ‘politik’, haruslah diragukan

No comments:

Post a Comment